“Jangan ngaco!” suara Bian terdengar kesal di sela teriakan Miranda yang menyuruh orang mendobrak pintu.
“Keluar kalian! Ini urusan keluargaku!” bentak Bian.
Aku juga tidak tahu bagaimana situasi di luar sana. Yang harus aku pikirkan sekarang bagaimana bisa bersembunyi atau keluar dari tempat ini.
“Bian kau sudah terciduk! Aku meminta orang untuk mengawasi apartemen ini. Dia bilang beberapa kali melihat wanita keluar masuk apartemen ini. Dan tadi, dia melapor kalau kau datang menggendong seorang wanita masuk ke apartemen ini.” Soraya tak kalah meneriaki Bian. Dari nada suaranya dia juga terdengar sangat marah.
“Kau biadab Bian!” Miranda meraung. “Suami macam apa kau ini? Tega-teganya kau menduakanku selama ini!”
“Mir, kau mau mendengarku atau lebih mendengar mamamu?” Bian memberi p
Pomo memberitahuku melalui pesan bahwa Bian akan datang sore ini. Aku senang sekali membaca pesan itu dan sesegera mungkin menyiapkan diri. Hanya saja bayangan tentang malam di mana dua wanita itu menggedor-gedor pintu kamar ingin merujakku, kembali merusak suasana hatiku. Aku masih sebal dan sakit hati teringat kejadian di mana aku sampai nekat melompat ke balkon apartemen tetangga. Ingat pesan Elis bahwa aku juga harus mulai tegas, jadi nanti aku akan mengatur sikapku agar Bian tidak selalu seenak hatinya padaku. Bisa kuatur itu, Apalagi, aku tahu apa kelemahan Bian kalau sedang bersamaku. “Kak Melati masih di kamar, Mas. Mau dipanggilkan atau Mas ke kamar Kak Melati sendiri?” Itu suara Iqdam. Di depan orang dia biasanya masih memanggilku kakak. Aku senang, setidaknya dia masih bisa menempatkan diri dan menjaga etika di depan orang. tok tok tokMendengar suara pintu terketuk. Aku sengaja berbaring di ranjang. Tadinya mau meraih selimut agar kesan sakitku le
"Punya hati tidak sih wanita itu? Di depan Om kamu yang sakit masih sempatnya bilang katanya ini karma karena kita udah diam-diam nikahin kamu sama Bian."Mendengar curhatan dari Tante Aini, aku ikut gregetan sama Soraya. Bisa-bisanya nenek sihir itu masih sempat menghina-hina Om Damar saat kondisinya begitu."Mas Bian gimana, Tante? Apa dia tidak marah mendengar Soraya berkata seperti itu?" tanyaku. Apa iya pria itu juga hanya diam saja saat Om-nya dibegitukan oleh Soraya?Kalau pas sehat sih tidak masalah juga. Om Damar pasti hanya mendengarkannya saja. Karena sejatinya dia juga tahu hal apa yang membuat Bian harus menikah lagi. Lha ini sedang sakit, struk, baru keluar dari rumah sakit, tidak punya etika sekali nenek sihir itu mencecar Om Damar. "Bian kebetulan tidak ada, mungkin mengurusi sesuatu di luar. Soraya juga bilang belum mau ketemu Bian dulu pasca hubungan kalian diketahui." Eh, sebentar! Apa ini berarti Soraya juga sudah tahu bahwa wanita yang diam-diam dinikahi Bi
“Mel, ayo masuk!” Elis menggugahku.Kulihat Miranda dan pria itu malah memilih tempat untuk duduk berdua, jadi mending aku dan Elis masuk saja agar wanita itu tidak menyadari keberadaanku.“Ma, ini kakaknya Dicky temanku.” Sila, teman Dicky mengenalkanku pada mamanya.Kami menyalami dan mengungkapkan rasa bela sungkawa padanya.“Terima kasih sudah datang melayat kakak saya. Minta doanya untuk kakak saya, ya? Dia sakit lama saat di Semarang, baru saya bawa ke Batu sebulan ini. Siapa sangka ternyata secepat ini beliau meninggal,” ujar Mama Sila sembari masih sesenggukan.Tidak berlama-lama, setelah sedikit berbasa-basi, kamipun pamit pulang. Tapi Elis bilang mau numpang ke belakang. Sembari menunggunya kugunakan kesempatan untuk bertanya pada Sila.“Sila, itu kakak kamu?” tanyaku menunjuk pria yang masih duduk di teras bersama Miranda.“Oh, itu Kak Rendy sepupuku. Dia juga baru datang semalam pas mamanya pengen dia datang. Sejak tanteku pindah ke Batu dan di rawat mamaku, engak perna
~ POV Melati ~“Udah kamu istirahat saja. Biar kita yang handle kerjaan!” Elis yang melihatku keluar kamar bangkit dan memintaku kembali.“Suntuk, El. Gak apa, aku bisa kok sambil bantu-bantu,” ujarku menolaknya.Kulihat ada gadis cantik yang saat ini sedang live mempromosikan produk yang dijual di tokoku. Aku tidak pernah melihatnya sebelum ini.“Siapa, El?” tanyaku melihat gadis itu.“Temannya Dicky. Neni tidak datang. Jadi aku tawarin mau enggak dia ikutan live jualan. Eh, udah suhu juga dia.”“Ya sudah aku duduk di teras saja, suntuk kalau di kamar terus,” ujarku melangkah ke teras. Tak lupa membawa tablet sekedar melihat grafik penjualan tokoku.Elis datang membawakan jahe hangat.“Beneran kamu enggak sakit apa-apa?” tayanya yang ikut duduk di dekatku.Aku hanya mengangguk.Kemarin Iqdam memanggilkan mantri yang tidak jauh dari perumahanku. Mantri itu bilang aku hanya kena asam lambung karena terlalu kecapaian dan sering telat makan. “Tapi aku enggak percaya deh, Mel, kalau kam
Setelah dokter menyampaikan bahwa kondisi Om Damar sudah stabil, kuminta tante dan dua sepupuku itu beristirahat di rumah saja, sementara aku yang jaga Om Damar.Tante Aini sempat menolak, tapi kondisinya juga sedang demam karena semalam dan seharian tadi dia tidak bisa makan apapun memikirkan suaminya itu. Untung kedua putrinya bisa membujuknya.Saat kutemui dokter untuk menanyakan kapan Om Damar bisa dipindah ke kamar perawatan intensif karena kondisinya sudah membaik, dokter menyampaikan dua kabar baik dan buruk sekaligus.Kabar baiknya Om Damar bisa pindah besok pagi, dan kabar buruknya Om Damar mengalami struk yang membuat setengah bagian tubuhnya tidak berfungsi.“Lama tidak penyembuhannya, Dok?” tanyaku. Aku tentu berharap penyakit Om Damar bisa lekas sembuh. Dia punya banyak tanggung jawab yang diembannya.“Tergantung pasien juga, kalau rajin terapi, pola hidup sehat, bisa cepat sembuhnya. Yang paling penting lagi, jangan dibebani banyak pikiran. Buat senang dan terhibur saja.
“Kenapa Om Damar, Tante?” tanyaku cemas mendengar suara Tante Aini yang serak seperti habis menangis.Padahal niatku menelpon Om Damar untuk curhat dan meminta waktunya membahas masalahku. Tak tahunya yang mengangkat malah Tante Aini dengan terisak.“Semalam Om kamu jatuh di kamar mandi, tidak mau dibawa ke rumah sakit, minta panggilkan tukang pijit saja, eh sekarang tubuhnya separuh ga bisa digerakkan.”Ya Allah, apa lagi ini? Batinku namun kucoba tetap tenang agar Tante Aini juga bisa tenang.“Sekarang bawa saja ke rumah sakit, Tante. Ada Ringgo dan Agus kan yang bisa bawa. Atau panggil ambulan saja,” saranku.“Sudah di rumah sakit sekarang, Bian. Tapi ini masih di UGD. Dokter bilang Om kamu mengalami struk.”Mendengar itu, aku lemas. Satu-satunya orang yang selama ini kuanggap orang tua, adik almarhum ayahku, yang biasanya selalu memberikan petuah dan solusi di setiap masalahku, sekarang malah struk.Kalau begini apa iya aku tega membuatnya masih repot ikut memikirkan masalahku?Ju