Masuk"Prajurit!" bentak Komandan, "Saya ingatkan, kita baru saja berhasil memukul mundur serangan Belanda dari jarak ini..."
"Itu cuma serangan percobaan mereka, Komandan Joko!" potong sang mayor cepat, "Pasukan mereka belum turun penuh!" Komandan itu terdiam, tidak berani membantah. "Siapa namamu, Prajurit?" tanya sang mayor sambil menoleh ke arah Surya. "Eh... Surya, Pak Mayor!" jawabnya tegas. "Baik, Surya!" sang mayor menatapnya dalam-dalam, "Menurutmu, pada jarak berapa kita sebaiknya menghadang musuh?" "500 meter, Pak!" jawab Surya tanpa ragu, "Itu jarak maksimal mortir ringan KNIL. Senapan mesin ringan mereka juga nggak bakal efektif kalau kita bertahan di luar jangkauan itu!" Sang mayor mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. "Bagus, Surya. Akan kupikirkan saranmu." Sambil berkata begitu, sang mayor menepuk bahu Surya, lalu beranjak pergi. Komandan masih menatap Surya dengan mata tajam, seolah mencari-cari alasan buat menghukum dia lagi. Tapi akhirnya ia menghela napas dan mengurungkan niatnya. Begitu komandan menjauh, seorang prajurit berjanggut yang duduk di tanah menghela napas lega. "Kamu sadar nggak, Surya, betapa beruntungnya kamu barusan?" Surya menoleh, bingung. "Maksudmu apa, Bung?" "Mengantar amunisi..." kata pria berjanggut itu lirih, "Artinya kamu bakal jadi sasaran empuk pesawat-pesawat Belanda." Mendengar itu, Surya langsung paham. Jadi posisi mereka sekarang masih lebih aman dibanding misi berikutnya. Setelah diam sejenak, Surya bertanya dengan suara rendah, "Mayor itu... siapa sebenarnya?" Ia sengaja merendahkan suara karena khawatir kalau sang mayor ternyata tokoh besar, dan bakal aneh kalau ia bertanya terang-terangan. Untungnya, pria berjanggut itu tetap tenang. Ia berjongkok sambil menggulung rokok klembak menyan dengan kertas koran bekas. "Itu Komandan Resimen ke-44, Pak Mayor Galang. Dialah yang mengorganisir pasukan kita untuk melawan serangan Belanda." Mendengar nama itu, kepala Surya seperti meledak. Galang... nama yang pernah ia dengar di masa modern. Sosok legendaris. Saat banyak pasukan Republik kocar-kacir dihajar Belanda, Galang memimpin sisa-sisa prajurit mempertahankan benteng di garis depan Yogya sampai sebulan penuh. "Ini... ini benteng pertahanan Yogya, kah?" tanya Surya terkejut. Pria berjanggut itu menatapnya dengan heran. "Surya! Jangan bercanda, masa kamu lupa siapa aku?" Surya terdiam. Ia sama sekali tak mengenali pria itu. Namun cepat-cepat ia mencari alasan dalam pikirannya mungkin karena kepalanya pernah kena serpihan peluru, jadi ada ingatannya yang hilang. Dari potongan samar, Surya akhirnya tahu kalau pria itu bernama Okta, sahabatnya sendiri yang sama-sama masuk laskar rakyat untuk dilatih menjadi prajurit infanteri. Sedangkan dirinya sendiri... bisa ia pastikan lewat kartu prajurit yang ia bawa. Surya merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan sebuah kartu tanda prajurit Republik buklet tipis berwarna cokelat, dengan lambang bintang merah di sampulnya. Menurut Okta, kartu itu diberikan setelah seorang pemuda selesai menjalani pelatihan dasar, dan wajib dibawa ke mana pun. Surya membuka halaman pertama kartu itu. Di sana tertulis: Penunjukan: Batalyon Infanteri ke-1, Resimen ke-131 Tentara Republik Pangkat: Prajurit Yang aneh dari kartu tanda prajurit Surya adalah kotak kecil untuk foto di halaman depan itu kosong. Ia menatapnya lama, lalu tersenyum miris. Rupanya wajar saja. Administrasi tentara Republik saat itu masih kacau. Banyak pemuda laskar yang bahkan tidak sempat difoto, apalagi dicetak resmi. Sampai perang usai pun, belum tentu semua orang punya dokumen yang rapi. Surya menghela napas, menatap kartu itu linglung. Bentuknya mirip kartu identitas modern, tapi jauh lebih sederhana, tipis, dan rapuh. Tak heran kalau Belanda mudah menyusupkan mata-mata mereka ke tengah pasukan rakyat. Yang lebih mengguncang hati Surya adalah kenyataan pahit ia benar-benar ada di tubuh seorang prajurit sungguhan, dengan segala risiko perang yang nyata. Bukan mimpi, bukan ilusi. Dan kali ini, ia tak punya jalan untuk lari. Tiba-tiba terdengar teriakan membelah udara: “Pesawaaaat! Siap siaga! Sireneee!” Suara sirene meraung panjang di atas parit, memekakkan telinga. Sebelum Surya sempat bereaksi, deru pesawat pembom Belanda muncul dari balik awan. Moncongnya menukik rendah, meraung seperti serigala lapar, suara mesinnya menekan jantung siapa pun yang mendengar. BOOOM! Ledakan pertama menghantam tanah tak jauh dari parit. Getaran hebat mengguncang bumi, membuat gumpalan tanah beterbangan. Panas ledakan menyapu wajah Surya, membuatnya meringis ketakutan. Ternyata sasaran utama mereka bukan parit. Pesawat-pesawat itu menjatuhkan muatan ke sebuah gedung besar di belakang garis pertahanan. Gedung itu memang dijadikan titik tembak. Jendela-jendelanya dipasangi senapan mesin, disangga karung pasir, menyerupai benteng darurat. Dari sana, prajurit Republik menahan serangan darat Belanda sejak pagi. Wajar jika gedung itu jadi incaran utama. Bom-bom berjatuhan silih berganti. Sebagian bukan bom murni, melainkan drum minyak yang dilempar dari udara. Drum itu pecah saat tertembak atau menyentuh api, meledak jadi kobaran raksasa. Dalam hitungan detik, gedung besar itu sudah berubah jadi lautan api. Jeritan manusia langsung pecah di segala arah. Prajurit yang terjebak di dalam gedung menjerit histeris, sebagian nekat melompat dari lantai dua, tapi jatuh ke kobaran api yang lebih besar. Ada yang berlari sambil tubuhnya terbakar, sosoknya seperti bayangan hitam yang menari liar sebelum akhirnya tumbang kaku di tanah. Pemandangan itu terlalu brutal. Surya merinding ketakutan. Api terasa seperti iblis yang menyeret tubuh-tubuh manusia ke neraka dunia. Belum sempat ia menghela napas, sebuah pesawat kembali menukik. Bomnya menghantam sisi gedung dengan suara memekakkan telinga. Balok penyangga patah, kaca-kaca pecah beterbangan, pintu-pintu kayu terpental, tembok hancur berhamburan. Bangunan itu bergetar hebat, seperti orang tua yang kehilangan tongkat penopang. Lalu, dengan suara gemuruh panjang, seluruh gedung ambruk ke tanah, ditelan asap dan api. “Bersiaaap! Mereka akan menyerbuuu!” teriak seorang prajurit dari ujung parit. Saat itulah Surya sadar bom-bom yang baru saja dijatuhkan hanyalah pemanasan belaka. Pembukaan sebelum badai sesungguhnya. Serangan darat Belanda sebentar lagi akan menghantam mereka, dan ia harus memilih bertahan, atau mati.“Serbu!” teriak Surya lantang, suaranya membelah udara sore yang penuh asap mesiu. Mengikuti perintahnya, para prajurit segera maju menyerbu dengan sangkur terhunus. Bukan hanya satu regu yang bergerak. Dari balik reruntuhan bangunan di tepi jalan, satu batalion penuh bangkit serentak, seperti ombak yang menggulung maju. Mereka sudah lama tertahan di garis depan, padat dan sesak di tengah tembakan artileri Belanda. Serangan balik mendadak dari tank-tank musuh tadi sempat memecah barisan, membuat beberapa unit kocar-kacir. Namun kini, setelah Surya memimpin terobosan dari sayap kiri, semua prajurit tentara di sekitar situ seperti menemukan jalan keluar dari kepungan bagaikan udara yang meledak dari balon yang ditusuk. Mereka tak perlu diperintah semua spontan mengikuti langkah Surya, berlari maju menembus asap dan debu. Bagi tentara Belanda, ledakan granat yang dilempar Surya ke pos meriam itu seperti lubang di tanggul dan dari celah itula
Keputusan Kolonel Van der Meer terbukti tepat. Dalam jarak yang begitu dekat kurang dari seratus meter mundur bukan hanya mustahil, tetapi juga bunuh diri. Begitu pasukan Republik menyadari niat mereka untuk mundur, mereka pasti akan menyerang dengan segala yang tersisa. Meski tank ringan Stuart M5 milik TNI tidak secepat kendaraan lapis baja Belanda, kecepatannya cukup untuk menembus jarak itu dalam hitungan detik. Dalam dua belas detik, sebelum tank-tank Belanda sempat berbalik arah, pasukan Republik bisa menghantam mereka langsung di sisi lemah. Dan jika itu terjadi, bukan sekadar dikepung tapi barisan depan Belanda akan benar-benar hancur. Diam di tempat juga bukan pilihan, karena berarti menunggu dikepung. Satu-satunya jalan keluar hanyalah maju menembus bertempur jarak dekat di tengah hujan dan lumpur. Maka dimulailah pertarungan besi lawan besi di tengah huj
Hujan turun deras dari langit kelabu, menimpa tanah yang sudah lama beraroma mesiu. Setiap butir air yang jatuh di antara suara tembakan terdengar seperti “berdecit”, bercampur dengan ledakan peluru yang menghantam tanah basah, menyemburkan lumpur atau darah. Sebuah pesawat pemburu Belanda menembus tirai hujan, menukik tajam dari balik awan, menyalak dengan rentetan peluru senapan mesin. “Da-da-da-da!” Hujan peluru itu memicu jeritan di antara para pejuang Republik yang berlindung di balik parit-parit dangkal di pinggiran kota Yogya. Pesawat itu melintas begitu rendah hingga bayangannya tampak jelas di tanah pilotnya pasti prajurit yang terlatih. Namun, mungkinkah sedemikian nekatnya ia mengambil risiko besar hanya untuk menyerang pasukan infanteri kecil di bawah sana? Surya tidak sempat memikirkan hal itu. Pandangannya tertuju pada kabut hujan di depan, sementara dari arah barat terdengar suara gemuruh berat
Pada masa itu, sebagian besar pasukan Belanda menganut prinsip tempur “serangan adalah pertahanan terbaik”, yang berarti mereka lebih terlatih untuk menyerang daripada bertahan, bahkan menganggap pertahanan mutlak sebagai bentuk kelemahan. Lebih tepatnya, mereka menerapkan apa yang disebut pertahanan dinamis menempatkan pasukan cadangan di garis kedua untuk segera menyerang balik dari arah mana pun jika pasukan Republik berhasil menerobos. Kolonel Van Kleijs salah satu komandan lapangan Belanda, juga melakukan persiapan serupa. Untuk mengantisipasi serangan gerilya dari TNI, ia menempatkan satu resimen mekanik di luar Kota Yogyakarta. Resimen tersebut adalah Resimen Mekanik ke-11 dari Divisi Infanteri ke-3 KNIL, terdiri atas dua batalion kendaraan lapis baja dengan total hampir seratus panser ringan. Kedua batalion itu ditempatkan secara strategis: satu di barat kota, dan satu lagi di selatan. Langkah itu memang masuk akal,
Pasukan Belanda membangun tiga jembatan ponton di atas Sungai Code. Sepanjang malam, mereka menyeberang tanpa henti, dan menjelang fajar hari berikutnya, satuan lapis baja mereka telah berhasil menyeberang seluruhnya ke sisi timur kota. Berdiri di tepi timur sungai, Kolonel Van Kleijs menarik napas lega. Dari laporan yang diterima, hanya lima tank dan tiga kendaraan logistik yang tenggelam saat penyeberangan. Dalam ukuran perang, kerugian itu masih bisa diterima. Namun, seandainya pihak Tentara Indonesia mengetahui dan menembaki jembatan ponton dengan artileri… Kleist tak bisa membayangkan betapa besar bencana yang akan terjadi. Kini, setelah yakin posisi mereka aman, Van Kleijs menatap peta di atas meja lapangan, lalu berkata dengan nada puas: “Lanjutkan serangan! Target: pusat kota Yogyakarta!” “Siap, Jenderal!” seru perwira komunikasinya. Tak lama, suara deru mesin tank kembali menggema. Rat
Berita itu datang satu per satu dari Mayor Wiratmaja kepada Surya: Tentara Belanda mengerahkan ratusan pesawat pengebom untuk membom Jembatan kali Code di sekitar Yogyakarta secara bergantian. Namun, karena kabut tebal dan kekokohan Jembatan kali code, hasilnya tidak memuaskan dalam satu hari. Hanya dua bom yang mengenai jembatan dan menyebabkan kerusakan sebagian pada dek jembatan. Akhirnya, jembatan itu diledakkan pada malam hari, yang membuat para pilot Belanda bersorak gembira. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa ini sebenarnya Jenderal Sudirman yang diam-diam membantu... Beliau berharap Grup Lapis Baja ke-1 Belanda dapat meninggalkan Yogyakarta sesegera mungkin, jadi beliau memerintahkan para prajurit untuk mengikat bahan peledak di jembatan, dan kemudian memerintahkan peledakan ketika pesawat pengebom Belanda menukik dan menjatuhkan bom. Hanya mendengar bunyi "ledakan", dek jembatan terbelah dua dan meledak







