Gedung kantor Anggana berdiri menjulang di tengah hiruk pikuk kota, fasad kacanya memantulkan cahaya matahari yang mulai meninggi. Udara di sekitarnya terasa bersih, bercampur aroma kopi dari kafe kecil di sudut lobi. Begitu mobil hitam Raka berhenti di depan pintu utama, satpam segera berlari kecil membukakan pintu, sementara dua resepsionis menyambut dengan senyum profesional. “Selamat pagi, Tuan Raka. Selamat pagi, Nyonya,” ucap salah satunya sambil menunduk sopan. Raka membalas dengan anggukan hangat. Di gendongannya, Delara menatap semua orang dengan rasa ingin tahu yang khas anak kecil. Mata bulatnya bergerak ke sana kemari, memperhatikan setiap detail yang lewat di hadapannya. Adelia berjalan di sisi Raka, langkahnya tenang namun penuh wibawa, aura seorang istri pemimpin perusahaan yang sekaligus lembut sebagai ibu. Karyawan dan staf yang mereka lewati memberi salam hangat. Ada yang sekadar tersenyum, ada pula yang memberi ucapan singkat. Di belakang semua keramahan itu, ter
Pagi itu, sinar mentari masuk pelan-pelan melalui celah tirai kamar. Cahaya keemasan itu menyapu lembut wajah Adelia, membuat bulu matanya bergetar sebelum akhirnya ia membuka mata. Udara di dalam kamar terasa sejuk, wangi sabun dari pakaian yang dilipat semalam masih samar-samar tercium. Adelia duduk perlahan di tepi ranjang, merasakan kaki menyentuh karpet hangat. Ia menghela napas, membiarkan kesunyian pagi itu menyapanya, lalu segera berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.Air hangat membasuh kulitnya, menenangkan otot-otot yang tegang setelah malam panjang bersama Raka. Setiap tetes air yang mengalir dari ujung rambutnya menghapus rasa kantuk, menggantinya dengan kesegaran. Ia menatap wajahnya di cermin kamar mandi, mata yang sedikit sembab, pipi merona, dan senyum kecil yang tak bisa ia tahan saat mengingat tatapan Raka tadi malam. Setelah selesai, ia membungkus tubuhnya dengan handuk, melangkah ringan ke kamar Delara.Delara, si kecil yang manis, sudah bangun dan duduk di ranj
Di hotel malam itu, suasana begitu sunyi, hanya terdengar desah napas Antoni yang berat, seiring dengan berlalunya waktu yang terasa begitu lama. Ia terbaring di ranjang besar, tubuhnya terasa begitu lelah, tetapi pikirannya tak pernah benar-benar tenang. Setiap kali matanya terpejam, wajah Adelia muncul, namun kali ini bukan dalam ingatan yang manis. Ia hanya bisa merasakan penyesalan yang menggerogoti hatinya. Antoni memutar tubuhnya ke arah lain, mencoba menghindari bayangan itu, namun sia-sia."Kenapa harus begitu? Kenapa harus ada perasaan ini?" tanyanya dalam hati.Ia bisa merasakan betapa dalam rasa itu mencengkeram hatinya, seakan tak bisa ia kendalikan. Antoni tahu, perasaannya salah. Ia seharusnya bisa menjaga jarak, bisa memahami batas antara kasih sayang dan cinta. Namun, kenyataannya, hati manusia tidak bisa dikendalikan oleh akal sehat. Setiap kali ia memandang Adelia, ada perasaan yang lebih dari sekadar teman atau sekadar keluarga. Ada kekosongan dalam hatinya yang tak
Malam itu Antoni pulang dengan langkah gontai, mabuk dan basah oleh hujan. Bau alkohol menyengat dari tubuhnya saat ia masuk ke rumah Anggana. Rambutnya berantakan, napasnya berat, dan matanya merah bukan hanya karena minuman, tapi karena perang batin yang tak lagi bisa ia kendalikan. Ia berdiri lama di ambang pintu, memandangi ruang tamu yang sudah tenang. Rumah itu terlalu hangat untuk hatinya yang dingin. Terlalu damai untuk jiwa yang sedang bergejolak. Pelan-pelan ia melewati ruang tengah, lalu berhenti. Di sana, Adelia tertidur sambil memeluk Delara yang mulai besar. Raka duduk di lantai, bersandar di pinggiran sofa sambil memperhatikan keduanya. Antoni terdiam. Pandangan itu menghantam dadanya seperti palu. Ia terlalu lama di rumah ini. Terlalu dekat. Terlalu nyaman. Dan kini… terlalu terluka. Tak berkata apa-apa, ia langsung masuk ke kamarnya, mengunci pintu rapat-rapat, dan malam itu ia menangis sendirian. Tangis yang tak bersuara, hanya terdengar dari deru napas yang sese
Malam kembali turun, setelah ia kembali dari rumah Dimas Wirawan, membawa sunyi yang menyesakkan. Di dalam sebuah bar tua yang sepi dari pengunjung, Antoni duduk sendirian di pojok ruangan. Gelas kosong di depannya sudah tiga, dan yang keempat sedang ia genggam erat. Wajahnya sembab, matanya sembunyi di balik bayang-bayang lampu remang. Ia tidak bicara pada siapa pun. Hanya meneguk, meneguk, dan meneguk, seolah mencoba melarutkan perasaan yang tak pantas ia miliki. "Raka, maafkan aku." Kalimat itu hanya terucap di dalam batin. Ia tak berani mengucapkannya secara lantang di depan sahabatnya Raka Anggana. Tak berani menatap wajah sahabatnya dan mengakui bahwa hatinya telah menyimpang dari jalur yang ia jaga selama ini. Ya, ia mencintai Adelia. Ia sadar akan hal itu sekarang. Setelah semua kejadian, setelah pukulan dan caci maki dari Dimas, setelah melihat bagaimana Raka dan Adelia saling menggenggam lagi. Ia menyadarinya. Dan itu sangat menyakitkan hatinya. Karena cinta itu tidak
Langkah Antoni meninggalkan kamar Raka dan Adelia terasa berat. Hatinya bergemuruh, bukan karena marah tapi karena campur aduk yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Ia membuka pintu rumah dan berjalan menuju mobilnya. Tidak menoleh ke belakang. Tidak peduli suara tangis atau ketegangan yang tertinggal. Ada satu orang yang harus ia temui malam ini. Satu racun yang harus ia tumpas dengan tangannya sendiri. Dimas. Rumah pria itu terletak di daerah sepi, dijaga dua orang preman yang hanya bisa saling lempar tatapan saat Antoni datang. Mereka tahu siapa Antoni. Mereka tahu tangan itu bukan sekadar tangan pengawal tapi tangan berdosa yang mampu merenggut nyawa tanpa suara. Antoni masuk tanpa salam, tanpa basa-basi. Langsung menuju ruang tamu tempat Dimas duduk santai dengan rokok di tangannya. Dan tanpa peringatan. BUGGHH! Tinju keras menghantam rahang Dimas, membuatnya terlempar dari sofa. Darah memancar dari sudut bibirnya. "Antoni, gila kau?!" bentaknya. BUGHH! Satu pukulan