Sadajiwa baru dibuka setengah jam lalu, tepat pukul 08.00. Namun para pelanggan sudah menumpuk, ada yang untuk dibawa untuk dinikmati menuju perjalanan ke kantor, ada pula yang menikmati di tempat karena pekerjaan mereka bisa dilakukan dari mana saja selama memiliki laptop dan jaringan internet.
Sadajiwa, satu dari sekian kedai kopi yang sukses menancapkan taringnya di Indonesia, kedai ini dikembangkan oleh Trisatya Sadajiwa sejak 6 tahun lalu.
Satya, biasa pemiliknya disapa. Kala itu keluar dari tempatnya bekerja, dan dengan penuh keyakinan memulai usaha barunya. Tadinya, Sadajiwa hanya memiliki 1 kedai yang terletak di kawasan Kemang dan lalu bertahun-tahun berlalu, Satya berhasil memperluas cabangnya hingga ke beberapa kota besar di Indonesia.
Cabang-cabang di Jakarta, ia kelola dengan pengawasannya sendiri namun untuk diluar Jakarta, ia percayakan kepada beberapa karyawannya yang ia tunjuk sebagai penanggung jawab.
“Sat, gue mau pesen,” suara khas seseorang menyapa pendengaran Satya yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kursi, tadi sedari pagi ia mengawasi stok barang yang masuk ke gudang kafe.
“Kantor lo di sebelah ya, Sen. Mesti banget telepon?” sahut Satya.
“Mager gue, mana sebentar lagi meeting,”
“Dasar. Mau pesen apa?”
“Biasa, caramel macchiato. Tambahin espressonya,”
“Oke, nanti salah satu karyawan gue anter,”
“Makasih, Sat,”
“Langsung bayar,”
“Elah. Segelas doang, Sat,”
“Segelas juga duit. Itu isinya ada keuntungan gue sama buat gaji karyawan,”
“Iya, nanti gue transfer lewat e-wallet. Bawel,” setelah itu sambungan telepon dari Sena terputus.
Sena, adalah satu dari 3 sahabat baik Satya. Mereka sudah berteman sejak awal kuliah, hingga sekarang keempatnya memiliki anak dan menjadi seorang Ayah.
Satya, kedua tertua diantara mereka. Sementara yang paling tua adalah Johnny, Sena diurutan ketiga dan lalu Keenan sebagai yang termuda diantara mereka—namun lelaki itu hanya 3 bulan lebih tua dari Sena. Mereka lahir di tahun yang sama.
Mereka berempat seolah berbagi takdir yang sama hingga detik ini, keempatnya menikah di waktu yang hampir bersamaan dan ternyata kehidupan pernikahan keempatnya pun berakhir.
Satya, Johnny dan Sena mengkahiri pernikahan mereka dengan perceraian, hanya Keenan yang dipisahkan dengan istrinya dengan maut saat melahirkan anak semata wayangnya.
Mereka memilih hidup sendiri, berperan sebagai Ayah sekaligus Ibu. Mencari nafkah dan lalu mendidik anak mereka. Tidak mudah memang, namun ini yang mereka mau.
***
Suasana SMA Neo begitu ramai, maklumlah ini jam istirahat, saatnya dimana para siswa melepas penat dari padatnya jadwal pelajaran. Termasuk kini, dua anak lelaki tengah asyik menikmati chicken katsu di kantin dengan cola sebagai teman minumnya.
“Sausnya nggak akan lo makan?” tanya Arusha, anak lelaki dengan rambut agak ikal.
“Nggak. Pedes ini tuh,” Jivan menjawab dengan bibir yang agak maju karena kepedasan.
“Baru segini aja pedes, gimana makan cabe rawit lo,” Arusha mengambil saus sachet yang masih tersisa setengah karena tak dihabiskan oleh Jivan.
“Makan kagak ngajak-ngajak,” seseorang menepuk pundak Arusha.
“Eh, Kak. Sini, tadinya gue mau ngajak tapi diliat-liat lo masih di lab,” Arusha menepuk ruang kosong disebelahnya.
Cowok tadi bernama Revian, kakak kelas Arusha dan Jivan yang duduk di kelas 12, ia datang dengan Narthana, Dafandra dan Naren yang datang dari kelas yang sama.
“Kalian bukannya harusnya tadi kelas olahraga?” Narthana duduk disamping Jivan.
“Pak Adam nggak masuk, jadi tadi diganti Matematika,” Jivan menggeleng-gelengkan kepalanya, ia sudah muak dengan Matematika sejak di kelas 10, ia melarikan diri ke kelas Bahasa saat penjurusan kenaikan kelas 11, berharap tak sering bertemu pelajaran hitung-menghitung tersebut namun perkiraannya salah besar.
“Pantes muka lo kusut gitu, haha. Tertekan?” Revian tertawa kecil.
“Nih, lollipop. Biar agak ademan dikit,” Dafandra yang baru kembali dari jajannya membagikan permen.
“Wah, Kak Daf emang pengertian. TOP !!!” Jivan mengacungkan jempolnya.
“Permen aja udah top, Van. Cokelat kek,” Arusha menyindir.
“Yeee..kalau nggak mau sini balikin,” Dafandra hendak menarik kembali permen tersebut dari tangan Arusha.
“Hahaha, bercanda Kak. Gue mau kok,” Arusha tertawa.
“Nyenyenye,” Dafandra berdecak kesal.
Keenamnya berbincang sambil menikmati makanan, hingga 20 menit berlalu, bel sudah berbunyi nyaring.
“Nanti pulangnya pada dijemput?” tanya Revian.
“Kayaknya Papa sibuk di Sadajiwa, gue ikut sama lo ya?” ujar Narthana.
“Oke, sip. Bocah, gimana?” netra Revian beralih kearah Jivan dan Arusha.
“Nanti gue kabari lo, Kak,” ujar Jivan diikuti anggukan Arusha.
Mereka pun berpisah menuju kelasnya masing-masing, hari masih panjang dan jam pulang sekolah sepertinya tak akan datang dalam waktu singkat.
***
“Maaf ya, Om. Jadi repotin,” ujar Narthana kala mereka dalam perjalanan pulang.
Tadi Papanya mengirim pesan, bahwa ia tak bisa menjemput. Maka dari itu Narthana memutuskan untuk ikut dengan Johnny—Papa Revian yang memang menjemput hampir setiap hari.
“Its okay, santai aja Nat. Bener kamu nggak mau ikut makan bareng?” ujar Johnny.
“Makasih, Om. Lain kali aja,” Narthana tersenyum.
Setelah mengantarkan Narthana, Johnny langsung memacu mobilnya ke tempat lain.
“Mau jemput Kakak ke kampus, Pa?”
“Haha, mana mungkin dan mana mau kakakmu dijemput, Rev. Tadi Papa langsung shareloc jadi dia on the way juga kesana,”
Revian mengangguk-angguk, Johnny memiliki dua anak—Elenio dan Revian, keduanya berjarak 4 tahun. Kini Elenio sudah berada di tingkat 3 dan mengambil jurusan Teknik Industri. Meski bersaudara, karakter keduanya sama sekali berbeda.
Elenio cenderung lebih tenang dan dewasa, ia pandai mengelola emosinya dan logis dalam segala hal. Sementara Revian, memiliki sifat humoris, penuh kejutan dan loyal pada kawan-kawannya.
“Lama amat, Pa,” ujar Elenio kala Johnny dan Revian menghampirinya di meja yang sudah dipesan.
“Maaf, nak. Tadi di jalan macet, ayo kita langsung pesan aja,” Johnny memanggil pelayan
untuk diberikan menu.Ini seperti agenda keluarga Kivandra, 2 kali dalam sebulan mereka harus makan bersama diluar. Satu kali di tengah bulan untuk mereka bertiga dan di akhir bulan biasanya Johnny akan mengajak Jilaine—Ibu anak-anak yang sekaligus mantan istrinya.
Tujuan Johnny sederhana, ia ingin menghabiskan waktu dengan kedua anaknya yang sehari-hari sudah disibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing dan dirinya yang bergelut dengan urusan perusahaan. Ia juga ingin hubungannya dengan mantan istri tetap terjaga sebagai orangtua, juga yang terpenting hubungan Elenio & Revian dengan Jilaine sebagai Ibu dan anak.
“Gimana hari kalian?” Itu pertanyaan dasar dari Johnny ketika membuka percakapan dengan kedua putranya itu.
“Sibuk, Pa. Jadwal kuliahku padat semester ini, belum juga himpunan kan sebentar lagi aku harus sertijab. Jadi ribet juga sama laporan kegiatan selama ini, semester depan juga aku harus siapin proposal skripsi, udah diwanti-wanti sama dosen,”
“Tetap konsiten, kuliahmu harus tetap jadi prioritas. Jangan sampai kamu juga sakit, nanti kamu sendiri yang rugi,” Johnny memotong-motong steaknya
lalu memasukkannya ke mulut.“Kalau aku, masa mata pelajaran olahragaku dikurangi. Kan bosen Pa, kalau di kelas terus, mata pelajaran utama jamnya ditambah, padahal udah ada jam tambahan di kelas ekstra nanti. Mumet aku lihat angka semua,” Revian misuh-misuh.
“Sok-sokan sih masuk IPA, pusing kan?”
“Gara-gara Kakak, sih,”
“Lah kok gara-gara gue?”
“Udah kalian jangan berantem, kamu kan udah kelas 12, Rev. Wajar kalau mata pelajaran utama diprioritaskan, kamu masih bisa kejar
pelajarannya, kan? Kalau kesulitan, biar Papa panggilkan tutor,”“Kalau belajarnya sama Narthana, Dafa sama Naren gimana, Pa? Privat sih pake tutor, tapi mereka juga ikut,”
“Yang ada kamu malah main sama mereka, kalau pun mau tambah Narthana aja udah cukup,” tolak Johnny.
“Oke deh, nanti aku omongin sama Narthana. Dia mau nggak privat bareng aku,”
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 19.30, ketiganya memutuskan untuk pulang. Waktu makan mereka tak lama, tapi cukup untuk bertukar cerita apa yang dialami hari ini.
Benar saja, saat sampai di rumah—ketiga lelaki itu masuk ke kamar masing-masing dan lalu berkutat dengan deadline
yang harus diselesaikan malam itu.Bab 1 nya sekian dulu, udah kebayang kan gimana hidup para ayah bersama para anak remajanya? see you at Bab 2 :)
Narthana sampai di rumah ketika jam menunjukkan pukul 18.00, seperti biasa suasana rumahnya sepi. Rumah ini hanya berisi ia, papanya dan beberapa ART.“Mau makan malam, Mas? Bibi sudah masak tumis kangkung sama ayam goreng kesukaannya Mas,” ujar Darsinah, ARTyang paling senior disini. Bahkan dia sudah bekerja dengan keluarga Sadajiwa sejak Satya masih kecil hingga sekarang ia memiliki Narthana. Bisa dibilang Bi Darsinah adalah saksi hidup Satya.“Nanti aja deh, Bi. Saya mau ke kamar dulu,” Narthana tersenyum kecil.“Kalau ada apa-apa, panggil Bibi aja ya, Mas,”“Makasih,” Narthana berlalu menuju kamarnya yang terletak di lantai 2. Kamar bernuansa mokaini sengaja didesain oleh Satya, khusus sebagai hadiah k
Mobil yang dikendarai Jivan sampai di kediaman keluarga Naratama tepat pukul 19.00, suasana halaman utama sudah ramai dengan mobil yang hilir mudik menurunkan para tamu. Sosok Jana langsung menyambut Jivan, kala anak itu turun dari mobilnya. Disebelahnya, terlihat Deva yang malam ini tampak gagah dengan setelan tuxedonya.“Padahal Mama nggak usah tunggu disini, kasihan tamu yang lain ditinggal,”“Nggak apa-apa kok, kan anak kesayangan Mama mau datang,” Jana merangkul Jivan.“Gimana kabar Papamu, Van? Padahal Om berharap dia datang,” ujar Deva, membimbing anak sambungnya dan istrinya untuk masuk, menuju taman belakang.“Maaf ya, Om. Papa nggak bisa datang, bentrok sama kerjaan soalnya,”“Om paham, by the way welcome to Adara’s party. Enjoy ya,” Deva tersenyum dan meninggalkan Jivan juga Jana, lelaki tersebut la
Suasana di mobil mendadak dingin, berbagai perasaan berkecamuk di dalam diri Johnny. Pertanyaan Revian barusan begitu menohoknya, sebuah tanya yang sudah lama berputar di pikirannya. Ia ingin kembali pada Jilaine, namun alasan apa yang akan membuat istrinya mau kembali? batin Johnny.“Rev, harusnya kamu nggak tanya itu,” Elenio berusaha menetralkan suasana.“Nggak apa-apa, Nio. Adikmu pasti udah lama pengen nanya ini,”“Maaf kalau pertanyaanku mengejutkan, Pa,” Revian menunduk.“Nggak apa-apa. Rev, kamu tahu kan? Alasan Papa berpisah sama Mama itu, bukan alasan yang sederhana. Cukup prinsipil, Papa rasa terus bersama dengan Mama malah bikin hubungan kami tambah buruk dan pada akhirnya akan berdampak sama kalian. Lagipula, kamu masih sering ketemu Mama, kan? Kita rutin makan malam sebulan sekali,” Rev
“Papa mana, El?” Narthana menghampiri Elia yang tengah berjaga di kasir, Biasanya kalau tak ada les sehabis sekolah, Narthana akan mengunjungi Sadajiwa, entah sekadar untuk bertemu dengan papanya lalu pulang bersama atau mengerjakan tugas dengan Revian, Dafandra & Naren.“Papanya Mas lagi ke supplier, baru setengah jam lalu berangkat,”“Oh, gitu ya,”“Mas mau saya buatin sesuatu?” tawar Elia. Meski Elia 4 tahun lebih tua dari Narthana, perempuan itu selalu memanggilnya dengan sebutan Mas, dengan niat menghargai lelaki itu sebagai anak dari bosnya. Elia pun membiarkan Narthana memanggilnya dengan nama semata, tanpa embel-embel apapun.“Bikinin aku teh raspberikalau gitu, sama tiramisu,”“Baik, Mas,” Narthana memilih tempat&
Satu minggu berlalu, akhirnya rombongan ayah dan anak akhirnya sampai di Bandara Komodo setelah 2 jam terbang, mereka sampai tepat pukul 1 siang. Cuaca cukup panas karena matahari tengah bersemangat memancarkan sinarnya, mereka sampai setengah berlari memasuki bandara dan tak lupa sunglasses yang bertengger di wajah mereka. Ketika menunggu koper keluar dari konveyor, netra Narthana menjelajahi isi bandara yang tidak terlalu ramai. Tiba-tiba ia melihat sesuatu, ada sosok perempuan yang amat dikenalinya—Elia. Gadis itu sepertinya juga baru mendarat, namun ia sudah mendapatkan kopernya. Disampingnya ada seorang laki-laki yang tengah mendorong troliyang berisi barang-barang dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya merangkul pundak Elia. Meski kini gadis itu memakai masker dan hoodie, namun Narthana masih bisa mengenalinya.“Kak? Lihat apa sih? Kok k
Suggestion Playlist :1. Kali Kedua (Raisa)2. Angel (NCT 127) Setelah liburan selama 4 hari, mereka kembali ke Jakarta. Di bandara, beberapa dari mereka ternyata sudah dijemput.“Dijemput ehem,” Satya berdeham kala melihat sosok Jilaine dari jauh. Perempuan itu datang dengan Elenio, sementara disampingnya terdapat sosok Jana & Adara yang ternyata datang untuk menjemput Jivan.“Berisik lo, Sat. Kalau lo ngomong aneh-aneh gue tampol,” Johnny memperingati.“Hai, semua,” Jilaine tersenyum manis sambil mengedarkan pandangannya.“Revian yang minta dijemput, ya? Padahal nggak usah, Jila,” ujar Johnny.“Nggak kok, John. Inisiatifku sendiri, lagian hari ini agendaku juga lagi kosong,”“Oh, gitu. Ya, udah kita pulang,” tangan Johnny memberi kode agar
“Jila..,” ujar Johnny kala teleponnya tersambung.“Ya? Kenapa, John?”“Kamu tahu dimana tempat bubur yang kata kamu waktu itu enak?”“Oh, iya. Kenapa, John? Kamu lagi sakit? Atau anak-anak?”“Mamaku lagi nggak begitu enak badan, terus tadi kirim pesan keaku. Katanya minta bubur yang pernah dibawain kamu,”“Gitu, ya. Lumayan jauh kalau dari kantormu, John. Aku kirim via ojek online aja ke Mamamu, ya? Kalau nunggu nanti kamu pulang, takutnya Mamamu keburu nggak mau,”“Bener? Nanti aku transfer uangnya, Jila,”“Nggak usah, kayak ke siapa aja. Nanti aku kirimin, kamu kabari aja Mamamu kalau makanannya sudah dikirim,”“Makasih ya, Jila,”“Sama-sama, John,” Meski 10 tahun berlalu, sosok Jilaine sepertinya tak tergantikan dalam keluarga Kivandra. Baik untuk Johnny, El
Project baru akan segera dimulai, itu tandanya kesibukan Keenan akan meningkat. Dia sibuk memantau konsep setiap divisi agar sesuai dengan kesepakatan awal, apalagi ini melibatkan kerjasama dengan salah satu perusahaan di Singapura. Semuanya harus tertata dan terstruktur, jika tidak nama Sagara yang akan dipertaruhkan. Kalau sudah begini, maka kertas-kertas file dan komputer yang selalu menyala akan jadi teman setia Keenan.“Pak..,” ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Keenan.“Ya, masuk,” sahutnya. Ternyata sosok itu Devina—ditangannya terdapat paper bag yang berlabelkan resto ternama.“Kenapa?” netra Keenan sama sekali tidak berpaling dari file.“Ada kiriman makanan dari Arusha, Pak. Katanya dia mau Ayahnya makan tepat waktu,”“Kamu sudah makan?” tanya pria itu dengan nada tegas