Rinjani tidak mengantuk sama sekali, tapi matanya terasa sangat sakit karena terus menangis. Dia memejamkan matanya rapat, sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan tidak ingin memikirkan apapun lagi.
Apapun yang terjadi besok, saat ini Rinjani tidak ingin ambil pusing lagi.
Keesokan paginya saat Rinjani terbangun, dia tidak menemukan Brama lagi di apartemen itu. Dia tidak tahu apakah Brama tidur di apartemen tadi malam atau memilih untuk keluar.
Tetapi, untuk sesaat Rinjani bisa menghembuskan napas lega, sekarang jujur saja dia tidak ingin bertemu dengan Brama.
Karena hari masih pagi, dia tidak langsung bangkit dari tempat tidur dan memilih membuka ponselnya. Dia mengabaikan semua pesan masuk dan memilih membuka sosial media dulu.
Hal pertama yang dia buka adalah berita yang sedang trending saat itu. ‘Kiarainlove’ ‘Diva indonesia jatuh cinta’ ‘Hari patah hati nasional’
Tadinya dia ingin menghindar dari masalah ini, sayangnya status Kiara sebagai penyanyi ternama negara ini membuat sosial media bukan tempat melarikan diri yang cocok untuk Kiara.
Kiara tidak ingin melihat tapi dia tidak mampu menahan rasa penasarannya, dia membuka instagrm gadis itu dan menemukan satu postingan baru di sana.
Kiara dan Brama duduk bersebelahan dengan makanan di depan mereka. Caption singkat di bawahnya membuat hati Rinjani kembali terasa perih.
‘Mine’
Di bawah postingan itu sangat banyak komentar yang mendukung hubungan dua orang itu.
Ya, Brama adalah milik orang lain, bukan miliknya. Sekarang, dunia juga tahu akan hal itu. Tidak ada tempat lagi untuknya berdiri di sebelah Brama sebagai kekasih.
***
Hati boleh hancur, tapi kewajibannya harus tetap dijalankan. Tidak peduli seremuk apa dia, Rinjani tetap berangkat ke kantor hari ini.
Meski kantornya juga masih dipenuhi gosip tentang Brama dan meski dia harus bertemu Brama di kantor tapi pekerjaan adalah pekerjaan. Dia punya tanggung jawab yang harus dia selesaikan.
“Rin, kamu dipanggil Pak Brama ke ruangannya.”
Rinjani terdiam sejenak, lalu langsung berdiri. “Oke.” Dengan langkah tegar dia memasuki ruang Brama.
“Bapak manggil saya?” tanyanya sopan.
Brama mengerutkan kening mendengar nada asing itu.
“Mau makan siang di mana?”
Rinjani mengerutkan keningnya. “Maaf, Pak. Saya banyak kerjaan hari ini jadi saya nggak bisa keluar makan siang.”
Jabatannya sebagai sekretaris Brama membuatnya leluasa berjalan di sisi pria itu tanpa ada gosip miring tentang mereka.
Sikap datar Brama di depan semua karyawan membuat tidak ada yang curiga kalau mereka memiliki hubungan spesial.
“Kerjaan apa? Aku tahu semua pekerjaanmu Rinjani.” Brama menghela napas gusar. “Kesabaranku ada batasnya!”
Rinjani tersenyum getir. Untuk Brama, dia sudah bersikap sangat sabar ke Rinjani, tawaran makan siang itu adalah bentuk ajakan berdamai dari pria itu. Dan Rinjani menjadi seseorang yang tidak tahu terima kasih saat dia menolak.
Di dalam logika Brama, Rinjani tidak berhak marah dan menolak. Mata Rinjani terbuka saat itu. Ini bukan hubungan antar kekasih.
Brama selalu memperlakukannya bagai karyawan, bawahan yang harus menuruti segala perintahhnya, bahkan di hubungan pribadi mereka.
“Seluruh Indonesia sekarang tahu kalau kamu adalah kekasih Kiara. Kalau sampai ada yang melihatmu makan di luar dengan perempuan lain, entah apa yang akan terjadi.”
Brama terdiam mendengar itu. “Apa maksudmu?”
“Kamu nggak tahu?” Rinjani menatap Brama beberapa detik memastikan pria itu betul-betul tidak tahu. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan postingan viral itu.
“Ada baiknya kamu menjaga jarak dengan perempuan lain di saat seperti ini. Kiara itu sangat terkenal. Sekarang, kamu adalah bagian dari itu semua. Mereka akan sangat penasaran siapa yang menjadi kekasih seorang Kiara.”
Hanya satu hari dan Rinjani sudah bisa berbicara dengan nada tenang seolah dia hanya sekretaris Brama. Seolah hatinya tidak robek dan hancur karena perlakuan pria itu.
Sekian lama menahan perasaannya membuat Rinjani menjadi sangat mahir dalam hal itu.
Brama melihat postingan itu dengan kening berkerut, kemudian dia menelepon Kiara. “Aku perlu bicara, kamu di mana?” tanyanya.
Rinjani lalu keluar dari ruangan itu tanpa suara. Tidak lama, dia melihat Brama keluar dari ruangannya dan tidak kembali lagi sampai jam pulang kerja.
Sepulang kerja, Rinjani tidak ingin pulang ke apartemen itu, akhirnya dia memilih pergi ke tempat di mana dia bisa meluapkan isi hatinya saat ini. Apartemen sahabatnya, Celia.
“Brama sudah gila? Bagaimana dia bisa melakukan ini semua ke kamu?!”
Mendengar Celia sahabatnya mengomel seperti itu, Rinjani tersenyum tipis. Rasanya, untuk pertama kali dia mendengar ada yang mendukungnya.
Sayangnya, senyuman itu lebih tampak bagai ringisan menahan tangis.
“Nggak usah ketawa kalau nggak niat!” Celia kembali marah. “Aku sudah bilang dari dulu, hubungan kalian itu timpang! Kamu terlalu memuja Brama, seakan kamu nggak bisa hidup tanpa dia! Itu bikin Brama seenaknya! Karena dia tahu!”
Celia adalah satu-satunya orang terdekat Rinjani yang tahu tentang hubungannya dengan Brama. Sesuatu yang bahkan tidak berani dia beritahu ke keluarganya sendiri.
Sejak awal, Celia juga sudah sangat menunjukkan rasa tidak setujunya dengan hubungan itu.
Sayangnya, Rinjani tidak pernah mendengarkan.
“Tinggalkan dia, Rin. Cinta juga harus tetap punya moral kan? Aku nggak akan pernah membiarkan kamu jadi selingkuhan Brama!”
Rinjani menundukkan kepalanya. “Aku juga mau pisah, tapi Brama nggak mau.”
“Oh, Brama nggak mau?” Celia mengulangi kalimat itu dengan nada mencemooh. “sudah sampai di sini juga kamu masih mau nurut sama dia?! Rinjani sadar!”
Rinjani hanya bisa diam saja menerima semua amarah Celia. Amarah yang tidak bisa dia luapkan, terasa diwakilkan oleh sahabatnya itu.
“Dia mengancam akan memecat orangtuaku, Cel. Kamu tahu betapa hormatnya oragtuaku ke keluarga Brama. Berkali-kali aku sudah minta mereka keluar saja tapi mereka menolak karena semua rasa hormat dan hutang budi itu!”
“Rin, aku rasa ini mungkin satu cara untuk membuat orangtuamu mau keluar dari rumah itu. Nggak sehat, kalau kamu terus-terusan berada di posisi sekarang ini.”
Kening Rinjani berkerut dalam “Aku tahu! Hanya saja, nggak dengan cara ini. Aku mau mereka keluar karena memang ingin. Aku nggak mau hati mereka hancur karena dipecat di usia sekarang.”
Celia terdiam sejenak. Dia tidak bisa dengan mudah memberikann solusi ke Rinjani karena dia melihat sendiri betapa setianya orangtua Rinjani dengan pekerjaan mereka.
Melayani Brama dan keluarganya seakan sudah menjadi kewajiban yang mendarah daging. Ini satu-satunya cara yang orangtua Rinjani tahu untuk membalas budi baik keluarga Brama kepada mereka.
“Bagaimana kalau mereka tahu, alasan mereka dipecat adalah karena hubunganku dengan Brama? Mereka akan sangat kecewa.”
Celia menjambak rambutnya gusar. Masalah Rinjani malah membuatnya stres sendiri. “Terus, bagaimana rencanamu sekarang?”
“Aku nggak tahu lagi!” Rinjani mengeluh menahan rasa frustrasinya. Rasanya dia ingin berteriak sekarang. “Kamu tahu posisiku. Bagaimana aku bisa melawan dia? Di satu sisi dia adalah atasanku, orangtuaku kerja di rumahnya.”“Tapi, kalau kalian pacaran sejak awal harusnya kalian setara. Di hubungan kalian kamu itu Cuma pacar, bukan sekretaris, bukan anak pembantu atau apapun itu!” “Brama nggak pernah bilang kalau kami pacaran. Itu semua Cuma harapan kosong aku saja.” Celia menghela napas panjang. “Nggak capek, Rin kaya begitu terus? Kamu juga berhak marah. Ini semua nggak adil untukmu.”Rinjani hanya bisa menatap Celia lemah. “Aku nggak tahu Cel. Sekarang aku Cuma mau mengakhiri hubungan ini secepatnya sebelum orangtuaku tahu.” Sudah cukup dia keras kepala berusaha melunakkan batu keras seperti Brama. Sayangnya mundur tidak semudah itu.“Kamu yang lebih kenal Brama. Apa kamu nggak tahu bagaimana caranya supaya dia mau mundur? Selama ini sama dia kamu nggak tahu kelemahannya?”Ri
Rasa malu yang sangat besar menyeruak dalam diri Rinjani. Apa yang dia lakukan dengan Brama memang bukan hal yang membanggakan. Tanpa ikatan dia tinggal serumah dengan laki-laki. Selain orangtuanya, orangtua Brama adalah orang berikutnya yang dia takuti akan tahu tentang ini. Mendengar sendiri kalau dia adalah simpanan dan ayah Brama itu tidak akan pernah mengizinkannya menjadi istri Brama membuatnya merasa sangat murahan.Selama ini, semua usaha dan cintanya dipandang sangat rendah oleh pria yang mengisi hatinya itu.“Kamu anak kebanggaan papa. Masa depan perusahaan ini ada di tanganmu. Sesekali mengurangi stres dengan perempuan, papa nggak akan melarang, tapi ingat tanggung jawabmu jangan sampai terabaikan!”“Aku tahu.”“Hidup ini seperti main catur, jangan ragu untuk memanfaatkan segala bidak yang kamu punya untuk mencapai tujuan.” “....”Rinjani yang mendengarkan semua itu di luar, mengepalkan tangannya kuat. Harga dirinya sungguh tidak ada artinya di mata ayah dan a
“Ssh!” Brama menjauhkan bibirnya dari Rinjani sembari meringis kesakitan. Keningnya berkerut menatap wanita itu kesal. Rinjani tidak ingin kalah dia membalas tatapan itu tanpa takut. Dia tidak ingin terus-menerus diam saat Brama memperlakukannya seenaknya.Brama mencengkram kedua sisi pipi Rinjani dengan sebelah tangannya. “Kamu berani sekarang?”Pertanyaan itu membuat kemarahan dalam diri Rinjani semakin membara. “Kenapa aku harus takut? Kamu tahu yang kamu lakukan ini pelecehan!”Brama tersenyum tipis. “Pelecehan?” Dia mengusap bibirnya yang mengeluarkan darah. “Aku bahkan sudah pernah melakukan lebih dari ini, kenapa baru sekarang jadi masalah?”Air mata berjatuhan dari pipi Rinjani. “Selama ini aku terlalu bodoh! Dibutakan cinta sampai rela melakukan apa saja, tapi sekarang aku Cuma mau kita berpisah, Bram.”“Hahh!” Brama menatap Rinjani dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kelembutan yang Rinjani tidak bisa mengerti di sana. “Sedari awal kita bersama, kamu tahu hubun
Meski kebingungan, Rinjani memaksakan tubuh lelahnya untuk beranjak ke kamar mandi. Dengan sangat cepat dia mandi dan bersiap-siap.Begitu dia keluar dari kamar mandi, Brama sama sekali tidak memberikannya kesempatan untuk memulas wajahnya dan langsung menariknya pergi.Tergopoh-gopoh Rinjani mengambil tas dan ponselnya lalu berlari menyusul Brama. Mereka menaiki mobil Brama lalu meninggalkan apartemen itu.Kening Brama berkerut dalam, tangannya terkepal memegang kemudi mobil itu kuat hingga urat yang ada di tangannya bertonjolan.“Apa yang terjadi?” tanya Rinjani pelan.“Ada yang mengambil foto kita semalam, sekarang wartawan mengelilingi Kiara untuk mempertanyakan masalah itu.”Rinjani tertegun, dan buru-buru melihat ponselnya sendiri. Dia membuka media sosial, dan hatinya langsung berdebar kencang. Foto dirinya bersama Brama ada di mana-mana, dan komentar-komentar pedas mulai memenuhi kolom komentar.‘Kiara pasti hancur melihat ini!’‘Baru kali ini kasih tahu publik tentang paca
Suara nyaring Rinjani membuat suasana akhirnya semakin terkontrol. Sisa wawancara dadakan itu berlangsung dengan cukup kondusif.Tidak berapa lama, manajer beserta tim Kiara datang membantu mereka. Dengan kedatangan manajernya Kiara lalu bisa masuk ke dalam rumah dengan Brama. Sementara itu, Rinjani ikut membantu mengakhiri wawancara itu dan memastikan kalau semua wartawan itu sudah pergi dari sana. Senyum ramah dan kalimat manis terus keluar dari mulut manajer dan tim Kiara. Tidak terlihat sedikitpun kemarahan meski perlakuan anarkis wartawan tadi nyaris melukai artis mereka. Setelah membereskan semuanya, baru Rinjani ikut masuk bersama dengan mereka ke dalam rumah.Rinjani bisa merasakan manajer Kiara menatapnya sinis beberapa kali tapi dia hanya mengabaikannya. Manajer Kiara adalah seorang pria berpenampilan flamboyan dengan blouse motif bunga dengan celana chinos berwarna cokelat. Gaya jalannya sedikit kemayu.“Bikin repot semua orang saja! Kalau sekretaris harusny
“Sendiri, Dok.” Rinjani tersenyum tipis, dia tidak ingin terus-menerus mengasihani diri sendiri. Selama dia mencoba mengeraskan hatinya dan menganggap semua hanya pekerjaan, dia tidak seharusnya sakit hati.“Kalau begitu, biar saya panggilkan perawat biar bantu kamu menebus obatnya di depan.”Setelah membebat semua lukanya, Rinjani mulai merasakan sakit yang tadinya tidak terasa. Langkah kakinya mulai pincang, dan dia bahkan kesulitan menginjak pedal gas mobil yang dikendarainya. Tetapi, dia tetap memaksakan diri untuk kembali ke kantor dan mengurus semuanya. Untungnya karena mereka cepat mengatasi hal itu, masalahnya tidak sampai ke fluktuasi saham. “Coba hubungi pihak media, supaya berita klarifikasinya cepat ditayangkan. Jangan lupa, untuk komentar di akun sekarang dinon-aktifkan dulu.”Popularitas Kiara yang besar, dan ditambah hobi masyrakat untuk menggali kehidupan pribadi artis memberikan efek yang tidak bisa diremehkan. Bahkan sekarang muncul beberapa artike
Telinga Rinjani serasa berdengung mendengar itu. Sesaat rasanya otaknya menolak mencerna apapun.“Yu, benar kamu tinggal bersama Mas Brama?!”Rinjani pucat pasi, dia tidak tahu harus menjawab apa. Mulutnya terasa kelu tidak mampu berkata-kata.Ibunya mengguncang tubuh Rinjani frustrasi. “Yu, jawab pertanyaan ayah kamu! Itu bohong, kan?!”Rinjani hanya bisa menggelengkan kepalanya, air mata bergulir cepat dari matanya terjatuh di lengan ibunya yang terus mengguncangnya penuh emosi.Tangan renta ibunya, memegang kuat lengan Rinjani berharap mendengar jawaban ‘tidak’ dari anaknya itu.“Maaf, Bu. Maafin Ayu, Yah.”Rinjani jatuh berlutut dan memegang kaki ibunya. Dia tahu dia salah tapi rasanya dunianya runtuh saat melihat kekecewaan orangtuanya.Ketakutan terbesarnya terjadi sudah. Foto-foto itu sangat jelas menunjukkan dia dan Brama pulang dan pergi bersama setiap hari dari apartemen itu. Dari fotonya mengenakan pakaian kerja, hingga fotonya mengenakan pakaian rumah biasa saat
“Aku Cuma bicara kenyataan, Ma. Kenapa mama marah?” Brama bicara dengan sangat tenang, seolah dia hanya membicarakan cuaca siang itu. “Aku dan Kiara akan bertunangan, mama nggak usah khawatir.” Meski kerutan di keningnya dan wajah lelah Brama menunjukkan kalau masalah ini juga mempengaruhinya tapi saat bicara, Brama begitu tenang.Terkadang Rinjani ingin merobek ekspresi tenang di wajah pria itu. Rasanya tidak adil dia yang hancur dan terpojok sendirian.Ayah Rinjani menghela napas dalam, "Mas Brama, mungkin mas tidak menghargai Rinjani, tapi dia adalah anak yang sangat saya sayangi. Saya nggak mau dia sedih.”Rinjani, yang berdiri di samping ayahnya, merasa dadanya sesak. Air matanya hampir jatuh lagi, tapi dia berusaha menahannya. Dia tidak pernah menyangka bahwa ayahnya, yang selama ini selalu patuh dan tidak banyak bicara, akan berani berbicara seperti ini di depan majikannya sendiri.Ayahnya, yang hanya seorang supir, tegas membelanya tanpa takut di depan orang yang sudah dila
“Nggak papa. Kamu juga berniat baik ngasih tahu aku.” Seolah tidak menyadari kalau itu adalah kata-kata sarkastis dari Brama.Brama menghembuskan napas gusar. Bersama dengan Rinjani, dia seakan selalu bisa jadi jauh lebih sabar. “Kalau begitu aku pergi dulu.” “Hmm, hati-hati.”Brama masih ingin ada di sana berbicara dengan Rinjani, tapi di sisi lain dia juga tidak memiliki topik pembicaraan apapun lagi dengan gadis itu.Dengan langkah berat dia melangkah keluar dari tempat itu, Rinjani mengikuti di belakang Brama sebagai tuan rumah yang baik.“Kalau dia memperlakukanmu tidak baik, kamu bisa bilang ke aku, aku akan membalaskannya untukmu.”Mata Rinjani melebar, dia nyaris tidak percaya kalimat semacam itu bisa keluar dari mulut seorang Brama.“Tenang saja. Aku sudah cukup makan hati. Nggak lagi-lagi. Kalau Jagat memperlakukanku buruk, aku akan langsung meninggalkannya.”Rinjani merasa miris sendiri saat mengatakan hal itu. Di hubungannya dengan Jagat. Bagaimana bisa ada ba
Alis Rinjani semakin berkerut mendengar pertanyaan itu. Apa pria ini tahu sesuatu?“Kok tanya gitu? Kamu mau bicara apa sebenarnya?”Brama menatap wajah Rinjani lama. Ucapan itu sudah sampai di ujung lidahnya. Namun, dia tidak sanggup untuk mengatakannya saat bertemu pandang dengan gadis itu.“Bukan apa-apa. Aku hanya bertanya saja, lupakan.”Rinjani memilih tidak memperpanjang masalah itu, tapi sekarang dia tidak tahu harus membicarakan apa lagi dengan Brama.Akhir hubungan mereka membuatnya seakan salah untuk menanyakan apapun. Kenapa dia berinisiatif mengajak mantan kekasihnya sendiri masuk ke dalam kantornya?Rinjani menyesali basa-basinya tadi, yang menyebabkan dia terjebak di sini sekarang Sibuk berpikir bagaimana cara mengsusir Brama agar dia cepat pulang."Kapan kamu menikah dengan Kiara?" Rinjani tiba-tiba bertanya, mengalihkan topik dengan kasar.Brama menyentak. "Aku... belum ada rencana."Matanya menyelidik, mencari reaksi apapun di wajah Rinjani. Tapi yang dia dapat han
"Brama!" Kiara menyenggol lengannya keras. "Aku sudah tanya tiga kali, mau makan apa?"Brama mengedipkan mata, baru menyadari mereka sudah parkir di depan restoran. Sejak dia melihat Jagat tadi, dia jadi tidak fokus lagi. Dia bahkan sempat keluar saat ibunya sedang diperiksa tadi, hendak mencari pria itu.Tetapi, dia tidak lagi menemukan sosok Jagat. “Apa saja boleh.”“Kamu mikirin apa sih? Dari tadi nggak fokus kayanya.”Brama tersenyum tipis menenangkan ibunya. “Nggak ada. Mama pesan apa? Harus minum obat kan?” Ibu Brama juga tidak terus mendesak Brama, sudah biasa dengan sikap anaknya itu yang suka angin-anginan.Brama menuntun ibunya masuk ke dalam restoran itu dan memesan apa yang bisa dimakan ibunya.Dia tidak menyadari kalau ibunya dan Kiara menatap Brama dengan pandangan dalam.Ada senyum di bibir tipis perempuan paruh baya itu.“Sekarang, Brama sudah berubah banget ya, Tante. Dia jadi jauh lebih perhatian,” celetuk Kiara.“Ya, semenjak perceraian kami, dia jadi
Jagat menggelengkan kepalanya. “Orangtua Evie tinggal di Bandung, dan Evie bilang kami akan menemui mereka setelah dia melahirkan. Sekarang kondisi kandungannya masih belum stabil.”Rinjani terkejut mendengar itu, dari besar perut Evie dan waktu keduanya berpisah, dia tahu kalau kehamilan itu sudah lewat tiga bulan. Kenapa masih belum stabil?Tetapi, dia tidak bertanya lebih lanjut dengan ada ayah Jagat di sana.“Ya sudah, sekarang yang harus dipikirkan, bagaimana cara menyampaikan ini ke mama kamu.”“Memangnya, kenapa mama nggak setuju sama Evie, Pa?” tanya Rinjani hati-hati.Ayah Jagat menggelengkan kepalanya lelah. “Papa juga kurang mengerti kenapa mama kamu menolak sampai sebegitunya, tapi yang mama bilang, dia merasa penampilan Evie itu bukan penampilan perempuan baik-baik.”Mengingat penampilan Evie saat dia bertemu gadis itu pertama kali, Rinjani tidak mengerti bagian mana dia terlihat tidak baik-baik.Tetapi, saat dia melihat sosial media gadis itu dia bisa mengerti kena
“Beneran nggak ada apa-apa, Bu. Kangen sesekali kan biasa. Aku Cuma bosan saja, tapi aku sudah menyelesaikan tanggung jawab di rumah kok sebelum berangkat. Jagat juga sudah berangkat tadi.”Ibunya masih menatap Rinjani skeptis. "Kenapa, kesannya kamu tidak mau orang tahu kamu sudah menikah?""Malas menanggapi gosip tetangga," Rinjani mengangkat bahu. "Mereka pasti akan bertanya macam-macam. Sudah punya anak? Suaminya mana kok nggak kelihatan. Kerjaan suaminya apa?”Rinjani memperagakan kalimat itu dengan gaya berlebihan, membuat ibunya menggelengkan kepala.“Hush! Jangan bicara begitu! Pun, kalau mereka bilang gitu, itu Cuma bagian dari basa-basi saja. Nggak benar-benar ingin ikut campur urusan orang lain.”“Sama saja, Bu. Ayu nggak nyaman membicarakan itu dengan orang yang baru aku kenal.”Setelah melihat ekspresi Rinjani akhirnya ayah dan ibunya memutuskan untuk tidak lagi menanyai Rinjani.“Ibu dan Ayah lega kalau memang begitu, kalau ada masalah dengan Jagat, selalu bicarak
Rinjani tertegun mendengar ucapan Jagat itu. Namun, kemudian dia tersenyum kecil. Ini adalah salah satu bagian yang membuat dia lebih yakin menikahi Jagat.Pria itu selalu jujur dengan apa yang dia rasakan, dan tidak enggan menyampaikannya ke Rinjani. Semua kejujuran Jagat membuat Rinjani juga lebih mudah untuk merasa dekat dengan pria itu.“Haha, aku juga sama. Aku sudah berpikir bagaimana menghabiskan seumur hidup yang panjang sama kamu. Ternyata, semuanya Cuma angan-angan.” Matanya terasa panas. Rinjani tidak ingin menangis, tapi dia tidak bisa menahan diri. Perlahan bulir-bulir air mata itu berjatuhan dari sudut matanya.Dengan kasar, Rinjani menghapus air mata itu sebelum sempat jatuh ke pipinya. Jagat menyentuh tangan Rinjani dengan tatapan sendu. “Kamu adalah gadis yang baik. Sangat mudah untuk suka sama kamu, aku yakin kamu akan mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik daripada aku.”Rinjani tertawa di tengah tangisnya mendengar itu. “Hahaha, sudahlah. Sejak awal, aku
“Maksudku bertanya itu, bukan mau meragukan Evie, tapi untuk memastikan ke kamu, kalau kamu yakin itu adalah anakmu!”Jagat terdiam tidak mengerti, matanya menatap Rinjani dengan kening berkerut. Saat itu, Rinjani menyadari, sisi baik Jagat juga merupakan sisi yang menjadi kelemahannya kalau dihadapkan pada situasi yang berbeda.Jagat sangat bertanggung jawab dan berusaha mencari jalan tengah untuk semua masalah. Namun, di saat yang sama itu membuat dia terlihat kurang tegas kalau harus memilih di antara dua keputusan.Sikap Jagat yang tidak ingin mengecewakan siapapun itu membuat dia sulit bergerak bahkan ketika situasi sudah mendesaknya untuk memilh.“Aku nggak ngerti maksud kamu apa!”“Kalau kamu yakin itu anakmu, kalau memang kamu yakin Evie tidak akan mengkhianatimu selama kalian bersama, kenapa kamu masih ragu untuk bertanggung jawab?!”Jagat tertegun. “Karena sekarang Aku sudah menikah sama kamu! Aku nggak mungkin meninggalkanmu begitu saja! Sekarang kamu tanggung jawabku!”
Rinjani tidak ingin menjadi orang ketiga lagi di sana. Dia beranjak dari kursinya tanpa suara dan hendak berjalan ke luar."Rin..." Jagat akhirnya menoleh padanya, matanya penuh pertanyaan."Aku... ke kamar mandi dulu. Kalian lanjut bicara."Dia berjalan menjauh dengan langkah goyah, meninggalkan Jagat dan Evie dalam keheningan yang lebih keras dari teriakan apa pun.Bagaimana dia harus menyikapi ini? Rinjani sama sekali tidak tahu. Kepalanya terasa sangat pusing. Ini adalah masalah yang sangat berat.Hanya saja, dia tidak bisa marah saat melihat Evie. Dia mengerti betul apa yang sedang dialami gadis itu. Dia bersimpati. Namun, di sisi lain, ayah dari anak itu adalah suaminya.Apa yang harus dia lakukan?Rinjani membilas wajahnya dengan air dari wastafel kemudian mengelapnya dengan tisu. Dia mencoba menjernihkan kembali pemikirannya sendiri agar bisa menghadapi semuanya dengan kepala dingin."Berikan aku waktu," Jagat bersuara, tangannya meraih tangan Evie yang dingin. "Aku akan t
Dari sudut matanya, Rinjani bisa melihat kalau Jagat sudah hendak menghampiri mereka, tapi Rinjani menggelengkan kepalanya.Dia dengan cepat mengalihkan pandangannya kembali ke Evie, agar gadis itu tidak curiga.“Kehamilan ini tidak akan mengubah hubungan kami, malah hanya menambah masalah yang nggak perlu.”Rinjani memilih untuk mengucapkan kalimatnya hati-hati. “Aku mungkin nggak tahu apa yang terjadi dengan hubungan kalian, tapi aku rasa, keputusan itu juga harus diambil oleh Jagat, kan? Kamu nggak bisa memutuskan hal sebesar ini sendirian.”“Kenapa nggak? Aku yang mengandung anak ini!” Evie sangat defensif dengan kandungannya. “Aku tidak akan menggugurkannya! Tidak akan pernah!”“Aku juga nggak memintamu melakukan hal keji itu. Apa kamu pernah bayangkan, bagaimana perasaan Jagat kalau sampai dia tahu ini jauh di masa depan saat anak kalian sudah besar?”Evie mengalihkan pandangannya ke arah lain, menolak menjawab pertanyaan itu.“Aku harap kamu bisa merahasiakan ini, aku n