Kabut tidak lagi menjadi fenomena alam. Ia telah menjelma makhluk bernyawa bergerak seperti ular yang melilit desa, menjalar masuk ke rumah-rumah, menutupi jalanan, dan menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap dari malam. Di desa Tunggala, pagi dan malam kini tidak lagi dibedakan oleh cahaya, tapi oleh bau busuk kematian yang datang bergelombang.
Lusi berdiri di teras rumah, memandang langit yang tak lagi biru. Dari kejauhan, ia melihat sosok-sosok berdiri diam di ladang. Mereka bukan manusia, meski tampak seperti itu. Sorot mata kosong, tubuh kaku, wajah pucat… dan satu kesamaan mengerikan: tidak ada yang bernapas. Tama muncul dari dalam rumah membawa selembar peta tua yang ditemukan di rak buku peninggalan Pak Lurah. Kertasnya rapuh, tapi tinta merahnya masih tampak jelas. “Ada satu tempat yang tidak pernah disebut siapa pun,” ujarnya. “Lumbung Wengi. Tempat sumur tua. Lihat... di sini,” kaMalam itu tak pernah benar-benar berakhir. Langit masih menggantung dalam warna merah kehitaman, dan setiap makhluk hidup di Desa Tunggala tahu tidak ada lagi waktu yang aman. Sejak kemunculan makhluk tak berwajah dari bukit, penjagaan di tiap sudut desa diperketat. Tapi rasa aman hanyalah ilusi yang perlahan memudar. Di pojok barat desa, di balik ladang singkong yang terbengkalai, terdapat sumur tua yang sudah puluhan tahun ditutup dengan batu besar. Sumur itu disebut Sumur Buta karena tak pernah bisa diukur kedalamannya. Suaranya menggema seperti perut bumi, tapi tak pernah mengeluarkan gema balik. Malam itu, seorang warga bernama Karsa mendengar suara lirih dari sumur tersebut. Ia sedang berjaga seorang diri, ketika bisikan menyusup ke dalam pikirannya, bukan lewat telinga, melainkan langsung di dalam otaknya. “Buka… Aku ingin keluar… Sudah waktunya…” K
Hari itu, Desa Tunggala terbangun dalam keheningan aneh. Tak ada ayam berkokok, tak ada anjing menggonggong, bahkan desir angin pun seolah lenyap dari peredaran. Langit masih memerah, tapi bukan lagi merah menyala melainkan merah tua, tua seperti bekas luka yang mengering, disimpan bumi terlalu lama. Di puncak Bukit Tunggala, Lusi berdiri terpaku. Ia melihat ke arah awan gelap yang bergulung-gulung seperti amarah yang menahan letupnya. Tanpa angin, tanpa suara. Tapi ada bau yang menguar dari tanah: bau darah segar. Dari balik semak, burung-burung bangkai terbang ke arah timur, tak biasa bagi mereka yang menyukai kematian. Lusi melangkah lebih jauh ke atas bukit, merasakan hawa dingin menusuk tulang. Tanah di sekitarnya basah, padahal tak turun hujan semalam. Ia menengadah. Satu tetes darah jatuh... tepat di keningnya. Tetes kedua menyusul, mengenai bibirn
Langit pagi itu tampak salah. Bukan karena awannya, bukan pula karena kabut tebal yang biasa menyelimuti Desa Tunggala, tapi karena warnanya. Merah. Bukan jingga fajar, melainkan merah pekat seperti darah basi yang tumpah dan membusuk di atas kanvas langit. Burung-burung beterbangan ke arah berlawanan dari desa. Angin membawa bau amis dan tanah basah bercampur abu. Tama berdiri di depan rumah Lurah, menatap ke langit dengan rahang mengatup. “Ini bukan fajar biasa. Ini peringatan.” Dari dalam rumah, Surya keluar sambil menggenggam sebuah kitab tua. “Kitab Leluhur menyebut ini Langit Terkutuk. Jika warnanya merah darah, maka jiwa-jiwa telah cukup dikorbankan untuk membuka pintu gerbang berikutnya.” Raka muncul dari balik tirai, wajahnya pucat. Tubuhnya masih lemah, tapi sorot matanya penuh tekad. “Berarti gerbang ketiga hampir terbuka?” Surya mengangguk pelan. “Ya. Dan tak seperti d
Tanah desa Tunggala berguncang hebat saat cahaya memancar dari sumur tua di hutan pinus. Kabut yang sejak pagi menggulung langit perlahan tersedot masuk ke dalam lubang batu itu, seperti udara terhisap oleh paru-paru tak kasat mata. Lusi dan Tama mundur dengan napas tercekat, menyaksikan tubuh Raka keluar perlahan mengambang seperti mayat yang bangkit dari kolam kematian. Tubuh itu basah, pucat, dan berlumuran jelaga hitam. Namun matanya terbuka. “Raka!” seru Lusi, hendak menyentuhnya. Tapi Surya, sang penyintas dari Desa Gelintang, menahan tangannya. “Tunggu. Lihat matanya dulu.” Raka berdiri perlahan. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Matanya kosong, pupilnya melebar seperti menyerap seluruh cahaya yang ada. Tapi tidak merah. Tidak juga hitam. Tama menggenggam pisau Nurkalam yang kini berubah warna, dari hitam kelam menjadi abu keperakan. “Apa
Tubuh Raka melayang jatuh melewati dinding batu sumur yang gelap. Tapi ia tidak menghantam dasar seperti yang seharusnya. Sebaliknya, ia terasa seperti ditelan kabut mengambang, jatuh perlahan ke dalam kekosongan yang basah dan dingin. Udara berbau besi tua dan daging busuk. Di sekelilingnya, suara bisikan itu semakin keras, semakin jelas. Mereka berbicara dalam ratusan bahasa… namun semuanya ia pahami. “Selamat datang, Jembatan…” Cahaya merah menyala samar dari bawah. Saat akhirnya kaki Raka menyentuh tanah, ia berdiri di tempat yang tak bisa ia pahami gua besar yang tak terbatas, dengan langit-langit tinggi seperti kubah gereja yang retak. Pilar-pilar batu berbentuk tubuh manusia berdiri diam di tepinya. Sebagian menangis darah, sebagian menganga seolah menjerit tanpa suara. Di tengah ruangan, sebuah gerbang batu raksasa menjulang. Bentuknya seperti mulut yang terbuka lebar, dipenuhi gigi-gigi tumpu
Kabut tidak lagi menjadi fenomena alam. Ia telah menjelma makhluk bernyawa bergerak seperti ular yang melilit desa, menjalar masuk ke rumah-rumah, menutupi jalanan, dan menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap dari malam. Di desa Tunggala, pagi dan malam kini tidak lagi dibedakan oleh cahaya, tapi oleh bau busuk kematian yang datang bergelombang. Lusi berdiri di teras rumah, memandang langit yang tak lagi biru. Dari kejauhan, ia melihat sosok-sosok berdiri diam di ladang. Mereka bukan manusia, meski tampak seperti itu. Sorot mata kosong, tubuh kaku, wajah pucat… dan satu kesamaan mengerikan: tidak ada yang bernapas. Tama muncul dari dalam rumah membawa selembar peta tua yang ditemukan di rak buku peninggalan Pak Lurah. Kertasnya rapuh, tapi tinta merahnya masih tampak jelas. “Ada satu tempat yang tidak pernah disebut siapa pun,” ujarnya. “Lumbung Wengi. Tempat sumur tua. Lihat... di sini,” ka