Gian tidak mau disalahkan begitu saja dan menjawab Carlen, “Kak Len, Kakak melihat sendiri tadi, kan? Aku tidak melakukan apapun, justru mama yang mendorong keras aku.” Wajahnya terlihat putus asa ketika menjelaskan itu.Mata Melinda melotot, “Jadi, kau ingin mengatakan kalau Mama yang salah, begitu?”Ucapan Melinda semakin membuat Gian kelimpungan, tak tahu harus menjawab apa selain, “Tidak ada yang salah! Itu saja! Sudah, yah! Aku ingin berangkat sekolah, tidak ingin ada keributan. Tolong, jangan lagi ada keributan.” Dia sampai membungkuk sebagai permohonan agar tak perlu mengeluarkan energi elektrokinesis dia untuk menindak anggota keluarganya.Melinda dan Carlen semakin meradang. Tapi, Gian sudah lebih dulu berlalu dari ruang makan setelah dia mengambil roti selai di meja dan berlari keluar.Tak mungkin dia memiliki uang saku hari ini setelah apa yang terjadi di ruang makan. Lagipula, bukan salah dia sejak awal, kan? Gian terus membatin sambil meneguhkan keyakinan bahwa dia tidak
Alicia merebut buku Nita dan mengembalikan ke empunya sambil berkata, “Nit, kalau ada PR, kerjakan di rumah, bukan di sekolah. Sana, jangan ganggu Gian!”Nita cemberut dan menyahut Alicia, “Kenapa kau selalu saja bersikap sok ksatria untuk dia? Apakah kamu naksir dia? Kamu pacarnya?” Dia sudah tak tahan dengan sikap protektif Alicia terhadap Gian selama ini yang kerap merugikan teman-teman kelasnya karena tak bisa seenaknya menyuruh Gian menyalinkan PR seperti dulu.Mendengar ucapan Nita, Alicia menampilkan wajah terperangah dulu sebelum menjawab, “Ini tidak ada hubungannya dengan aku suka atau tidak pada Gian. Yang aku permasalahkan di sini adalah sikap kamu yang seenaknya memperbudak Gian. Kau ingin mencontek PR dia, yah lakukan kalau memang itu sangat kamu butuhkan, tapi tidak sampai menyuruh dia menyalinkannya untukmu! Aku hanya membicarakan mengenai moral!”Sementara itu, teman-teman lainnya berbisik dan mencibir mengomentari perdebatan sengit Nita dan Alicia.“Huh! Mana mungkin
“Ini kenapa tulisanmu jelek sekali, Gian?” tanya bu Emira pada Gian di depannya ketika Beliau melihat sekilas buku tugas yang dikumpulkan remaja itu.“Maaf, Bu. Mungkin semalam saya mengantuk sehingga kurang rapi menulisnya.” Gian memberikan alasan sembari menundukkan kepala.Dia memilih menulis ulang tugasnya di buku baru ketimbang harus memberikan selotip di sana dan sini pada buku lamanya. Akan lebih banyak pertanyaan nantinya dan dia malas mengungkap mengenai tindakan Nita tadi.Anggap saja Gian masih baik pada Nita.“Hm, lain kali sempatkan waktu lebih awal untuk membuat tugas di malam hari, Gian.” Bu Emira hanya mengatakan itu saja.“Baik, Bu. Terima kasih.” Kemudian Gian kembali ke bangkunya dengan perasaan lega. Untung sekali dia memiliki kekuatan listrik sehingga dia bisa melakukan sesuatu dengan cepat.Kemudian, Nita masuk ke kelas dengan pergelangan tangan mendapatkan balutan perban.“Kamu dari mana? Kenapa terlambat? Itu tanganmu kenapa?” cecar bu Emira ketika Nita masuk k
Melihat tindakan Gian melepas sarung tangan lateks, Sean makin mencemooh dengan mengatakan, “Wow! Apakah sehari-hari kau memakai benda seperti itu di tanganmu? Apa kau ini pencari perhatian? Kau haus perhatian sampai melakukan hal-hal seacak itu?”“Biarkan aku pergi.” Gian berkata dengan suara pelan sambil tundukkan kepala.“Tidak mau!” Sean menjawab cepat dengan nada menantang. “Memangnya kenapa kalau aku ingin kau lebih lama di sini?” Cengkeraman di bahu Gian semakin dia eratkan.“Tolong, jangan sentuh aku.” Gian melirik Sean.Sebenarnya, Gian sedang memperingatkan untuk kebaikan Sean sendiri. Tapi, Sean justru salah paham mengira ini sebuah tantangan dari Gian. Apalagi tatapan mata Gian diartikan permusuhan oleh Sean.“Kau bule sialan—arrghh!” Mendadak Sean berteriak sambil menarik kembali tangannya dari bahu Gian. Lekas dia kibas-kibaskan tangan itu sembari mendesah sakit. “Arrhh … sialan sekali!”“Kenapa, Bos?” tanya salah satu kawan Sean dengan wajah cemas.“Aku sudah memperinga
Sementara teman-teman sekelasnya sibuk bergembira ketika Gian terkena masalah sampai harus dipanggil ke ruang BP, Alicia justru mencemaskan Gian. Dia melirik ke bangku Gian dan melihat remaja pria itu berjalan ke depan, lalu ikut murid kelas 3 tadi menuju ruang BP.Di ruang BP, sudah ada bu Rina sebagai guru BP. Ada pula pak Jamal dan 2 teman Sean. Gian mengetuk pintu dan masuk.Melihat kedatangan Gian, bu Rina segera berkata, “Duduk di sana.” Beliau menunjuk ke sofa yang masih kosong. “Namamu?”“Gian, Bu.” Jawaban lirih keluar dari mulut Gian yang tertunduk. Elang bersembunyi di dalam saku celana. Saku kemeja sepertinya terlalu kecil untuk menutupi seluruh tubuh Elang.“Gian, yah! Baiklah.” Bu Rina segera mendekat ke Gian. “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?” Suara Beliau tidak menghakimi dan masih terdengar lembut dan bijaksana.“I—iya, Bu.” Gian menjawab sembari masih tundukkan kepala. Dia berharap semoga tidak mendapatkan hukuman apapun. Ini adalah pertama kalinya bagi dia m
Elang mendongak ke Gian sambil berpegangan pada tepi saku kemeja dan berkata, “Wah! Rupanya kamu sudah paham itu, yah! Kukira kau ini bodoh.”“Hei, jangan meremehkan otakku. Begini ini aku sering masuk 10 besar dari SMP.” Gian mengusap pelan puncak kepala mungil Elang. Mereka pun kembali ke kelas Gian dan cukup membuat teman-teman sekelasnya heran, kenapa cepat sekali?Andaikan tidak ada guru di depan kelas, mereka akan berbondong-bondong mengerubungi Gian untuk bertanya mengenai hukuman apa yang akan didapatkan si Bule Palsu.Seperti apa raut wajah mereka apabila mengetahui bahwa Gian tidak mendapatkan hukuman apapun dan tidnakannya kepada Sean dan kawan-kawannya malah dimaklumi?Pada jam istirahat kedua, Gian tidak sempat dikerubungi teman-teman sekelasnya karena Alicia sudah menarik tangan remaja itu untuk pergi ke tempat lain.“Hei, Gian! Bagaimana tadi di ruang BP?” tanya Robert.“Bule Palsu! Kau dapat hukuman apa?” Imelda ikut berteriak untuk mengetahui apa yang sejak tadi dia t
Tidak disangka-sangka, Gian bisa mengantongi hampir Rp500.000 dalam satu sore saja di hari pertama kerja dia sebagai kuli angkut di pasar induk kotanya.Menggunakan kekuatan fisiknya, dia bisa mengangkut banyak dalam sekali jalan sehingga mempersingkat waktu. Dengan begitu, dia bisa mendapatkan upah dengan cepat.Pulang ke rumah, raut wajahnya riang gembira karena sudah memiliki sekian ratus rupiah. Pasti sebentar lagi dia bisa mengganti tas teman-temannya.Tiba di rumah, hari sudah petang dan Melinda sudah memasang wajah muram ke Gian.“Langsung masak! Setelah makan, segera cuci pakaian!” Demikian Melinda memberikan perintah. Namun, kali ini, dia tidak menggunakan tangan untuk memukul Gian dan hanya bermulut ketus saja.“Ya, Ma.” Gian bergegas ke dapur untuk mengolah bahan-bahan makanan sesuai perintah ibunya, sementara Melinda justru asyik meneruskan menonton televisi. Masih ada sinetron yang ingin dia tonton.Gian melakukan pekerjaannya dengan cepat dan hidangan makan malam tersedi
Memang, tidak semua orang puas akan kinerja pihak lain. Tidak semua orang senang dengan apa yang sudah dilakukan pihak lain, sebaik apapun hasilnya, karena ada iri dan dengki di dalamnya.Ini yang menimpa Gian.Ketika para bos kios senang dengan pekerjaan cepat dan tangkas Gian, banyak kuli angkut lainnya yang kesal karena mereka kalah bersaing dengan Gian. Bahkan, mereka merasa Gian merebut lahan uang mereka.Karena itu, beberapa kuli angkut banyak kios berunding untuk ‘mendisiplinkan’ Gian.Tak mengherankan ketika menjelang petang, ketika Gian hendak pulang ke rumah, saat dia melewati lorong sepi dekat pasar induk, ada 8 orang preman mencegatnya lalu mengerubungi Gian.“Kalian … mau apa?” tanya Gian sambil matanya penuh waspada dengan kedelapan preman.“Ada 2 hal yang perlu kami sampaikan padamu, Bocah. Pertama, beri kami uangmu. Kedua, jangan terlalu bergaya di sini, tak usah menjilat para bos kios dengan bertingkah sok kuat dan mengambil pekerjaan orang lain.” Salah satu preman ya