“Musuh datang!” teriak seorang prajurit dari ujung parit, suaranya parau penuh panik.
Surya tersentak kaget. Di kepalanya masih terngiang suara Okta atau entah siapa seperti gema asing dari masa lain: “Angkat senjatamu, jangan biarkan komandan menangkapmu lagi!” Ia mendongak, dan benar saja, sang komandan di parit menatapnya tajam. Sorot matanya seperti pisau, seolah menunggu Surya berbuat salah sekecil apa pun. Surya merasa terjepit. Untuk sesaat, ia yakin bahwa selain Belanda, orang yang paling menginginkan dirinya mati justru instruktur itu sendiri. Dengan tangan bergetar, Surya meraih senapannya. Karaben tua itu terasa berat, popornya kasar penuh bekas pakai. Ia mengangkat kepala perlahan, mengintip ke balik kepulan asap mesiu yang belum hilang dari latihan sebelumnya. Dari jauh, bayangan musuh mulai terlihat. Satu, dua sosok, lalu semakin banyak berbaris melebar seperti dinding manusia yang bergerak perlahan ke arah mereka. “Tenang!” suara komandan menggelegar, menggema di sepanjang parit. “Dengar perintah! Jangan tembak sebelum komando! Pengecut saja yang jari-jarinya gemetar!” Kalimat itu jelas diarahkan pada Surya. Seolah-olah komandan sengaja menantangnya. Namun Surya tak peduli. Dalam situasi seperti ini, siapa yang masih sempat mengurusi harga diri? Yang penting hanyalah bertahan hidup. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berpacu liar. Lalu pikirannya mulai menganalisis: Medan di depan parit terbuka lebar. Sawah kering, semak-semak rendah, tak ada pohon besar untuk perlindungan. Secara teori, posisi itu menguntungkan untuk bertahan. Musuh akan sulit mendekat tanpa jadi sasaran tembak. Seharusnya, ini lokasi pertahanan yang ideal. Tetapi teori hanyalah teori. Faktanya, persenjataan Belanda jauh lebih modern: mortir 60 mm, senapan mesin ringan Bren, hingga dukungan pesawat pembom B-25 Mitchell. Sementara pasukan Republik hanyalah laskar rakyat, kebanyakan pemuda yang baru beberapa minggu belajar menembak. Senjata mereka campur aduk: karaben tua peninggalan penjajah sebelumnya, senapan rakitan, sebagian kecil Sten gun hasil rampasan. Surya menelan ludah. Ingatannya tentang sejarah ikut berbisik ini bukan pertempuran yang seimbang. Sama seperti cerita-cerita perang yang ia baca dulu, di mana pasukan kecil rakyat harus menghadapi kekuatan kolonial yang jauh lebih terlatih. Dan ia sadar, pertempuran ini, di atas kertas, adalah pertarungan yang sudah kalah sejak awal. Anehnya, pemikiran itu membuat Surya sedikit lega. Kalau takdirnya memang sudah seperti itu, mungkin ia tak perlu terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri. Namun Surya tidak berani bersantai sedikit pun, karena ia tahu bersantai berarti mati. “Api!” teriak komandan. Dentuman senapan langsung memekakkan telinga. Getarannya membuat telinga Surya berdenging. Ia terkejut musuh masih sekitar enam ratus meter dari parit mereka. Namun rupanya itulah maksudnya. Jika jarak optimal tembakan sekitar lima ratus meter, maka menembak lebih awal memberi waktu lebih banyak untuk menekan lawan sebelum mereka semakin dekat. Peluru pertama Surya melesat entah ke mana. Ia melihat satu sosok jatuh di kejauhan, tapi tak yakin itu hasil bidikannya atau bukan. Peluru berikutnya sama saja asap mesiu terlalu pekat, jarak terlalu jauh. Tapi itu tidak penting. Yang utama sekarang adalah hujan tembakan. Maka ia menembak lagi dan lagi, kadang tanpa sempat membidik dengan benar, hanya demi menjaga tekanan. Di kiri kanannya, prajurit lain melakukan hal yang sama. Suara karaben, Sten gun rampasan, dan senapan mesin berat buatan sisa Jepang bercampur menjadi badai mematikan. Tembakan membabi buta itu membuat barisan Belanda goyah. Lebih penting lagi, para penembak mesin sudah diingatkan: begitu ada tanda mortir dipasang, hujani posisi itu sampai musuh tiarap. Akibatnya, beberapa kali percobaan artileri ringan Belanda gagal total. Untuk sementara waktu, pasukan Belanda tertahan sekitar lima ratus meter dari parit. Satu demi satu prajurit KNIL dan marsose jatuh di tanah lapang, darah mereka membasahi rerumputan. “Komandan!” salah satu opsir Belanda berteriak dari kejauhan. “Asap terlalu tebal! Sinyal ke udara tidak jelas—pesawat tidak bisa membidik sasaran!” Wajah sang kapten mengeras. Bom-bom minyak yang mereka jatuhkan sebelumnya memang membakar gedung pertahanan, tapi ternyata asapnya justru menutup pandangan udara. “Coba kepung dari kiri!” saran seorang letnan. Sang kapten menggeleng. “Tidak. Mereka sudah menanam ranjau di sana. Kita tidak tahu berapa yang masih aktif.” “Lalu bagaimana, Kapten?” Pria itu terdiam sejenak, lalu menjawab dingin, “Mundur. Kita tunggu saja.” “Menunggu?” Letnannya heran. “Ya. Kita punya waktu. Mereka tidak.” Dan benar saja Belanda bisa menunggu. Mereka punya persenjataan, suplai, dan dukungan udara. Sedangkan pasukan Republik di parit hanyalah laskar rakyat, tanpa logistik jelas, tanpa bala bantuan pasti. Bagi Belanda, ini hanya soal waktu. Bagi Surya, yang berjongkok di parit sambil menahan napas, waktu itu terasa seperti pedang bermata dua: memberi kesempatan untuk tetap hidup hari ini, tetapi juga mengingatkan bahwa kematian bisa datang kapan saja.Surya tidak punya pilihan selain mengarahkan pandangannya ke tank lapis baja Belanda yang mendekat, meskipun ia sangat enggan. Tank itulah yang paling berbahaya. Inilah keunggulan terbesar pasukan Belanda. Selama tank itu belum dilumpuhkan, pasukan pejuang republik akan sulit bertahan. Tapi bagaimana cara mengatasinya? Itu tank, bukan kereta pedati biasa. Di saat yang sama, pejuang republik kekurangan senjata anti-tank. Apakah Surya harus melakukan serangan nekat seperti “regu penghancur” yang membawa bahan peledak di dada? Bukan berarti Surya tidak berani. Kalaupun ia nekat, sanggupkah ia menembus hujan peluru infanteri Belanda dan mendekati tank? Lagi pula, granat atau bahan peledak tidak akan menempel pada baja tebalnya. Ledakan hanya akan efektif jika ditempatkan tepat di bawah roda rantai atau lambungnya. Itu berarti Surya sendiri kemungkinan besar ikut tewas. Tiba-tiba, bayangan sebuah adegan melintas di benak Surya adegan dari sebuah cerita pejuang yang pernah ia dengar
"Musuh datang lagi!" teriak seorang pejuang dari ujung parit. Kali ini bukan sekadar serangan kecil. Asap mesiu menebal, dan dari balik kabut terdengar raungan mesin berat. Tanah bergetar hebat setiap kali roda rantai besi menghantam tanah. Surya yang semula mengira itu hanya truk lapis baja, terdiam kaku begitu mendengar suara ngeri dari kawannya: "Tank! Tank Belanda!" Dan benar saja. Dari balik kabut, tiga tank ringan Stuart muncul, masing-masing diiringi puluhan militer KNIL bersenjata lengkap. Mereka maju rapat, menutupi sisi kiri-kanan tank. Itu jelas serangan terbesar Belanda malam itu. "Tim penghancur!" Mayor Wiratmajaberteriak lantang. Seketika beberapa kelompok pejuang yang sudah dilatih khusus meloncat dari parit, bergerak lincah menuju arah tank dengan perlindungan tembakan kawan-kawan mereka. Satu tim terdiri dari lima orang. Tiga pejuang membawa bom molotov, granat rakitan, dan dinamit sisa dari tambang. Dua lainnya membawa senapan mesin ringan dan bertugas me
"Mau minum sedikit?" Okta diam-diam menyodorkan sebotol arak hasil rampasan dari gudang logistik Belanda kepada Surya, yang kemudian buru-buru merebutnya dari tangan Okta sebelum botol itu jatuh. "Tidak!" Surya menggelengkan kepalanya. Ia harus tetap berpikir jernih. "Jangan pedulikan apa kata mereka!" kata Okta. "Orang-orang Belanda itu mabuk untuk menunjukkan keberanian. Tapi pejuang sejati tidak butuh itu. Mereka berani karena hati mereka." "Aku tahu!" jawab Surya sambil menatap Okta dengan pandangan tak percaya. Ia tak menyangka Okta bisa bicara sebijak itu. Namun, wibawa itu hanya bertahan kurang dari tiga detik, sebab Okta langsung menambahkan: "Aku tak buruk dalam hal pidato, kan? Baris-baris ini aku contek dari drama sandiwara ‘Merdeka atau Mati’!" "Oh, ya, bagus sekali!" Surya menanggapi dengan senyum miring. Okta memang dijuluki "Aktor", karena suka berakting di sela-sela perang. Itu juga impiannya sejak lama. Saat itu, Belanda sudah kehilangan kesabaran. "In
"Saudara-saudara sebangsa!" suara bergetar dari radio tua di pos pertahanan:"Pukul empat pagi ini, tanpa pernyataan perang maupun ultimatum, pasukan Belanda melancarkan serangan ke berbagai kota penting di Jawa dan Sumatra. Pesawat-pesawat mereka telah membombardir Yogyakarta, Semarang, Palembang, dan Surabaya. Serangan Belanda yang begitu mendadak ini adalah sebuah pengkhianatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa beradab..."Semua orang mendengarkan dengan tegang. Suara radio itu akhirnya berakhir dengan beberapa kalimat penyemangat, sebelum berganti menjadi suara "gemerisik" yang mengganggu."Itu tadi suara Komite Luar Negeri Republik yang bicara!" jelas Mayor Wiratmaja dengan wajah muram.Mendengar kata-kata itu, ruangan seketika sunyi.Surya menarik napas lega.Pidato itu memang tidak menyebutkan bahwa pasukan kita di garis depan terdesak mundur... tentu saja, hal seperti itu tak boleh diumumkan terbuka, apalagi dalam siaran untuk seluruh rakyat.Namun, ada
“Omong kosong! Tak tahu malu kau, Surya!”Tiba-tiba sang instruktur meledak, memecah keheningan yang menekan ruangan. “Ulahmu jelas! Dugaan penuh motif busuk, akhirnya kelihatan juga ekor rubahmu. Kau ini pengkhianat, budak Belanda, pendosa tanah air!”Sambil berteriak, ia langsung mencabut pistol dari pinggangnya.“Joko!” Mayor Wiratmaja menahan gerakannya dengan satu tangan, menepis moncong pistol agar tak diarahkan ke Surya.“Mayor, apa kau tidak mengerti?” sang instruktur hampir berteriak histeris. “Bukti sudah jelas! Orang ini pasti dibeli Belanda! Dia sengaja menyebar kepanikan supaya kita meninggalkan benteng. Begitu kita kabur, Belanda tinggal masuk tanpa perlawanan!”“Tapi kita tidak tahu itu!” jawab Wiratmaja, matanya menatap tajam.“Mana mungkin pasukan kita sudah mundur total? Baru beberapa jam sejak serangan dimulai! Ingat, pasukan Divisi Militer dan barisan laskar rakyat juga ditempatkan di sekitar sini!”Wiratmaja mengeraskan suaranya: “Kalau begitu, kenapa sampai sekar
"Dia hanya tersihir oleh orang Polandia!" Mayor Wiratmaja menyela instruktur itu. "Dan, sebenarnya, saya tidak yakin, karena kita tidak tahu apa-apa!""Mayor!" Instruktur itu merendahkan suaranya dan berkata kepada Mayor Wiratmaja:"Meski kita tidak tahu, kita tidak bisa menoleransi pernyataan seperti ini..."Mayor Wiratmaja berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.Setelah terdiam beberapa saat, dia menoleh ke Surya lagi."Namamu Surya, bukan?""Ya, Mayor!""Aku bisa mengerti pikiranmu, Surya!" kata Mayor Wiratmaja."Aku bahkan berpikir kau benar, pertempuran ini belum akan berakhir secepat ini. Tapi... kau tahu, ini masa yang luar biasa, kita tidak bisa berkata seperti itu, mengerti?""Ya!" jawab Surya. "Saya mengerti, Mayor!""Bagus sekali!" Mayor Wiratmaja mengangguk. "Kalian boleh kembali!""Tapi Mayor..." Instruktur itu tidak puas dengan keputusan Mayor Wiratmaja."Ini keputusan saya, Komandan Joko!" kata Mayor Wiratmaja dengan nada tegas."Jika ada masalah, saya akan bertanggu