Terdengar letusan keras—dor!—dan serdadu Belanda itu terjatuh, darah mengucur dari tubuhnya.
Rian terkejut. Ia sama sekali tak menyangka tembakannya benar-benar mengenai sasaran. Niatnya hanya memancing kawan-kawannya menembak, bukan membunuh. Namun, ketika tatapan beringas serdadu yang tumbang itu seolah tertuju padanya sebelum nyawanya lepas, rasa dingin menjalar di tulang belakangnya. “Ya Ampun… aku baru saja membunuh orang…” pikir Rian. Konyol memang membunuh di medan perang adalah hal yang dianggap wajar, bahkan perlu. Tapi tetap saja, penyesalan dan rasa bersalah itu menyesap dalam hatinya. Namun tujuannya tercapai. Letusan senjata itu jadi tanda tak resmi. Para pejuang di sekitarnya langsung membalas tembakan. Deru peluru pun memenuhi udara. Tak lama, senapan mesin ikut bergemuruh, dan peluru-peluru berdesing bak hujan badai, merobohkan belasan serdadu Belanda di garis depan. Pertempuran pun meledak sengit. Seperti yang sudah diduganya, mortir Belanda segera ikut berbicara. Pelurunya menghantam satu per satu titik pertahanan para pejuang. Setiap ledakan mematikan titik tembak penting. Gila saja. Di tengah kekacauan itu, sang komandan malah berteriak, “Siapa yang melepaskan tembakan pertama?! Siapa yang mulai?!” Rian tak sempat memedulikan. Tangannya sibuk mengokang dan menembak, lagi dan lagi. Satu peluru mengenai kaki serdadu Belanda padahal ia membidik dada. Mungkin lumpur yang berterbangan membuat lintasannya melenceng. Serdadu itu menjerit seperti babi disembelih, tapi sebelum sempat diselamatkan, peluru lain dari arah berbeda merenggut nyawanya. Dor! Lagi, tembakan tergesa-gesa dari Rian menjatuhkan serdadu lain yang tinggal lima puluh meter dari parit. Musuh itu sempat menarik pin granat dan bersiap melempar ke posisi Rian. Sedetik saja terlambat, granat itu sudah pasti membuatnya berkeping-keping. Tak ada waktu untuk bernapas. Rian tahu, di medan perang, setiap kelengahan berarti kematian. Klik. Senjata macet. Ia mengokang lagi tetap tak meledak. Baru ia sadar, pelurunya habis. Tergesa-gesa ia bersembunyi di parit, mencoba mengisi ulang. Tapi tangannya gemetar hebat. Peluru yang dipegang malah jatuh berserakan di tanah becek. Untungnya, serangan musuh mereda. Rupanya ini hanya serangan percobaan untuk mengukur kekuatan dan posisi para pejuang. Walau begitu, serangan semacam itu bisa berubah menjadi serangan penuh kapan saja. Tembakan makin jarang terdengar. Rian terkulai di parit seperti kain lap basah. Sorak kemenangan bergema. Para pejuang bersorak karena berhasil menahan serangan dan mempertahankan posisi. Namun, teriakan lantang memecah euforia itu. “Siapa yang melepaskan tembakan pertama?! Siapa?!” suara sang komandan meledak marah. Tak ada yang menjawab. Tapi beberapa pejuang melirik ke arah Rian. Ya, semua tahu letusan pertama berasal dari tempatnya. Tak bisa menghindar, Rian mengangkat suara, “Saya, Pak Komandan!” “Persetan!” Komandan itu melangkah cepat, mencengkeram kerah baju Rian, tatapannya penuh penghinaan. “Kau lagi, Surya pengecut!” Pengecut? “Oh iya,” gumam Rian dalam hati, “di sini mereka memanggilku… Surya.” Komandan itu menatap tajam ke arah Surya sambil memaki, “Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan? Kalau bukan gara-gara kau, kita bisa menewaskan lebih banyak serdadu Belanda bahkan mungkin menghabisi mereka semua!” “Tidak, Pak Komandan!” jawab Surya cepat. “Saya rasa itu tidak benar.” “Diam, brengsek!” bentak komandan itu. “Siapa yang menyuruhmu berpikir sendiri?!” Di masa itu, dalam barisan para pejuang, terutama di bawah tekanan pertempuran besar, perintah harus dijalankan tanpa banyak tanya. Prajurit tidak diberi ruang untuk “punya ide sendiri” yang ada hanyalah patuh dan bertindak sesuai aba-aba. Tentu saja, Surya yang baru terseret ke masa ini, sama sekali tak tahu aturan itu. “Turunkan dia dari sini!” perintah sang komandan. “Biar si pengecut ini bawa amunisi saja, atau kerjaan lain. Aku tak mau lihat dia bikin masalah lagi!” “Tunggu, Joko!” Seorang perwira membungkuk rendah, berlari dari sisi lain parit. Tubuhnya tinggi, wajahnya tegas, dan di dahinya tampak bekas luka samar tanda ia adalah veteran tempur. Kehadirannya membuat Surya sedikit lega. Hanya orang yang pernah merasakan baku tembak langsung yang mungkin mengerti logikanya. Mungkin itulah sebabnya perwira ini, seorang mayor, menghentikan amarah komandan tadi. Mayor itu duduk di gundukan tanah di sebelah Surya. “Kau tadi bilang itu tidak benar. Apa maksudmu?” “Pak Mayor!” komandan itu cepat-cepat menyela. “Dia cuma cari alasan menutupi rasa malunya. Saya lihat dia meringkuk di parit, senapannya di samping!” Mayor itu mengabaikan tudingan tersebut. Ia hanya memberi anggukan singkat pada Surya, memberi kesempatan bicara. “Pak Mayor!” kata Surya. “Sederhana saja menurut saya, dalam situasi ini kita tak seharusnya menunggu Belanda mendekat.” Beberapa pejuang di sekitar langsung terkekeh, sebagian memandang Surya seperti orang konyol. Pria berjanggut di sampingnya bahkan menggeleng pelan, memberi isyarat agar Surya tak melanjutkan. Di masa ini, semangat juang dan keberanian adalah segalanya. Di bawah pandangan seperti itu, pertempuran jarak dekat dianggap paling gagah berani. Itulah mengapa Belanda berani mendekat hingga jarak tembak dekat dan bagi banyak pejuang, itu justru momen yang ditunggu. Namun mayor itu tidak tertawa. Ia malah bertanya serius, “Kenapa? Menurutmu kemampuan menembak kita lebih baik dari mereka? Atau kita unggul dalam daya tembak?” “Tidak, Pak Mayor!” jawab Surya mantap. “Akurasi kita kalah jauh, daya tembak juga tidak lebih baik…” “Dan kau masih bilang jangan bertempur jarak dekat?” “Ya!” Surya mengangguk. “Karena Belanda justru lebih diuntungkan di jarak itu! Mereka punya mortir jarak menengah dan banyak senapan mesin ringan buatan Eropa, sementara kita hanya punya sedikit senapan mesin berat dan beberapa senjata hasil rampasan. Dalam jarak 300 meter, posisi kita sangat tidak menguntungkan!” “Kau lupa kita juga punya mortir?” sindir komandan itu. Ia lalu meraih sebuah mortir ringan yang disandarkan di parit, mengangkatnya agar semua bisa melihat. “Jarak maksimalnya cuma 250 meter, Pak Komandan,” jawab Surya tenang. “Dan saya yakin Belanda tahu itu. Karena itulah mereka berani menyerang dari jarak 200–300 meter di situlah kita kalah tembakan.”Surya tidak punya pilihan selain mengarahkan pandangannya ke tank lapis baja Belanda yang mendekat, meskipun ia sangat enggan. Tank itulah yang paling berbahaya. Inilah keunggulan terbesar pasukan Belanda. Selama tank itu belum dilumpuhkan, pasukan pejuang republik akan sulit bertahan. Tapi bagaimana cara mengatasinya? Itu tank, bukan kereta pedati biasa. Di saat yang sama, pejuang republik kekurangan senjata anti-tank. Apakah Surya harus melakukan serangan nekat seperti “regu penghancur” yang membawa bahan peledak di dada? Bukan berarti Surya tidak berani. Kalaupun ia nekat, sanggupkah ia menembus hujan peluru infanteri Belanda dan mendekati tank? Lagi pula, granat atau bahan peledak tidak akan menempel pada baja tebalnya. Ledakan hanya akan efektif jika ditempatkan tepat di bawah roda rantai atau lambungnya. Itu berarti Surya sendiri kemungkinan besar ikut tewas. Tiba-tiba, bayangan sebuah adegan melintas di benak Surya adegan dari sebuah cerita pejuang yang pernah ia dengar
"Musuh datang lagi!" teriak seorang pejuang dari ujung parit. Kali ini bukan sekadar serangan kecil. Asap mesiu menebal, dan dari balik kabut terdengar raungan mesin berat. Tanah bergetar hebat setiap kali roda rantai besi menghantam tanah. Surya yang semula mengira itu hanya truk lapis baja, terdiam kaku begitu mendengar suara ngeri dari kawannya: "Tank! Tank Belanda!" Dan benar saja. Dari balik kabut, tiga tank ringan Stuart muncul, masing-masing diiringi puluhan militer KNIL bersenjata lengkap. Mereka maju rapat, menutupi sisi kiri-kanan tank. Itu jelas serangan terbesar Belanda malam itu. "Tim penghancur!" Mayor Wiratmajaberteriak lantang. Seketika beberapa kelompok pejuang yang sudah dilatih khusus meloncat dari parit, bergerak lincah menuju arah tank dengan perlindungan tembakan kawan-kawan mereka. Satu tim terdiri dari lima orang. Tiga pejuang membawa bom molotov, granat rakitan, dan dinamit sisa dari tambang. Dua lainnya membawa senapan mesin ringan dan bertugas me
"Mau minum sedikit?" Okta diam-diam menyodorkan sebotol arak hasil rampasan dari gudang logistik Belanda kepada Surya, yang kemudian buru-buru merebutnya dari tangan Okta sebelum botol itu jatuh. "Tidak!" Surya menggelengkan kepalanya. Ia harus tetap berpikir jernih. "Jangan pedulikan apa kata mereka!" kata Okta. "Orang-orang Belanda itu mabuk untuk menunjukkan keberanian. Tapi pejuang sejati tidak butuh itu. Mereka berani karena hati mereka." "Aku tahu!" jawab Surya sambil menatap Okta dengan pandangan tak percaya. Ia tak menyangka Okta bisa bicara sebijak itu. Namun, wibawa itu hanya bertahan kurang dari tiga detik, sebab Okta langsung menambahkan: "Aku tak buruk dalam hal pidato, kan? Baris-baris ini aku contek dari drama sandiwara ‘Merdeka atau Mati’!" "Oh, ya, bagus sekali!" Surya menanggapi dengan senyum miring. Okta memang dijuluki "Aktor", karena suka berakting di sela-sela perang. Itu juga impiannya sejak lama. Saat itu, Belanda sudah kehilangan kesabaran. "In
"Saudara-saudara sebangsa!" suara bergetar dari radio tua di pos pertahanan:"Pukul empat pagi ini, tanpa pernyataan perang maupun ultimatum, pasukan Belanda melancarkan serangan ke berbagai kota penting di Jawa dan Sumatra. Pesawat-pesawat mereka telah membombardir Yogyakarta, Semarang, Palembang, dan Surabaya. Serangan Belanda yang begitu mendadak ini adalah sebuah pengkhianatan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bangsa beradab..."Semua orang mendengarkan dengan tegang. Suara radio itu akhirnya berakhir dengan beberapa kalimat penyemangat, sebelum berganti menjadi suara "gemerisik" yang mengganggu."Itu tadi suara Komite Luar Negeri Republik yang bicara!" jelas Mayor Wiratmaja dengan wajah muram.Mendengar kata-kata itu, ruangan seketika sunyi.Surya menarik napas lega.Pidato itu memang tidak menyebutkan bahwa pasukan kita di garis depan terdesak mundur... tentu saja, hal seperti itu tak boleh diumumkan terbuka, apalagi dalam siaran untuk seluruh rakyat.Namun, ada
“Omong kosong! Tak tahu malu kau, Surya!”Tiba-tiba sang instruktur meledak, memecah keheningan yang menekan ruangan. “Ulahmu jelas! Dugaan penuh motif busuk, akhirnya kelihatan juga ekor rubahmu. Kau ini pengkhianat, budak Belanda, pendosa tanah air!”Sambil berteriak, ia langsung mencabut pistol dari pinggangnya.“Joko!” Mayor Wiratmaja menahan gerakannya dengan satu tangan, menepis moncong pistol agar tak diarahkan ke Surya.“Mayor, apa kau tidak mengerti?” sang instruktur hampir berteriak histeris. “Bukti sudah jelas! Orang ini pasti dibeli Belanda! Dia sengaja menyebar kepanikan supaya kita meninggalkan benteng. Begitu kita kabur, Belanda tinggal masuk tanpa perlawanan!”“Tapi kita tidak tahu itu!” jawab Wiratmaja, matanya menatap tajam.“Mana mungkin pasukan kita sudah mundur total? Baru beberapa jam sejak serangan dimulai! Ingat, pasukan Divisi Militer dan barisan laskar rakyat juga ditempatkan di sekitar sini!”Wiratmaja mengeraskan suaranya: “Kalau begitu, kenapa sampai sekar
"Dia hanya tersihir oleh orang Polandia!" Mayor Wiratmaja menyela instruktur itu. "Dan, sebenarnya, saya tidak yakin, karena kita tidak tahu apa-apa!""Mayor!" Instruktur itu merendahkan suaranya dan berkata kepada Mayor Wiratmaja:"Meski kita tidak tahu, kita tidak bisa menoleransi pernyataan seperti ini..."Mayor Wiratmaja berpikir sejenak, lalu mengangguk setuju.Setelah terdiam beberapa saat, dia menoleh ke Surya lagi."Namamu Surya, bukan?""Ya, Mayor!""Aku bisa mengerti pikiranmu, Surya!" kata Mayor Wiratmaja."Aku bahkan berpikir kau benar, pertempuran ini belum akan berakhir secepat ini. Tapi... kau tahu, ini masa yang luar biasa, kita tidak bisa berkata seperti itu, mengerti?""Ya!" jawab Surya. "Saya mengerti, Mayor!""Bagus sekali!" Mayor Wiratmaja mengangguk. "Kalian boleh kembali!""Tapi Mayor..." Instruktur itu tidak puas dengan keputusan Mayor Wiratmaja."Ini keputusan saya, Komandan Joko!" kata Mayor Wiratmaja dengan nada tegas."Jika ada masalah, saya akan bertanggu