Beranda / Rumah Tangga / Gelora Cinta Istri 1 Miliar / Bab 4 : Tunggu Aku Di Kamar

Share

Bab 4 : Tunggu Aku Di Kamar

Penulis: Kafkaika
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-18 20:59:13

“Mel, pakde akan langsung ke Surabaya, ada kerjaan. Ibu dan budemu sudah pulang tadi di antar orang Pak Bian. Jangan bikin malu pakde, Mel. Ingat status dan tugasmu.”

Pakdeku berpamitan sore itu dan membekaliku dengan tujuan kenapa aku ada di sini.

Aku hanya mengangguk. Hendak bertanya kenapa ibu tidak menungguku siuman dari pingsan baru kemudian pulang tapi tidak jadi. 

Seolah tahu isi kepalaku,  pakde langsung menjelaskan, “Ibu dan budemu langsung pulang karena takut kamu merajuk ikut pulang. Jadi lebih baik mereka pulang sebelum kau siuman.”

Tega sekali mereka padaku...

“Dan satu lagi, asisten Pak Fabian sudah menyampaikan bahwa sisa pembayaran akan di lunasi bertahap melihat bagaimana sikapmu terhadapnya. Jadi kalau kamu tidak koperatif, kita tidak akan mendapat uang dengan mudah. Jangan merugikan dirimu sendiri.”

Kalau membahas masalah uang dalam tujuan pernikahan ini, rasanya aku sungguh berdosa pada diriku sendiri. Apalagi pakde mengatakannya seolah ini sebuah konspirasi hanya untuk mengunduh uang dengan mengorbankan tubuhku.

“Tolong diingatkan ibu, uangnya dipergunakan dengan baik, Pakde. Buat modal usaha. Jangan dibuat yang tidak perlu. Pakde tahu sendiri, nasibku ke depan seperti apa masih belum tahu.”

Kuharap kakak ibuku itu juga berbijaksana. Aku sudah mempercayakan transferan uangnya ke rekeningnya saja. Karena selama ini aku mana ada rekening.

“Beres itu. Jangan pikirkan masalah itu. Yang penting kamu baik-baik di sini, Mel. Nurut dan patuh. Karena kalau Pak Fabian sampai memulangkanmu, semua uang yang diberikannya akan diambil balik.”

“Ibumu sudah menggunakan sebagian uangnya untuk menutupi utang-utangnya. Jadi mau kembalikan dari mana uangnya kalau sampai Pak Fabian minta balik?” tambahnya.

“Iya, Pakde,” tukasku paham. 

Namun, Pakde bukannya membuatku bisa lebih santai menjalani pernikahan yang tiba-tiba ini, justru saat ini aku serba salah dan gelisah. Ada ketakutan tersendiri kalau saja semua tidak sesuai harapan. 

Sebenarnya masih ada yang harus aku pertanyakan pada pakdeku itu, tapi di ujung sana seseorang memanggilnya agar segera datang. Dia pria yang kukira yang akan menikahiku.

Tiba-tiba aku menjadi malu karena sempat-sempatnya mengira pria itu yang  menikahiku. 

“Kenapa masih bengong di sini?” suara itu mengejutkanku.

Kapan dia datang? Begitu saja sudah ada di sampingku tanpa aku tahu bayangannya.

“Eng, i-itu, pakde tadi hanya pamit.” Kujawab pertanyaannya.

“Kau sedih karena bukan pria gendut dan berkumis seperti Pak Raden itu yang menikahimu?” ujar pria itu.  Sangat jelas meledekku walau nada suaranya sedatar mungkin.

Aku tidak akan menjawab. Dengan siapa aku menikah, toh tidak ada bedanya. Disini aku hanya dibutuhkan untuk menghangatkan ranjang. Bukan untuk menjadi seorang istri yang sesungguhnya.

Sejenak kami  hanya berdiri menatap teras dengan pemandangan gunung yang menjulang tinggi di hadapan mata. Sampai aku tergoda untuk melirik pria ini—yang ternyata juga sedang menatapku.

Tatapan kami tertaut sejenak karena aku langsung menariknya sehalus mungkin agar tidak terkesan mencuri pandang.

“Masuklah, temani aku makan malam!” ujar pria itu langsung beranjak masuk meningalkanku.

Aku pun beranjak masuk mengikutinya. Dia sudah duduk di meja makan dan aku baru menyusul duduk di seberang meja berhadapan dengannya.

Butuh waktu lama untuk mengunyah makananku agar bisa tertelan di kerongkonganku. Aku gugup karena hari semakin malam dan pria ini pasti menagih haknya.

‘Ya Allah, apa aku bisa melayaninya dengan baik agar pria ini juga memperlakukanku dengan baik?’

“Melati?” suara itu terdengar. Aku baru mendongak dan melihatnya sudah mengusap sudut bibirnya dengan tisu.

“I-iya, Pak?” tukasku gelagapan. Apalagi masih ada sisa makanan di mulutku.

"Hhg, selesaikan makanmu dulu!" ujarnya baru tahu aku masih makan. 

Dengan cepat kutelan sisa makanan di mulutku dan mengahiri dengan meminum air putih. 

"Baik, Pak? Saya sudah selesai." 

“Pak?” tukasnya sembari mengernyitkan dahi. “Aku menikahimu, kau bukan pelayan atau pegawaiku hingga harus memanggil, Pak.”

Dia menikahiku juga agar bisa melayaninya di ranjang. Sama juga aku ini adalah pelayannya, kan?  Batinku.

“Panggil saja aku Mas atau nama saja,” tambahnya.

“Baik,” ujarku. Mana mungkin aku menolak perintahnya.

“Berapa usiamu sekarang?” tanya Fabian. Tatapannya hangat membuatku mulai tampak rileks setelah sepanjang makan tadi sedikit gugup.

“25 tahun, Mas,” jawabku mempertahankan kepala yang tertunduk.

“Jangan terus menunduk. Tatap aku kalau bicara!” Fabian tidak nyaman sejak tadi aku lebih banyak menunduk.

Diingatkan hal itu, aku baru mengangkat wajahku dan menatapnya. Ada senyum samar terlihat di wajahnya saat pria itu  menatapku.

“Kau keponakannya Pak Rahmat yang pernah mengantar susu di rumahku waktu itu?”

Aku menatap Bian dengan pupil sedikit melebar. Baru tahu kalau pria ini sudah pernah melihatku sebelumnya.

“Rumah Anda?” tanyaku. 

Oh. Aku baru ingat, pernah dengar kalau majikan pakde ini ternyata orang tuanya asli dari kampung kami. Karena itulah pakde bisa ikut kerja dengannya. Kalau tidak salah itu rumah  Pak Damar. Yang sering pesan susu di warungnya ibu.

“Tahu kenapa aku menikahimu?” kembali Bian bertanya. Tak membahas tentang pertemuan kami.

Sembari mengangguk pelan aku menjawab singkat, “Ya.”

“Katakan untuk apa?” desaknya lebih pada  sebuah penandasan agar aku paham tugasku.

“Untuk bisa melayani Mas Bian, karena istri Anda...”

“Cukup!” Bian memotong ucapanku. Dia pasti tidak ingin mendengar istrinya disinggung.

Lagipula aku kadang-kadang masih terlalu jujur untuk mengatakan apa adanya yang kuketahui.  

“Bagus kalau sudah tahu tugasmu. Tunggulah aku di kamar!”

🌹🌹🌹

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Terasa banget sampai sini rasa cemas Melati
goodnovel comment avatar
Strawberry
Gemeter aku bayanginnya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gelora Cinta Istri 1 Miliar   Bab 124 : Pergi Bersama

    Sore hari pun tiba. Bian sudah mengirim pesan bahwa dia sudah di perjalanan menjemputku.Sudah kuputuskan seperti yang kuinginkan ahir-ahir ini. Dan aku tak mau banyak pikiran lagi untuk meragu.Hanya saja aku merasa tidak enak kalau tidak memberitahu Tante Aini. Dia selama ini selalu mendukungku agar tetap bertahan dengan Bian. Jadi kuharap dia memahami situasiku saat ini.Sayangnya, panggilanku tak juga tersambung. Kutunggu sebentar barangkali dia repot ada kajian yang harus diisinya. Aku tahu itu karena sering melihat statusnya di medsosnya. Tante Aini sosok wanita perpengetahuan luas yang sering diminta mengisi kajian di majlis-majlis.Tanganku menyapu layar ponsel dan kebetulan melihat status Tante Aini. Dia memang sedang ada di sebuah acara bersama beberapa wanita berhijab yang lain dengan caption, [Jalan menuju surga untuk wanita muslimah] Mungkin itu tema kajiannya kali ini.Hingga beberapa slide terakhir, aku terkejut ada Miranda yang berfoto bersamanya dan Om Damar.Mirand

  • Gelora Cinta Istri 1 Miliar   Bab 123 : Memutuskan

    "Tidak enak kalau kita ngomong ditelepon Mel, kita ketemu ya?"Terdengar suara Bian masih mencoba membujukku untuk bertemu.Kutarik napas dalam-dalam beberapa kali agar aku kembali tenang. Berasa cengeng sekali kalau di depan Bian. Tapi tak semestinya aku memperlihatkan kerapuhanku ini pada pria yang sama sekali tidak pernah menghargaiku selayaknya wanita pada umumnya.“Aku jemput, ya?” Bian. Baru kusahuti dengan lirih, "Enggak mau, Mas.""Kenapa?" tanyanya dengan setenang mungkin, karena sejak tadi aku tidak berhenti terisak. Mungkin Bian hanya ingin aku kembali tenang dulu agar bisa melanjutkan obrolan kami. "Bisa tidak menjamin bahwa kita hanya bertemu?""Maksudmu?" suaranya terdengar heran.Seharusnya dia tahu apa yang kumaksudkan. Mana bisa dia mengajakku bertemu tanpa meniduriku?"Aku tidak mau berhubungan, Mas. Aku mau pisah." Kujelaskan hal itu sekalian."Oke, kita ketemu dulu, ya?"Akhirnya aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Biar sekalian kami tuntaskan semuanya.

  • Gelora Cinta Istri 1 Miliar   Bab 122 : Pulangkan Aku

    Hingga larut malam aku mondar mandir di kamar, tapi tak juga Bian datang.Jadi penasaran, apa yang sedang dia bicarakan dengan Tom Lee di depan.Aku memutuskan keluar dan mencari tahu. Tidak tenang saja kalau aku tidak tahu apa-apa.“Sudah malam, Mel. Kenapa tidak tidur?” tanya Iqdam yang juga masih belum tidur.“Mas Bian masih di depan?” tanyaku menoleh ke ruang depan. Tapi kosong dan sepi.“Sudah pergi tadi.” Iqdam kembali menjawab dengan cuek.“Pergi? Mas Bian juga?” tanyaku lagi.Iqdam yang sibuk dengan ponselnya melirikku. “Bukannya kau tidak mau bertemu dengan Mas Bian? Dia pergi kamu cari-cari?” ucapnya menyindirku.Aku tak membahasnya. Malas saja sudah malam. Dan lagi, aku juga lelah dan mengantuk. Tidak baik sedang hamil begini tapi masih begadang.Teringat hal itu aku sebenarnya merana. Biasanya ada suami yang akan mendampingiku dan menjagaku di masa kehamilan. Tapi itu tidak akan bisa jika statusku hanyalah istri simpanan Bian.Hingga saat aku masuk, kutemukan ponselku sud

  • Gelora Cinta Istri 1 Miliar   Bab 121 : Bertemu Bian

    ~ Pov Melati ~Ketika hendak memesan ojek online di aplikasi yag ada di ponselku, aku menyadari ponselku tak ada di tas.Baru kuingat, tadi aku sempat mengeluarkannya dari tasku untuk melihat jam. Kuletakkan di nakas dan kutinggal ke kamar mandi.Sekeluarnya aku lupa tidak memasukan lagi ke dalam tasku. Karena terburu-buru, takut keduluan Bian bangun dan akan sulit baginya membiarkanku pergi.Aku masih labil. Belum bisa bicara dengan baik dengannya. Percuma juga karena nanti kami hanya akan bertengkar dan selalunya aku yang merasa sakit hati.Aku hanya mencoba menjaga emosiku saat-saat masih trimester pertama ini. Takut mahluk kecil di rahimku ini terimbas buruk dari keadaanku.Hujan yang tiba-tiba turun membuatku harus mencari tempat untuk berteduh. Tidak mungkin juga harus balik ke vila itu. Jadi aku melangkah ke minimarket yang tak jauh dari vila itu.Masuk ke dalam untuk membeli air mineral, tak tahunya melihat susu formula untuk ibu hamil, aku jadi ingat stok susu ibu hamil di

  • Gelora Cinta Istri 1 Miliar   Bab 120 : Pesan Yang Dikirim Dini

    “Aku akan berubah Bian. Aku janji tidak lagi membiarkan mama dan Tio menguasaiku. Aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku bahkan sudah menerima Melati menjadi maduku. Jadi jangan ceraikan aku, Bian.”Miranda memohon-mohon padaku dengan keseriusannya itu.Aku hanya menghela saja. Meruntuk karena selalu diposisi yang sulit begini. Tegaspun akan terkesan salah karena tak mau memberi kesempatan pada wanita yang sudah beritikad untuk berubah ini.Meski aku tak mudah luluh dengan kesungguhannya itu. Kusimpan saja sendiri dan tak mau banyak berspekulasi. Syukur-syukur kalau memang Miranda benar-benar mau berubah. Jika tidak, akan sangat mudah bagiku untuk melepasnya.Setidaknya, aku sudah jujur bagaimana perasaanku saat ini padanya, juga tentang perasaanku pada Melati. Poin pentingnya adalah Miranda membiarkanku masih bersama Melati. Artinya, tidak akan ada masalah jika aku melegalkan pernikahanku dengan Melati. Bukankah yang selama ini Melati inginkan hanyalah sebuah kepastian pernikahan

  • Gelora Cinta Istri 1 Miliar   Bab 119 : Menerima Melati

    Tante Aini memanggilku dan Miranda. Sepertinya dia juga terpikirkan tentang masalah perasaanku. Dia paham, aku dan Melati saling mencintai. Karenanya sebagai orang tua, dia ingin membantu meluruskan.“Kau serius ingin berubah, Miranda?” tanya Tante Aini pada Miranda.Miranda mengangguk pasti.Hingga Tante Aini bertanya tentang Melati.Saat itu aku mulai tegang.“Kau pasti sudah tahu kan, bahwa Bian juga memiliki istri lainnya yang baru dinikahi secara siri?”“Tante?” selaku cepat.Miranda sangat sensitif kalau membahas tentang Melati. Biar aku saja yang menyelesaikan masalah ini secara pribadi tak perlu Tante Aini ikut campur.Aku sudah bertekad setelah semua beres, aku akan lanjut menceraikan Miranda.Kedengarannya kejam dan hanya memanfaatkannya saja. Tapi akan kuberitahu Miranda baik-baik, bahwa aku tidak lagi mencintainya.Percuma dipaksakan kalau kenyataannya Melatilah yang sudah menguasai hatiku. “Bian, ini harus ditegaskan sekarang. Mumpung Miranda memang bertekad berubah.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status