‘Semoga saja Tante Sonya seorang pengusaha dan mau mengajak aku bekerja di perusahaannya. Kalau dilihat dari penampilannya sepertinya dia memang seorang pengusaha. Semoga saja ini adalah jawaban atas semua doa-doaku dan ibuku. Semoga ada rizki buatku dan kedua adikku, Amiin,’ ucap Gerald dalam hati.
Dengan dada yang terasa lega dan disorong sebuah harapan baru dan semangat membara, Gerald mencari barang yang sedang dicari Tante Sonya. Dan sama sekali tidak ada kendala karena memang barang tersebut sangat mudah dicari hampir di semua toko yang menjual aksesotis kendaraan.
Ketika akan balik kanan kembali dari toko hendak menemui kembali Tante Sonya, Gerald menghentikan langkahnya karena posnsel yang disimpan di saku celananya bergetar pertanda ada panggilan masuk.
“Assalamulaikum Bu,” Gerald pun langsung membuka percakapan telpon dengan ibu kostanya.
“Waalaikumsalam, Gerald sekarang sedang di mana?” tanya Bu Ana dengan nada yang terdengar sedikit cemas.
“Saya sedang di rumah teman, Bu. Ada apa?” Gerald pun menjawab dengan nada yang sama, lalu dia bergeser ke tempat yang lebih sepi karena pendengaran sedikit terganggu dengan suara berisik dari lalu lalang orang.
“Di rumah teman di mana? Kok kedengarannya rame banget, Ger.” Rupanya Bu Ana sudah terlanjut menangkap keriuhan yang di sekitar Gerald berada.
“Gak kok, Bu. Biasa ini lagi kumpul-kumpul sama teman sambil dengerin musik, hehehe.” Gerald segera beralibi, kebetulan suara musik dari salah satu kios yang dekat dengannya paling mendominasi. “Maaf ada apa ya, Bu?” lanjut Gerald kembali bertanya penasaran.
“Ini Ger, barusan ke rumah ada Pak Ustad Umar sama Bang Andre, nyariin kamu. Apakah malam ini Gerald mau nginap atau pulang ke kostan?” Bu Ana balik bertanya untuk memastikan.
“Oh Pak Ustad? Mau ngasih kerjaan bukan Bu?” Wajah Gerald seketika menadak cerah dan tak sadar dia juga malah balik bertanya saking senangnya.
“Kurang tahu juga. Katanya sih ada perlu penting sama Gerald. Nanti kalau pulang ditunggu di rumah Pak Ustad Umar, katanya.” Bu Ana kembali menginfokan.
“I..iya siap Bu. Ta..tapi mungkin agak sorean saya pulangnya. Soalnya sekarang sedang nganter teman dulu. Iya saya pasti pulang kok, Bu.” Gerald menjawab sedikit gelagapan antara senang dan kaget.
“Oh ya, udah gak papa, nanti kangsung aja ke rumah Pak Ustad ya, Ger.”
“Iya Bu, Assalaualaikum!” pungkas Gerald.
“Waalaikum salam,” balas Bu Ana sebelum memutus hubungan teleponnya.
“Ya Allah mudah-mudahan ini juga rizki buat hamba-Mu ini, Amiin” uap Gerald pelan sambil membasuhkan kedua telapak tangannya pada wajahnya, pertanda besar harapan dan bersyukur.
Ustad Umar adalah seorang tokoh masyarakat yang juga imam masjid di kompleksnya. Gerald sudah kenal cukup dekat dan baik dengan beliau, bahkan dengan istrinya. Rumah Ustad Umar tidak terlalu jauh dari rumah Bu Ana. Gerald sering membantu pekerjaan Ustad Umar, termasuk babat halamannya. Biasanya Ustad Umar memberikan imbalan yang cukup besar, walau tidak diminta.
Sementara Bang Andre adalah pemuda setempat yang juga cukup dekat dengan Gerald. Bang Andre juga sering membantu pekerjaan Ustad Umar, walau saat ini dia sibuk dengan pekerjaannya sebagai tenaga keamanan lapangan di sebuah proyek pembangunan jembatan antar kecamatan.
‘’Apakah Bang Andre mau menawariku pekerjaan? Beberapa waktu yang lalu aku pernah ngobrol sama dia, butuh pekerjaan. Ya Allah, semoga ini juga rezki buat hamba-Mu, Amiin.” Gerald kembali berharap dan berdoa dalam hati.
Kurang lebih dua puluh menit kemudian, Gerald sudah kembali duduk di hadapan Tante Sonya. Tak ada kendala sama sekali bagi seorang Gerald untuk mencari barang yang sedang dicari tante kenalan barunya itu.
"Alhamdulillah udah dapat barang nih, Tan," ucap Gerald seraya menyodorkan kembali brosur yang tadi dipinjamnya dari Tante Sonya, sekalian dengan gambar dan daftar harga yang dia dapatkan dari toko.
"Tan.. Tan.. emangnya aku ini ketan atau setan, Ger?" seloroh Tante Sonya sambil tersenyum dan menatap wajah Gerald yang sedikit lembab karena berkeringat.
"Eh.. maaf maksud saya, Tante Sonya," jawab Gerald sambil cengengesan.
Tante Sonya menawarkan minuman dan makanan yang sudah dipesannya yang disodorkan oleh seorang pramusaji, sesaat setelah Gerald duduk.
Tanpa basa-basi, Gerald yang sedang sangat lapar, langsung menyantapnya dengan lahap. Sementara Tante Sonya, asik meneliti hasil buruan lelaki muda yang sejak pertama melihatnya sudah sangat menarik hatinya. Kekesalan hatinya akibat ulah duo bandot tua di kantornya, sedikit terobati.
Entah apa yang ada dalam diri Gerald, namun feeling Tante Sonya mengatakan jika Gerald orangnya sangat asik dan baik. Tentu saja wajah Arab sang brondong pun tidak perlu diragukan lagi ketampanannya.
‘Anak ini sepertinya dari kampung dan dari keluarga sederhana. Tapi aku sangat suka dengan kepribadiannya. Wajah dan penampilan juga benar-benar khas orang ndeso. Ganteng, sederhana dan jantan. Berbeda dengan brondong metrosexsual yang kulitnya glowing dan terkesan cantik.’ bisik hati Tante Sonya sambil sesekali melirik wajah Gerald yang sedang asik menikmati makanannya.
Setelah usai makan, mereka sama-sama mendatangi toko acsessories. Ternyata jumlah belanjaan Tante Sonya jadi membengkak. Bukan hanya acsessories untuk mobil suaminya yang dibeli, namun juga banyak pernak-pernik untuk akseroris mobilnya.
Setelah selesai, tanpa diminta Gerald pun langsung membawakan barang-barang belanjaan Tante Sonya menuju mobilnya di tempat parkir. Setelah sampai di area parkir, belanjaan yang dibawa Gerald langsung diambil oleh sopirnya Tante Sonya yang sudah siaga menunggu majikannya.
"Wah, terima kasih, Ger udah ngebantuin tante.”
“Sama-sama Tante.”
“Oh iya, ini buat sekedar beli cendol, kali aja Gerald kehausan setelah bawa belanjaan tante, hehehe," ucap Tante Sonya sambil menyelipkan sejumlah uang pada kantong celana Gerald.
"Ah, gak usah Tante, saya cuma bantuin dikit kok," jawab Gerald malu-malu namun tentu saja hatinya riang tak terkira.
Walau sama sekali tdak tahu berapa jumlah uang yang diberikan Tante Sonya. Namun dia yakin uang tersebut akan bisa menyambung hidupnya minimal bisa untuk membeli sarapan besok pagi.
"Oh iya Ger, kapan-kapan tante boleh kontak kamu ya? Awas jangan gonta-ganti nomor ya. Beneran kan kamu bisa bawa mobil?” tanya Tante Sonya.
“Siap Tante. Insya Allah bisa, hanya belum punya SIM,” jawab Gerald sigap. Mereka sudah banyak ngobrol dan bahkan bertukar nomor kontak saat sedang berbelanja tadi.
“Oke tante ulang duluan ya, Ger.”
“Silakan Tante. Sekali lagi, terima kasih untuk cendolnya, hehehe.”
Beberapa menit kemudian, mobil Tante Sonya keluar dari area parkiran. Sementara Gerald bersiap untuk pulang menemui Ustad Umar dan Bang Andre. Ketika sedang menuju tangga, iseng-iseng Gerald menarik uang yang tadi diselipkan Tante Sonya ke dalam saku celananya.
“Astagfirullah!” seru Gerald sambil memegangi lima lembar uang merah di tangannya.
“Ah, gila! Pasti si Tante salah ngasih. Masa cuma nganter belanja gitu doang dikasih uang sebanyak ini?” guman Gerald sambil kembali memasukan uang teresebut dalam saku celananya.
Bibir Gerald tersenyum lebar. Hatinya pun riang gembira. Malam ini dia bisa benar-benar tidur dengan nyenyak, walau uang kostnya belum bisa da bayar seluruhnya.
‘Terima kasih, ya Allah. Terima kasih Tante Sonya, akhirnya aku masih bisa bertahan di kota ini,’ ucap Gerald sambil kembali menghadap langit mengucapkan syukur pada Yang Maha Pemberi Rizky. Tal terasa kedua bola matanya pun berkaca-kaca.
Benar-benar tak terduga, pada saat Gerald sedang sangat oleng, rizki dan bakal rizki seakan datang berbarengan dalam waktu yang yang hampir bersamaan. Mungkin ini yang biasa disebut 'Rizky Anak Oleng.'
^*^
[Ger, kalau ada waktu, besok tante tunggu di tempat yang nanti tante infokan, kira-kira jam makan siang. Bisa gak] Gerald membaca pesan singkat dari Tante Sonya dengan wajah yang berbinar-binar. Kala itu dia baru saja naik angkot hendak pulang ke kostannya. [Siap Tante] Dengan sigap Gerald segera membalasnya. [Oke, nanti tante infokan lagi ya] balasan dari Tante Sonya kembali masuk dan Gerald membalasnya dengan emot kepalan tangan siap!. Walau tidak tahu apa maksudnya Tante Sonya mengajak kembali bertemu, namun Geralad langsung menyetujuinya karena sangat yakin akan banyak kebaikan setelahnya. Bukan hanya sekedar materi, namun Tante Sonya memang sanggup membuat Gerald nyaman dan percaya diri saat bersamanya. Hampir saja Gerald melanjutkan chatnya itu dengan menanyakan kebernaran jumlah uang yang diberikan Tante Sonya padanya, takutnya salah hitunga atau salah ngasih. Namun dia pikir lebih baik besok ditanyakan langung saat bertemu. Dan Gerald berusaha untuk tidak dulu memakainya, s
Sore sampai malam di hari pertama itu, tugas Gerald benar-benar hanya menemani Umi Yani. Walau pada awalnya tidak terlalu saing kenal, namun lama kelamaan mereka pun menjadi sangat akrab. Terlebih lagi Umi Yani tipe orang yang mudah terbuka kepada orang yang bisa dipercaya. Selama ini Umi Yani memang tidak kenal terlalu dekat dengan Gerald, namun nama Gerald bukanlah sesuatu yang baru baginya. Ustad Umar, Umi Anisa dan tetangga lainnya beberapa kali menceritakan kebaikan seorang Gerald. Umi Yani juga sangat yakin, tidak mungkin adik iparnya meminta Gerald menemaninya, jika pemuda itu tdak bisa dipercaya. Umi Yani justru akan menolak mentah-mentah jika Bang Andre yang menemaninya. Dia sudah tahu siapa Andre yang sebenarnya. Gerald juga mulai mengetahui jika Umi Yani aslinya berasal dari Kuningan. Sementara Ustad Buyamin, berasal dari Bandung sama seperti Ustad Umar. Umi Yani telah dikaruniai tiga anak yang sudah dewasa. Dua laki-laki, satu perempuan. Semua sudah menikah dan tinggal b
Adegan yang sangat panjang dan panas namun tidak terlalu mengesankan. Gerald merasa tak sabar ingin segera merasakan nikmatnya bercinta dengan wanita itu. Khayal dan angannya dipenuhi dengan berjuta kenikmatan yang akan dia dapatkan dibanding dengan percintaan-percintaan sebelumnya. Bibir basah Tante Sonya yang merekah pasrah saat berbicara, tergambar jelas di mata Gerald. Harum tubuh Tante Sonya yang menggairahkan, kembali tercium jelas di hidung Gerald. Kelembutan kulit tangan Tante Sonya dan kenyalnya buat dadanya saat menyentuh lengannya, kemballi semua terasa seperti nyata. Bahkan sang jantan merasakannya teramat nyata. Gerald menelan ludah berkali-kali. Jantungnya berdegup kencang, seperti ketika waktu dia membayangkan bisa melumat bibir Tante Sonya saat sedang bersama tadi. ‘Sedang apa Tante Sonya sekarang? Apakah dia sedang dicumbu suaminya?’ Pertanyaan terakhir Gerald tiba-tiba dia rasa sangat mengganggu dan membuatnya terbakar cemburu dalam birahi. Sungguh sangat mengge
Tangan yang satu lagi beralih ke bawah. Tante Sonya memerlukan kedua tangannya untuk mendaki puncak dahsyat birahinya. Satu tangan untuk menekan kedua jarinya masuk lebih dalam lagi pada lobang surgawi yang menimbulkan rasa nikmat itu, sementara tangan yang lain mengusap-menekan-memilin klitorisnya yang merah dan berdenyut-denyut. Tante Sonya mengangkat pinggulnya, memberikan tekanan ekstra ke seluruh daerah kewanitaannya, menggosok-gosoknya dengan sangat keras dengan kedua tangannya. “Geraaaaald oooh gantengku oooh…” Gerald di kamar kostnya, terus menggosok-gosok dan mengurut batangnya dengan sangat keras. Naik turun tangannya semakin cepat, semakin cepat, dan semakin cepat. Napasnya terengah-engah. Kakinya terasa melayang, padahal keduanya menjejak kasur dengan keras. Satu tangannya yang bebas kini mencengkram seprai, seakan mencegah tubuhnya melambung ke langit-langit. Gerald tak tahan lagi, tubuhnya merinding merasakan tubuhnya yang seperti akan meledak. “Tante Sonyaaaa aaaaah
Feeling Tante Sonya mengatakan jika sebenarnya keadaan Gerald kemarin itu sedang tidak baik-baik saja. Itu bisa dia bandingkan dengan raut wajah Gerald antara saat ini yang tampak jauh lebih cerah dan semringah. "Gak rahasia sih, Tan. Hanya memang kurang enak didengarnya.” Gerald akirnya menjawab pelan dalam keragu-raguan. Hatinya terus bertanya-tanya apakah pantas dia menceritakan keadaan dirinya yang sejujurnya. “Apa tuh yang kurang enak didengar? Bicara jujur aja Ger, gak usah ragu, siapa tahu tante bisa bantu solusinya kalau memang itu sesuatu yang kamu butuhkan.” Tante Sonya sengaja melontarkan kalimat itu agar Gerald tidka merasa sendirian dalam mengatasi kesulitannya. “Hmm memangnya beneran Tante mau tahu?" tanya Gerald seraya menebak-nebak isi kepala lawan bicaranya. "Iya lah, Ger. Kalau gak mau tahu, ngapain juga tanya-tanya kamu terus. Dari kemarin, tante merasa sebenarnya ada sesuatu yang kamu sembunyikan. Ada apa sih Ger?" Tante Sonya bicara semakin lembut, tak uba
Umi Anisa bergelinjang manja dan menggoda. Dia meramas-remas kedua payudaranya sendiri sambil mendesah-desah lembut mengiringi setiap gerakan tangannya. Wanita yang kesehariannya terkesan sangat alim dan setia itu benar-benar telah terbakar libido dan gairah seksualnya. Bang Andre yang bertubuh tinggi besar dan bekulit agak gelap itu pun berdiri gagah. Tangan kanannya memegangi dan memainkan batang kejantanannya. Sinar matanya nanar menatap sayu Umi Anisa yang menggelinjang di atas kasur. Mereka saling bertatapan dan saling beradu senyum mesum yang tersungging dari keduanya. Dengan gerakan perlahan, layaknya binatang berkaki empat, Bang Andre naik ke atas ranjang mendekati tubuh bugil Umi Anisa. Kedua tangan Bang Andre memegangi kedua paha istri Ustad Umar itu dengan lembutnya, lalu melebarkannya. Tak lama kemudian Bang Andre menunduk lalu membenamkan wajahnya di selangkangan Umi Anisa. “Oooowhsss, Andreee ssssst…” Umi Anisa melenguh panjang dengan kepala menghentak. Sementara kedua
**Biar tdak membosankan cerita akan dilanjut dengan POV Gerald** Entah berapa lama aku tertegun duduk di dalam kamar kostku. Tak tahu harus berbuat apa, dan yang pasti masih tidak percaya dengan yang baru saja aku saksikan namun nyata adanya. Bayangan bersetubuhn antara Bang Andre dengan Umi Anisa masih terus menari-nari dalam benakku. Ternyata orang-orang yang selama ini aku hormati dengan sepenuh hati, tidak lebih mulia dariku. [Nak Gerald, siap-siap ya. Sebentar lagi kita berangkat lagi ke rumah sakit. Umi juga ketiduran barusan baru bangun, ini baru mau mandi] Sebuah pesan masuk dari Umi Yani, sontak membuyarkan lamunanku. Dan tanpa menuda waktu aku segera mengganti pakaian, lalu mengeluarkan kain sarung dari dalam lemari dan memasukannya ke dalam tas soren. Lalu setelah berpamitan pada ibu kostku yang kebetulan sedang nonton tv, aku pun segera berangkat ke rumah Umi Yani. Ketik di tengah perjalanan Umi Yani mengirimkan pesan lagi. [Nak Gerald, masuk langsung aja lewat dapur
Umi Yani pun langsung menolak. Posisinya yang dekat dengan kamar mayat menjadi pertimbangannya. Namun beliau pada akhirnya menyerah setelah benar-benar tidak ada lagi tempat yang bisa ditempati. Aku pun berjanji untuk berjaga sepanjang malam, menemaninya tidur. Pikiran kotorku pun sudah hilang entah kemana. "Janji ya Gerald, kamu harus bangunkan umi kalau mau kencing atau beli rokok. Soalnya umi takut ditinggal sendirian, apalagi dekat…..," ucap Umi Yani dengan wajah yang tampak masih pucat dan cemas. Aku tahu dia sangat terpaksa menerima tawaranku dan belum bisa membuang rasa takutnya. "Persediaan rokok saya lebih dari cukup sampai pagi, Umi. Jadi tidak perlu kemana-mana lagi, paling kecing, itu pun kalau gak bisa ditahan, hehehe," jawabku sambil cengengesan. Sengaja bercanda agar dia tidak terlalu merasa takut dan tegang. Akhirnya kami menggelar tikar dan plastik di teras bangunan yang jaraknya tidak lebih dari tiga meter dengan ruang kamar jenazah. Ternyata nyaman juga menempat