Share

5. Ego Brama

Author: Neza Visna
last update Huling Na-update: 2025-02-12 20:02:07

“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekanan

Rinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.

“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.

Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.

Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”

Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?" 

Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.

Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu  untuk semua drama ini!   Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”

Brama menghela napas gusar. Dia bukan pria yang terbiasa membujuk orang lain. Dia sama sekali tidak terbiasa dan tidak punya keahlian untuk itu. 

“Brama, please. Apa nggak bisa kita berpisah baik-baik? Kasih aku sedikit saja harga diri, untuk mundur dari semua ini?”

Mata Brama menggelap mendengar itu. Dia menarik Rinjani mendekat dan mencium bibir gadis itu kuat dan kasar.

Rinjani berusaha sekuat tenaga mendorong Brama. Namun, tenaganya kalah dibanding  pria itu  yang sudah tampak bagai kesetanan.

Panik dan kalut, Rinjani menggigit bibir Brama sekuat tenaga hingga pria itu meringis kesakitan.  Pandangannya terasa buram karena air mata, tapi untuk pertama kalinya dia ingin menunjukkan pada Brama kalau dia juga punya amarah. 

Dia juga bisa kecewa! Dia berhak menolak pria itu.

Brama mengacak rambutnya gusar. Tatapannya tajam menusuk, membuat Rinjani ingin lari dari sana. Dia masih saja ketakutan dengan amarah Brama.

“Cepat atau lambat aku harus keluar dari sini, kenapa harus menunda? Hubungan ini nggak akan ada hasilnya.”

"Jika kamu berani meninggalkanku, siap-siap orangtuamu harus segera kehilangan pekerjaan!" ancam Brama dengan suara dingin.

Langkah Rinjani terhenti. Ia membeku di tempatnya. Perlahan, ia berbalik menatap pria itu "Apa?"

Brama melipat tangannya di dada. "Semua pilihan ada di tanganmu!”

Rinjani menatap Brama dengan penuh keterkejutan. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Kamu mengancamku?”

Brama tahu betul, dia ingin orangtuanya untuk segera pensiun, tapi   Rinjani mau  itu atas kemauan mereka sendiri.

Orangtuanya sangat menghormati keluarga Brama,   dipecat dari tempat itu di usia senja mereka, adalah hal yang sangat menyakitkan. Dan Rinjani tidak ingin orangtuanya mengalami itu, hanya karena dirinya.

"Jangan kira kamu bisa semudah itu melepaskan diri dariku."

Dada Rinjani naik turun dengan cepat. Ia merasakan kemarahan yang begitu hebat bercampur dengan rasa kecewa yang tak terhingga. Lelaki di depannya ini… bukan Brama yang ia kenal. Bukan Brama yang selama ini ia cintai.

"Kenapa kamu melakukan semua ini?  Apa yang kamu mau dariku?” tanyanya lelah. Sekarang, baru dia menyadari hubungan ini bagai sangkar yang mengurungnya.

Brama mengeraskan rahangnya, tapi tidak mengatakan apa pun.

Rinjani menatapnya dengan sorot mata yang kini tidak lagi penuh cinta, melainkan penuh luka. "Kamu ingin aku bertahan di sini? Untuk apa, Brama? Untuk menyaksikanmu bermesraan dengan wanita lain? Untuk membiarkanmu mempermalukan keluargaku demi kepuasan ego kamu sendiri?”

“Sekarang, kamu semakin pintar membangkang.” Brama  melipat tangannya di depan dada.  “Pilihan itu di tanganmu! Kamu bisa pergi sekarang, dan aku pastikan besok mereka akan tahu tentang ini!” 

Brama lalu berjalan ke arah lemari mengambil pakaiannya lalu masuk ke kamar mandi. Tidak lama kemudian hanya suara cucuran air dari kamar mandi yang terdengar di tempat itu.

Sepeninggal Brama, Rinjani menatap koper yang sudah  terpinggirkan tadi.  Dia merasa  sangat tidak berdaya saat itu. Brama sangat tahu di mana kelemahannya. 

Pria itu sangat tahu, bagaimana mengontrolnya.  Mustahil baginya untuk pergi malam ini. Rinjani akhirnya memilih pergi ke kamar sebelah, dan tidur di sana.

Malam ini, setelah semua yang terjadi, dia tidak ingin berada satu ruangan dengan  Brama. 

Lima belas menit kemudian, pintu kamar itu terbuka, Rinjani diam di atas tempat tidur, dengan selimut menutupi hampir seluruh wajahnya.  Berpura-pura tidur.

Telinganya mendengar  langkah kaki semakin dekat, kemudian perlahan tubuhnya mulai terangkat. Refleks, Rinjani membuka matanya. Brama sudah membopongnya kembali ke kamar utama.

Matanya sudah terasa sangat panas, karena kesal dan kecewa. Namun, dia tidak bisa lagi menangis, air matanya sudah habis.

“Malam ini, bisa kamu  tinggalkan aku sendiri?” bisiknya lirih, nyaris memohon ke pria itu.

Berharap, Brama masih memiliki sedikit rasa kasihan padanya. Untuk membiarkannya sendirian mengusap lukanya dalam diam.

Brama masih diam, dia membawa Rinjani kembali ke kamar itu, melemparkan gadis itu ke atas tempat tidur dan mulai mencium Rinjani. 

Seketika itu, Rinjani bagai mendapat tenaga tambahan. Sekuat tenaga dia mendorong Brama.

Dia tidak ingin terus diperlakukan bagai gundik. Teman tidur harus selalu patuh dengan semua keinginan Brama. 

Brama mengerutkan keningnya tidak suka. Matanya menatap Rinjani tajam, seakan memaksa gadis itu tunduk padanya.

“Apa kamu akan memaksaku?” tanya Rinjani.

Brama terdiam, harga dirinya bertarung, antara hasrat atau tuduhan Rinjani. Pada akhirnya dia  menjauh dari gadis itu, dia mendengus kasar kemudian pergi menjauh dari sana.

“Hanya untuk malam ini, aku akan melepaskanmu!”

Dia lalu meninggalkan Rinjani sendirian di kamar itu. Rinjani menghembuskan napas panjang. 

Ternyata, menolak Brama tidak semenakutkan itu.  Rinjani tersenyum miris. Butuh lima tahun dan berita pertunangan  Brama untuk membuatnya menemukan keberanian itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Gelora Cinta Pria Arogan   107. Ibu Sang Mantan

    Berbeda dengan Rinjani yang panik, Brama justru terlihat tenang. Dengan santai, dia meraih tangan Rinjani yang gemetar dan menatapnya dengan tatapan menenangkan."Tenang saja, aku yang akan urus ini," ujarnya dengan suara rendah namun tegas.Rinjani hanya bisa menggeleng, wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran. Dengan cepat, dia membereskan sisa nasi Padang di meja, memasukkannya ke dalam plastik, dan membuangnya ke tong sampah."Aku harus pergi," bisiknya sambil melirik ke arah pintu.Brama memegang erat pergelangan tangan Rinjani. "Aku janji tidak akan bilang apa-apa tentang kita ke Mama. Kamu tidak perlu takut.""Bukan itu masalahnya!" Rinjani berbisik keras. "Mama kamu nggak akan suka melihatku di sini! Kamu juga tahu itu!”Pertemuan terakhir mereka di rumah Brama itu berakhir dengan sangat buruk, Rinjani tidak tahu harus bersikap seperti apa kalau bertemu.Brama menggeleng. “Tenang saja, sekarang mama nggak akan lagi mempermasalahkan kamu.”Rinjani tidak yakin. Pikirannya dipenuh

  • Gelora Cinta Pria Arogan   106. Suapan Nasi Padang

    “Sudahlah, kamu nggak perlu ngerti. Aku juga nggak pernah mengomentari pertunangan kamu dengan Kiara kan?”Rinjani mengabaikan kebingungan Brama, dan memutuskan untuk fokus ke ponselnya, menjawab beberapa email dari klien dan membalas pesan masuk dari pegawainya soal pekerjaan.Melihat Rinjani tidak berniat lagi membahas masalah itu, Brama juga akhirnya memutuskan untuk diam.Hubungan mereka baru saja membaik, Brama tahu kalau sekarang Rinjani masih akan condong membela Jagat saat ini.Tetapi, teringat Kiara, Brama menyadari kalau dia masih belum menyelesaikan urusannya dengan gadis itu.Sepertinya dia tidak bisa menunda lagi untuk menyelesaikan masalah ini.Sampai jam makan siang, mereka berdua tidak banyak lagi berbicara. Ada keheningan yang familiar menyelingkupi keduanya.Rinjani merasa mereka seperti kembali ke masa-masa dulu, saat mereka masih bersama. Tidak ada pembicaraan kosong dan kalimat gombal seperti pasangan pada umumnya. Mereka lebih suka menghabiskan waktu bersa

  • Gelora Cinta Pria Arogan   105. Ironi

    “Itu adalah syarat dariku! Kalau kamu bisa terima, silahkan. Kalau nggak, aku juga nggak masalah! Aku yakin, Jagat masih bisa menyelesaikan masalah ini!”Brama mengamati Rinjani dengan tatapan tidak sabar, bibirnya mengerut dalam kebingungan. Dia masih tidak mengerti. Ini bukan sesuatu yang baru antara dia dengan Rinjani.“Nggak kaya, belum pernah juga!”gerutunya.Di saat yang sama ada kemarahan yang menggelegak dalam dadanya. Rasa cemburu yang mengancam hendak meledak keluar. Apa Rinjani sebegitu ingin menjaga tubuhnya untuk Jagat?Rinjani menghindari kontak mata. “Apa yang kita lakukan itu salah! Dan aku nggak mau mengulanginya lagi.”Tidur dengan laki-laki yang bukan suaminya adalah salah satu kesalahan terbesar yang pernah dia buat. Tidak mengulangi itu, tidak akan membuat dia kembali suci, tapi Rinjani ingin menghargai dirinya sendiri.Belajar mencintai dirinya sendiri dengan benar, sembari berbenah hati sebelum mulai membuka hati lagi untuk hubungan yang baru.Brama tersenyum t

  • Gelora Cinta Pria Arogan   104. Menolak Tidur

    ***Dua hari berlalu dan Rinjani masih belum bisa menemukan waktu yang tepat untuk saat mereka berjalan menuju ruang pemeriksaan. Semakin hari kehamilan itu semakin besar, dan karena perkembangan yang terhambat di awal, dokter menyarankan Evie untuk kontrol lebih sering.Jagat masih belum bisa menemani Evie karena sibuk, sehingga sebagai gantinya Rinjani yang menemani. “Kamu nggak perlu menemani aku, aku bisa sendiri. Nggak enak merepotkan kamu.”“Nggak papa. Aku hari ini lagi kosong, kok. Tenang saja.” Rinjani tidak mengatakan dia sengaja mengosongkan jadwalnya untuk menemani Evie. Kesulitan yang dialami Jagat sekarang adalah karena dia. “Aku malah merepotkan semua orang. Padahal aku juga bilang ke Jagat kalau aku nggak perlu ditemani.” “Jagat kaya gitu karena dia peduli sama kamu.” Rinjani membiarkan Evie duduk di salah satu kursi yang masih kosong di sana, sedangkan dia sendiri berdiri. Di depan mereka sudah ada beberapa ibu hamil juga yang menunggu jadwal kontrol.Se

  • Gelora Cinta Pria Arogan   103. Adu Kejantanan

    “Percayalah. Brama nggak akan semudah itu melepaskanmu. Kamu sudah menikah saja dia masih bersikeras.”“Tapi itu bukan alasan kamu untuk menantang Brama kaya gitu! Kamu nggak tahu apa saja yang bisa dia lakukan!”Rinjani ingin sekali membenturkan kepalanya ke jendela sekarang. Dia tidak mengerti kenapa laki-laki suka sekali mendeklarasikan perang seperti ini.Apakah adu ego antar laki-laki itu sebegitu pentingnya? “Aku tahu.” Jagat tersenyum tipis. “Tapi setelah semua yang kamu lakukan untukku dan keluargaku setidaknya ini yang bisa aku lakukan untuk kamu kan?” Kening Rinjani berkerut, tidak mengerti maksud Jagat."Aku akan membantumu melihat apakah Brama benar-benar serius denganmu.”Rinjani mengangkat alis. "What? Nggak perlu, makasih.”Dia bergidik membayangkan kemungkinan itu. “Percayalah, kamu dan Brama nggak akan berakhir semudah itu. Dia bukan orang yang mudah menyerah.”“Kamu memangnya kenal dia?”Jagat terkekeh mendengar itu. “Saranku hanya satu, jangan terlalu cepat

  • Gelora Cinta Pria Arogan   102. Jagat yang Protektif

    Evie menggelengkan kepala dengan tegas. "Aku nggak akan melakukan itu, Rin. Aku nggak bisa terima kamu mengalah seperti ini."Rinjani tersenyum kecil. "Pernikahan kami hanya siri, Evie. Mungkin lebih baik juga kalau nggak banyak orang yang tahu. Jadi aku bisa berpura-pura tidak pernah menikah?" candanya. “Rin ....”“Vie, situasinya sudah begini. Ini adalah yang terbaik. Nggak ada hal sempurna yang mungkin terjadi. Kalau kamu terus ragu begini, kamu malah akan terkesan munafik.” Evie terdiam, matanya berkaca-kaca. Rinjani dengan lembut mengalihkan pembicaraan. "Lupakan soal itu. Hari ini aku mau creambath, mau ikut?"Wajah Evie langsung berbinar. Dia tidak menyangka Rinjani akan mengajaknya. "Mau! Aku mau.Sepanjang hari itu, Rinjani dengan sabar menemani Evie. Setelah creambath, mereka berbelanja pakaian hamil di department store, di mana Rinjani dengan teliti membantu memilih model yang nyaman sekaligus stylish. "Ini bagus, bahannya stretchy tapi nggak panas," ujarnya sambil

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status