“Mel, pakde akan langsung ke Surabaya, ada kerjaan. Ibu dan budemu sudah pulang tadi di antar orang Pak Bian. Jangan bikin malu pakde, Mel. Ingat status dan tugasmu.”
Pakdeku berpamitan sore itu dan membekaliku dengan tujuan kenapa aku ada di sini.
Aku hanya mengangguk. Hendak bertanya kenapa ibu tidak menungguku siuman dari pingsan baru kemudian pulang tapi tidak jadi.
Seolah tahu isi kepalaku, pakde langsung menjelaskan, “Ibu dan budemu langsung pulang karena takut kamu merajuk ikut pulang. Jadi lebih baik mereka pulang sebelum kau siuman.”
Tega sekali mereka padaku...
“Dan satu lagi, asisten Pak Fabian sudah menyampaikan bahwa sisa pembayaran akan di lunasi bertahap melihat bagaimana sikapmu terhadapnya. Jadi kalau kamu tidak koperatif, kita tidak akan mendapat uang dengan mudah. Jangan merugikan dirimu sendiri.”
Kalau membahas masalah uang dalam tujuan pernikahan ini, rasanya aku sungguh berdosa pada diriku sendiri. Apalagi pakde mengatakannya seolah ini sebuah konspirasi hanya untuk mengunduh uang dengan mengorbankan tubuhku.
“Tolong diingatkan ibu, uangnya dipergunakan dengan baik, Pakde. Buat modal usaha. Jangan dibuat yang tidak perlu. Pakde tahu sendiri, nasibku ke depan seperti apa masih belum tahu.”
Kuharap kakak ibuku itu juga berbijaksana. Aku sudah mempercayakan transferan uangnya ke rekeningnya saja. Karena selama ini aku mana ada rekening.
“Beres itu. Jangan pikirkan masalah itu. Yang penting kamu baik-baik di sini, Mel. Nurut dan patuh. Karena kalau Pak Fabian sampai memulangkanmu, semua uang yang diberikannya akan diambil balik.”
“Ibumu sudah menggunakan sebagian uangnya untuk menutupi utang-utangnya. Jadi mau kembalikan dari mana uangnya kalau sampai Pak Fabian minta balik?” tambahnya.
“Iya, Pakde,” tukasku paham.
Namun, Pakde bukannya membuatku bisa lebih santai menjalani pernikahan yang tiba-tiba ini, justru saat ini aku serba salah dan gelisah. Ada ketakutan tersendiri kalau saja semua tidak sesuai harapan.
Sebenarnya masih ada yang harus aku pertanyakan pada pakdeku itu, tapi di ujung sana seseorang memanggilnya agar segera datang. Dia pria yang kukira yang akan menikahiku.
Tiba-tiba aku menjadi malu karena sempat-sempatnya mengira pria itu yang menikahiku.
“Kenapa masih bengong di sini?” suara itu mengejutkanku.
Kapan dia datang? Begitu saja sudah ada di sampingku tanpa aku tahu bayangannya.
“Eng, i-itu, pakde tadi hanya pamit.” Kujawab pertanyaannya.
“Kau sedih karena bukan pria gendut dan berkumis seperti Pak Raden itu yang menikahimu?” ujar pria itu. Sangat jelas meledekku walau nada suaranya sedatar mungkin.
Aku tidak akan menjawab. Dengan siapa aku menikah, toh tidak ada bedanya. Disini aku hanya dibutuhkan untuk menghangatkan ranjang. Bukan untuk menjadi seorang istri yang sesungguhnya.
Sejenak kami hanya berdiri menatap teras dengan pemandangan gunung yang menjulang tinggi di hadapan mata. Sampai aku tergoda untuk melirik pria ini—yang ternyata juga sedang menatapku.
Tatapan kami tertaut sejenak karena aku langsung menariknya sehalus mungkin agar tidak terkesan mencuri pandang.
“Masuklah, temani aku makan malam!” ujar pria itu langsung beranjak masuk meningalkanku.
Aku pun beranjak masuk mengikutinya. Dia sudah duduk di meja makan dan aku baru menyusul duduk di seberang meja berhadapan dengannya.
Butuh waktu lama untuk mengunyah makananku agar bisa tertelan di kerongkonganku. Aku gugup karena hari semakin malam dan pria ini pasti menagih haknya.
‘Ya Allah, apa aku bisa melayaninya dengan baik agar pria ini juga memperlakukanku dengan baik?’
“Melati?” suara itu terdengar. Aku baru mendongak dan melihatnya sudah mengusap sudut bibirnya dengan tisu.
“I-iya, Pak?” tukasku gelagapan. Apalagi masih ada sisa makanan di mulutku.
"Hhg, selesaikan makanmu dulu!" ujarnya baru tahu aku masih makan.
Dengan cepat kutelan sisa makanan di mulutku dan mengahiri dengan meminum air putih.
"Baik, Pak? Saya sudah selesai."
“Pak?” tukasnya sembari mengernyitkan dahi. “Aku menikahimu, kau bukan pelayan atau pegawaiku hingga harus memanggil, Pak.”
Dia menikahiku juga agar bisa melayaninya di ranjang. Sama juga aku ini adalah pelayannya, kan? Batinku.
“Panggil saja aku Mas atau nama saja,” tambahnya.
“Baik,” ujarku. Mana mungkin aku menolak perintahnya.
“Berapa usiamu sekarang?” tanya Fabian. Tatapannya hangat membuatku mulai tampak rileks setelah sepanjang makan tadi sedikit gugup.
“25 tahun, Mas,” jawabku mempertahankan kepala yang tertunduk.
“Jangan terus menunduk. Tatap aku kalau bicara!” Fabian tidak nyaman sejak tadi aku lebih banyak menunduk.
Diingatkan hal itu, aku baru mengangkat wajahku dan menatapnya. Ada senyum samar terlihat di wajahnya saat pria itu menatapku.
“Kau keponakannya Pak Rahmat yang pernah mengantar susu di rumahku waktu itu?”
Aku menatap Bian dengan pupil sedikit melebar. Baru tahu kalau pria ini sudah pernah melihatku sebelumnya.
“Rumah Anda?” tanyaku.
Oh. Aku baru ingat, pernah dengar kalau majikan pakde ini ternyata orang tuanya asli dari kampung kami. Karena itulah pakde bisa ikut kerja dengannya. Kalau tidak salah itu rumah Pak Damar. Yang sering pesan susu di warungnya ibu.
“Tahu kenapa aku menikahimu?” kembali Bian bertanya. Tak membahas tentang pertemuan kami.
Sembari mengangguk pelan aku menjawab singkat, “Ya.”
“Katakan untuk apa?” desaknya lebih pada sebuah penandasan agar aku paham tugasku.
“Untuk bisa melayani Mas Bian, karena istri Anda...”
“Cukup!” Bian memotong ucapanku. Dia pasti tidak ingin mendengar istrinya disinggung.
Lagipula aku kadang-kadang masih terlalu jujur untuk mengatakan apa adanya yang kuketahui.
“Bagus kalau sudah tahu tugasmu. Tunggulah aku di kamar!”
🌹🌹🌹
Bersambung...
~POV Fabian~ “Mas Bian tumben lama di kampung halaman?” tanya Kino, sepupu Miranda yang ikut membantuku mengurus perusahaan.“Ada peluang bisnis yang harus ku observasi di sana,” jawabku santai. Pria ini mata-mata mertuaku. Aku tidak mau salah bersikap yang membuatnya curiga hingga harus mengadu yang tidak-tidak.“Apa itu, Mas?” Kino kepo ingin tahu peluang bisnis apa yang kumaksudkan.“Ada yang menawarkan kerjasama untuk bangun kafe atau vila mengingat daerahku itu pegunungan. Sepertinya daerahnya berpotensi sekali dikunjungi wisatawan untuk berlibur.”“Kalau untuk urusan bisnis, Mas Bian memang sudah jagonya. Percaya deh...” tukas Kino manggut-manggut seolah jaksa yang sudah bisa menerima alasanku.Aku tidak terlalu mengurusi pria itu. Karena sudah ad
Aku sampai menjatuhkan ponselku karena saking terkejutnya Bian tiba-tiba saja sudah ada di kamar.Apakah pria ini mendengar pembicaraanku dengan ibuku tadi? Bisa malu aku kalau dia tahu seperti apa ibuku itu.“Hei, telponmu jatuh.” Bian dengan cepat mengambil ponselku.Sejenak Bian memperhatikan benda itu lalu menatapku dengan sedikit kasihan. Pasti karena melihat ponselku yang murahan itu dengan layar kaca yang sudah retak .“Uangmu cukup kan untuk beli ponsel baru?” Bian menyodorkan benda itu padaku. dia pasti berpikir bahwa uag 500 juta yang sudah ditransfernya lebih dari cukup sekedar membeli sebuah ponsel baru.“Eng, tidak apa, ini masih bisa digunakan juga kan?” ujarku meraih benda itu sembari tersenyum.“Kau tidak terima uangnya?” Bian nampak curiga. Aku jadi bingung. Bagaimana kalau nan
Ponsel berdering dan Bian langsung mengangkatnya. Sepertinya dari anak buahnya.“Pomo sudah datang, kau mau balik sekarang?” tanya Bian padaku.Aku mengangguk.Hujan sudah reda, kami segera masuk ke dalam mobil jeep yang dibawa Pomo. Baru kulihat beberapa pengunjung mulai berdatangan dan memasuki area yang menuju air terjun.Pura-pura tidak paham, aku bertanya, “ Kok baru rame ya, Mas? Tadi pas kita ke air terjun, sepi sekali?”Bian hanya menjawab tanpa menoleh, “Mungkin baru datang. Tadi kan mendung dan hujan.”Aku hanya tersenyum kecil tapi tak akan mengusiknya lagi untuk mengakui kenapa tadi tempat itu ditutup. Yang ku kenang keintiman kami di bawah air terjun itu. Mendebarkan sekaligus menyenangkan.Ternyata semua tidak seperti yang kubayangkan saat menerima perjodoha
“Bisa-bisanya kau tidak membawa baju ganti?” Bian menyelimutkan handuk tebal ke tubuhku. Untung masih ada penjual pakaian dan handuk di bawah tangga yang menuju air terjun. Jadi kami bisa berganti baju seadanya.Sadar ternyata ada orang yang tak jauh dari tempat kami melakukan kegiatan panas tadi, aku jadi serba salah sendiri. Berharap dia tidak mengetahui kegiatan mesum kami di bawah air terjun itu.Oh, memalukan sekali kalau sampai ada yang mengintip kami. Hatiku merutuk, Bian yang tampak dingin dan tidak terlalu jelatatan itu ternyata menyimpan fantasi yang gila. Sampai-sampai menggarapku di tempat terbuka begini. “Aku tidak bawa ganti karena tidak mengira kalau kita ... “ tak kulanjutkan ucapanku karena Bian pasti paham.“Ya, aku juga tidak ada niat begituan. Tapi kalau sudah kepengen gimana? Apalagi kau cantik sekali, Mel,” tukas Bian tak pelit memuji. Pipiku selalu merona mendapat pujiannya. Dia juga mulai terlihat bersikap hangat padaku. lebih-lebih lengannya merangkul p
“Ma-maaf. Saya kurang memperhatikan.” Dini menunduk ketika melihat kami langsung memisahkan diri saat sesi berciuman tadi.Kulihat Bian sedikit kesal ada yang mengganggu kebersamaan kami.“Saya tidak akan mengganggu Pak Bian dan ibu. Permisi...”Dini menarik diri. Namun Bian memanggilnya kembali.“Ada apa?” tanyanya tak mau memperpanjang masalah.“Paman Pomo menyampaikan ada panggilan penting dari Surabaya, Pak. Pak Bian mau menemui Paman Pomo atau memintanya ke atas?”Bian tak menyahut. Dia hanya bangkit dan berlalu tanpa kata. Pasti menemui pria kepercayaannya itu.Dini tak langsung pergi. Tapi menanyaiku apakah aku membutuhkan sesuatu.Jiwa melayani wanita ini sungguh tinggi. Aku yang biasanya di rumah apa-apa sendiri bahkan melayani ibu dan adikku, terkadang merasa sungguh tidak enak.
Aku tak menjawab. Mau bilang takut tentu aku tidak berani. Padahal sebenarnya aku memang takut.Takut diperkosanya seperti semalam.“Sebenarnya, bagian yang itu masih terasa sakit. Semalam Mas Bian kasar sekali padaku!” kukatakan dengan jujur agar dia memaklumi reaksi tubuhku.Fabian tertegun sejenak seperti sebuah rasa bersalah. baru dia berkata,“Aku minta maaf untuk itu. Aku janji, setelah ini akan bermain dengan lembut.”Karena menyangsikan ucapannya, aku reflek meliriknya sesaat. Semalam dia begitu ganas dan hampir membuatku dedel duel. Lalu apa bisa dia bermain dengan lembut?Hanya saja aku terkejut karena mendengar sendiri pria ini tidak gengsi meminta maaf.Sementara mengetahui ekspresi yang kurang percaya dariku, Bian menggelengkan kepalanya. “Jangan perhitungan untuk ya