Share

Bab 2

Author: Zhar
last update Last Updated: 2025-08-31 17:03:49

Terdengar letusan keras—dor!—dan serdadu Belanda itu terjatuh, darah mengucur dari tubuhnya.

Rian terkejut. Ia sama sekali tak menyangka tembakannya benar-benar mengenai sasaran. Niatnya hanya memancing kawan-kawannya menembak, bukan membunuh.

Namun, ketika tatapan beringas serdadu yang tumbang itu seolah tertuju padanya sebelum nyawanya lepas, rasa dingin menjalar di tulang belakangnya.

“Ya Ampun… aku baru saja membunuh orang…” pikir Rian.

Konyol memang membunuh di medan perang adalah hal yang dianggap wajar, bahkan perlu. Tapi tetap saja, penyesalan dan rasa bersalah itu menyesap dalam hatinya.

Namun tujuannya tercapai.

Letusan senjata itu jadi tanda tak resmi. Para pejuang di sekitarnya langsung membalas tembakan. Deru peluru pun memenuhi udara. Tak lama, senapan mesin ikut bergemuruh, dan peluru-peluru berdesing bak hujan badai, merobohkan belasan serdadu Belanda di garis depan.

Pertempuran pun meledak sengit.

Seperti yang sudah diduganya, mortir Belanda segera ikut berbicara. Pelurunya menghantam satu per satu titik pertahanan para pejuang. Setiap ledakan mematikan titik tembak penting. Gila saja.

Di tengah kekacauan itu, sang komandan malah berteriak, “Siapa yang melepaskan tembakan pertama?! Siapa yang mulai?!”

Rian tak sempat memedulikan. Tangannya sibuk mengokang dan menembak, lagi dan lagi.

Satu peluru mengenai kaki serdadu Belanda padahal ia membidik dada. Mungkin lumpur yang berterbangan membuat lintasannya melenceng. Serdadu itu menjerit seperti babi disembelih, tapi sebelum sempat diselamatkan, peluru lain dari arah berbeda merenggut nyawanya.

Dor! Lagi, tembakan tergesa-gesa dari Rian menjatuhkan serdadu lain yang tinggal lima puluh meter dari parit. Musuh itu sempat menarik pin granat dan bersiap melempar ke posisi Rian. Sedetik saja terlambat, granat itu sudah pasti membuatnya berkeping-keping.

Tak ada waktu untuk bernapas. Rian tahu, di medan perang, setiap kelengahan berarti kematian.

Klik. Senjata macet.

Ia mengokang lagi tetap tak meledak. Baru ia sadar, pelurunya habis. Tergesa-gesa ia bersembunyi di parit, mencoba mengisi ulang. Tapi tangannya gemetar hebat. Peluru yang dipegang malah jatuh berserakan di tanah becek.

Untungnya, serangan musuh mereda. Rupanya ini hanya serangan percobaan untuk mengukur kekuatan dan posisi para pejuang. Walau begitu, serangan semacam itu bisa berubah menjadi serangan penuh kapan saja.

Tembakan makin jarang terdengar. Rian terkulai di parit seperti kain lap basah.

Sorak kemenangan bergema. Para pejuang bersorak karena berhasil menahan serangan dan mempertahankan posisi.

Namun, teriakan lantang memecah euforia itu.

“Siapa yang melepaskan tembakan pertama?! Siapa?!” suara sang komandan meledak marah.

Tak ada yang menjawab. Tapi beberapa pejuang melirik ke arah Rian. Ya, semua tahu letusan pertama berasal dari tempatnya.

Tak bisa menghindar, Rian mengangkat suara, “Saya, Pak Komandan!”

“Persetan!” Komandan itu melangkah cepat, mencengkeram kerah baju Rian, tatapannya penuh penghinaan. “Kau lagi, Surya pengecut!”

Pengecut?

“Oh iya,” gumam Rian dalam hati, “di sini mereka memanggilku… Surya.”

Komandan itu menatap tajam ke arah Surya sambil memaki, “Kau tahu apa yang baru saja kau lakukan? Kalau bukan gara-gara kau, kita bisa menewaskan lebih banyak serdadu Belanda bahkan mungkin menghabisi mereka semua!”

“Tidak, Pak Komandan!” jawab Surya cepat. “Saya rasa itu tidak benar.”

“Diam, brengsek!” bentak komandan itu. “Siapa yang menyuruhmu berpikir sendiri?!”

Di masa itu, dalam barisan para pejuang, terutama di bawah tekanan pertempuran besar, perintah harus dijalankan tanpa banyak tanya. Prajurit tidak diberi ruang untuk “punya ide sendiri” yang ada hanyalah patuh dan bertindak sesuai aba-aba.

Tentu saja, Surya yang baru terseret ke masa ini, sama sekali tak tahu aturan itu.

“Turunkan dia dari sini!” perintah sang komandan. “Biar si pengecut ini bawa amunisi saja, atau kerjaan lain. Aku tak mau lihat dia bikin masalah lagi!”

“Tunggu, Joko!”

Seorang perwira membungkuk rendah, berlari dari sisi lain parit. Tubuhnya tinggi, wajahnya tegas, dan di dahinya tampak bekas luka samar tanda ia adalah veteran tempur.

Kehadirannya membuat Surya sedikit lega. Hanya orang yang pernah merasakan baku tembak langsung yang mungkin mengerti logikanya. Mungkin itulah sebabnya perwira ini, seorang mayor, menghentikan amarah komandan tadi.

Mayor itu duduk di gundukan tanah di sebelah Surya. “Kau tadi bilang itu tidak benar. Apa maksudmu?”

“Pak Mayor!” komandan itu cepat-cepat menyela. “Dia cuma cari alasan menutupi rasa malunya. Saya lihat dia meringkuk di parit, senapannya di samping!”

Mayor itu mengabaikan tudingan tersebut. Ia hanya memberi anggukan singkat pada Surya, memberi kesempatan bicara.

“Pak Mayor!” kata Surya. “Sederhana saja menurut saya, dalam situasi ini kita tak seharusnya menunggu Belanda mendekat.”

Beberapa pejuang di sekitar langsung terkekeh, sebagian memandang Surya seperti orang konyol. Pria berjanggut di sampingnya bahkan menggeleng pelan, memberi isyarat agar Surya tak melanjutkan.

Di masa ini, semangat juang dan keberanian adalah segalanya. Di bawah pandangan seperti itu, pertempuran jarak dekat dianggap paling gagah berani. Itulah mengapa Belanda berani mendekat hingga jarak tembak dekat dan bagi banyak pejuang, itu justru momen yang ditunggu.

Namun mayor itu tidak tertawa. Ia malah bertanya serius, “Kenapa? Menurutmu kemampuan menembak kita lebih baik dari mereka? Atau kita unggul dalam daya tembak?”

“Tidak, Pak Mayor!” jawab Surya mantap. “Akurasi kita kalah jauh, daya tembak juga tidak lebih baik…”

“Dan kau masih bilang jangan bertempur jarak dekat?”

“Ya!” Surya mengangguk. “Karena Belanda justru lebih diuntungkan di jarak itu! Mereka punya mortir jarak menengah dan banyak senapan mesin ringan buatan Eropa, sementara kita hanya punya sedikit senapan mesin berat dan beberapa senjata hasil rampasan. Dalam jarak 300 meter, posisi kita sangat tidak menguntungkan!”

“Kau lupa kita juga punya mortir?” sindir komandan itu. Ia lalu meraih sebuah mortir ringan yang disandarkan di parit, mengangkatnya agar semua bisa melihat.

“Jarak maksimalnya cuma 250 meter, Pak Komandan,” jawab Surya tenang. “Dan saya yakin Belanda tahu itu. Karena itulah mereka berani menyerang dari jarak 200–300 meter di situlah kita kalah tembakan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 111

    “Serbu!” teriak Surya lantang, suaranya membelah udara sore yang penuh asap mesiu. Mengikuti perintahnya, para prajurit segera maju menyerbu dengan sangkur terhunus. Bukan hanya satu regu yang bergerak. Dari balik reruntuhan bangunan di tepi jalan, satu batalion penuh bangkit serentak, seperti ombak yang menggulung maju. Mereka sudah lama tertahan di garis depan, padat dan sesak di tengah tembakan artileri Belanda. Serangan balik mendadak dari tank-tank musuh tadi sempat memecah barisan, membuat beberapa unit kocar-kacir. Namun kini, setelah Surya memimpin terobosan dari sayap kiri, semua prajurit tentara di sekitar situ seperti menemukan jalan keluar dari kepungan bagaikan udara yang meledak dari balon yang ditusuk. Mereka tak perlu diperintah semua spontan mengikuti langkah Surya, berlari maju menembus asap dan debu. Bagi tentara Belanda, ledakan granat yang dilempar Surya ke pos meriam itu seperti lubang di tanggul dan dari celah itula

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 110

    Keputusan Kolonel Van der Meer terbukti tepat. Dalam jarak yang begitu dekat kurang dari seratus meter mundur bukan hanya mustahil, tetapi juga bunuh diri. Begitu pasukan Republik menyadari niat mereka untuk mundur, mereka pasti akan menyerang dengan segala yang tersisa. Meski tank ringan Stuart M5 milik TNI tidak secepat kendaraan lapis baja Belanda, kecepatannya cukup untuk menembus jarak itu dalam hitungan detik. Dalam dua belas detik, sebelum tank-tank Belanda sempat berbalik arah, pasukan Republik bisa menghantam mereka langsung di sisi lemah. Dan jika itu terjadi, bukan sekadar dikepung tapi barisan depan Belanda akan benar-benar hancur. Diam di tempat juga bukan pilihan, karena berarti menunggu dikepung. Satu-satunya jalan keluar hanyalah maju menembus bertempur jarak dekat di tengah hujan dan lumpur. Maka dimulailah pertarungan besi lawan besi di tengah huj

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 109

    Hujan turun deras dari langit kelabu, menimpa tanah yang sudah lama beraroma mesiu. Setiap butir air yang jatuh di antara suara tembakan terdengar seperti “berdecit”, bercampur dengan ledakan peluru yang menghantam tanah basah, menyemburkan lumpur atau darah. Sebuah pesawat pemburu Belanda menembus tirai hujan, menukik tajam dari balik awan, menyalak dengan rentetan peluru senapan mesin. “Da-da-da-da!” Hujan peluru itu memicu jeritan di antara para pejuang Republik yang berlindung di balik parit-parit dangkal di pinggiran kota Yogya. Pesawat itu melintas begitu rendah hingga bayangannya tampak jelas di tanah pilotnya pasti prajurit yang terlatih. Namun, mungkinkah sedemikian nekatnya ia mengambil risiko besar hanya untuk menyerang pasukan infanteri kecil di bawah sana? Surya tidak sempat memikirkan hal itu. Pandangannya tertuju pada kabut hujan di depan, sementara dari arah barat terdengar suara gemuruh berat

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 108

    Pada masa itu, sebagian besar pasukan Belanda menganut prinsip tempur “serangan adalah pertahanan terbaik”, yang berarti mereka lebih terlatih untuk menyerang daripada bertahan, bahkan menganggap pertahanan mutlak sebagai bentuk kelemahan. Lebih tepatnya, mereka menerapkan apa yang disebut pertahanan dinamis menempatkan pasukan cadangan di garis kedua untuk segera menyerang balik dari arah mana pun jika pasukan Republik berhasil menerobos. Kolonel Van Kleijs salah satu komandan lapangan Belanda, juga melakukan persiapan serupa. Untuk mengantisipasi serangan gerilya dari TNI, ia menempatkan satu resimen mekanik di luar Kota Yogyakarta. Resimen tersebut adalah Resimen Mekanik ke-11 dari Divisi Infanteri ke-3 KNIL, terdiri atas dua batalion kendaraan lapis baja dengan total hampir seratus panser ringan. Kedua batalion itu ditempatkan secara strategis: satu di barat kota, dan satu lagi di selatan. Langkah itu memang masuk akal,

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 107

    Pasukan Belanda membangun tiga jembatan ponton di atas Sungai Code. Sepanjang malam, mereka menyeberang tanpa henti, dan menjelang fajar hari berikutnya, satuan lapis baja mereka telah berhasil menyeberang seluruhnya ke sisi timur kota. Berdiri di tepi timur sungai, Kolonel Van Kleijs menarik napas lega. Dari laporan yang diterima, hanya lima tank dan tiga kendaraan logistik yang tenggelam saat penyeberangan. Dalam ukuran perang, kerugian itu masih bisa diterima. Namun, seandainya pihak Tentara Indonesia mengetahui dan menembaki jembatan ponton dengan artileri… Kleist tak bisa membayangkan betapa besar bencana yang akan terjadi. Kini, setelah yakin posisi mereka aman, Van Kleijs menatap peta di atas meja lapangan, lalu berkata dengan nada puas: “Lanjutkan serangan! Target: pusat kota Yogyakarta!” “Siap, Jenderal!” seru perwira komunikasinya. Tak lama, suara deru mesin tank kembali menggema. Rat

  • Gerilya Di Balik Seragam   Bab 106

      Berita itu datang satu per satu dari Mayor Wiratmaja kepada Surya:   Tentara Belanda mengerahkan ratusan pesawat pengebom untuk membom Jembatan kali Code di sekitar Yogyakarta secara bergantian. Namun, karena kabut tebal dan kekokohan Jembatan kali code, hasilnya tidak memuaskan dalam satu hari. Hanya dua bom yang mengenai jembatan dan menyebabkan kerusakan sebagian pada dek jembatan.   Akhirnya, jembatan itu diledakkan pada malam hari, yang membuat para pilot Belanda bersorak gembira. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa ini sebenarnya Jenderal Sudirman yang diam-diam membantu... Beliau berharap Grup Lapis Baja ke-1 Belanda dapat meninggalkan Yogyakarta sesegera mungkin, jadi beliau memerintahkan para prajurit untuk mengikat bahan peledak di jembatan, dan kemudian memerintahkan peledakan ketika pesawat pengebom Belanda menukik dan menjatuhkan bom.   Hanya mendengar bunyi "ledakan", dek jembatan terbelah dua dan meledak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status