Sudah seminggu sejak Amelia kembali luluh dan memeluk kakaknya. Rumah itu mulai terasa hangat kembali. Adelia bisa tertawa kecil saat memasak, dan Raka pun kerap menatap istrinya penuh kasih, meski belum menyentuhnya sepenuh hati.
Tapi kebahagiaan mereka ternyata hanya jeda sesaat sebelum badai besar datang menghantam. Pagi itu, Raka baru saja keluar dari kamar ketika ponselnya berbunyi. Nama di layar Agnesia Halim. Wajah Raka langsung berubah. Ia mematung beberapa detik, lalu menjawab dengan suara tenang yang menyembunyikan kegelisahan. “Agnesia...” “Aku di Jakarta. Kita perlu bicara.” “Untuk apa?” Raka bertanya datar. “Kau masih berhutang banyak hal padaku, Raka. Setidaknya beri aku satu jam.” Raka terdiam sejenak. Lalu mengangguk, meski tak ada yang bisa melihatnya. “Di tempat biasa. Satu jam lagi.” Adelia melihat Raka bersiap-siap dari ruang makan. Ia tidak curiga, tapi perasaannya entah kenapa sedikit tidak tenang. “Mas, kamu ke luar kota lagi?” tanyanya lembut. “Enggak. Cuma ketemu orang sebentar. Ada urusan kerjaan,” jawab Raka sambil tersenyum kecil. Adelia mengangguk, walau hatinya tetap gelisah. Di sebuah kafe mewah di bilangan Sudirman, Agnesia Halim duduk anggun mengenakan dress hitam elegan. Wajahnya tetap cantik seperti dulu, tapi sorot matanya tajam penuh luka dan dendam yang belum sembuh. Begitu Raka datang dan duduk di hadapannya, Agnesia langsung menyeringai. “Kau berubah. Tapi mata itu… masih sama. Masih menyimpan rahasia.” Raka menatapnya dingin. “Langsung ke intinya. Kau kemari karena Dimas?” Agnesia tertawa pelan. “Tentu saja tidak. Aku datang karena aku ingin kembali.” “Jangan bercanda, Agnes.” “Aku serius, Raka. Kau tahu aku satu-satunya wanita yang pernah mencintaimu dengan jujur. Tapi kau campakkan aku, untuk perempuan kampungan yang kau temui entah di mana.” “Cukup.” Nada suara Raka meninggi. “Adelia adalah istriku. Dan kau tidak berhak mencampuri urusan kami.” Agnesia mendekatkan wajahnya ke meja. “Apa dia tahu? Kalau aku wanita pertama yang membuatmu menangis? Apa dia tahu kamu dulu memohon agar aku tidak pergi?” “Waktu kita sudah selesai, Agnesia. Jangan muncul hanya karena aku sudah bahagia.” Agnesia tersenyum dingin. “Belum tentu kau akan tetap bahagia setelah ini.” Hari mulai sore saat Raka kembali ke rumah. Adelia menyambutnya dengan senyum, meski hatinya seperti merasakan sesuatu yang tak terlihat. “Kamu kenapa?” tanya Adelia. “Nggak apa-apa, cuma capek.” Adelia ingin percaya, tapi malam itu Raka terlihat lebih banyak diam. Ia menatap langit dari balkon kamarnya, seolah sedang dihantui oleh masa lalu. Keesokan harinya, Adelia dikejutkan oleh kedatangan seorang wanita asing di depan rumah mereka. “Ada yang bisa saya bantu?” tanya Adelia sopan. Wanita itu tersenyum. Matanya tajam dan senyumnya licin. “Nama saya Agnesia. Aku sahabat lama suamimu.” matanya tajam dan bibirnya seolah menyimpan rahasia dan luka. Adelia terdiam. Hatinya langsung dicekam perasaan aneh. Namun ia tetap tersenyum dan menyuruhnya masuk. Raka yang baru turun dari lantai atas langsung membeku melihat keduanya. “Mas, kenalkan... katanya dia teman lama kamu...” suara Adelia menggantung tapi tatapan matanya terlihat sedih, kenapa sahabat lama suaminya tiba-tiba saja muncul saat rumah tangganya mulai adem. Raka mengangguk pelan. “Iya... dia teman lama...” tapi sorot mata Raka terhadap Agnesia sangat tajam. Hari-hari berikutnya, Agnesia mulai sering datang. Ia pandai bersandiwara, membuat dirinya tampak seperti teman biasa. Tapi Adelia tak buta. Ia tahu, pandangan mata wanita itu pada Raka bukan sekadar nostalgia. Suatu malam, saat semua sedang bersiap tidur, Adelia mendekati Raka. “Mas…” “Hmm?” “Aku cuma mau bilang, aku tahu siapa dia. Dan aku nggak akan marah… asalkan kamu jujur.” Raka memejamkan matanya. “Aku nggak pernah berniat menyakitimu, Del.” Adelia mengangguk pelan. “Aku tahu. Tapi bukan kamu yang ku khawatirkan. Dia.” Setelah bicara Raka pergi ke sofa sedangkan Adelia di atas ranjang seperti biasanya. Di tempat lain, Dimas tersenyum melihat layar ponselnya. Agnesia ternyata menjalankan rencananya dengan baik. “Keluarga itu akan hancur dengan sendirinya,” gumamnya. Lalu ia mengirim pesan singkat ke Agnesia, "Bagus. Lanjutkan. Buat dia berpikir istrinya nggak cukup untuk memuaskan masa lalunya.”Setelah beberapa hari berlalu setelah pertemuan Amel dengan Dimas, semuanya terlihat seperti biasa.Suara langkah kaki Amel terdengar pelan menuruni tangga. Malam itu sunyi, hanya desiran angin dari sela jendela yang sedikit mengusik keheningan rumah. Di ruang tengah, Adelia dan Raka duduk berdampingan di sofa, belum bisa tenang setelah insiden di gudang. Tatapan Adelia langsung menajam ketika melihat sosok adiknya muncul dari balik dinding. "Amel," panggilnya lembut. Amel berhenti sejenak, seolah ragu untuk melangkah lebih dekat. Tapi ia tahu, jika malam ini tak bicara, semuanya akan memburuk. Ia duduk perlahan di kursi seberang. Jemarinya saling menggenggam erat. Ada ketakutan di matanya campuran rasa bersalah dan keraguan. “Aku… aku minta maaf, Kak,” ucap Amel akhirnya, suaranya serak. “Aku pergi tanpa bilang apa pun. Aku cuma butuh jawaban.” Adelia menggenggam tangan Raka sesaat, lalu menatap adiknya. “Jawaban dari pria yang pernah menghancurkan hidupku?” Amel menunduk. “Di
Langkah Amelia menyusuri trotoar malam itu terasa ragu, tapi tekadnya tak surut. Ia terus menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari nomor tak dikenal. “Datanglah ke taman kota, bangku paling ujung. Jangan ajak siapa pun. Aku akan tunjukkan semuanya.” Amel tahu siapa pengirimnya. Hatinya masih bimbang, tapi rasa ingin tahu jauh lebih kuat dari logika. Ia ingin tahu kebenaran yang selalu menggantung di kepalanya. Apalagi ia masih berusia 15 tahun, rasa ingin tahunya sangat tinggi, terutama mengenai pesan yang terus di kirimkan Dimas padanya tanpa henti. Apakah benar... kakaknya menjual kehormatan demi dirinya? kata-kata itu seolah bagai beling yang menancap di jantungnya selama ini. Ia menunduk. Nafasnya semakin kencang. Angin malam menyapu rambutnya, membuat tubuhnya menggigil. Tapi jauh lebih dingin dari udara adalah bayang-bayang rasa bersalah dan kebencian yang mulai tumbuh dalam hati kecilnya. Dari kejauhan, seseorang berjalan mengikuti dengan langkah yang terlat
Pintu rumah terbuka perlahan. Sosok Raka masuk dengan langkah tertatih, darah mengering di lengan dan bajunya kusut. Sorot matanya tajam, tapi tubuhnya tak lagi setegap biasanya. Antoni mengikuti di belakang, memegangi perutnya yang terkena serpihan peluru. “Raka!” Adelia segera berlari dari ruang tengah. Napasnya tercekat saat melihat suaminya dalam keadaan seperti itu. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar melihat luka di bahu Raka. “Apa yang terjadi?! Astaga, kamu terluka!” Adelia langsung menggamit tangan Raka, membantunya duduk di sofa. “Kenapa kamu nggak bilang mau ke tempat berbahaya?!” Raka hanya menatapnya dalam diam. Ia menarik napas dalam dan mengusap rambut istrinya dengan lembut. “Tenang, aku baik-baik saja... cuma... luka kecil.” “Luka kecil dari mana?!” Adelia meraih kotak P3K dengan tangan gemetar. Ia membersihkan luka Raka dengan tangan yang berkeringat. “Kamu... kamu selalu bilang akan lindungi aku. Tapi bagaimana kalau kamu...” “Delia,” Raka menyentuh pipinya.
Setelah aksesnya di blokir oleh Raka, ia tetap berusaha untuk menghubungi Raka Anggana. Pagi setelah matahari terbit, Adelia sudah menyiapkan sarapan dan pakaian yang akan di pakai oleh Raka. Amelia, yang masih dalam perawatan tidak bisa sepenuh membantu kakaknya mengurus semua keperluan mereka. Tapi semampunya ia tetap berusaha. Raka, sesaat sebelum berangkat ke kantor, ia melihat beberapa pesan di ponselnya dari Agnesia yang memintanya datang ke sebuah gedung tua, gedung yang dulunya tempat mereka sering transaksi sebelum mereka bermusuhan. "Apalagi yang dia inginkan? setelah memfitnah ku, aku tau dia menginginkan sesuatu yang lain," ucapnya, tapi kali ini ia tidak akan membiarkan Agnesia melancarkan aksinya. Gudang tua itu tak berubah sejak terakhir kali Raka menginjakkan kaki di sana gelap, lembap, dan penuh debu masa lalu. Tapi malam ini berbeda. Malam ini, tempat itu jadi panggung bagi dua masa lalu yang tak selesai. Raka berdiri tegak di tengah ruangan, bahunya rileks, ta
Suasana kamar sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Adelia duduk di tepi ranjang, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Tapi malam itu terasa lebih panjang dari biasanya, dan akhirnya suara pintu diketuk keras dari luar."Ka, kita harus bicara. Sekarang!" suara Amelia terdengar jelas, lebih mendesak daripada biasanya.Adelia menarik napas panjang. Ia tahu pembicaraan ini akan menyakitkan, tapi ia tidak bisa lagi menghindar. Ia membuka pintu, dan Amel langsung masuk dengan wajah penuh emosi."Kak... aku sudah tahu semuanya," ujar Amel dengan suara berat. "Malam itu, operasi... dan pria itu Dimas."Tubuh Adelia menegang. Ia menatap mata Amel yang berkaca-kaca, seakan menuntut penjelasan."Aku dengar dari orang itu sendiri, Kak. Dimas bilang semuanya tentang malam itu, tentang uang itu," lanjut Amel dengan suara bergetar.Adelia nyaris roboh. Jantungnya terasa diremas-remas. Ia tahu hari ini akan tiba, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini."Maafkan Kakak, Mel..."
Adelia menatap pantulan dirinya di cermin kamar tidur. Wajahnya pucat, mata sembab, dan senyum yang biasanya merekah kini tak tampak sedikit pun. Sejak pagi, ia tak berkata apa-apa pada Raka. Hanya diam dan terus memikirkan kalimat yang terngiang di telinganya. "Agnesia... hamil anak Raka?" Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di telinganya. Itu bukan sesuatu yang mudah dicerna oleh wanita mana pun, apalagi oleh Adelia yang masih mencoba menyembuhkan luka masa lalu. "Aku harus tenang. Raka bukan tipe pria seperti itu," gumamnya pelan sambil menyentuh perutnya sendiri. Kosong. Datar. Tapi perasaannya berkecamuk. Hatinya seakan hancur berkeping. Suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Raka berdiri di sana dengan wajah lelah, dasi yang sudah longgar, dan tatapan memohon. "Sayang... kita harus bicara." Adelia hanya menatapnya, tak menjawab. Tapi Raka masuk dan duduk di tepi ranjang, mencoba mencari kata. "Agnesia muncul tiba-tiba... aku juga kaget. Dia bilang s