[Ger, kalau ada waktu, besok tante tunggu di tempat yang nanti tante infokan, kira-kira jam makan siang. Bisa gak] Gerald membaca pesan singkat dari Tante Sonya dengan wajah yang berbinar-binar. Kala itu dia baru saja naik angkot hendak pulang ke kostannya.
[Siap Tante] Dengan sigap Gerald segera membalasnya.
[Oke, nanti tante infokan lagi ya] balasan dari Tante Sonya kembali masuk dan Gerald membalasnya dengan emot kepalan tangan siap!.
Walau tidak tahu apa maksudnya Tante Sonya mengajak kembali bertemu, namun Geralad langsung menyetujuinya karena sangat yakin akan banyak kebaikan setelahnya. Bukan hanya sekedar materi, namun Tante Sonya memang sanggup membuat Gerald nyaman dan percaya diri saat bersamanya.
Hampir saja Gerald melanjutkan chatnya itu dengan menanyakan kebernaran jumlah uang yang diberikan Tante Sonya padanya, takutnya salah hitunga atau salah ngasih. Namun dia pikir lebih baik besok ditanyakan langung saat bertemu. Dan Gerald berusaha untuk tidak dulu memakainya, sebelum semunya jelas.
‘Semoga Tante Sonya benar-benar menawari pekerjaan. Mungkin saja dia akan mengangkatku jadi sopir pribadinya atau sopir kantornya, solanya tadi dia menanyakan aku bisa nyetir atau tidak,’ batin Gerald.
[Bro, lu dimana?] Baru saja akan memasukan ponselnya ke kantong kemejanya, Gerald kembali menerima pesan singkat dari Dito, salah seorang teman kuliahnya.
[Gua lagi di angkot, mau balik ke kostan, what happened?] balas Gerald.
[Wah gak bisa nelpon ya, gua ada omongan penting banget buat lu]
[Ya, entar kalau udah turun dari angkot, gua telpon balik. Atau lu kirim pesan aja, kek mau ada penting sama menteri aja, mesti nelppon langsung, wkwkwkw]
[Ada kerjaan buat lu, dari Tante Intan] Dito membalas candaan Gerald.
[Hah, jauh ya Tante Intan itu bukannya orang Sukabumi? Kerjaan apaan?] Gerald membalas chat Dito, tak sabar.
[Rntar deh gua omongin langsung, mungkin entar malam gua telpon lu lagi. Kerjaannya gak di Sukabumi juga, tapi masih di sini, gua yakin bisa kok ngerjainnya]
[Oke deh, kalau urusan kerjaan gua nomor wahid. Thank ya bro gua tunggu terus info selanjutnya]
[Yoi]
Gerald kembali tertegun. Benar-benar tak percaya dengan beberapa kejutan yang dia terima hari ini. sesuatu yang sudah dia cari-cari sejak tiga bulan terakahir ini, bahkan hampir saja putus asa, sepertinya justru datang bertubi-tubi hampir dalam waktu yang bersamaan.
Walau belum ada satu pun tawaran yang diketahui pekerjaan apa yang dia lakukan, Namun Gerald merasa jika jalan pembuka rizkinya benar-benar telah menunjukan hilal dan tanda-tandanya. Setidaknya Gerald kembali memiliki harapan positif.
Tante Intan adalah metuanya kakaknya Dito. Gerald sudah lama mengenalnya karena Tante Intan sering datang ke rumah Dito, selaku besan. Bahakn Tante Intan juga sudah sangat akrba dengan beberapa teman Dito. Tante Intan berdomisli di Sukabumi, suaminya seorang pejabat pemda kota Sukabumi.
Kurang lebih dua puluh menit berikutnya, Gerald sudah tiba di rumah Ustad Umar. Di sana ada juga sudah ada Umi Anita, istrinya Ustad Umar juga Bang Andre yang benar-benar sedang menunggu Gerald. Sebelum pulang tadi, Gerald memang sempat mengirimkan pesan pada Bang Andre, jika dirinya sedang di jalan menuju ke rumah Ustad Umar.
Ustad Umar menyambut Gerald dengan wajah yang sangat cerah karena sangat senang yang ditunggu-tunggunya telah datang. Dia langsung menyampaikan maksud dan tujuan dirinya mencari Gerald untuk meminta bantuan. Lebih tepatnya memberikan pekerjaan pada Gerald untuk menjaga Ustad Buyamin yang sudah lima hari dirawat di Rumah Sakit PMI.
Pak Ustad Buyamin adalah kakak kandungnya Ustad Umar. Saat ini sedang dirawat di rumah sakit dan hanya ditunggui oleh Umi Yani, istrinya. Sebelumnya dibantu oleh Ustad Umar sendiri beserta Umi Anisa istrinya secara bergantian.
Namun karena jadwal berdakwah Ustad Umar sedang penuh, makanya dia meminta Gerald untuk menggantikannya menemani dan membantu Umi Yani. Gerald sangat memahaminya kondisi tersebut. Pada bulan ini dimana-mana sedang ramai mengadakan pengajan akbar memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Ustad Umar tidak mungkin membatalkan jadwalnya secara sepihak karena sudah disepakati dari jauh-jauh hari..
"Gerald bisa kan membantu kami?” Ustad Umar memastikan kesediaan Gerald.
“Insya Allah saya siap, Pak Ustad,” balas Gerald santun.
“Jangan memiirkan upahnya ya, tenang saja, pasti Pak Ustad pikirkan kok.”
“Ah Pak Ustad kaya sama siapa aja, gak usah memikirkan itu, Insya Allah saya siap kok Pak.” Gerald merasa malu dan tak enak hati, walau sangat senang mendengarnya.
“Iya, tapi meneminnya juga kalau malam aja. Jadi tidak menganggu kuliah Gerald. Kami tidak tahu berapa lama lagi Ustad Buyamin akan dirawat di sana. Mudah-mudahan aja cepat sembuh dan segera bisa pulang, Amiiin,” timpal Umi Anisa yang diamini oleh semua yang ada.
“Gimana Ger, mau kan bantu keluarga Ustad Buyamin?” tanya Bang Andre yang sejak tadi mengedip-ngedipkan matanya memberi isyarat agar Gerald mau.
“Siap, Bang. Tapi saya tidak tahu dimana rumah sakitnya?” Gerald balik bertanya.
“Iya nanti dianter sama ke sana sama abang. Sebenarnya kalau abng gak jaga malam di proyek sih udah pasti ditemani sama abang.” Bang Andre menambahkan.
“Gini aja Ger, kamu lihat sikon di sana aja. Kalau memang sangat dibutuhkan tolong temani Umi Yani dengan sepnuh hati. Tapi kalau keadaannya santai, Gerald bisa pulang atau ninggalin rumah sakit, gimana? ” Umi Anisa memberikan pilihan yang meringankan, mungkin dia menduga Gerald masih belum siap seutuhnya.
“Saya sangat siap membantu, Umi!” tegas Gerald untuk lebih meyakinkan semuanya.
“Syukur alhamdulillah, Pak Ustad juga sudah sangat yakin, Gerald pasti mau dimintai bantuan sama kami,” balas Ustad Umar dengan wajah semringah.
Setelah itu Gerald berpamitan hendak pulang dulu ke kostannya, untuk mandi, ganti pakaian dan meminta izin pada Bu Ana.
Tak lama berselang Gerald pun sudah melaji di atas aspal, dibonceneg sama Bang Andi menuju rumah sakit.
Sebelum Gerald berangkat tadi sempat memberikan uang 200 ribu pada Bu Ana, sebagai uang muka cicilan. Namun ibu kostnya itu menolah, dengan alasan mungkin Gerald lebih membutuhkannya saat ini. Bu Ana merasa tak tega pada Gerald yang hingga harus meminam uang pada temannya.
“Sekarang bantu aja Umi Yani, mengenai bayaran kost, jangan dipikirkan, tenang aja,” balasan Bu Ana saat menolaj uang yang disodorkan Gerald.
Saat melintasi jalan raya, Gerald dan Bang Andre tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face jadi susah untuk ngobrol.
“Ger, ini buat beli makan atau rokok kamu. Mohon tidak metepotkan Umi Yani ya,” ucap Bang Andre saat dia berpamitan hendak kembali pulang setelah mengantar Gerald bertemu dengan Umi Yani di halaman rumah sakit.
“Gak usah Bang, Insya Allah saya ada kok kalau buat makan dan ngerokok mah,” tolak Gerald dengan sangat halus. Namun Bang Andre tetap memaksanya, karena itu amanat dari Ustad Umar.
“Saya pulang dulu ya Umi. Ger, mohon dibantu Umi ya, terima kasih sebelumnya ya, Ger!” ucap Bang Andre berpamitan pada Umi Yani juga Gerald sebelum melajukan kembali motornya.
“Eh ini Gerald yang kost di rumah Bu Ana itu kan?” sapa Umi Yani setelah Bang Andre benar-benar pergi.
“Iya Bu,” balas Gerald santun.
“Aduh, maaf ya Nak Gerald, Umi jadi ngerepotin gini.” Umi Yani manggut-manggut.
“Ah gak papa Umi. Saya sama sekali gak ngerasa direpotin kok, hehehe,” balas Gerald santai untuk mengurangi kecanggungan diantara mereka.
Gerald nyaris tidak kenal dengan Ustad Buyamin atau juga Umi Yani, istrinya. Rumah mereka memang tidak terlalu jauh dengan rumah Ustad Umar,, namun Gerald jarang bertemu dengan mereka, terutama dengan Ustad Buyamin. Malah dia tidak tahu yang mana orangnya Ustad Buyamin itu .
Gerald pernah beberapa kali melihat Umi Yani sedang main ke rumah Ustad Umar, itu pun hanya sekilas-sekilas. Dari penampilan dan pembawaanya Gerald menduga jika Umi Yani, ibu rumah tangga biasa seperti Umi Anisa. Mereka sama-sama memakai pakain yang sangat tertutup.
Gerald tidak peduli, siapa dan bagaimana keluarga Ustad Buyamin. Tugas dia hanya membantu sesama yang membutuhkan bantuan. Sesuai pesan ibunya yang senantiasa ditanamkan pada dia dan adik-adiknya.
Setelah ngobrol basa-basi dengan Umi Yani, Gerald memperkirakan wanita alim tu usianya sama dengan tak jauh beda dengan Bu Ana. Mungkin menjelang lima puluh tahunan atau malah sudah lewat.
Gerald pun mendapat penjelasan tentang penyakit yang diderita Ustad Bunyamin. Ternyata sudah hampir tiga tahun beliau mengidap diabet. Dan kali ini kondisinya benar-benar drop hingga harus dirawat di ruangan khusus.
‘Kemanakah anak-anak atau saudara mereka yang lain?’ tanya Gerald dalam hati, namun belum berani bertanya langsung pada Umi Yani.
^*^
Sore harinya Bu Nina memintaku untuk mengantarnya pulang. Tentu saja dia bukan benar-benar ingin pulang. Sepanjang perjalanan otakku tak pernah bisa diam, dipenuhi dengan berbagai obsesi liar. Bahkan beberapa kali aku sengaja memancing Bu Nina dengan obrolan yang sedikit panas dan menjurus mesum. Namun beliau sepertinya selalu mengalihkan pembicaraan. Mungkin dia masih jengah dengan peristiwa tadi pagi, namun aku sendiri menduga jika dia sengaja mengajakku pulang duluan karena ingin mengulanginya. “Ke Duta Permata aja, Ger.” Tiba-tiba Bu Nina bicara tegas setelah mobil melaju di jalan raya. “Kita mau Ke hotel, Bu?” tanyaku memastikan. “Ya,” balas Bu Nina pelan, dan dengan santainya menganggukkan kepala seraya tersenyum. Dengan semangat 45 aku melajukan mobil Bu Nina menuju hotel yang dia sebutkan. Tak sampai setengah jam kemudian kami pun tiba di depan hotel yang berlokasi dekat dengan salah kampus negeri ternama. Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di
Wajah Bu Nina semakin tampak merah merona namun matanya seolah sudah terpatri di selangkanganku. Batang zakarku pun sepertinya merasakan itu, dia bergerak-gerak sendiri seolah mengangguk-angguk memberikan penghormtan pada Bu Nina. Bu Nina pun melangkah menuju ke arah jam tangannya yang tertinggal. Pikiran mesumku semakin menjadi-jadi maka dengan cepat aku tutup pintu jamban. “Gerald kamu apa…ap…apaaan?” Bu Nina bertanya dengan suara yang sedikit gelagapan. "Maaf Bu, ta.. pi.. Ibu benar-benar sangat menggoda dan menggairahkan saya." Entah siapa yang mengajariku untuk bicara frontal dan kurang ajar pada mantan Kepala sekolahku. Aku bahkan tidak memikirkan apa akibat dari permainan dan perkataan gilaku ini. “Kamu.. sudah gila apa, Gerald!" sentak Bu Nina. Namun belum sempat kujawab pertanyaannya dia kembali menyahut. "Ibu sudah menduga kamu dari kejadian tadi malam, tapi kamu harus tahu bahwa Ibu sudah bersuami dan lagian ibu kan sudah tua, Gerald!" Dia mencoba menyadarkan aku. "Tap
Aku bertanya dalam hati mimpi apa semalam sehingga memperoleh keuntungan dobel. Pertama memegang buah dada indahnya, yang kedua bisa melihat bokong dan pahanya walaupun agak sedikit samar. Tak terasa celanaku semakin sempit karena senjata kesayanganku pun ikut-ikutan menggeliat. Tanganku meraba rudalku dan membuat remasan-remasan kecil. Tak puas dengan itu aku mengeluarkan batang rudalku sehingga dapat berdiri bebas mengacung. Aku yakin Bu Nina tidak akan melihat polahku yang super gila ini. Sepertinya Bu Nina sudah selesai buang air kecilnya. Dan ketika akan naik ke atas, aku ulurkan tanganku dan menariknya. Aku minta Bu Nina berjalan di depanku dengan alasan aku mengawal kalau ada apa-apa. Namun yang sebenarnya bukan karena itu, tapi aku bisa bebas membuat rudalku terjulur keluar dari seleting celanaku. Sensasi ini aku nikmati sampai ke dekat tenda pembina. Kami melanjutkan ngobrol sampai akhirnya acara jurit malam selesai. Malam sudah larut bahkan menjelang dini hari, kami pembi
“Geer, udah dulu bersih-bersihnya!” Teriakan ibuku mengagetkan. Saat ini aku sedang berada di rumah ibuku dan membantu membersihkan kebun belakang. Kedua adikku pun ikut membantu. Kami semua pun sontak menghentikan segala aktifitas, walau hanya sekedar menyiangi rumpat pada sayuran yang rencananya beberapa hari lagi akan dipanen oleh tengkulak yang sudah mondar-mondir kebelet pengen membelinya. “Ada apa, Ma?” tanya Gayatri, adikku yang baru berusia empat belas tahun kebetulan berdiri tak jauh dariku. “Ada Pak Budi, mau ketemu sama A Gerald,” jawab Ibu sambil menyodorkan handuk kepadku. Perintah halus agar aku segera mandi atau setidaknya mencuci anggota tubuhku yang kotor. “Pak Budi mana?” Aku balik bertanya sambil mengernyitkan dahi, banyak sekali nama Budi di kampung ini, terutama yang sudah dewasa. Kalau anak-anak muda rasanya sudah jarang sekali yang bernama ‘Budi.’ Kata ibu, dulu nama Budi dan Wati adalah nama pavorit di seluruh Indonesia. Gak tahu mengapa bisa demikian. “Pa
Aku hanya mengganguk dan tersenyum seraya sedikit menunduk, lalu dengan pelan berjalan mendekati Bu Ardy yang kini sudah kembali tengkurep di atas kasurnya. Dengan jantung yang semakin tak karu-karuan dan dalam intimidasi tatapan nenekku, aku memulai kerjaku dengan memijat pelan-pelan pergelangan kaki Bu Ardy, seperti biasa saat aku memijat teman-temanku atau tetangga lelakiku yang kadang iseng meminta dipijat. Titik titik pergelangan kedua kaki Bu Ardy kupijat dengan tekanan cukup kuat tapi tidak sampai membuatnya kesakitan. Setelah pergelangan kaki, aku pun mulai memijat betisnya, tak lama naik ke paha, pantat lalu punggung. Itu hanya pijatan adaptasi atau perkenalan awal dengan tanpa menggunakan lotion. Pelan tapi penuh tekanan, aku memijat telapak kaki Bu Ardy. Sesekali aku melirik pada nenekku, takut kalau pijatanku salah. Namun nenekku sama sekali tidak memberikan respon, tampaknya memang pijatanku masih sesuai dengan prosedur yang selama ini dia terapkan. "Enak loh pijatan
Kurang lebih jam setengah tujuh malam, aku sudah bersiap mengantar nenek ke emplasemen dengan motor Umi Yani. Emplasemen adalah sebutan untuk kompleks perumahan yang dihuni oleh para petinggi atau pejabat perkebunan yang lokasinya bersebelahan dengan kampung tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meteran. Untuk ukuran kampung masih terasa dekat, karena biasanya ditempuh dengan jalan kaki. Sejak kakek meninggal dunia, aku yang selalu mengantar nenek jika ada panggilan memijat ke tempat yang jauh. Aku tidak mengizinkan beliau naik ojek karena sebagain besar tukang ojek di kampungku bermata keranjang. Dan sebagaimana janda yang lainnya, nenek pun terkadang masih suka digodain. Sungguh edan memang mereka itu, hehehe. "Parkir dulu motornya, Ger, jangan lupa kunci stangnya juga," ucap nenek saat kami sudah tiba di depan rumah keluarga Pak Ardy yang akan dipjatnya. Menurut nenek, Pak Ardy adalah salah seorang pejabat di perkebunan itu. Tidak berapa lama pintu rumah Pak Ardy
“Asiik A Gerald pulang!” seru Hendi saat baru saja masuk ke rumah nenek dan mencium tanganku seperti santri pada ustadnya. “Hehe, senang amat, kenapa?” tanyaku sambil mengelus kepalanya. “Hendi bentar lagi ulangan A, mau ikut bimbel sama Aa, boleh?” “Boleh banget, yang penting ranking satu.” “Siaap A. mulai malam ini ya?” “Boleh.” Seperti biasa setiap berada di kampung aku kumpul bersama teman-teman yang masih ada. Kebanyakan teman seangkatanku sudah bekerja dan merantau ke kota. Hendi adalah anaknya almarhum Mang Adin, adik ibuku, alias anak bungsunya nenek. Mang Adin sudah meninggal dua setahun yang lalu. Namun hubungan kekeluargaan kami dengan mantan istinya juga Hendi anaknya tetap baik. Mamanya Hendi bernama Nara, kami biasa memanggilnya Bi Ara. Usia 30 tahun dan Hendi yang baru kelas satu SMP merupakan anak tunggalnya. Sudah dua tahun Bi Ara menjanda namun sepertinya belum berniat menikah lagi. Menurut cerita nenek dan aku juga tahu, banyak yang ingin menjadikan Bi Ara i
“Gerald, ja..ja.jangan pergi dulu, d..dan ja..jang dimatiin hapenya, ib..ibu takut…, serem banget ini tempatnya,” ucap Bu Endang saat aku membalikan badan membelakanginya yang akan membuka celana panjangnya. “Iya Bu, tenang aja,” jawabku kalem. Pikiran isengku tiba-tiba timbul. Ingin merekam suasana sekitar. Siapa tahu ada penampakan makhluk astral yang tertangkap kamera. Ini sangat menarik dan sudah pasti akan viral jika diposting di medsos. Maka aku pun menggerahkan camera hape dalam mode merekan ke beberapa sudut ruangan yang sangat gelap dan mencekam. Tentu saja membelakangi Bu Endang yang sedang pipis. Nanti aku malah digampar kalau sampai merekam aksinya. BRUG! BRUG! “Geraaaaaald!!!!” teriak Bu Endang keras. Baru saja beberapa detik merekam, tiba-tiba dia berteriak keras mengiringi suara gedebug di atas genting. Aku menduga itu suara ranting pohon yang patah, karena kaget, refeks membalikan badan, langsung mengarahkan camera hape ke pojokkan. Deg! Jantungku seketika teras
Sebenarnya sampai hari ini pun, aku masih belum percaya dengan kejadian waktu kelas tiga SMA itu. Bu Nina, guru agama kami yang bena-benar sangat alim dan bahkan suaminya juga sama alimnya, ternyata mempunyai sisi liar bersama Rizal. Harus aku akui, ketika dulu Rizal memang bintangnya di sekolah. Ganteng, lumayan cerdas, tajir dan isi kepalanya super mesum. Selalu punya cara untuk menaklukan wanita manapaun yang dia incar. Tidak terkecuali Bu Nina, si istri sholehah itu. Nanti biar Rizal yang cerita sendiri keseruannya. Tak berselang lama aku dan Rizal pun bersiap untuk berpisah. Rizal mendapat telpon dari seseorang yang diminta untuk memeriksakan motornya yang mogok. Aku juga harus segera berangkat sebelum hari menjadi gelap, karena membonceng istrinya Pak Endang. “Gini aja, Zal. Gua mungkin semingguan di kampung. Gimana kalau subuh minggu depan lu tunggu gua di sini. Terus kita bareng ke kota. Sambil nyari atau nunggu kerjaan buat lu kan bisa bantu-bantu dulu di rumah teman gua.