Raka Anggana berdiri di depan jendela ruang kerjanya. Di luar, kota berjalan seperti biasa. Tapi di dalam dirinya, badai sudah mulai mengguncang. Ia memegang secarik kertas laporan awal tentang pria bernama Dimas Wirawan.
“Punya bisnis legal tapi semua hasilnya haram,” gumam Raka. “Main di bawah, jual informasi, punya anak buah yang tersebar di banyak tempat.” Wajahnya menegang. Orang seperti ini tidak bisa dibiarkan hidup terlalu lama. Ia menaruh laporan itu, lalu meraih ponsel. Jari-jarinya bergerak cepat. “Temukan kelemahan Dimas. Aku ingin semua rekam jejaknya, dari dulu hingga sekarang. Termasuk orang-orang yang pernah berurusan dengannya. Segera.” Raka bukan pria biasa. Di balik wibawa dan senyumnya, ada sisi kelam yang tak banyak orang tahu. Ia tumbuh bersama dunia bawah, dan meskipun kini lebih tenang, bukan berarti ia kehilangan taring. Sementara itu di rumah, Adelia masih mencoba bicara dengan Amelia. Namun gadis itu belum mau membuka hati. Ia lebih banyak diam, bahkan menghindar saat Adelia mendekat. “Amel…” suara Adelia lirih di depan pintu kamar. “Kakak rela kau membenci kakak… tapi jangan percaya pada Dimas. Dia bukan orang baik.” Tak ada balasan. Tapi dari balik pintu, Amelia bisa mendengar suara tangis itu. Suara yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Kini, ia hanya merasa asing. Namun sesuatu dalam hatinya mulai goyah. Malam harinya, Raka masuk ke kamar dan mendapati Adelia duduk termenung di ranjang. “Dia belum mau bicara” bisik Adelia. Raka duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam tangan Adelia erat. “Percayalah, Del. Semua ini akan segera selesai. Aku nggak akan biarkan orang itu merusak keluarga kita.” Adelia menatap Raka, bingung. “Kamu akan melakukan apa?” Tatapan Adelia sangat sayu, terlihat seperti ia tidak memiliki semangat hidup. Raka tidak menjawab. Ia hanya mencium tangan Adelia perlahan, lalu berdiri. Matanya tajam. “Tidurlah. Aku akan pastikan besok semuanya berubah.” Keesokan harinya, Dimas menerima pesan dari seseorang yang tak ia kenal. Isinya hanya sebuah kalimat. “Jangan menyentuh milik Raka Anggana.” Dimas tersenyum. Lalu tertawa. “Jadi akhirnya kau bergerak juga, Raka?” gumamnya. “Sudah waktunya permainan ini naik level.” Dimas merasa lebih bersemangat lagi untuk mengacaukan hidupnya. Ia membanting gelas di hadapannya. “Tapi kau terlalu naif kalau mengira bisa menghapus aku semudah itu.” Dimas membuka laptop, menyambungkan ke jaringan pribadinya. Ia mengetik sesuatu, lalu muncullah data tentang beberapa orang penting dalam jaringan Raka. Ia mulai menyusun serangan balik. “Kau ingin perang, Raka? Ayo kita lihat siapa yang akan terbakar duluan.” Malam itu, Amelia akhirnya keluar dari kamar. Ia berjalan perlahan ke arah dapur untuk mengambil air, tapi tak sengaja mendengar pembicaraan Raka dengan salah satu orang kepercayaannya. “Kita harus cari celahnya dari si wanita bernama Agnesia Halim. Dia mantan pacar Raka. Dimas tahu itu. Dan dia sedang coba memanfaatkannya.” Amelia membeku. “Dimas nggak cuma ingin hancurkan rumah tangga kakakku… dia mau buat semuanya runtuh.” Ia kembali ke kamarnya. Matanya mulai memerah. Hatinya remuk. Apa yang telah ia lakukan selama ini? Ia mulai sadar, mungkin semua yang dikatakan Adelia benar. Di sisi lain kota, Dimas bertemu Agnesia. “Aku tahu kamu masih punya rasa dengan Raka,” ucap Dimas pelan sambil menyodorkan foto-foto kedekatan Raka dengan Adelia. “Wanita itu hanya numpang hidup darinya. Coba lihat siapa dia sebenarnya. Adelia Anjani… gadis kampung yang jual kehormatannya demi uang. Dan sekarang hidup enak di rumah mewah.” Dimas mencoba meracuni pikiran Agnesia supaya ia membantu Dimas untuk menghancurkan Raka Anggana. Agnesia menggertakkan giginya. Luka lama di hatinya kembali menganga. Rasa dendam yang selama ini ia tekan, mulai naik ke permukaan. “Apa yang kamu inginkan dariku?” tanya Agnesia dingin. Dimas tersenyum licik. “Bantu aku buka topeng mereka. Lalu lihat bagaimana Raka bertekuk lutut di hadapan dunia.” Di rumah, Raka duduk bersama Adelia dan Amelia di meja makan. Amelia menatap kakaknya lama, lalu bicara lirih, “Kak… maaf.” Adelia menatapnya kaget. “Amel…” “Aku salah. Aku percaya orang yang salah. Aku terlalu labil,” ucap Amelia sambil menggenggam tangan Adelia. Adelia langsung memeluk adiknya. Raka pun mengangguk tenang. Namun dalam pelukan itu, Adelia berbisik, “Tapi ini belum berakhir, Mel. Dimas belum menyerah.” Dan Raka mengangguk, menyadari bahwa pertarungan sesungguhnya baru saja dimulai.Hati yang telah tunggu, setelah beberapa hari kemarin banyak kejadian yang membuat hati dan pikiran lelah. Pesta ulang tahun Amel akan digelar sederhana tapi penuh kehangatan. Balon berwarna pastel menghiasi ruang tengah, lilin menyala di atas kue tart stroberi yang Amel suka. Beberapa tetangga dan anak-anak panti asuhan undangan Raka ikut meramaikan suasana. Tapi di balik tawa dan senyum yang terpampang di wajah semua orang, ada badai yang tengah menunggu waktu untuk meledak. Adelia berdiri di sisi Amel, menggenggam tangan adiknya yang tampak sedikit murung. Sejak kemarin, Amel sulit tersenyum penuh. Hatinya belum sepenuhnya tenang sejak pesan-pesan misterius dari Dimas terus masuk. Raka berdiri tak jauh dari mereka, berbincang dengan Antoni tangan kanan sekaligus pengawalnya yang paling bisa dipercaya. Tatapan mereka saling bertukar serius, seolah menyadari ada sesuatu yang tak beres sejak pagi. "Aku tidak suka suasana ini, Bos," bisik Antoni. "Terlalu tenang." Raka men
Setelah beberapa hari berlalu setelah pertemuan Amel dengan Dimas, semuanya terlihat seperti biasa.Suara langkah kaki Amel terdengar pelan menuruni tangga. Malam itu sunyi, hanya desiran angin dari sela jendela yang sedikit mengusik keheningan rumah. Di ruang tengah, Adelia dan Raka duduk berdampingan di sofa, belum bisa tenang setelah insiden di gudang. Tatapan Adelia langsung menajam ketika melihat sosok adiknya muncul dari balik dinding. "Amel," panggilnya lembut. Amel berhenti sejenak, seolah ragu untuk melangkah lebih dekat. Tapi ia tahu, jika malam ini tak bicara, semuanya akan memburuk. Ia duduk perlahan di kursi seberang. Jemarinya saling menggenggam erat. Ada ketakutan di matanya campuran rasa bersalah dan keraguan. “Aku… aku minta maaf, Kak,” ucap Amel akhirnya, suaranya serak. “Aku pergi tanpa bilang apa pun. Aku cuma butuh jawaban.” Adelia menggenggam tangan Raka sesaat, lalu menatap adiknya. “Jawaban dari pria yang pernah menghancurkan hidupku?” Amel menunduk. “Di
Langkah Amelia menyusuri trotoar malam itu terasa ragu, tapi tekadnya tak surut. Ia terus menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari nomor tak dikenal. “Datanglah ke taman kota, bangku paling ujung. Jangan ajak siapa pun. Aku akan tunjukkan semuanya.” Amel tahu siapa pengirimnya. Hatinya masih bimbang, tapi rasa ingin tahu jauh lebih kuat dari logika. Ia ingin tahu kebenaran yang selalu menggantung di kepalanya. Apalagi ia masih berusia 15 tahun, rasa ingin tahunya sangat tinggi, terutama mengenai pesan yang terus di kirimkan Dimas padanya tanpa henti. Apakah benar... kakaknya menjual kehormatan demi dirinya? kata-kata itu seolah bagai beling yang menancap di jantungnya selama ini. Ia menunduk. Nafasnya semakin kencang. Angin malam menyapu rambutnya, membuat tubuhnya menggigil. Tapi jauh lebih dingin dari udara adalah bayang-bayang rasa bersalah dan kebencian yang mulai tumbuh dalam hati kecilnya. Dari kejauhan, seseorang berjalan mengikuti dengan langkah yang terlat
Pintu rumah terbuka perlahan. Sosok Raka masuk dengan langkah tertatih, darah mengering di lengan dan bajunya kusut. Sorot matanya tajam, tapi tubuhnya tak lagi setegap biasanya. Antoni mengikuti di belakang, memegangi perutnya yang terkena serpihan peluru. “Raka!” Adelia segera berlari dari ruang tengah. Napasnya tercekat saat melihat suaminya dalam keadaan seperti itu. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar melihat luka di bahu Raka. “Apa yang terjadi?! Astaga, kamu terluka!” Adelia langsung menggamit tangan Raka, membantunya duduk di sofa. “Kenapa kamu nggak bilang mau ke tempat berbahaya?!” Raka hanya menatapnya dalam diam. Ia menarik napas dalam dan mengusap rambut istrinya dengan lembut. “Tenang, aku baik-baik saja... cuma... luka kecil.” “Luka kecil dari mana?!” Adelia meraih kotak P3K dengan tangan gemetar. Ia membersihkan luka Raka dengan tangan yang berkeringat. “Kamu... kamu selalu bilang akan lindungi aku. Tapi bagaimana kalau kamu...” “Delia,” Raka menyentuh pipinya.
Setelah aksesnya di blokir oleh Raka, ia tetap berusaha untuk menghubungi Raka Anggana. Pagi setelah matahari terbit, Adelia sudah menyiapkan sarapan dan pakaian yang akan di pakai oleh Raka. Amelia, yang masih dalam perawatan tidak bisa sepenuh membantu kakaknya mengurus semua keperluan mereka. Tapi semampunya ia tetap berusaha. Raka, sesaat sebelum berangkat ke kantor, ia melihat beberapa pesan di ponselnya dari Agnesia yang memintanya datang ke sebuah gedung tua, gedung yang dulunya tempat mereka sering transaksi sebelum mereka bermusuhan. "Apalagi yang dia inginkan? setelah memfitnah ku, aku tau dia menginginkan sesuatu yang lain," ucapnya, tapi kali ini ia tidak akan membiarkan Agnesia melancarkan aksinya. Gudang tua itu tak berubah sejak terakhir kali Raka menginjakkan kaki di sana gelap, lembap, dan penuh debu masa lalu. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, tempat itu jadi panggung bagi dua masa lalu yang tak selesai. Raka berdiri tegak di tengah ruangan, bahunya rileks, ta
Suasana kamar sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Adelia duduk di tepi ranjang, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tapi malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, dan akhirnya suara pintu diketuk keras dari luar."Ka, kita harus bicara. Sekarang!" suara Amelia terdengar jelas, lebih mendesak daripada biasanya.Adelia menarik napas panjang. Ia tahu pembicaraan ini akan menyakitkan, tapi ia tidak bisa lagi menghindar. Ia membuka pintu, dan Amel langsung masuk dengan wajah penuh emosi."Kak... aku sudah tahu semuanya," ujar Amel dengan suara berat. "Malam itu, operasi... dan pria itu Dimas."Tubuh Adelia menegang. Ia menatap mata Amel yang berkaca-kaca, seakan menuntut penjelasan."Aku dengar dari orang itu sendiri, Kak. Dimas bilang semuanya tentang malam itu, tentang uang itu," lanjut Amel dengan suara bergetar.Adelia nyaris roboh. Jantungnya terasa diremas-remas. Ia tahu hari ini akan tiba, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini."Maafkan Kakak, Mel..."