“Kamu mau menikah besok. Ibu mau belanja dan masak enak. Mau dimasakin apa? Rawon? Kare? Soto? Atau apa, Mel?”
Ibu tampak sumringah dan sesenang itu. Jarang aku melihat wanita itu tampak bahagia sekali. Membuat rasa kesal yang tadi sempat membuatku berpikir hanya dikorbankan saja tiba-tiba melenyap.
Aku jadi berkaca-kaca melihatnya. Berasa selama ini sangat tidak berguna. Hanya bisa membuat wanita ini berkutat dengan utang sana-sini dan kebutuhan yang tak ada habisnya.
Hal inilah membulatkan tekadku untuk menerima pernikahan ini apapun tujuan dan niatnya. Setidaknya niatku hanya ingin membahagiakan ibu dan keluargaku.
“Kamu harus bersyukur mendapat suami seperti majikan pakdemu. Dia orang kaya. Punya banyak uang. Kalau dia mau, tentu bisa membayar banyak wanita untuk memuaskannya. Tapi, dia paham agama. Tidak mau berbuat zina. Karenanya memutuskan untuk menikah lagi,” ujar Ibu sembari membantuku mengoleskan lulur di kakiku.
Tahu anak perempuannya akan menikah, ibu langsung peduli dengan penampilanku.
Apalagi dia juga tahu. Tujuan pria itu menikah karena membutuhkan tubuhku saja.
Kembali sedih kalau merasa bahwa ini sama saja aku dijadikan pelacur yang menjual diri dalam bungkus halal.
“Kasihan istrinya ya, Bu?” ucapku. Aku merasa berdosa sekali harus berada di posisi ini.
“Lebih kasihan majikan pakdemu, Mel. Pria normal yang sudah menikah apa sanggup selama itu tanpa berhubungan? Masih mending dia tidak jajan sembarangan.”
Aku tak membahasnya lagi. Mau menikah atau tidak, itu urusan pria itu. Urusanku di sini adalah untuk 1 milyarnya. Mudah-mudahan setelah ini kehidupan keluargaku bisa lebih baik.
Kami sudah dibawa ke vila. Subuh aku dibangunkan untuk didandani dengan cantik karena paginya aku sudah akan dinikahi.
Namun karena rasa tegang dan cemas melandaku sejak semalam, tubuhku panas dingin. Rasanya lemas dan mau pingsan saja.
“Pria yang mana sih, Bu, yang mau menikahiku?” kutanya hal itu disela debaran jantung yang sejak tadi terus membuatku tegang.
“Kata pakdemu dia akan menemuimu segera.” Ibuku masih ribet merapikan kerudungku.
Saat itu seorang pria menghampiri bersama pakdeku. Jantungku bertambah kencang debarannya. Apalagi tahu, bahwa dugaanku tidak meleset. Pria yang menikahiku itu adalah pria tua dengan perut membuncit dan memiliki kumis seperti Pak Raden. Aku pernah melihatnya saat datang ke rumah pakde.
‘Ya Allah, pria yang begini yang akan menikahiku?’
“Dia keponakanmu, Mat?” tukasnya tersenyum penuh kepuasan saat menatapku.
“Benar Pak, kuharap tidak mengecewakan,” jawab pakdeku.
Lalu pakde memintaku mengangkat wajah.
Menatap pria itu, hatiku menjerit, sungguh tak sedikitpun sesuai impian dalam hidupku. Dia lebih pantas menjadi ayah atau pakdeku.
Harus banget ya menikahi pria seperti ini hanya untuk 1 milyar?
“Cantik, Mat. Tidak mungkin mengecewakan,” ujarnya sembari tersenyum menilaiku.
Aku kembali menunduk demi menghindari bersitatap dengan pria itu. Sampai mereka keluar, aku masih juga memegangi dadaku yang tak mau sebentar mengendurkan detakannya yang cepat.
Keringat dingin kurasakan ketika Ibu dan bude sudah memintaku untuk keluar.
“Pernikahan sudah siap. Ayo, ibu dan bude antar ke depan.” Ibu menarik lenganku.
Dan aku menahannya. Di detik ini aku sepertinya berubah pikiran.
“Bu, Melati takut, Bu.” Aku sungguh tak rela menikah dengan pria seperti itu.
“Melati?!” Bude melototiku. “Jangan bikin ulah, kamu! Di depan pernikahan akan segera berlangsung.”
“Tapi Bude, Melati tidak akan bisa? Takut, Bude...” keluhku.
Melihat pria itu saja aku ngeri, bagaimana kalau harus melayaninya sebagai istri?
“Bisa! Apa yang tidak bisa. Kamu tidur dengan pria yang tak kau kenal saja bisa, kok!” Karena kesal Bude kembali mengingatkanku tentang hal itu. Dia tahu, kelemahanku ada di situ.
Tapi aku masih berusaha memohon dengan sangat kasihan pada ibuku. Hanya saja uang 250 juta sudah dipegangnya kemarin. Sebagian sudah habis untuk membayar utang. Apa iya aku akan membatalkannya?
“Mel, jangan berulah lagi. Kasihanilah kami yang akan menanggung hal besar kalau kau membatalkan pernikahan ini.” Ibu sudah cemas saja.
“Mereka orang kaya, lho! Bisa dihabisi kita kalau kau macam-macam!” Bude ikutan menyahut sambil melototiku.
Pakde yang bertanggung jawab atas pernikahan ini. Mereka pasti tidak akan membiarkan hidup pakdeku mudah kalau sampai mempermalukannya.
Sekali lagi aku mencoba menenangkan diriku.
Seharusnya aku berpikir dengan baik sebelum memutuskan kemarin. Tidak apa tidak menikah, tidak apa diusir dari rumah, aku bisa cari pekerjaan dan hidup dengan baik.
Tapi sudah terlanjur begini, apa aku bisa membatalkannya?
“Mar, bawa Melati keluar!” suara bude lagi karena sudah diminta membawaku keluar.
Aku gugup setengah mati sampai tak merasakan kakiku menapak di tanah. Hingga berjalan menuju tempat akad pernikahan, tiba-tiba pandangan mataku menggelap.
Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Hanya saja ketika aku mulai tersadar, hanya ada ruangan besar dan sepi. Kepalaku sedikit pusing apalagi memikirkan, bagaimana pernikahannya?
Perlahan aku duduk di kepala ranjang dan memeluk lututku sambil terisak dengan sungguh kasihan.
Terlintas kemalangan yang selalu menerpa hidupku sejak masa SMA-ku. Dijebak teman untuk minum alkohol sampai mabuk. Begitu sudah mabuk berat, aku malah diperkosa orang yang aku sendiri tidak pernah kenal.
Sejak itu hidupku seolah hanya aib bagi keluargaku. Hingga nasib membawaku harus menikah dengan pria seusia pamanku yang hanya butuh tubuhku untuk pelampiasan hasratnya saja.
“Sudah sadar kamu?” suara bariton itu membuatku meremang.
🌹🌹🌹
Bersambung...
*“Mas Bian?” panggilnya, tatapannya lekat ke arahku. Dia mengenaliku.Mau tak mau, kubuka masker dan kacamata. “Astaga, kau cepat sekali mengenaliku, ya?” ujarku pura-pura terkejut.“Emang aku seperti Mas Bian yang tidak pernah mengenaliku? Cara berjalan bahkan helaan napasmu saja aku sudah hafal!” balas Melati, nada sindiran tipisnya terdengar jelas.“Siapa bilang? Buktinya aku mengenalimu di balik cadar itu?” sangkalku cepat.“Hmm, orang tadi di lift lewat begitu saja!” Melati mengingatkanku.“Ya sudah. Kamu mau makan buburnya tidak?” Aku mengalihkan pembicaraan agar kami tidak bertengkar di tengah pasar. Aku tahu Melati sudah sangat ingin menyantap bubur ini, jadi aku mengalah mencari tempat yang nyaman.Dia hanya mengangguk, mungkin saking laparnya. Kuajak dia ke tempat yang agak sepi: sebuah restoran cepat saji. Sekalian aku bisa memesan makanan untuk Vier dan Dini, sembari menunggu ibu hamil ini menyantap Bubur Madura dari cup tinwall-nya.“Kamu ngidam, Sayang?” pura-pura aku be
*Saat pintu lift terbuka, aku bersimpangan dengan seorang wanita bercadar yang menunggu untuk masuk. Langkahku sudah terburu-buru. Aku tak sabar menemui istri dan anakku di unit.Kemarin, Melati sudah mulai membuka suara walau intonasinya masih dingin dan sinis. Hari ini, aku harus mencoba lagi. Pokoknya, aku akan pantang menyerah.Begitu sampai di apartemen, hanya Dini yang kulihat, sedang menemani Vier bermain robot.“Ke mana Melati?” tanyaku pada Dini. Melati tak ada di ruang mana pun.“Baru saja keluar, Pak. Katanya mau cari sesuatu,” Dini memberitahu.Barusan tadi aku bersimpangan dengan wanita bercadar dan memakai topi di lorong. Jangan-jangan… itu dia.“Yang pakai cadar itu?” tanyaku memastikan.“Iya, Pa. Mama bilang biar tidak kepanasan jadi pakai baju besar dan bermasker.” Kali ini Vier yang menyahut, tangannya asyik memainkan robot i-lik-nya. Anak itu pasti sudah menginterogasi mamanya sebelum pergi.Aku mendengus. Wanita itu memang seharusnya diikat saja di ranjang agar ti
*“Laporan tentang pencemaran nama baik Bu Melati sudah masuk ke polisi, Pak. Mungkin prosesnya akan lebih dipercepat,” ujar Pomo.Dia mantan orang kepolisian, punya banyak kenalan dan teman dekat di sana. Pasti urusannya lebih mudah.“Bagus. Terima kasih, Mo,” ujarku pada orang kepercayaanku itu. “Bagaimana dengan kabar video yang katanya akan disebarkan itu?”“Ini masih kita usut, Pak.”"Baik, Mo. Kita bicarakan nanti."Panggilanku kuakhiri, karena orang yang sedang kutunggu datang juga. “Maaf Alicia, kalau aku menganggu waktumu sebentar,” tukasku bangkit memberi hormat pada wanita itu.“Tidak apa, Pak Bian. Papaku kenal baik denganmu. Jadi dia membiarkanku menemuimu.” Alicia langsung duduk setelah kupersilahkan.“Aku bisa kok menemuimu di rumahmu atau di mana yang kau mau aku menemuimu. Kau tidak harus yang datang menemuiku,” ujarku. Aku yang butuh bicara dengannya jadi etikanya akulah yang harus datang.“Jangan segan begitu Pak Bian. dengan kau mau menemuiku sudah membuatku punya
*“Jangan sedih, masih ada harapan. Apalagi Melati hamil. Masa idahnya sampai melahirkan. Selama masa itu, kalau kalian sewaktu-waktu rujuk, keputusan pengadilan agama itu dianggap tidak berlaku lagi,” tutur Om Damar saat malam itu datang ke Surabaya. Sekalian aku minta sarannya.Beruntung beliau tidak banyak tanya kenapa Melati menggugat cerai. Om Damar seorang pria, sama sepertiku. Tidak terlalu ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain, tapi akan selalu siap kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.“Sepi. Tidak ada kabar apa-apa? Tiba-tiba saja kamu bilang sudah cerai,” Om Damar akhirnya menanyakan hal itu. Karena memang mereka sama sekali tidak tahu.“Mungkin pengaruh hormon kehamilannya, Om. Sensitif. Hanya masalah sepele saja langsung dijadikan hal besar,” tukasku. Aku tidak bohong. Alasan yang dijadikan Melati untuk menggugatku adalah karena aku tidak pulang selama tiga hari dan karena cemburu pada kedekatanku dengan Elis.“Bukan hanya hormon kehamilan. Melati juga sedang krisis
“Pak Bian mau apa bawa pistol?” tanya Pomo, panik. Dia bangkit, berusaha menghadang langkahku yang sudah tak bisa dikendalikan.Pomo tahu bagaimana aku. Kalau sudah emosi tak terbendung begini, mati pun aku tidak takut.“Menghabisi pria itu, Mo!”“Pak, jangan gila. Kevin itu tidak sendirian. Dia punya banyak pengawal.”“Aku tidak takut!” bentakku. Kudorong Pomo yang mencoba menahanku dan bergegas keluar mencari mobil.“Kalau begitu, saya ikut!” seru Pomo sambil mengejar.Dia yang menyetir. Kutunjukkan tempat yang mungkin jadi persembunyian Kevin. Tapi aku tahu dia sengaja memperlambat laju mobil, memilih rute yang lebih jauh, memberi waktu agar aku bisa berpikir jernih.“Pikirkan Bu Melati, Pak. Pikirkan Vier. Mereka masih butuh Pak Bian. Banyak
*Kucoba mengaktifkan ponselku dan kulihat beberapa pesan dan panggilan dari Melati yang terbiar terabaikan. Dadaku kembali sesak membayangkan istriku menjerit dalam diam atas semua keputusannya itu.Dia terdesak, dia ditekan, dan diancam. Tapi Melatiku masih memikirkan harga diriku, kepentinganku, juga keselamatan putra kami. Sedangkan aku malah menambahi luka batinnya dengan membuatnya bertambah cemburu atas kedekatanku dengan Elis.Kucoba menghubunginya. Namun tidak ada suara yang tersambung. Sepertinya Melati tidak mengaktifkan ponselnya.“Tadi pagi sidang putusan perceraian, Pak. Aku sendiri yang mengikutinya dari jauh. Bu Melati tampak rapuh dan sembunyi-sembunyi mencari tempat sepi untuk meluapkan kesediahannya dengan menangis.” Pomo bercerita dengan mata memerah.Pomo bisa merasakan bahwa selama ini Melati terbiar tanpa sebuah perlindungan. Dia benar-benar sendi