Adegan yang sangat panjang dan panas namun tidak terlalu mengesankan. Gerald merasa tak sabar ingin segera merasakan nikmatnya bercinta dengan wanita itu. Khayal dan angannya dipenuhi dengan berjuta kenikmatan yang akan dia dapatkan dibanding dengan percintaan-percintaan sebelumnya. Bibir basah Tante Sonya yang merekah pasrah saat berbicara, tergambar jelas di mata Gerald. Harum tubuh Tante Sonya yang menggairahkan, kembali tercium jelas di hidung Gerald. Kelembutan kulit tangan Tante Sonya dan kenyalnya buat dadanya saat menyentuh lengannya, kemballi semua terasa seperti nyata. Bahkan sang jantan merasakannya teramat nyata. Gerald menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, seperti ketika waktu dia membayangkan bisa melumat bibir Tante Sonya saat sedang bersama tadi. ‘Sedang apa Tante Sonya sekarang? Apakah dia sedang dicumbu suaminya?’ Pertanyaan terakhir Gerald tiba-tiba dia rasa sangat mengganggu dan membuatnya terbakar cemburu dalam birahi. Sungguh sangat mengge
Tangan yang satu lagi beralih ke bawah. Tante Sonya memerlukan kedua tangannya untuk mendaki puncak dahsyat birahinya. Satu tangan untuk menekan kedua jarinya masuk lebih dalam lagi pada lobang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain mengusap-menekan-memilin klitorisnya yang merah dan berdenyut-denyut. Tante Sonya mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosoknya dengan sangat keras dengan kedua tangannya. “Geraaaaald oooh gantengku oooh…” Gerald di kamar kostnya, terus menggosok-gosok dan mengurut batangnya dengan sangat keras. Naik turun tangannya semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Napasnya terengah-engah. Kakinya terasa melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Satu tangannya yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhnya melambung ke langit-langit. Gerald tak tahan lagi, tubuhnya merinding merasakan tubuhnya yang seperti akan meledak. “Tante Sonyaaaa aaaaah
Feeling Tante Sonya mengatakan jika sebenarnya keadaan Gerald kemarin itu sedang tidak baik-baik saja. Itu bisa dia bandingkan dengan raut wajah Gerald antara saat ini yang tampak jauh lebih cerah dan semringah. "Gak rahasia sih, Tan. Hanya memang kurang enak didengarnya.” Gerald akirnya menjawab pelan dalam keragu-raguan. Hatinya terus bertanya-tanya apakah pantas dia menceritakan keadaan dirinya yang sejujurnya. “Apa tuh yang kurang enak didengar? Bicara jujur aja Ger, gak usah ragu, siapa tahu tante bisa bantu solusinya kalau memang itu sesuatu yang kamu butuhkan.” Tante Sonya sengaja melontarkan kalimat itu agar Gerald tidka merasa sendirian dalam mengatasi kesulitannya. “Hmm memangnya beneran Tante mau tahu?" tanya Gerald seraya menebak-nebak isi kepala lawan bicaranya. "Iya lah, Ger. Kalau gak mau tahu, ngapain juga tanya-tanya kamu terus. Dari kemarin, tante merasa sebenarnya ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ada apa sih Ger?" Tante Sonya bicara semakin lembut, tak uba
Umi Anisa bergelinjang manja dan menggoda. Dia meramas-remas kedua payudaranya sendiri sambil mendesah-desah lembut mengiringi setiap gerakan tangannya. Wanita yang kesehariannya terkesan sangat alim dan setia itu benar-benar telah terbakar libido dan gairah seksualnya. Bang Andre yang bertubuh tinggi besar dan bekulit agak gelap itu pun berdiri gagah. Tangan kanannya memegangi dan memainkan batang kejantanannya. Sinar matanya nanar menatap sayu Umi Anisa yang menggelinjang di atas kasur. Mereka saling bertatapan dan saling beradu senyum mesum yang tersungging dari keduanya. Dengan gerakan perlahan, layaknya binatang berkaki empat, Bang Andre naik ke atas ranjang mendekati tubuh bugil Umi Anisa. Kedua tangan Bang Andre memegangi kedua paha istri Ustad Umar itu dengan lembutnya, lalu melebarkannya. Tak lama kemudian Bang Andre menunduk lalu membenamkan wajahnya di selangkangan Umi Anisa. “Oooowhsss, Andreee ssssst…” Umi Anisa melenguh panjang dengan kepala menghentak. Sementara kedua
**Biar tdak membosankan cerita akan dilanjut dengan POV Gerald** Entah berapa lama aku tertegun duduk di dalam kamar kostku. Tak tahu harus berbuat apa, dan yang pasti masih tidak percaya dengan yang baru saja aku saksikan namun nyata adanya. Bayangan bersetubuhn antara Bang Andre dengan Umi Anisa masih terus menari-nari dalam benakku. Ternyata orang-orang yang selama ini aku hormati dengan sepenuh hati, tidak lebih mulia dariku. [Nak Gerald, siap-siap ya. Sebentar lagi kita berangkat lagi ke rumah sakit. Umi juga ketiduran barusan baru bangun, ini baru mau mandi] Sebuah pesan masuk dari Umi Yani, sontak membuyarkan lamunanku. Dan tanpa menuda waktu aku segera mengganti pakaian, lalu mengeluarkan kain sarung dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam tas soren. Lalu setelah berpamitan pada ibu kostku yang kebetulan sedang nonton tv, aku pun segera berangkat ke rumah Umi Yani. Ketik di tengah perjalanan Umi Yani mengirimkan pesan lagi. [Nak Gerald, masuk langsung aja lewat dapur
Umi Yani pun langsung menolak. Posisinya yang dekat dengan kamar mayat menjadi pertimbangannya. Namun beliau pada akhirnya menyerah setelah benar-benar tidak ada lagi tempat yang bisa ditempati. Aku pun berjanji untuk berjaga sepanjang malam, menemaninya tidur. Pikiran kotorku pun sudah hilang entah kemana. "Janji ya Gerald, kamu harus bangunkan umi kalau mau kencing atau beli rokok. Soalnya umi takut ditinggal sendirian, apalagi dekat…..," ucap Umi Yani dengan wajah yang tampak masih pucat dan cemas. Aku tahu dia sangat terpaksa menerima tawaranku dan belum bisa membuang rasa takutnya. "Persediaan rokok saya lebih dari cukup sampai pagi, Umi. Jadi tidak perlu kemana-mana lagi, paling kecing, itu pun kalau gak bisa ditahan, hehehe," jawabku sambil cengengesan. Sengaja bercanda agar dia tidak terlalu merasa takut dan tegang. Akhirnya kami menggelar tikar dan plastik di teras bangunan yang jaraknya tidak lebih dari tiga meter dengan ruang kamar jenazah. Ternyata nyaman juga menempat
“Ger, pu…pu,…punya kamu ge..gede amat,” Bisikan yang sudah kuduga sebelumnya. “Ini beneran punya kamu?” tanyanya sambil terus meremas dan menggenggam batang rudalku. “Iya Mi, masa punya orang saya bawa-bawa, emangnya kenapa, Mi?” tanyaku pura-pura tak mengerti. “Gila, ini punya kamu gede amat, Gerald. Usia kamu berapa, sih?” Umi Yani tampak makin penasaran. “Hehehe, umi suka gak sama yang gede panjang dan keras?” Aku balik bertanya dengan mengacuhkan pertanyaannya. “Ini sih udah kaya punya orang bule, Ger. Kamu keturuan Arab sih ya.” Umi Yani semakin penasaran namun tangannya semakin gemas mencengkeram batangku yang masih dalam celana pendekku. “Emang Umi tahu punya orang Arab atau orang bule itu gede panjang?” tanyaku iseng dan sejujrunya penasaran dari mana dia tahu itu. “Pernah liat di internet, tapi…” ucapnya tidak selesai. Mungkin dia malu merasa keceplosan. “Hehehe Umi mau menikmatinya yang ada digenggaman Umi gak?” godaku sambil mengedut-ngedutkan batang rudalku yang maki
Subuh-subuh aku sudah kembali ke kostan karena harus kuliah. Umi Yani menyelipakan uang buat sarapan yang jumlahnya aku pikir lebih dari cukup buat 20 kali sarapan. Aku sudah menolaknya namun dia memaksa. Sungguh tidak terduga keberuntunganku minggu-minggu ini. Mungkinkah setelah bertemu dengan Tante Sonya aku menjadi sangat bersemangat dan percaya diri hingga semua terasa sangat mudah dan ringan untuk dijalani. Di kampus pun aku sudah kembali gaul dan berinteraksi dengan teman-teman karena pikiranku mulai tidak terlalu terganggu dengan problema keuangan. “Eh Dit kapan kerjaan dari Tante Intan itu pastinya?” tanyaku saat sama-sama hendak ke kantin. “Gak tahu, gua juga belum ketemu lagi sama dia. Lu hubungi langusng aja, kan ada nomornya,” saran Dito. “Gak enak juga sih. Entar aja deh nunggu dia ke sini, hehehe,” balasku seraya cengengesan malu-malu. “Proyek tambahannya, ngelonin dia, mau gak, Bro?” Tiba-tib Dito berbisiki di telingaku. “Hah! pala lu bau asbak! Dia kan mertua kak