Raka menghela napas setelah percakapan singkat dengan Antoni. Ia menepuk bahu sahabatnya itu, lalu berkata tegas, “Antoni, aku ingin kau segera membereskan semua pekerjaan yang menumpuk, terutama laporan keuangan bulan ini. Kau tahu hanya kau yang paling bisa kupercaya mengurus keuangan Anggana Grup. Aku tidak ingin ada kesalahan sedikit pun.”Antoni mengangguk, mencoba fokus pada permintaan Raka meski pikirannya masih berkecamuk. “Baik, Raka. Aku akan segera mengerjakannya.”Keuangan Anggana Grup memang sepenuhnya berada di tangan Antoni. Raka bahkan jarang ikut campur, sebab kepercayaan itu sudah dibangun selama bertahun-tahun. Namun, kepercayaan itu kini terasa rapuh di tengah badai yang mulai terlihat di kejauhan, badai yang dibawa oleh Dimas.Hari itu, Raka juga menerima tawaran kerja sama dari seorang teman lamanya seorang mafia yang dulu pernah bekerja sama dengannya di masa kelam. Orang itu ingin Raka kembali terlibat dalam jaringan black market yang menguntungkan, namun penuh
Antoni menghela napas dalam-dalam saat mobilnya melaju menuju kantor. Jantungnya terus berdegup kencang, tak bisa disembunyikan meski ia berusaha mengontrolnya. Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan, sesuatu yang menahan langkahnya kembali ke dunia yang selama ini ia coba hindari.Di luar, langit tampak cerah, seolah tak peduli dengan kekacauan dalam diri Antoni. Ia merasakan dadanya berdebar tak terkendali, dan seiring dengan setiap tikungan yang dilalui mobilnya, perasaan bersalah itu kian menyelubungi dirinya. Setiap langkah menuju kantor seperti langkah yang semakin mendekatkan dirinya pada jurang yang dalam.Setibanya di kantor, ia memarkirkan mobil dan melangkah dengan langkah pasti, meski jantungnya tetap berdegup keras. Saat ia memasuki pintu utama, suasana kantor yang sibuk dan penuh aktivitas menyambutnya, namun ada satu hal yang membuat hati Antoni sedikit tenang ia sudah sampai di tempat yang ia takuti, tapi juga yan
Mobil Raka melambat saat memasuki halaman rumah. Suara ban yang menggesek kerikil di jalan masuk terdengar lembut di siang yang terik itu. Dari balik kaca, Adelia melirik Delara yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil putri kecilnya tampak tenang, napasnya teratur, sesekali bibirnya bergerak seolah masih menikmati rasa makanan yang tadi disantap di restoran.Raka mematikan mesin, lalu cepat keluar dari mobil untuk membukakan pintu.“Hati-hati, sayang,” ujarnya sambil mengulurkan tangan pada Adelia.Adelia tersenyum tipis, menerima uluran itu sambil mengangkat tubuh Delara perlahan. Udara panas langsung menyergap ketika kakinya menapak di luar, membuatnya menyipitkan mata sebentar.Mereka berjalan masuk ke dalam rumah. Begitu pintu ditutup, hawa sejuk dari pendingin ruangan menyelimuti tubuh mereka. Aroma lembut pewangi ruangan bercampur dengan wangi khas rumah yang membuat Adelia sedikit rileks.Ia langsung menuju kamar Delara. Dengan hati-hati, ia membaringkan anaknya di ranjang k
Cahaya matahari siang menembus kaca besar restoran, memantulkan kilau ke meja-meja berlapis marmer putih. Aroma gurih daging panggang dan rempah mengalir di udara, bercampur dengan denting gelas dan sendok yang beradu pelan. Pelayan berseragam hitam putih bergerak cepat namun tetap tenang, mengantar hidangan ke setiap meja. Di sudut dekat jendela, Raka duduk tegap mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung rapi. Senyumnya mengembang setiap kali memandang dua orang di depannya: Adelia yang anggun dalam balutan blus krem, dan Delara yang sibuk mencoba memotong pasta dengan garpu kecil.“Pelan-pelan, sayang, nanti jatuh,” ujar Adelia lembut sambil memegang tangan Delara.Delara terkikik, mengangguk, lalu memandangi ayahnya. “Papa, lihat, Delara bisa sendiri.”Raka mengangguk sambil tersenyum, hatinya hangat. Momen seperti ini ini alasan aku bekerja keras setiap hari. Mereka berbincang ringan. Adelia bercerita tentang hal-hal kecil di rumah, Delara menyelipkan celotehan polosnya, dan
Gedung kantor Anggana berdiri menjulang di tengah hiruk pikuk kota, fasad kacanya memantulkan cahaya matahari yang mulai meninggi. Udara di sekitarnya terasa bersih, bercampur aroma kopi dari kafe kecil di sudut lobi. Begitu mobil hitam Raka berhenti di depan pintu utama, satpam segera berlari kecil membukakan pintu, sementara dua resepsionis menyambut dengan senyum profesional. “Selamat pagi, Tuan Raka. Selamat pagi, Nyonya,” ucap salah satunya sambil menunduk sopan. Raka membalas dengan anggukan hangat. Di gendongannya, Delara menatap semua orang dengan rasa ingin tahu yang khas anak kecil. Mata bulatnya bergerak ke sana kemari, memperhatikan setiap detail yang lewat di hadapannya. Adelia berjalan di sisi Raka, langkahnya tenang namun penuh wibawa, aura seorang istri pemimpin perusahaan yang sekaligus lembut sebagai ibu. Karyawan dan staf yang mereka lewati memberi salam hangat. Ada yang sekadar tersenyum, ada pula yang memberi ucapan singkat. Di belakang semua keramahan itu, ter
Pagi itu, sinar mentari masuk pelan-pelan melalui celah tirai kamar. Cahaya keemasan itu menyapu lembut wajah Adelia, membuat bulu matanya bergetar sebelum akhirnya ia membuka mata. Udara di dalam kamar terasa sejuk, wangi sabun dari pakaian yang dilipat semalam masih samar-samar tercium. Adelia duduk perlahan di tepi ranjang, merasakan kaki menyentuh karpet hangat. Ia menghela napas, membiarkan kesunyian pagi itu menyapanya, lalu segera berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.Air hangat membasuh kulitnya, menenangkan otot-otot yang tegang setelah malam panjang bersama Raka. Setiap tetes air yang mengalir dari ujung rambutnya menghapus rasa kantuk, menggantinya dengan kesegaran. Ia menatap wajahnya di cermin kamar mandi, mata yang sedikit sembab, pipi merona, dan senyum kecil yang tak bisa ia tahan saat mengingat tatapan Raka tadi malam. Setelah selesai, ia membungkus tubuhnya dengan handuk, melangkah ringan ke kamar Delara.Delara, si kecil yang manis, sudah bangun dan duduk di ranj