Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.
Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.
Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.
Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.
Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.
Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’
Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negara ini membuat sosial media bukan tempat melarikan diri yang cocok untuk Kiara.
Kiara tidak ingin melihat tapi dia tidak mampu menahan rasa penasarannya, dia membuka instagrm gadis itu dan menemukan satu postingan baru di sana.
Kiara dan Brama duduk bersebelahan dengan makanan di depan mereka. Caption singkat di bawahnya membuat hati Rinjani kembali terasa perih.
‘Mine’
Di bawah postingan itu sangat banyak komentar yang mendukung hubungan dua orang itu.
Ya, Brama adalah milik orang lain, bukan miliknya. Sekarang, dunia juga tahu akan hal itu. Tidak ada tempat lagi untuknya berdiri di sebelah Brama sebagai kekasih.
***
Hati boleh hancur, tapi kewajibannya harus tetap dijalankan. Tidak peduli seremuk apa dia, Rinjani tetap berangkat ke kantor hari ini.
Meski kantornya juga masih dipenuhi gosip tentang Brama dan meski dia harus bertemu Brama di kantor tapi pekerjaan adalah pekerjaan. Dia punya tanggung jawab yang harus dia selesaikan.
“Rin, kamu dipanggil Pak Brama ke ruangannya.”
Rinjani terdiam sejenak, lalu langsung berdiri. “Oke.” Dengan langkah tegar dia memasuki ruang Brama.
“Bapak manggil saya?” tanyanya sopan.
Brama mengerutkan kening mendengar nada asing itu.
“Mau makan siang di mana?”
Rinjani mengerutkan keningnya. “Maaf, Pak. Saya banyak kerjaan hari ini jadi saya nggak bisa keluar makan siang.”
Jabatannya sebagai sekretaris Brama membuatnya leluasa berjalan di sisi pria itu tanpa ada gosip miring tentang mereka.
Sikap datar Brama di depan semua karyawan membuat tidak ada yang curiga kalau mereka memiliki hubungan spesial.
“Kerjaan apa? Aku tahu semua pekerjaanmu Rinjani.” Brama menghela napas gusar. “Kesabaranku ada batasnya!”
Rinjani tersenyum getir. Untuk Brama, dia sudah bersikap sangat sabar ke Rinjani, tawaran makan siang itu adalah bentuk ajakan berdamai dari pria itu. Dan Rinjani menjadi seseorang yang tidak tahu terima kasih saat dia menolak.
Di dalam logika Brama, Rinjani tidak berhak marah dan menolak. Mata Rinjani terbuka saat itu. Ini bukan hubungan antar kekasih.
Brama selalu memperlakukannya bagai karyawan, bawahan yang harus menuruti segala perintahhnya, bahkan di hubungan pribadi mereka.
“Seluruh Indonesia sekarang tahu kalau kamu adalah kekasih Kiara. Kalau sampai ada yang melihatmu makan di luar dengan perempuan lain, entah apa yang akan terjadi.”
Brama terdiam mendengar itu. “Apa maksudmu?”
“Kamu nggak tahu?” Rinjani menatap Brama beberapa detik memastikan pria itu betul-betul tidak tahu. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan postingan viral itu.
“Ada baiknya kamu menjaga jarak dengan perempuan lain di saat seperti ini. Kiara itu sangat terkenal. Sekarang, kamu adalah bagian dari itu semua. Mereka akan sangat penasaran siapa yang menjadi kekasih seorang Kiara.”
Hanya satu hari dan Rinjani sudah bisa berbicara dengan nada tenang seolah dia hanya sekretaris Brama. Seolah hatinya tidak robek dan hancur karena perlakuan pria itu.
Sekian lama menahan perasaannya membuat Rinjani menjadi sangat mahir dalam hal itu.
Brama melihat postingan itu dengan kening berkerut, kemudian dia menelepon Kiara. “Aku perlu bicara, kamu di mana?” tanyanya.
Rinjani lalu keluar dari ruangan itu tanpa suara. Tidak lama, dia melihat Brama keluar dari ruangannya dan tidak kembali lagi sampai jam pulang kerja.
Sepulang kerja, Rinjani tidak ingin pulang ke apartemen itu, akhirnya dia memilih pergi ke tempat di mana dia bisa meluapkan isi hatinya saat ini. Apartemen sahabatnya, Celia.
“Brama sudah gila? Bagaimana dia bisa melakukan ini semua ke kamu?!”
Mendengar Celia sahabatnya mengomel seperti itu, Rinjani tersenyum tipis. Rasanya, untuk pertama kali dia mendengar ada yang mendukungnya.
Sayangnya, senyuman itu lebih tampak bagai ringisan menahan tangis.
“Nggak usah ketawa kalau nggak niat!” Celia kembali marah. “Aku sudah bilang dari dulu, hubungan kalian itu timpang! Kamu terlalu memuja Brama, seakan kamu nggak bisa hidup tanpa dia! Itu bikin Brama seenaknya! Karena dia tahu!”
Celia adalah satu-satunya orang terdekat Rinjani yang tahu tentang hubungannya dengan Brama. Sesuatu yang bahkan tidak berani dia beritahu ke keluarganya sendiri.
Sejak awal, Celia juga sudah sangat menunjukkan rasa tidak setujunya dengan hubungan itu.
Sayangnya, Rinjani tidak pernah mendengarkan.
“Tinggalkan dia, Rin. Cinta juga harus tetap punya moral kan? Aku nggak akan pernah membiarkan kamu jadi selingkuhan Brama!”
Rinjani menundukkan kepalanya. “Aku juga mau pisah, tapi Brama nggak mau.”
“Oh, Brama nggak mau?” Celia mengulangi kalimat itu dengan nada mencemooh. “sudah sampai di sini juga kamu masih mau nurut sama dia?! Rinjani sadar!”
Rinjani hanya bisa diam saja menerima semua amarah Celia. Amarah yang tidak bisa dia luapkan, terasa diwakilkan oleh sahabatnya itu.
“Dia mengancam akan memecat orangtuaku, Cel. Kamu tahu betapa hormatnya oragtuaku ke keluarga Brama. Berkali-kali aku sudah minta mereka keluar saja tapi mereka menolak karena semua rasa hormat dan hutang budi itu!”
“Rin, aku rasa ini mungkin satu cara untuk membuat orangtuamu mau keluar dari rumah itu. Nggak sehat, kalau kamu terus-terusan berada di posisi sekarang ini.”
Kening Rinjani berkerut dalam “Aku tahu! Hanya saja, nggak dengan cara ini. Aku mau mereka keluar karena memang ingin. Aku nggak mau hati mereka hancur karena dipecat di usia sekarang.”
Celia terdiam sejenak. Dia tidak bisa dengan mudah memberikann solusi ke Rinjani karena dia melihat sendiri betapa setianya orangtua Rinjani dengan pekerjaan mereka.
Melayani Brama dan keluarganya seakan sudah menjadi kewajiban yang mendarah daging. Ini satu-satunya cara yang orangtua Rinjani tahu untuk membalas budi baik keluarga Brama kepada mereka.
“Bagaimana kalau mereka tahu, alasan mereka dipecat adalah karena hubunganku dengan Brama? Mereka akan sangat kecewa.”
Celia menjambak rambutnya gusar. Masalah Rinjani malah membuatnya stres sendiri. “Terus, bagaimana rencanamu sekarang?”
Ayah Rinjani akhirnya bicara, “Kami tahu siapa kamu, Brama. Dan kami tahu, kadang seseorang tidak bisa memilih dari keluarga mana dia lahir.”Brama menunduk hormat. “Terima kasih, Om, Tante.” Dia benar-benar kecewa dan frustrasi dengan keadaan ini.Di saat dia kira semuanya berjalan lancar, ada saja halangan yang membuat semuanya kacau.Ibu Rinjani menatap putrinya, lalu Brama, kemudian suaminya. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak satu pun kata keluar. Hanya napas pelan yang ditarik, kemudian dihembuskan perlahan seolah mencoba menurunkan segala gejolak emosi.Rinjani sendiri masih diam. Emosinya seperti dikeruk habis, marah, malu, lega, sakit hati, semuanya berdesakan seperti tamu tak diundang. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.Ayahnya yang lebih dulu bersuara.“Masuklah dulu,” ucapnya singkat sambil berbalik, lalu berjalan ke dalam.Brama ingin menyusul, tapi tangan ibu Rinjani tiba-tiba terangkat menghentikannya. Bukan kasar, tapi tegas.“Ini sudah mala
Rinjani tahu, ia sedang bermain api. Menunda pembicaraan hanya akan membuat bom waktu dalam dirinya makin besar. Tapi ia belum siap. Belum sanggup melihat bagaimana ekspresi ayah dan ibunya jika tahu bahwa ia diam-diam menjalin hubungan kembali dengan Brama. Hubungan yang mereka anggap berbahaya. Hubungan yang dulu membuat keluarganya harus menundukkan kepala di depan banyak orang.Namun Brama tidak seperti dulu. Ia datang bukan hanya dengan janji. Tapi juga dengan tindakan. Ia mengunjungi rumah, menyapa orangtuanya, berbasa-basi dengan sopan, sesekali membantu ayahnya mengangkat barang-barang berat di halaman. Meski hanya terlihat seperti usaha biasa, Rinjani tahu maksudnya.Tapi orangtuanya tak pernah bertanya lebih jauh. Mereka hanya melihat Brama sebagai pria yang sedang mencoba menjalin hubungan baik—mungkin sebagai teman, mungkin juga sebagai bekas menantu yang ingin memperbaiki hubungan sosial pasca perceraian."Dia berubah," kata Rinjani pelan suatu sore ketika ia duduk di te
“Aku nggak mau bohong lagi,” ucap Rinjani lirih, duduk di hadapan kedua orangtuanya di ruang tamu. Malam itu udara terasa berat, seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka."Sebenarnya sebelum bercerai, Brama mencoba bicara tapi dia baru serius waktu aku tahu aku pisah tadi.” Rinjani berusaha membentuk citra baik Brama di depan orangtuanya.Dia ingin perlahan jujur pada orangtuanya kalau kemungkinan dia dan Brama itu kembali sama sekali tidak tertutup.Orangtuanya saling pandang. Ayahnya menghela napas panjang sebelum berbicara dengan suara yang tak biasa lembut."Nak, tidak semua cinta harus berakhir di pelaminan. Kegagalan ini harus jadi pelajaran."Rinjani menatap ibunya Kata-kata itu begitu pelan tapi seperti hantaman. Ia tahu, maksud Ibu bukan untuk meremehkan perasaannya, tapi untuk mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal rasa, tapi juga pilihan dan konsekuensi.“Ibu dan ayah cuma berharap,” sambung ayah dengan suara berat, “kegagalan kemarin bisa bikin kamu lebih ha
Brama tak segera menjawab. Dia menatap lurus ke mata ayah Rinjani."Aku bisa, Om!" Kalimat itu diucapkan dengan keyakinan baja. "Selama Rinjani menerimaku, status apapun itu, aku nggak masalah." Ibu Rinjani meletakkan tangannya di paha. "Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka merestui hubungan ini?"Mereka masih mengingat jelas, reaksi orangtua Brama saat tahu tentang hubungan itu. Mudah dibayangkan, kalau mereka tidak akan dengan mudah berubah pikiran.Brama menghela napas halus. "Mama sduah membebaskan pilihanku." Ada jeda singkat sebelum dia melanjutkan, "Dan papa ... pendapatnya tidak mempengaruhi keputusanku."Radit yang duduk di sudut ruangan mengangkat alis. "Wah, berani sekali." Ada nada sindiran di suaranya.Sikap Radit terhadap Brama memang masih sangat ambigu. Terkadang, dia terkesan mendukung Brama, tapi terkadang masih terasa kalau dia belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan Brama di hidup Rinjani.Setelah membangun sendiri usahanya dia semakin sadar betapa jauh
Orangtuanya yang turun lebih dulu sudah menyambut Brama dengan sikap bingung. Rinjani bisa melihat dari dalam mobil bagaimana Brama menyapa mereka dengan hormat.Sementara itu, Radit mematikan mesin mobil dan langsung membuka bagasi belakang untuk membawa semua barang Rinjani.Dengan ragu, Rinjani ikut turun dari dalam mobil, dan melangkah kaku ke arah Brama. Dia tidak tahuh harus mengucapkan apa."Rinjani? Lama tidak bertemu," sapa Brama dengan nada datar yang sempurna, seolah mereka memang hanya kenalan biasa. Sebuah senyum tipis sopan terukir di bibirnya.Rinjani nyaris tersedak melihat akting pria itu. Dasar aktor ulung, pikirnya sambil memaksa senyum kaku. “Hai ....”Jadi, begini maksudnya mendekati orangtuanya tanpa memberitahu kalau mereka bersama?Mereka harus berbohong lagi?Sungguh Rinjani sudah lelah. Dia tahu, satu kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan lainnya, dan akhirnya sama sekali tidak baik.Masalah perceraiannya dengan Jagat adalah salah satu contohnya. Karena
“Yu!” katanya, menatap putrinya tajam. “Masih ada yang kamu sembunyikan dari kami?”Dunia Rinjani seakan berhenti sejenak.Kepalanya berdenyut. Napasnya tercekat. Dia tahu, ini adalah kesempatannya untuk mengatakan ke orangtuanya kalau dia kembali bersama Brama. Namun, dia tidak berani.Aku cuma… nggak mau kalian jadi bahan gosip,” suara Rinjani pecah di ruang tamu yang terasa terlalu lengang.Pada akhirnya dia terlalu pengecut untuk mengakui itu dan mengatakan hal yang sejak tadi memberatkan hatinya. “Semua tetangga udah tahu aku menikah, kalau aku tiba-tiba pulang dan tinggal di rumah ini lagi, pasti mereka kepo. Mereka bakal nanya-nanya, bisik-bisik, ngasih tatapan aneh. Aku nggak mau kalian jadi jadi bahan omongan.”Karena orangtuanya menjual sarapan di pagi hari mereka dengan begitu mudahnya berbaur dengan tetangga sekitar tempat itu, dia tidak ingin kehadirannya menggangu kehidupan sehari-hari mereka."Kita tidak hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain!"Sementara ibunya m