"Aku mencintaimu, Mel!” Kata cinta yang terucap itu kembali membuatku terlena. Aku juga mencintai Bian, bahkan mungkin lebih besar dari cinta pria ini sendiri. Tapi tentang rumitnya hubungan ini selalunya membuatku tak bisa ugal-ugalam mengekspresikannnya. “Sebenarnya aku juga mencintai Mas Bian.” Kusampaikan itu untuk membalas ucapan cintanya. Bian yang berbaring di samping sembari mengendus leherku menghentikan gerakannya. “Sebenarnya?” tanyanya heran kenapa aku harus memberi embel-embel kata sebenarnya untuk mengungkapkan kata cinta. Aku membalikan tubuh agar bisa berhadapan dengannya. Kubelai rambutnya dan mencium bibirnya lembut sebelum menyinggung tentang ketidak pastian ini. Aku hanya tidak mau suasana intim dan romantis yang baru saja tercipta kembali mendingin lagi. “Mas juga tahu bagaimana hubungan kita, jadi aku membatasi perasaanku saja. Menyiapkan mentalku bilamana suatu saat kau meninggalkanku untuk Miranda.” Bian tertegun menatapku, menyelami pikiranku
~ POV Melati ~[Jangan bodoh, Mel!]Kubaca pesan dari Elis setelah kusampaikan saat ini aku memtuskan kembali bersama Bian.Elis sepertinya tidak sepakat jika aku terus membiarkan Bian seenaknya sendiri dengan hidupku.Tapi dia tentu tidak tahu, bahwa aku tunduk karena diskak atas bagaimana dulunya kami menikah.Lagi pula, tawaran dari Bian yang akan mendukungku bekerja sendiri bukanlah ide yang buruk. Dengan bisa menghasilkan uang sendiri, tentu aku akan lebih punya integritas dan harga diri. Tidak selalunya bergantung pada orang lain.Kelak, kalaupun Bian mengambil sikap untuk lebih memilih istrinya itu, setidaknya aku sudah punya pegangan hidup sendiri. Tidak lagi terombang-ambing dengan keadaan.Tidak masalah juga kan aku sedikit memanfaatkan keadaan ini? [By the way, aku butuh bantuanmu ya, El. Aku tadi udah dikenalin temannya buat join usaha. Kita butuh banyak mitra]Aku tak menanggapi kekesalan Elis karena saat ini sedang bersemangat untuk membayangkan tak sabar langsung membu
“Kita bicara dulu!”Kutarik lengannya karena Melati langsung beranjak pergi saat menyadari ini aku.Dia menolakku dan mencoba menarik tangannya namun enggan mengatakan sepatah katapun. Aku sengaja tidak mau melepasnya.“Aku tidak melepaskanmu kalau kau tidak mau ikut!”Masih dia memalingkan mukanya. membuatku jadi gemas dan berusaha memeluknya. baru dia bersuara dengan sebal, "Lepasin. Mas!" Teman Melati terlihat mengawasi dari dalam tokonya, lalu kulihat dia beranjak menghampiri kami.Kukira dia memarahiku, ternyata malah memberi saran yang baik pada Melati agar menyempatkan waktu berbicara denganku.“Kau memang harus menyelesaikan masalahmu dulu, Mel. Lagi pula, tidak malu kalian bertengkar di depan toko? Banyak lalu lalang orang lewat, lho!”Wanita itu mengambil barang yang dipegang Melati dan mendorongnya padaku. Lalu berbalik badan meninggalkan kami.Kulihat melati kecewa sekali pada temannya itu.Tak kusia-siakan kesempatan saat Melati bersedia keluar bersamaku. Kupesan grab
“Setelah ini kau pasti berubah sikap, Mir!” kuingatkan kebiasaannya itu.Lagi pula, aku benar-benar sudah tidak mempermasalahkan lagi kalauapun dia mau bercerai dariku.“Tidak, Bian. Aku mencintaimu!” Miranda langsung menghambur kepelukanku dan tersedu di dadaku.“Aku terlalu mencintaimu dan selalu mudah terbakar cemburu kalau mendengarmu bersama wanita lain. Pomo sudah menjelaskan bahwa pesan itu sebenarnya ditujukan padanya, bukan untukmu.”Sebenarnya aku menyayangkan sikap Pomo yang tidak sejalan dengan apa yang sekarang kupikirkan. detik ini aku tidak masalah kalaupun Miranda tahu yang sebenarnya. Walau begitu, melihatnya yang menangis-nangis dan meminta maaf, aku tetap saja tidak tega.Akan terlihat kejam sekali kalau aku langsung mendepaknya demi bisa bebas menjalin hubungan bersama Melati.“Sudah jangan menangis. Kalau menangis, bagaimana kita bisa bicara dengan baik?” aku mengusap punggungnya dengan lembut. Beberapa saat kemudian Miranda mulai tenang.Kuseduhkan teh hangat un
Aku suntuk sekali , dan saat seperti ini aku ingat selalunya ada melati yang bisa mengusirnya.Karenanya aku langsung mendatangi rumah teman Melati seperti alamat yang ditunjukkan pomo kepadaku.Sayangnya aku tidak bisa menemui Melati. Kata temannya melati sejak datang sedih dan murung. Dia tidak tega mengusiknya yang sedang merenung di kamar“Aku tunggu di luar, Mbak,” ujarku yang mencoba tak menyerah hanya karena Melati tak mau menemuiku.Tapi hingga malam menjelang dan aku sudah dua kali bolak balik ke rumah itu, teman Melati masih mengatakan Melati tidak mau diganggu.“Mengganggu? Aku enggak ganggu, lho. Aku menjemputnya!” tukasku mulai terpancing emosi dengan sikapnya.“Maaf, Mas. Tapi saya hanya menyampaikan. Jangan marah-marah pada saya, dong!” Teman Melati tak suka dengan reaksiku.“Lebih baik, Mas balik, ya. Karena takut warga di lingkungan ini menggerebek Mas. Soalnya di rumah ini tidak ada cowok. Bisa salah paham warga sini.”Aku menghela, lalu terpaksa berlalu.Sekarang j
“Kau mau cerai dari Miranda?” Soraya menatapku dengan tak percaya bahwa aku berani mengatakan itu.“Begini ya kelakuanmu pada putriku? Setelah apa yang dilakukannya padamu, Bian. Dan setelah apa yang kau lakukan padanya?!” “Nyonya, mohon, Pak Bian sedang banyak tekanan, lebih baik jangan diteruskan karena apa yang keluar saat dalam tekanan tidaklah murni apa yang diinginkan.” Pomo lagi-lagi mencoba menengahi kami.Namun aku sudah kesal dengan semuanya. Jadi kutingalkan kamar Pomo dan keluar tanpa peduli pada Soraya lagi.Aku malu! Kalau saja pertengakaran ini sampai bocor ke telinga orang lain apalagi sesama pelaku bisnis, bisa saja mereka gunakan ini untuk kesempatan memanfaatkan keadaan untuk menjatuhkanku.Tapi saat ini aku sudah tak peduli. Rasanya ingin menghilang saja sementara waktu…Kudatangi kamar Melati yang kata Pomo sudah keluar sejak tadi pagi, jadi aku punya tempat untuk mengurung diri dari mereka yang tak pernah berhenti membuatku kesal.Tak tahunya aku malah tertidur