Share

Bab 3

Author: Zhar
last update Last Updated: 2025-08-31 17:05:34

"Prajurit!" bentak Komandan, "Saya ingatkan, kita baru saja berhasil memukul mundur serangan Belanda dari jarak ini..."

"Itu cuma serangan percobaan mereka, Komandan Joko!" potong sang mayor cepat, "Pasukan mereka belum turun penuh!"

Komandan itu terdiam, tidak berani membantah.

"Siapa namamu, Prajurit?" tanya sang mayor sambil menoleh ke arah Surya.

"Eh... Surya, Pak Mayor!" jawabnya tegas.

"Baik, Surya!" sang mayor menatapnya dalam-dalam, "Menurutmu, pada jarak berapa kita sebaiknya menghadang musuh?"

"500 meter, Pak!" jawab Surya tanpa ragu, "Itu jarak maksimal mortir ringan KNIL. Senapan mesin ringan mereka juga nggak bakal efektif kalau kita bertahan di luar jangkauan itu!"

Sang mayor mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. "Bagus, Surya. Akan kupikirkan saranmu."

Sambil berkata begitu, sang mayor menepuk bahu Surya, lalu beranjak pergi.

Komandan masih menatap Surya dengan mata tajam, seolah mencari-cari alasan buat menghukum dia lagi. Tapi akhirnya ia menghela napas dan mengurungkan niatnya.

Begitu komandan menjauh, seorang prajurit berjanggut yang duduk di tanah menghela napas lega. "Kamu sadar nggak, Surya, betapa beruntungnya kamu barusan?"

Surya menoleh, bingung. "Maksudmu apa, Bung?"

"Mengantar amunisi..." kata pria berjanggut itu lirih, "Artinya kamu bakal jadi sasaran empuk pesawat-pesawat Belanda."

Mendengar itu, Surya langsung paham. Jadi posisi mereka sekarang masih lebih aman dibanding misi berikutnya.

Setelah diam sejenak, Surya bertanya dengan suara rendah, "Mayor itu... siapa sebenarnya?"

Ia sengaja merendahkan suara karena khawatir kalau sang mayor ternyata tokoh besar, dan bakal aneh kalau ia bertanya terang-terangan.

Untungnya, pria berjanggut itu tetap tenang. Ia berjongkok sambil menggulung rokok klembak menyan dengan kertas koran bekas. "Itu Komandan Resimen ke-44, Pak Mayor Galang. Dialah yang mengorganisir pasukan kita untuk melawan serangan Belanda."

Mendengar nama itu, kepala Surya seperti meledak. Galang... nama yang pernah ia dengar di masa modern. Sosok legendaris. Saat banyak pasukan Republik kocar-kacir dihajar Belanda, Galang memimpin sisa-sisa prajurit mempertahankan benteng di garis depan Yogya sampai sebulan penuh.

"Ini... ini benteng pertahanan Yogya, kah?" tanya Surya terkejut.

Pria berjanggut itu menatapnya dengan heran. "Surya! Jangan bercanda, masa kamu lupa siapa aku?"

Surya terdiam. Ia sama sekali tak mengenali pria itu.

Namun cepat-cepat ia mencari alasan dalam pikirannya mungkin karena kepalanya pernah kena serpihan peluru, jadi ada ingatannya yang hilang. Dari potongan samar, Surya akhirnya tahu kalau pria itu bernama Okta, sahabatnya sendiri yang sama-sama masuk laskar rakyat untuk dilatih menjadi prajurit infanteri.

Sedangkan dirinya sendiri... bisa ia pastikan lewat kartu prajurit yang ia bawa.

Surya merogoh saku bajunya. Ia mengeluarkan sebuah kartu tanda prajurit Republik buklet tipis berwarna cokelat, dengan lambang bintang merah di sampulnya.

Menurut Okta, kartu itu diberikan setelah seorang pemuda selesai menjalani pelatihan dasar, dan wajib dibawa ke mana pun.

Surya membuka halaman pertama kartu itu. Di sana tertulis:

Penunjukan: Batalyon Infanteri ke-1, Resimen ke-131 Tentara Republik

Pangkat: Prajurit

Yang aneh dari kartu tanda prajurit Surya adalah kotak kecil untuk foto di halaman depan itu kosong.

Ia menatapnya lama, lalu tersenyum miris. Rupanya wajar saja. Administrasi tentara Republik saat itu masih kacau. Banyak pemuda laskar yang bahkan tidak sempat difoto, apalagi dicetak resmi. Sampai perang usai pun, belum tentu semua orang punya dokumen yang rapi.

Surya menghela napas, menatap kartu itu linglung. Bentuknya mirip kartu identitas modern, tapi jauh lebih sederhana, tipis, dan rapuh. Tak heran kalau Belanda mudah menyusupkan mata-mata mereka ke tengah pasukan rakyat.

Yang lebih mengguncang hati Surya adalah kenyataan pahit ia benar-benar ada di tubuh seorang prajurit sungguhan, dengan segala risiko perang yang nyata. Bukan mimpi, bukan ilusi. Dan kali ini, ia tak punya jalan untuk lari.

Tiba-tiba terdengar teriakan membelah udara:

“Pesawaaaat! Siap siaga! Sireneee!”

Suara sirene meraung panjang di atas parit, memekakkan telinga. Sebelum Surya sempat bereaksi, deru pesawat pembom Belanda muncul dari balik awan. Moncongnya menukik rendah, meraung seperti serigala lapar, suara mesinnya menekan jantung siapa pun yang mendengar.

BOOOM!

Ledakan pertama menghantam tanah tak jauh dari parit. Getaran hebat mengguncang bumi, membuat gumpalan tanah beterbangan. Panas ledakan menyapu wajah Surya, membuatnya meringis ketakutan.

Ternyata sasaran utama mereka bukan parit. Pesawat-pesawat itu menjatuhkan muatan ke sebuah gedung besar di belakang garis pertahanan.

Gedung itu memang dijadikan titik tembak. Jendela-jendelanya dipasangi senapan mesin, disangga karung pasir, menyerupai benteng darurat. Dari sana, prajurit Republik menahan serangan darat Belanda sejak pagi. Wajar jika gedung itu jadi incaran utama.

Bom-bom berjatuhan silih berganti. Sebagian bukan bom murni, melainkan drum minyak yang dilempar dari udara. Drum itu pecah saat tertembak atau menyentuh api, meledak jadi kobaran raksasa. Dalam hitungan detik, gedung besar itu sudah berubah jadi lautan api.

Jeritan manusia langsung pecah di segala arah. Prajurit yang terjebak di dalam gedung menjerit histeris, sebagian nekat melompat dari lantai dua, tapi jatuh ke kobaran api yang lebih besar. Ada yang berlari sambil tubuhnya terbakar, sosoknya seperti bayangan hitam yang menari liar sebelum akhirnya tumbang kaku di tanah.

Pemandangan itu terlalu brutal. Surya merinding ketakutan. Api terasa seperti iblis yang menyeret tubuh-tubuh manusia ke neraka dunia.

Belum sempat ia menghela napas, sebuah pesawat kembali menukik. Bomnya menghantam sisi gedung dengan suara memekakkan telinga. Balok penyangga patah, kaca-kaca pecah beterbangan, pintu-pintu kayu terpental, tembok hancur berhamburan.

Bangunan itu bergetar hebat, seperti orang tua yang kehilangan tongkat penopang. Lalu, dengan suara gemuruh panjang, seluruh gedung ambruk ke tanah, ditelan asap dan api.

“Bersiaaap! Mereka akan menyerbuuu!” teriak seorang prajurit dari ujung parit.

Saat itulah Surya sadar bom-bom yang baru saja dijatuhkan hanyalah pemanasan belaka. Pembukaan sebelum badai sesungguhnya. Serangan darat Belanda sebentar lagi akan menghantam mereka, dan ia harus memilih bertahan, atau mati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 14

    Tiga tank Belanda terbagi ke kiri, tengah, dan kanan untuk melindungi serangan infanteri. Saat itu, tank di sisi kanan berhasil dihancurkan oleh Surya, menciptakan celah besar.Momentum itu dimanfaatkan. Jarak antara pasukan republik dan serdadu Belanda kini kurang dari seratus meter. Pada jarak sedekat itu, pertempuran jarak dekat menjadi keuntungan pejuang republik yang terbiasa bertarung dengan bayonet, golok, dan bambu runcing.Mayor Wiratmaja tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia mengacungkan pistolnya tinggi-tinggi dan berteriak lantang:“Kawan-kawan! Ikut aku! Maju demi republik!”“MERDEKA!” teriak para pejuang, lalu melompat keluar dari parit. Dengan bayonet, bambu runcing, dan semangat membara, mereka menyerbu ke arah serdadu Belanda, melewati Surya dan reruntuhan tank yang masih membara.Pertempuran jarak dekat pun pecah brutal, berdarah, tanpa ampun.Surya sendiri tidak langsung bangkit. Tenaganya sudah hampir habis, lututnya gemetar, napasnya tersengal. Hatiny

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 13

    Surya menenangkan diri dan mengeluarkan korek api dari saku mantelnya.Namun, Surya segera menyadari ada yang tidak beres... kotak korek api itu berlumuran darah dan remuk. Ia merangkak masuk ke bawah selimut mayat, tetapi tidak menyadarinya.Surya buru-buru menyeka darah di kotak korek api, mengeluarkan sebatang korek api dari dalamnya, dan mencoba menyalakannya dengan tangan gemetar, tetapi sia-sia. Korek api itu sangat lembap, dan hanya satu yang mengeluarkan asap biru setelah digosok beberapa kali. Asap itu pun padam dengan cepat.Itu justru membocorkan posisinya... Di medan pertempuran melawan Belanda, para serdadu kolonial sangat terlatih, mereka peka terhadap asap atau cahaya sekecil apa pun, karena bisa berarti ada pejuang republik yang bersembunyi.Beberapa detik kemudian, rentetan peluru senapan KNIL memberondong ke arah posisi Surya.“Celaka!” umpatnya. Ia tak pernah menyangka sebuah korek api kecil bisa membuatnya ketahuan setelah segala perhitungan yang ia lakukan.Situas

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 12

    Surya tidak punya pilihan selain mengarahkan pandangannya ke tank lapis baja Belanda yang mendekat, meskipun ia sangat enggan.  Tank itulah yang paling berbahaya. Inilah keunggulan terbesar pasukan Belanda. Selama tank itu belum dilumpuhkan, pasukan pejuang republik akan sulit bertahan.  Tapi bagaimana cara mengatasinya? Itu tank, bukan kereta pedati biasa. Di saat yang sama, pejuang republik kekurangan senjata anti-tank. Apakah Surya harus melakukan serangan nekat seperti “regu penghancur” yang membawa bahan peledak di dada?  Bukan berarti Surya tidak berani. Kalaupun ia nekat, sanggupkah ia menembus hujan peluru infanteri Belanda dan mendekati tank? Lagi pula, granat atau bahan peledak tidak akan menempel pada baja tebalnya. Ledakan hanya akan efektif jika ditempatkan tepat di bawah roda rantai atau lambungnya. Itu berarti Surya sendiri kemungkinan besar ikut tewas.  Tiba-tiba, bayangan sebuah adegan melintas di benak Surya adegan dari sebuah cerita pejuang yang pernah ia dengar

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 11

    "Musuh datang lagi!" teriak seorang pejuang dari ujung parit.  Kali ini bukan sekadar serangan kecil. Asap mesiu menebal, dan dari balik kabut terdengar raungan mesin berat. Tanah bergetar hebat setiap kali roda rantai besi menghantam tanah.  Surya yang semula mengira itu hanya truk lapis baja, terdiam kaku begitu mendengar suara ngeri dari kawannya:  "Tank! Tank Belanda!"  Dan benar saja. Dari balik kabut, tiga tank ringan Stuart muncul, masing-masing diiringi puluhan militer KNIL bersenjata lengkap. Mereka maju rapat, menutupi sisi kiri-kanan tank. Itu jelas serangan terbesar Belanda malam itu.  "Tim penghancur!" Mayor Wiratmajaberteriak lantang. Seketika beberapa kelompok pejuang yang sudah dilatih khusus meloncat dari parit, bergerak lincah menuju arah tank dengan perlindungan tembakan kawan-kawan mereka.  Satu tim terdiri dari lima orang. Tiga pejuang membawa bom molotov, granat rakitan, dan dinamit sisa dari tambang. Dua lainnya membawa senapan mesin ringan dan bertugas me

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 10

    "Mau minum sedikit?" Okta diam-diam menyodorkan sebotol arak hasil rampasan dari gudang logistik Belanda kepada Surya, yang kemudian buru-buru merebutnya dari tangan Okta sebelum botol itu jatuh.  "Tidak!" Surya menggelengkan kepalanya. Ia harus tetap berpikir jernih.  "Jangan pedulikan apa kata mereka!" kata Okta. "Orang-orang Belanda itu mabuk untuk menunjukkan keberanian. Tapi pejuang sejati tidak butuh itu. Mereka berani karena hati mereka."  "Aku tahu!" jawab Surya sambil menatap Okta dengan pandangan tak percaya. Ia tak menyangka Okta bisa bicara sebijak itu.  Namun, wibawa itu hanya bertahan kurang dari tiga detik, sebab Okta langsung menambahkan: "Aku tak buruk dalam hal pidato, kan? Baris-baris ini aku contek dari drama sandiwara ‘Merdeka atau Mati’!"  "Oh, ya, bagus sekali!" Surya menanggapi dengan senyum miring.  Okta memang dijuluki "Aktor", karena suka berakting di sela-sela perang. Itu juga impiannya sejak lama.  Saat itu, Belanda sudah kehilangan kesabaran.  "In

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 9

    "Saudara-saudara sebangsa!" suara bergetar dari radio tua di pos pertahanan:"Pukul empat pagi ini, tanpa pernyataan perang maupun ultimatum, pasukan Belanda melancarkan serangan ke berbagai kota penting di Jawa dan Sumatra. Pesawat-pesawat mereka telah membombardir Yogyakarta, Semarang, Palembang, dan Surabaya. Serangan Belanda yang begitu mendadak ini adalah sebuah pengkhianatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa beradab..."Semua orang mendengarkan dengan tegang. Suara radio itu akhirnya berakhir dengan beberapa kalimat penyemangat, sebelum berganti menjadi suara "gemerisik" yang mengganggu."Itu tadi suara Komite Luar Negeri Republik yang bicara!" jelas Mayor Wiratmaja dengan wajah muram.Mendengar kata-kata itu, ruangan seketika sunyi.Surya menarik napas lega.Pidato itu memang tidak menyebutkan bahwa pasukan kita di garis depan terdesak mundur... tentu saja, hal seperti itu tak boleh diumumkan terbuka, apalagi dalam siaran untuk seluruh rakyat.Namun, ada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status