Setelah insiden mengejutkan di mall, Agnesia tidak berkata apa pun. Tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Raka, seolah takut pria itu akan menghilang begitu saja dari sisinya.Mobil melaju cepat. Senja berganti gelap, dan jalanan kota mulai dipenuhi cahaya lampu. Raka duduk diam di kursi penumpang, menatap kosong ke luar jendela. Tapi di dalam pikirannya, dunia sedang berantakan.Suara ledakan tadi seakan membangunkan sesuatu dalam dirinya. Bukan sekadar trauma tapi semacam kenangan. Bayangan yang belum utuh. Gema. Suara yang memanggil namanya. Dan rasa hampa yang menusuk dada, seolah ada seseorang yang harusnya ada di sisinya tapi tak pernah ia lihat.“Raka?” suara Agnesia memecah keheningan.Raka menoleh pelan. “Hmm?”“Kamu masih ngerasa sakit?” tanyanya, matanya melirik cemas ke arah Raka.“Enggak. Tapi tadi itu aneh. Rasanya kayak ada potongan dalam diriku yang tiba-tiba aktif.”Agnesia menahan napas, lalu berpura-pura tersenyum. “Itu cuma panik. Suara ledakan memang bisa
Dalam setahun terakhir, Raka hidup bersama Agnesia.Di mata dunia, mereka terlihat sempurna sepasang kekasih yang saling mencinta, hidup tanpa kekurangan, dengan masa depan yang tampak jelas di depan mata.Tapi bagi Agnesia, semua itu hanyalah ilusi yang ia pertahankan dengan segala cara.Setiap hari, ia bangun dengan satu ketakutan, bahwa Raka akan mengingat siapa dirinya sebenarnya. Dan hari itu ketakutan itu datang.Sore itu, langit mulai menggelap perlahan di luar jendela kaca mall. Musik lembut mengalun dari pengeras suara. Agnesia menggandeng tangan Raka, berjalan santai melewati lorong toko-toko, sesekali berhenti untuk melihat barang-barang yang tak terlalu penting. Senyumnya tidak pernah lepas, seperti ingin meyakinkan diri bahwa semuanya masih baik-baik saja.“Kita beli sepatu dulu atau minum sesuatu?” tanyanya manis.Raka mengangguk pelan. “Kamu yang pilih.”Agnesia tersenyum, senyum yang selalu ia latih di depan cermin. Tapi di baliknya, ada tekanan yang menghantam dadanya
Sebulan telah berlalu sejak Adelia pulang ke rumah itu. Rumah yang kini terasa kosong, meski tubuhnya hidup, tapi jiwanya seperti telah mati bersama kenangan-kenangan yang ia kubur paksa. Amelia, adik kesayangannya, telah kembali ke asrama mahasiswa. Meninggalkan Adelia seorang diri bersama dinding-dinding bisu dan kenangan yang menghantui. Setiap hari Antoni memastikan Adelia makan tepat waktu, dan para asisten rumah tangga merawatnya dengan penuh perhatian. Tapi tak satu pun dari mereka bisa mengisi kehampaan dalam dada Adelia. Luka yang ia simpan begitu dalam, terutama karena satu nama yang tak pernah bisa ia lupakan: Raka Anggana. Tak ada yang tahu kalau ternyata Raka masih hidup. Hari itu, saat mobilnya terjun ke jurang, Agnesia—perempuan yang diam-diam mengikutinya—berada tak jauh dari tempat kejadian. Dengan penuh kepanikan tapi juga niat tersembunyi, Agnesia berhasil menarik tubuh Raka keluar sebelum ledakan terjadi. Ia tidak menelepon ambulans. Ia tidak melapor pada polisi
Sebulan telah berlalu sejak hari itu hari paling mengerikan dalam hidup Adelia. Hari ketika kabar kecelakaan Raka mengguncang seluruh jiwanya. Hari ketika harapan dihempaskan, dan cinta dibenamkan dalam ketidakpastian yang kejam.Adelia kini telah kembali ke rumah, bersama Delara, bayi kecil yang mungil dan cantik yang menjadi satu-satunya alasan ia bertahan. Delara Anggana. Bayi itu membawa nama belakang ayahnya, dan wajahnya adalah cerminan lelaki yang kini hilang entah ke mana.Wajah kecil Delara seakan menyayat luka lama yang belum mengering.Pagi itu, Amel harus kembali ke asrama mahasiswa. Ia memeluk kakaknya erat sebelum pergi, menatap mata Adelia dengan air mata tertahan. “Kak, tolong jaga dirimu jangan menyerah. Kak Raka pasti kembali.”Amelia memeluk kakaknya dengan erat, ia sedih harus meninggalkan kakaknya yang sedang berduka.Tapi Adelia hanya tersenyum tipis, menunduk tanpa berkata apa-apa. Setelah kepergian Amel, rumah itu terasa lebih sunyi. Sepi, meskipun Antoni dan p
Adelia duduk diam menatap jendela ruang perawatan, hujan masih turun seperti tidak pernah mengenal kata lelah. Sudah seminggu berlalu sejak kecelakaan itu merenggut Raka darinya sosok yang telah menjadi sandaran hidup dan ayah dari anak yang kini tengah tertidur dalam inkubator kecil, di ruangan sebelah.Di sisinya, Damares berdiri membawa secangkir teh hangat. Wajahnya tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang baru kembali muncul setelah bertahun-tahun menghilang. Ia menatap Adelia penuh iba, seolah luka di hati perempuan itu bisa disembuhkan hanya dengan hadir dan berkata, “Semua akan baik-baik saja.”"Minum ini dulu, Del kamu belum makan apa pun dari pagi,” ucap Damares pelan, menyodorkan cangkir itu dengan hati-hati.Adelia menggeleng pelan, matanya tetap menatap hujan yang jatuh membasahi dunia luar. “Aku tidak haus.”“Tubuhmu butuh energi. Kamu baru saja melahirkan, kamu harus jaga kesehatan kalau mau jaga Delara.”Nama itu. Delara Anggana.Adelia menamainya sendiri, di
Langit pagi itu tampak suram, seolah tahu ada tragedi yang akan datang. Awan menggulung pekat, menyembunyikan cahaya mentari yang biasanya hangat menyapa bumi. Namun, Adelia yang tengah mengandung buah hatinya dengan Raka tetap bersikeras untuk menjalani pemeriksaan rutin ke rumah sakit.Perutnya sudah membesar. Delapan bulan usia kehamilannya, dan bayinya mulai aktif menendang mengingatkannya bahwa kehidupan kecil itu tumbuh dengan harapan."Sayang, kita kembali saja, ya?" bisik Adelia sambil menatap ke luar jendela mobil yang mulai diselimuti embun. "Langitnya gelap. Aku takut hujan deras turun."Raka, yang sedang menyetir, hanya menoleh singkat dan tersenyum menenangkan. "Jangan khawatir. Aku sudah cek cuaca. Kita bisa sampai rumah sakit sebelum badai benar-benar datang."Tapi alam seakan ingin menguji keyakinan mereka.Setengah perjalanan, hujan tiba-tiba turun tanpa ampun. Petir menyambar, langit meraung, dan pandangan jadi begitu terbatas. Wiper mobil bekerja keras, namun jalana