Share

8. Sarang Monster

Farrah menghidangkan bubur untuk Ezra yang tampak begitu kehilangan semangatnya. Farrah yang melihat hal itu menghela napas panjang. Farrah menyisir rambutnya yang terawat dengan jemari lentiknya dan berkata, “Makanlah. Setidaknya, kau harus bertahan hidup selama Dafa berusaha untuk mencari cara membawa Viola kembali.”

Ezra pun mengambil sendok dan mulai makan dalam diam. Farrah mengamati sebelum bertanya, “Apa Dafa sudah menghubungimu?”

Ezra menjawab dengan sebuah gelengan. Farrah yang mendapatkan jawaban seperti itu memejamkan matanya. Sepertinya, Dafa benar-benar marah pada Ezra dan hingga saat ini pun dirinya belum memberikan maaf pada Ezra. Alhasil, Farrah masih memegang tugas untuk mengawasi tindakan Ezra dan memastikan jika Ezra tidak membuat masalah baru di masa depan nanti. Melihat jika Ezra makan dengan baik, Farrah pun bangkit dari posisinya. “Jangan ke luar rumah jika tidak ada situasi yang mendesak. Jangan membuat Dafa lebih marah dengan berkeliaran dan membuat ulah. Aku harus pergi karena ada yang perlu aku urus,” ucap Farrah sembari mengambil tas jinjing mewahnya.

Ezra yang mendenga hal itu mengangguk. “Terima kasih makanannya, dan hati-hati di jalan,” ucap Ezra dengan menatap penuh kelembutan pada Farrah.

Tentu saja Farrah tahu jika sejak remaja, Ezra sudah memiliki perasaan padanya. Namun, Farrah lebih memilih untuk mengabaikan perasaan tersebut dan bersikap seolah-olah dirinya sama sekali tidak mengetahui perasaan Ezra padanya. Karena menurut Farrah, itu akan terasa lebih nyaman bagi mereka. Farrah tidak tega jika harus menolak Ezra.  Farrah meninggalkan kediaman sederhana milik Ezra menggunakan mobil mewah miliknya. Sama seperti Dafa, Farrah berasal dari keluarga kaya raya. Jika saja, Ezra tidak bersahabar dengan Dafa, rasanya sangat mustahil bagi Farrah mengenal Ezra bahkan bersahabat dalam waktu yang lama seperti ini.

Farrah mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju daerah yang sebenarnya cukup familier baginya. Tentu saja familier karena Farrah biasanya mengunjungi tempat tersebut sekitar dua hingga tiga kali dalam seminggu. Setelah memarkirkan mobilnya dengan benar, Farrah pun turun dan melangkah menuju bangunan yang tak lain adalah bangunan bar di mana Flo adalah managernya. Sama seperti Dafa, kedatangan Farrah sama sekali tidak dicegah walaupun bar belum buka karena masih siang hari. Farrah melangkah dengan anggun dan menuju Flo yang tampak duduk di sebuah meja yang berada di ujung ruangan.

Farrah duduk berseberangan dengan Flo yang tersenyum semenjak melihat kedatangan gadis satu itu. “Selamat datang, Nona. Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Flo.

Benar, Flo dan Farrah memang sudah membuat janji untuk bertemu. Farrah mengeluarkan sebuah amplop cokelat tebal dari tas jinjingnya dan meletakkan amplop tersebut di atas meja, tepat di hadapan Flo. “Mari buat kesepakatan,” ucao Farrah.

“Mengenai?” tanya Flo tertarik. Tentu saja ia bisa memperkirakan berapa banyak uang yang berada di dalam amplop cokelat yang disodorkan oleh Farrah tersebut. Terlebih, Farrah sendiri yang mengajak untuk membuat kesepakatan. Secara tepat, Flo bisa menebak jika Farrah membutuhkan sesuatu darinya. Mengingat latar belakang Farrah, tentunya Flo tidak akan membiarkan kesepakatan ini berjalan terlalu mulus. Flo harus mendapatkan keuntungan besar dari anak orang kaya di hadapannya ini, bukan?

“Mengenai Viola, adik Ezra yang kau ambil dan jual sebagai jaminan atas hutang Ezra. Kita, akan membuat kesepakatan mengenai gadis itu,” ucap Farrah dengan nada serius yang membuat Flo mengernyitkan keningnya.

“Baiklah, sekarang katakan, apa yang kau inginkan dariku, dan apa yang akan kau berikan sebagai bayarannya?”

***

Viola menatap nampan makan malam yang baru saja dibawakan oleh seorang pelayan yang memang bertugas untuk mengantarkan makan malam. Viola baru saja ke luar dari kamar mandi dan membersihkan dirinya. Untungnya, meskipun di kurung di dalam ruang pengap tersebut, tetap ada kamar mandi yang memungkinkan Viola untuk membersihkan diri. Hanya saja, pakaian yang disediakan sehari sekali adalah berupa set pakaian dalam yang terasa memalukan jika dikenakan. Hanya saja, Viola tidak memiliki pilihan lain, selain memakai pakaian dalam ini. Viola pun duduk di tepi ranjang dan berniat untuk memakan makan siangnya, sebelum Viola mendengar sebuah jeritan yang memilukan dari arah ruangan di mana Lia berada.

“Ti, Tidak Tuan! Tolong maafkan aku! Argh!”

Viola bergetar ketakutan saat secara beruntun ia mendengar suara jerit Lia yang disusul dengan suara dentuman berulang kali yang terdengar bekitu keras. Viola meletakkan nampannya dan segera menempelkan telinganya pada dinding, berusaha untuk kembali mendengar apa yang terjadi di ruangan sebelah. Seperti sebelunya, itu hanya suara jeritan penuh kesakitan Lia dan suara dentuman berulang kali. Tidak lama, suara jeritan Lia berubah menjadi erangan dan berangsur-angsur menghilang.

Kini, benak Viola tentu saja dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Lia? Apa mungkin Lia disakiti? Dan panggilan ‘Tuan’ yang digunakan oleh Lia, adalah panggilan yang selalu mereka gunakan untuk memanggil Gerald, walaupun Viola sendiri kini dipaksa untuk memanggil Gerald langsung menggunakan namanya. Jika seperti itu, maka Gerald sudah menyakiti Lia, apa mungkin kini LIa sudah mati?

Viola menggigit bibirnya kuat saat dirinya mendengar suara langkah yang mendekat kea rah pintu ruangannya. Viola pun dengan sigap segera kembali ke tepi ranjang dan memakan. Viola berpura-pura fokus dengan makan malanya, dan begitu pintu kamar dibuka, jantung Viola terasa berhenti berdetak. Viola berusaha untuk tidak menoleh pada orang yang melangkah mendekat padanya itu. Tentu saja Viola sudah bisa menebaknya, jika orang yang mendekatinya itu tak lain adalah Gerald. “Apa kau mendengar suara yang menghibur tadi?” tanya Gerald ketika dirinya duduk di samping Viola yang menunduk menatap nampan yang berada di atas pangkuannya.

“A, Aku—”

“Jangan kira jika kau bisa berbohong dengan mengatakan jika kau tidak mendengar apa pun. Aku yang mendesain semua ruangan ini, dan aku tahu jika karakteristik ruangan yang sama sekali tidak kedap suara,” ucap Gerald sembari mengulurkan tangannya untuk menyelipkan helaian rambut panjang Viola yang menghalangi pandangan Gerald yang tengah menatap wajah manis Viola yang jelas kini susah payah menyembunyikan ekspresi ketakutannya.

Bagaimana mungkin Viola tidak takut saat dirinya bisa mencium aroma karat dan anyir begitu tangan Gerald menyentuh wajahnya. Gerald menyadari ketakutan Viola tersebut dan lebih tertarik membuat Viola semakin merasa takut. Hari ini, pikiran Gerald benar-benar kacau. Perusahaannya hampir merugi karena ada sebuah skandal mengenai dirinya yang tersebar luas, dan hal yang paling menyebalkan adalah ketika Viola terus saja memenuhi benak Gerald yang harusnya ia gunakan untuk memikirkan jalan ke luar dari masalah yang tengah menimpanya itu. Gerald menghempaskan nampan di atas pangkuan Viola dan mencekik Viola dengan salah satu tangannya.

Tentu saja dengan kekuatan Gerald, Viola terdorong hingga berbaring terlentang di atas ranjang dengan Gerald yang masih mencekiknya. Secara alamiah, Viola yang ingin bertahan hidup segera menggeliat dan berusaha untuk melepaskan diri dari cekikan Gerald yang memutus jalur pernapasannya. Hanya saja, semua usaha Viola benar-benar sia-sia. Ia tidak bisa melepaskan cekikan Gerald, hingga tubuhnya terasa melemas karena pasokan oksigen yang menurun secara drastis. Saat melihat kedua netra Viola yang berubah sayu, saat itulah Gerald melepaskan cekikannya dan malah mencium Viola dengan buas.

Viola sama sekali tidak bergerak. Ia tidak bisa berpikir atau memberikan reaksi apa pun terhadap perlakuan Gerald tersebut. Setelah lama mencumbu Viola, Gerald melepaskan ciumannya dan mengusap bibir bawah Viola yang memerah dan tampak begitu basah karena cumbuannya. “Aku kira, aku akan merasa tenang jika membunuhmu. Tapi, begitu aku melihat matamu yang berubah sayu tanpa daya, aku malah berpikiran sebaliknya. Kini, aku malah ingin membuatmu memiliki sorot mata sayu itu lagi, tetapi dengan alasan yang berbeda. Aku ingin kau bergairah, di bawah tindihanku,” ucap Gerald dengan nada rendahnya.

Saat itulah, jiwa Viola yang menjerit karena sudah tidak tahan, membisikkan sesuatu pada diri Viola. Sebuah rencana yang jelas akan bisa melepaskannya dari monster yang sudah kembali berusaha mencumbu dan menyentuh tubuhnya ini. Viola memejamkan matanya, membiarkan Gerald melakukan apa yang ia mau. Karena ke depannya, Viola akan menjalankan rencananya untuk melarikan diri dari sarang monster ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status