“Rinjani, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Brama, suaranya penuh dengan tekanan
Rinjani tetap diam, terus mengemas barang-barangnya. Brama tidak bisa menahan diri lagi. Ia melangkah mendekat dan menarik lengan Rinjani dengan lembut, memaksanya untuk berhenti dan menatapnya.
“Kamu mau kemana” tanya Brama lagi, matanya mencari jawaban di wajah Rinjani.
Rinjani akhirnya menoleh, matanya penuh dengan air mata. “Ini bukan tempatku lagi. Aku setidaknya harus tahu diri sebelum kamu sendiri yang menendangku kan?” ujarnya sedih.
Brama mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban wanita itu. “Rinjani, aku nggak suka mengulangi perkataanku!”
Rinjani menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya yang sudah meluap. “Brama, kamu sudah bertunangan dengan Kiara. Apa aku harus tetap menjadi simpananmu?"
Suara gadis itu begitu lirih dan lemah.
Brama menghela napas panjang. “Aku nggak punya waktu untuk semua drama ini! Kamu nggak akan kemana-mana, berhenti bertingkah.”
Brama menghela napas gusar. Dia bukan pria yang terbiasa membujuk orang lain. Dia sama sekali tidak terbiasa dan tidak punya keahlian untuk itu.
“Brama, please. Apa nggak bisa kita berpisah baik-baik? Kasih aku sedikit saja harga diri, untuk mundur dari semua ini?”
Mata Brama menggelap mendengar itu. Dia menarik Rinjani mendekat dan mencium bibir gadis itu kuat dan kasar.
Rinjani berusaha sekuat tenaga mendorong Brama. Namun, tenaganya kalah dibanding pria itu yang sudah tampak bagai kesetanan.
Panik dan kalut, Rinjani menggigit bibir Brama sekuat tenaga hingga pria itu meringis kesakitan. Pandangannya terasa buram karena air mata, tapi untuk pertama kalinya dia ingin menunjukkan pada Brama kalau dia juga punya amarah.
Dia juga bisa kecewa! Dia berhak menolak pria itu.
Brama mengacak rambutnya gusar. Tatapannya tajam menusuk, membuat Rinjani ingin lari dari sana. Dia masih saja ketakutan dengan amarah Brama.
“Cepat atau lambat aku harus keluar dari sini, kenapa harus menunda? Hubungan ini nggak akan ada hasilnya.”
"Jika kamu berani meninggalkanku, siap-siap orangtuamu harus segera kehilangan pekerjaan!" ancam Brama dengan suara dingin.
Langkah Rinjani terhenti. Ia membeku di tempatnya. Perlahan, ia berbalik menatap pria itu "Apa?"
Brama melipat tangannya di dada. "Semua pilihan ada di tanganmu!”
Rinjani menatap Brama dengan penuh keterkejutan. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. "Kamu mengancamku?”
Brama tahu betul, dia ingin orangtuanya untuk segera pensiun, tapi Rinjani mau itu atas kemauan mereka sendiri.
Orangtuanya sangat menghormati keluarga Brama, dipecat dari tempat itu di usia senja mereka, adalah hal yang sangat menyakitkan. Dan Rinjani tidak ingin orangtuanya mengalami itu, hanya karena dirinya.
"Jangan kira kamu bisa semudah itu melepaskan diri dariku."
Dada Rinjani naik turun dengan cepat. Ia merasakan kemarahan yang begitu hebat bercampur dengan rasa kecewa yang tak terhingga. Lelaki di depannya ini… bukan Brama yang ia kenal. Bukan Brama yang selama ini ia cintai.
"Kenapa kamu melakukan semua ini? Apa yang kamu mau dariku?” tanyanya lelah. Sekarang, baru dia menyadari hubungan ini bagai sangkar yang mengurungnya.
Brama mengeraskan rahangnya. “Kamu berbuat seperti ini, karena marah dengan pertunangan itu, kan? Katakan! Apa maumu?”
“Kalau aku bilang aku mau menikah dengan kamu, apa kamu akan setuju?” Dia tahu dia gila saat mengatakan itu, tapi saat itu Rinjani ingin mendengar sendiri jawaban dari Brama.
“Menikah? Oke! Besok tunggu aku di KUA!”
Rinjani melotot lebar. Dia tidak bisa percaya pendengarannya sendiri. “Ka-kamu setuju?”
“Hmm. Aku tidak bisa memberikan pernikahan mewah! Hanya di KUA. Kalau kamu setuju. Kita menikah.”
“Bagaimana dengan Kiara?”
Jantung Rinjani berdebar keras. Dia nyaris tidak percaya yang dia dengar saat itu.
“Aku yang akan mengurus Kiara. Kamu hanya perlu menunggu di sana, besok pagi.”
“Besok pagi? Tapi kita belum mengurus dokumen apapun!”
“Aku akan mengurus semuanya!”
Setelah mengatakan itu, Brama lebih dulu pergi dari sana, meninggalkan Rinjani termangu sendirian. Tidak tahu harus berbuat apa pada semua barang yang sudah dia susun itu.
Keesokan harinya. Setelah melalui malam panjang tanpa tidur, Rinjani mandi dan merias wajahnya. Ada antisipasi besar di hatianya, menjalani hari ini. Saat menatap wajahnya di cermin, Rinjani mencubit wajahnya tidak percaya.
Sadar itu bukan mimpi, Rinjani tersenyum lebar. Siapa sangka, penantian lima tahunnya akan berbuah dengan cara seperti ini.
Brama tidak pulang semalaman, membuatnya sedikit cemas. Namun, dia ingin percaya perkataan pria itu.
Dia berangkat sendirian ke KUA dan menunggu Brama di sana . Dia menunggu hingga matahari tinggi tapi Brama tidak kunjung datang.
“Tunggu! Sebentar lagi aku datang.”
Hanya itu yang dikatakan Brama saat Rinjani meneleponnya. Rinjani bersabar lagi menunggu hingga KUA itu akan segera tutup, tapi Brama juga tidak kelihatan sama sekali.
“Kamu sebaiknya pulang saja, aku nggak bisa ke sana hari ini.”
Saat itu, Rinjani merasa pijakan di bawahnya hilang. Tatapan matanya kosong. Tiba-tiba dia tertawa getir. Dengan langkah gontai dia kembali ke apartemen itu dan menyusun kembali pakaiannya.
Tidak lama kemudian, Brama pulang. “Kamu kenapa lagi?” tanyanya tanpa rasa bersalah.
“Ini ucapan kamu setelah membuatku menunggu seharian di KUA?” Setelah membuat dia bermimpi dan berharap, Brama dengan kejam menghancurkan semua harapan itu.
“Aku sudah bilang, aku ada kerjaan tadi! Mau sampai kapan kamu mengungkit ini? Berhenti bersikap kekanakan, dan kembalikan pakaianmu ke tempatnya!” titahnya otoriter.
Rinjani menatapnya dengan sorot mata yang kini tidak lagi penuh cinta, melainkan penuh luka. "Kamu ingin aku bertahan di sini? Untuk apa, Brama? Untuk menyaksikanmu bermesraan dengan wanita lain? Untuk membiarkanmu mempermalukan keluargaku demi kepuasan ego kamu sendiri?”
“Sekarang, kamu semakin pintar membangkang.” Brama melipat tangannya di depan dada. “Pilihan itu di tanganmu! Kamu bisa pergi sekarang, dan aku pastikan besok mereka akan tahu tentang ini!”
Brama lalu berjalan ke arah lemari mengambil pakaiannya lalu masuk ke kamar mandi. Tidak lama kemudian hanya suara cucuran air dari kamar mandi yang terdengar di tempat itu.
Sepeninggal Brama, Rinjani menatap koper yang sudah terpinggirkan tadi. Dia merasa sangat tidak berdaya saat itu. Brama sangat tahu di mana kelemahannya.
Pria itu sangat tahu, bagaimana mengontrolnya. Mustahil baginya untuk pergi malam ini. Rinjani akhirnya memilih pergi ke kamar sebelah, dan tidur di sana.
Malam ini, setelah semua yang terjadi, dia tidak ingin berada satu ruangan dengan Brama.
Lima belas menit kemudian, pintu kamar itu terbuka, Rinjani diam di atas tempat tidur, dengan selimut menutupi hampir seluruh wajahnya. Berpura-pura tidur.
Telinganya mendengar langkah kaki semakin dekat, kemudian perlahan tubuhnya mulai terangkat. Refleks, Rinjani membuka matanya. Brama sudah membopongnya kembali ke kamar utama.
Matanya sudah terasa sangat panas, karena kesal dan kecewa. Namun, dia tidak bisa lagi menangis, air matanya sudah habis.
“Malam ini, bisa kamu tinggalkan aku sendiri?” bisiknya lirih, nyaris memohon ke pria itu.
Berharap, Brama masih memiliki sedikit rasa kasihan padanya. Untuk membiarkannya sendirian mengusap lukanya dalam diam.
Brama masih diam, dia membawa Rinjani kembali ke kamar itu, melemparkan gadis itu ke atas tempat tidur dan mulai mencium Rinjani.
Seketika itu, Rinjani bagai mendapat tenaga tambahan. Sekuat tenaga dia mendorong Brama.
Dia tidak ingin terus diperlakukan bagai gundik. Teman tidur harus selalu patuh dengan semua keinginan Brama.
Brama mengerutkan keningnya tidak suka. Matanya menatap Rinjani tajam, seakan memaksa gadis itu tunduk padanya.
“Apa kamu akan memaksaku?” tanya Rinjani.
Brama terdiam, harga dirinya bertarung, antara hasrat atau tuduhan Rinjani. Pada akhirnya dia menjauh dari gadis itu, dia mendengus kasar kemudian pergi menjauh dari sana.
“Hanya untuk malam ini, aku akan melepaskanmu!”
Dia lalu meninggalkan Rinjani sendirian di kamar itu. Rinjani menghembuskan napas panjang.
Ternyata, menolak Brama tidak semenakutkan itu. Rinjani tersenyum miris. Butuh lima tahun dan berita pertunangan Brama untuk membuatnya menemukan keberanian itu.
“Ma.”Hari sudah malam saat Brama masuk ke rumah ibunya. Dia sama sekali tidak pulang dulu ke rumah dan masih menggunakan sepeda motor yang tadi dia bawa.“Yang datang, kamu? Kamu bawa motor?”Ibunya langsung berdiri dan berjalan keluar. Dia nyaris melotot melihat sepeda motor di depan rumah itu.“Dari mana kamu? Mama nggak tahu kamu ada hobi begini?”“Dari tempat Rinjani. Bukan hobi, Cuma mau coba sesuatu yang baru.” Itu hanyalah sepeda motor yang diberikan salah seorang teman, yang membuka showroom motor gede. Dia memberikan satu ke Brama karena Brama membantu permodalan tempat itu.Tetapi benda itu udah tergeletak begitu saja di parkiran apartemennya tanpa pernah dipakai. Hingga akhirnya Brama memakainya hari ini karena ingin mencoba sesuatu yang baru, bersama Rinjani.Ibunya melotot kesal menatap Brama. “Brama! Rinjani lagi, Rinjani lagi! Mama nggak pernah sangka anak mama akan diperbudak cinta seperti ini!”“Ma, Rinjani sudah cerai sekarang. Nggak ada lagi alasan aku nggak bis
Ayah Rinjani akhirnya bicara, “Kami tahu siapa kamu, Brama. Dan kami tahu, kadang seseorang tidak bisa memilih dari keluarga mana dia lahir.”Brama menunduk hormat. “Terima kasih, Om, Tante.” Dia benar-benar kecewa dan frustrasi dengan keadaan ini.Di saat dia kira semuanya berjalan lancar, ada saja halangan yang membuat semuanya kacau.Ibu Rinjani menatap putrinya, lalu Brama, kemudian suaminya. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak satu pun kata keluar. Hanya napas pelan yang ditarik, kemudian dihembuskan perlahan seolah mencoba menurunkan segala gejolak emosi.Rinjani sendiri masih diam. Emosinya seperti dikeruk habis, marah, malu, lega, sakit hati, semuanya berdesakan seperti tamu tak diundang. Ia menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang.Ayahnya yang lebih dulu bersuara.“Masuklah dulu,” ucapnya singkat sambil berbalik, lalu berjalan ke dalam.Brama ingin menyusul, tapi tangan ibu Rinjani tiba-tiba terangkat menghentikannya. Bukan kasar, tapi tegas.“Ini sudah mala
***“Ini aku bawa ayam bakar. Kata Andre, enak, tapi sambelnya cukup pedas.”“Thanks.”Rinjani hanya bisa menerima makanan yang dibawa Brama itu dengan ekspresi wajah canggung. Ini adalah hari ke sekian pria itu datang ke rumahnya setelah jujur ke orangtuanya kalau ingin mendekatinya.Untuk kesekian kalinya juga, Rinjani belum memiliki keberanian untuk mengaku jujur ke orangtuanya.Rinjani tahu, ia sedang bermain api. Menunda pembicaraan hanya akan membuat bom waktu dalam dirinya makin besar. Tapi ia belum siap. Belum sanggup melihat bagaimana ekspresi ayah dan ibunya jika tahu bahwa ia diam-diam menjalin hubungan kembali dengan Brama. Hubungan yang mereka anggap berbahaya. Hubungan yang dulu membuat keluarganya harus menundukkan kepala dan menanggung malu di depan keluarga Brama.Namun Brama tidak seperti dulu. Ia datang bukan hanya dengan janji. Tapi juga dengan tindakan. Ia mengunjungi rumah, menyapa orangtuanya, dengan sangat ramah.Bahkan memuji masakan ibunya meski dia kuran
“Aku nggak mau bohong lagi,” ucap Rinjani lirih, duduk di hadapan kedua orangtuanya di ruang tamu. Malam itu udara terasa berat, seperti ada dinding tak kasat mata di antara mereka."Sebenarnya sebelum bercerai, Brama mencoba bicara tapi dia baru serius waktu aku tahu aku pisah tadi.” Rinjani berusaha membentuk citra baik Brama di depan orangtuanya.Dia ingin perlahan jujur pada orangtuanya kalau kemungkinan dia dan Brama itu kembali sama sekali tidak tertutup.Orangtuanya saling pandang. Ayahnya menghela napas panjang sebelum berbicara dengan suara yang tak biasa lembut."Nak, tidak semua cinta harus berakhir di pelaminan. Kegagalan ini harus jadi pelajaran."Rinjani menatap ibunya Kata-kata itu begitu pelan tapi seperti hantaman. Ia tahu, maksud Ibu bukan untuk meremehkan perasaannya, tapi untuk mengingatkan bahwa hidup bukan hanya soal rasa, tapi juga pilihan dan konsekuensi.“Ibu dan ayah cuma berharap,” sambung ayah dengan suara berat, “kegagalan kemarin bisa bikin kamu lebih ha
Brama tak segera menjawab. Dia menatap lurus ke mata ayah Rinjani."Aku bisa, Om!" Kalimat itu diucapkan dengan keyakinan baja. "Selama Rinjani menerimaku, status apapun itu, aku nggak masalah." Ibu Rinjani meletakkan tangannya di paha. "Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka merestui hubungan ini?"Mereka masih mengingat jelas, reaksi orangtua Brama saat tahu tentang hubungan itu. Mudah dibayangkan, kalau mereka tidak akan dengan mudah berubah pikiran.Brama menghela napas halus. "Mama sduah membebaskan pilihanku." Ada jeda singkat sebelum dia melanjutkan, "Dan papa ... pendapatnya tidak mempengaruhi keputusanku."Radit yang duduk di sudut ruangan mengangkat alis. "Wah, berani sekali." Ada nada sindiran di suaranya.Sikap Radit terhadap Brama memang masih sangat ambigu. Terkadang, dia terkesan mendukung Brama, tapi terkadang masih terasa kalau dia belum sepenuhnya bisa menerima keberadaan Brama di hidup Rinjani.Setelah membangun sendiri usahanya dia semakin sadar betapa jauh
Orangtuanya yang turun lebih dulu sudah menyambut Brama dengan sikap bingung. Rinjani bisa melihat dari dalam mobil bagaimana Brama menyapa mereka dengan hormat.Sementara itu, Radit mematikan mesin mobil dan langsung membuka bagasi belakang untuk membawa semua barang Rinjani.Dengan ragu, Rinjani ikut turun dari dalam mobil, dan melangkah kaku ke arah Brama. Dia tidak tahuh harus mengucapkan apa."Rinjani? Lama tidak bertemu," sapa Brama dengan nada datar yang sempurna, seolah mereka memang hanya kenalan biasa. Sebuah senyum tipis sopan terukir di bibirnya.Rinjani nyaris tersedak melihat akting pria itu. Dasar aktor ulung, pikirnya sambil memaksa senyum kaku. “Hai ....”Jadi, begini maksudnya mendekati orangtuanya tanpa memberitahu kalau mereka bersama?Mereka harus berbohong lagi?Sungguh Rinjani sudah lelah. Dia tahu, satu kebohongan harus ditutupi dengan kebohongan lainnya, dan akhirnya sama sekali tidak baik.Masalah perceraiannya dengan Jagat adalah salah satu contohnya. Karena