"Pagi, Kak." "Selamat pagi, Kak Queen." "Wah ... tumbenan Kak Queen ke sini? Oh, ya, kemarin Bu Niken sempet cerita ke kami kalau Bu Suci sakit, ya, Kak? Makanya Kak Queen yang gantiin beliau." Queen mendapat sambutan hangat begitu kakinya melangkah masuk ke butik milik sang bunda. Beberapa pekerja yang memang sudah sangat mengenalnya terlihat antusias melihat keberadaannya di tempat tersebut. Ada pula yang menanyakan perihal kabar sakitnya Suci. Mereka sangat mengkhawatirkan kondisi atasan yang terkenal baik hati itu. Seluruh karyawan di butik tersebut tak pernah kekurangan suatu apa pun karena Suci selalu memberikan tunjangan yang memadai. "Bunda udah sehat kok, mbak. Tapi kata dokter memang perlu istirahat dulu," kata Queen memaparkan dengan raut tenang. "Doain aja, semoga Bunda cepet sembuh." "Ya jelas dong, Kak. Kami pasti doain Bu Suci. Biar gimanapun beliau itu bos paling baik yang pernah ada. Rencananya, nanti setelah selesai kerja kami mau jenguk Bu Suci, Ka
Keluhan Samudra perihal rumah tangganya yang tak semulus kelihatannya, membuat Queen merasa cukup senang mendengarnya. Bukankah itu kabar baik? pikir Queen, diam-diam berharap jika Samudra dan Jannet cepat bercerai. "Kalian berantem masalah apa? Aku pikir, kalian gak akan kayak gitu. Pengantin baru itu harusnya lagi mesra-mesranya, loh." Queen kembali menyandarkan kepala di pundak lebar Samudra yang lagi-lagi terdengar menghela panjang. "Sebenernya ini udah dari dulu berlangsung. Dari awal mungkin memang aku yang salah. Aku kurang tegas sama dia. Aku terlalu ngasih kebebasan. Makanya, waktu aku minta dia buat ngurangin jadwal syuting sama pemotretan, dia marah dan gak terima." Perasaan Samudra merasa plong setelah mencurahkan keluh kesahnya. Masalah yang selama ini jarang orang tahu.."Bang Sam pengennya Jannet itu di rumah aja, gitu?" "Ya ... aku sih gak mau banyak nuntut sama dia. Aku sadar Jannet itu perempuan yang paling gak suka dikekang. Dari dulu sampai sekarang," ujar Samu
Beberapa Minggu ini Queen benar-benar tengah disibukkan dengan aktivitas barunya sebagai pengganti sang bunda di butik. Meski kondisi kesehatan Suci sudah membaik dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa, tetapi Alex sang suami tetap membatasinya. Dua atau tiga kali dalam seminggu, Suci menyempatkan diri sekadar mengecek perkembangan butiknya selama ditangani oleh Queen. Kinerja sang anak tak diragukan lagi. Suci bersyukur sekali bisa membuat Queen menjadi lebih bertanggung jawab pada yang bukan ranahnya. Namun, di sisi lain Suci merasa khawatir apabila Queen kelelahan karena terkadang sampai lupa waktu—mirip seperti dirinya kala itu. Queen bisa pulang hingga larut, demi mengejar target pesanan gaun dari beberapa pelanggan. Seperti halnya malam ini, Queen masih betah berada di ruangan yang menjadi saksi—betapa dia sangat menyukai pekerjaan barunya. Sedikit-sedikit dia pun belajar membuat sketsa gaun yang begitu indah dan terbilang unik. tok! tok! "Masuk!" seru Queen—m
Brakk! Jannet terperanjat ketika Samudra membanting pintu kamar mandi cukup kasar dan keras. Hal itu tentu cukup mengejutkan baginya. "Ada apa dengan Sam? Kenapa aku merasa belakangan ini dia berubah?" Tatapan Jannet nyalang pada pintu kamar mandi. "Apa dia lagi ada masalah di kantor?" Jannet berusaha mengingat-ingat—kalau-kalau ada hal yang terlewati beberapa hari ini. Dia pun tak memungkiri jika dia tidak punya cukup nyali untuk melanjutkan rencananya. Membuat Samudra seolah-olah menidurinya, supaya dia bisa mengaku jika sedang mengandung anak pria itu. "Kehamilanku gak bisa selamanya kututupi terus-menerus. Perut ini lama-lama bakal gede juga." Jannet mengusap perutnya yang masih terlihat rata dari balik lingerie berbahan lace warna merah. " *** Pukul sembilan malam Queen baru saja tiba di rumah. Dan langsung mendapat sambutan dari Suci. "Queen." Langkah Queen berhenti di anak tangga paling bawah. Dia menoleh ke arah sang ibu. "Bunda belum tidur?" tanyanya. "
"Usia kandungannya masih sangat muda, dan masih rentan sekali. Saya minta mbak lebih berhati-hati lagi. Jangan kelelahan dan banyak pikiran." Pernyataan dokter membuat Queen termangu. Otaknya terus mengulang-ulang kata demi kata yang terlontar, mengingatnya baik-baik. Siap tidak siap, hal ini pasti akan terjadi juga. Dia hamil. "Kira-kira berapa usia kandungan saya, Dok?" tanya Queen. Gurat kecemasan serta rasa penasaran tersorot jelas di maniknya yang bening. Queen bahkan meremas tali tas selempang yang tersampir di pundak. "Baru jalan tiga minggu, Mbak," kata dokter. "Tiga minggu." Queen bergumam dengan tatapan kosong dan pikiran ke mana-mana. Dia lantas teringat sesuatu. "tapi dok, kenapa saya gak ngalamin kayak ibu-ibu hamil pada umumnya? Semisal kayak mual-mual, muntah," tanyanya, sebab dia pernah membaca tanda-tanda kehamilan di internet beberapa hari setelah berhubungan dengan Samudra. Dan semua itu tidak dia alami belakangan ini. Sang dokter tersenyum, kemudian menj
"Mereka ke ruang obgyn?" Queen tentu terkejut melihat Jannet dan Justin masuk ke ruangan yang sama dengannya beberapa saat yang lalu. "Mereka mau ngapain ke sana? Siapa yang hamil? Jangan-jangan?" Queen membelalak sambil membekap mulutnya sendiri karena asumsinya. Lalu pikiran-pikiran negatif pun berjejalan di kepala Queen. Dan hal itu sangat menyakitkan baginya. 'Itu artinya, Bang Sam bohong sama aku? Dia bilang kalau dia sama Jannet belum—' Air mata luruh tanpa permisi di pipi Queen. "Bang Sam bohongin aku? Dia ternyata..." Telapak tangan Queen mengepal kuat. "Awas kamu, Bang." Masalah ini harus dipertanyakan oleh yang bersangkutan. Secepatnya Queen ingin meminta penjelasan dari pria yang mengaku mencintainya. Jika memang benar Jannet sedang hamil anak dari Samudra, pastinya lelaki itu sudah berbohong selama ini. Saat ini Queen memutuskan untuk pergi dari rumah sakit, dan bergegas menuju tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Tempat yang akan menjadi tempat pertemuannya d
Setelah berdebat dan meluapkan emosi yang ditahan sejak tadi, Queen akhirnya terlihat tenang. Queen duduk sambil menangkup wajah, dan terisak. Sementara di hadapannya Samudra masih mencerna semua fakta soal Jannet dengan seksama. Apa yang dibeberkan Queen tentu cukup mengejutkan. Samudra lantas berpikir—sejak kapan Jannet dan Justin memiliki hubungan yang cukup dekat? Kenapa selama ini dia bisa tidak mengetahui apa pun? "Sial!" umpat Samudra, dengan rahang mengeras dan gigi yang gemeletuk. Dia begitu kesal—ketika menyadari jika selama ini Jannet telah menipunya. Suara isakan mengalihkan perhatian Samudra seketika, dan lelaki itu lekas menenangkan sang gadis. "Queen, Sayang." Ragu-ragu dia menyentuh lengan Queen. "Dengerin aku, Sayang. Aku bisa jelasin." Queen tak menolak ketika Samudra menyentuh lengannya. Namun, dia enggan membuka telapak tangan yang menutupi wajahnya, serta masih melanjutkan tangisan kekesalannya. "Apa yang mau Bang Sam jelasin lagi? Semuanya udah jela
"Sam ..." Raut Jannet terlihat begitu kecewa saat sang suami, yang berada di atasnya tiba-tiba menghentikan pergerakannya. Padahal, saat ini Jannet benar-benar sudah menginginkan lebih. Tatapan Samudra berubah nyalang, lalu tanpa memedulikan protes dari Jannet, Samudra lantas beringsut mundur, kemudian berjalan menuju kamar mandi. brakk! Jannet tersentak, dan bergegas bangkit. Rautnya seketika memucat karena baru menyadari sesuatu. "Sial! Kenapa aku bisa lupa? Pasti itu alasan kenapa Sam berhenti. Sial! Sial!" Lantas, Jannet bergegas memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai. "Ini gawat! Sam pasti marah besar sama aku! Bodoh!" Sementara di dalam kamar mandi, Samudra sedang membasuh seluruh tubuhnya di bawah kucuran shower. Kebenaran yang baru saja terungkap membuat dadanya memanas. Dia marah. Sangat marah. "Pantesan waktu awal-awal dia selalu nolak. Ternyata ini alasannya. Brengsek!" Samudra sungguh tak pernah menyangka jika Jannet berani membohonginya s