Beberapa hari sudah mulai anteng kembali, tanpa sengaja Soraya mengatakan padaku, “Miranda sudah sehat, jangan jajan lagi. Awas kalau kau tularin penyakit kelamin pada Miranda”Dia tidak menduga bahwa Miranda mendengar ucapannya. Tentu saja dia salah paham lagi denganku.“Jajan apa, Ma?” tanyanya membuat mertuaku itu juga terkejut melihatnya datang.“Oh, Kau habis olahraga di samping, ya?” Soraya gelagapan.“Mama kenapa bilang begitu pada Bian? Apa ada yang bisa menjelaskan padaku?” Miranda sudah mulai berpikiran lebih.“Bukan apa-apa, sayang. Mama hanya sekedar mengobrol tadi. Apa mau aku temani sarapan dan minum obatnya?” tukasku bangkit dan membujuknya untuk masuk.Soraya langsung pergi agar terhindar dari pertanyaan putrinya. Aku yang meliriknya hanya menggeleng sebal, bisa-bisanya dia memulai masalah tapi tidak menyelesaikannya.“Aku tidak mau minum obatnya sebelum kau menjelaskan apa maksud mama kau suka jajan itu? Kau main perempuan, Bian? Main sama pelacur? Astaga, menj
“Kau berani macam-macam, Bian?” Soraya menatapku tajam. “ Aku bisa saja membuangmu seperti sampah sekarang juga. Karena semua aset itu sudah kupindah namakan atas nama Miranda.”Aku terkejut mendengarnya.Ternyata wanita ini sudah bertindak lebih cepat dari dugaanku. Padahal dalam diamku aku juga berusaha memikirkan bagaimana mengatasinya.Namun sepertinya aku harus berpikir dengan tenang dulu. Tidak boleh terlalu gegabah.“Kau pasti sudah menikah lagi diam-diam di kampungmu itu karena itu kau sering bolak balik Surabaya Magetan. Jadi, jangan salahkan aku kalau aku hanya ingin melindungi putriku dan seluruh yang menjadi haknya. Karena kau bisa seperti ini atas dukungan kami. Kau bukan apa-apa tanpa kami, Bian!”Aku hanya tertegun menatap Soraya yang mencercaku. Kubiarkan wanita itu berkata semaunya. Sampai dia mulai tenang aku baru membuka suaraku.“Jangan mengarang tentang itu, Ma. Dari mana juga mama bisa seyakin itu kalau aku menikah lagi?” kupancing pertanyaan itu untuk mem
~ Pov Fabian ~“Apa ini, Bian?!”Seketika Miranda menatapku dengan membelalak melihat noktah merah di leherku.Aku langsung berjingkat dari hadapannya dan memeriksanya di depan cermin.‘Astaga! Bagaimana aku seceroboh ini?’ runtukku dalam hati, sementara kulihat dari pantulan bayangan di cermin, Miranda yang duduk di kursi rodanya tampak sangat marah.“Kau selingkuh, Bian?” teriaknya yang sudah terlihat emosi.“No, tidak, Mir! Tenanglah,” ujarku kembali padanya.“Jangan membohongiku. Itu kiss mark, Bian. Kau pasti berselingkuh!” Miranda terlihat kesal dan menolakku. Dia juga tak mau kusentuh.“Aku baru dari Banyuwangi, Sayang. Sedikit masuk angin. Ini bekas kerokan.” Aku mencari-cari alasan.
“Miranda?” gumam Bian yang langsung mengambil benda pipih itu sembari memperhatikan layarnya.Pria itu segera membuat jarak dengan tubuhku agar bisa mengambil langkah menjauh untuk mengangkat panggilan istrinya itu.Aku menghela. Bian langsung bersikap dingin padaku hanya karena panggilan itu. Rasa terabaikan mulai mengusik perasaanku.Namun aku masih berusaha mengendalikan hatiku. Sangat tidak bijak mencemburui istri sah Bian yang mungkin lebih dihormatinya dari sekedar diriku yang hanya istri cadangan sebagai pemuas hasratnya saja.Aku memungut bajuku yang terserak di lantai dan segera memakainya lagi. Saat hendak balik ke kamar masih sempat kudengar obrolan Bian bersama istrinya itu.“Iya, ini juga aku akan pulang. Turuti perawatmu. Tidak usah menungguku pulang untuk makan agar kau bisa meminum obatmu.”Kata-kata yang penuh perhatian itu membuatku mulai merasa cemburu. Bian sangat perhatian dan cinta pada istrinya itu.“Mel?” panggil Bian menggugah lamunanku. Pria itu menghampiri
Aku memutuskan langsung balik saja karena tidak mau sampai keduluan Bian datang dan harus menungguku. Aku dan temanku itu sudah bertukar kontak sebelum kami berpisah. Jadi biar nanti kami bisa lanjut mengobrol via ponsel saja.Untungnya saat tiba di rumah, Bian bilang masih diperjalanan. Aku jadi punya sedikit waktu untuk mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Tidak mau saja waktu bertemu kami yang tidak lama membuat Bian merasa sama sekali tidak memiliki sebuah kesan. Lagi pula aku sedang sangat merindukannya sejak kemarin.Begitu kudengar suara mobil masuk ke halaman rumah, aku mengintip dari jendela. Itu mobil Bian. Hatiku senang sekali. Jantungku berdegup kencang sudah macam remaja yang akan bertemu pujaan hatinya. Hanya saja sebelum masuk tadi, kulihat Dini dan Andik mengobrol dengannya. Dan setelah itu mereka berdua malah keluar dari halaman dengan mobil.“Mas Bian?” sapaku menuruni anak tangga sedikit tergesa untuk menyambutnya yang baru menutup pintu rumah.Bian tersenyum
Bian tersenyum dan merengkuh tubuh polosku dalam pelukannya setelah olahraga di atas ranjang yang menggelora itu. Tanpa sebuah kata yang terucap dia hanya mengecup puncak kepalaku.Mungkin dia tidak bisa menjanjikan apapun padaku. Posisinya pasti serba sulit. Karenanya aku mencoba untuk memahaminya.“Tetaplah manis dan patuh. Tidak perlu mencoba mengirim pesan atau menelponku. Tunggu saja kedatanganku. Oke?” ujar Bian membingkai wajahku saat dia pamit pagi itu.Aku mengangguk. Kudengarkan saja apa yang dia perintahkan. Tidak mau kehilangan sedikit perhatiannya yang kini terbagi dengan istri pertamanya hanya karena aku tidak patuh pada perintahnya.“Tapi Mas Bian akan sering datang, kan?” tanyaku sedikit manja.Bian pun tak memberi sebuah kepastian. Hanya mencium bibirku dan tersenyum tipis. Mengusap rambut kepalaku dan segera pergi tanpa menjawabnya.Kupandangi mobilnya menjauh dengan dada yang sesak. Namun segera teralihkan karena Dini menggugahnya.“Bu, kita jadi keluar hari in