MasukSetelah barisan selesai disusun, latihan segera dimulai.
Sebenarnya, tidak ada waktu yang cukup untuk pelatihan mendalam. Semua orang tahu, keadaan genting ini bisa bubar sewaktu-waktu. Bahkan, tanpa musuh sekalipun, barisan yang belum saling mengenal bisa kacau hanya karena salah langkah. Sama seperti lalu lintas: kalau ada dokar mogok atau sepeda jatuh di tengah jalan, kemacetan bisa menjalar ke mana-mana. Maka, latihan ini lebih untuk membiasakan diri mengikuti aba-aba komandan: naik turun truk, menyebar sesuai formasi tempur, dan perintah sederhana lainnya. Selain itu, tiap peleton diminta menugaskan beberapa orang untuk belajar mengemudikan truk dari sopir asli. Di satu sisi, konvoi jarak jauh butuh sopir pengganti. Tidak mungkin satu sopir mengemudi terus-menerus tanpa makan atau tidur. Di sisi lain, kalau sopir terluka atau gugur di medan pertempuran, ada yang bisa mengambil alih setir.Jenderal Sudirman berkata demikian, dan yang lainnya tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Melihat ke arah kerumunan perwira, Jenderal Sudirman mengangkat kepalanya ke arah Surya, memberi isyarat agar ia melanjutkan. Sejujurnya, ini tidak mudah untuk dijelaskan. Surya tidak bisa begitu saja membeberkan rencana pengepungan terhadap Belanda yang akan dijalankan dalam waktu dekat. Alasannya sederhana: terlalu banyak mata-mata berkeliaran, bahkan di kalangan rakyat sendiri. Ada pula faktor ketidakpastian para pamong desa yang bisa ditekan Belanda, atau prajurit yang tertangkap dan disiksa hingga membocorkan informasi. Itu bukan sekadar kekhawatiran Surya, melainkan juga pengalaman pahit Sudirman sendiri. Dalam perang sebelumnya, tidak sedikit pejabat sipil maupun serdadu yang akhirnya dipaksa bekerja sama dengan tentara Belanda. Belanda lihai memainkan politik adu domba. Kebijakan-kebijakan kolonial yang menekan rakya
Setelah barisan selesai disusun, latihan segera dimulai. Sebenarnya, tidak ada waktu yang cukup untuk pelatihan mendalam. Semua orang tahu, keadaan genting ini bisa bubar sewaktu-waktu. Bahkan, tanpa musuh sekalipun, barisan yang belum saling mengenal bisa kacau hanya karena salah langkah. Sama seperti lalu lintas: kalau ada dokar mogok atau sepeda jatuh di tengah jalan, kemacetan bisa menjalar ke mana-mana. Maka, latihan ini lebih untuk membiasakan diri mengikuti aba-aba komandan: naik turun truk, menyebar sesuai formasi tempur, dan perintah sederhana lainnya. Selain itu, tiap peleton diminta menugaskan beberapa orang untuk belajar mengemudikan truk dari sopir asli. Di satu sisi, konvoi jarak jauh butuh sopir pengganti. Tidak mungkin satu sopir mengemudi terus-menerus tanpa makan atau tidur. Di sisi lain, kalau sopir terluka atau gugur di medan pertempuran, ada yang bisa mengambil alih setir.
Di bawah komando Jenderal Sudirman, pembentukan tim pasukan khusus dimulai dengan semangat juang yang membara. Pasukan ini tidak dibentuk dari nol, melainkan direorganisasi, dengan mengambil tulang punggung dari Divisi Siliwangi dan pasukan gerilya lokal yang telah teruji di medan perang. Namun, Divisi Siliwangi telah menderita kerugian besar akibat serangan-serangan Belanda sebelumnya di Yogyakarta dan sekitarnya. Seluruh pasukan hanya memiliki sedikit peralatan tempur, termasuk tidak lebih dari seratus senapan mesin, beberapa mortir, dan kendaraan yang masih bisa digunakan. (Catat: Pada masa itu, pasukan Republik Indonesia secara keseluruhan memiliki persenjataan yang sangat terbatas dibandingkan dengan persenjataan modern Belanda yang didukung tank dan artileri.) Meski begitu, pasukan yang direorganisasi ini berbeda. Senjata dan kendaraan yang masih tersisa dari garis pertahanan dikumpulkan satu per satu. Tidak peduli dari unit mana ba
Mayor Wiratmaja tersedak sedikit saat meneguk jamu itu, lalu batuk keras hingga terbatuk-batuk. Ia memuntahkan apa yang entah air atau ludah, menahan napas beberapa saat hingga akhirnya tenang, lalu tertawa terbahak kecil. “Mengepung? Kau benar-benar mau mengepung Belanda? Bagus, Surya!” ujarnya sambil terkekeh. “Ya, saya cuma mau mengepung Belanda!” jawab Surya tegas. “Resimen-resimen Belanda yang menekan dari selatan akan maju jauh garis depan mereka merekah ke depan, sehingga bagian belakang mereka kosong. Mereka pikir kita cuma pasif, tak punya kemampuan serangan balik. Tepat pada saat itu, kita serang balik.” Surya menatap Jenderal Sudirman jelas rencana ini butuh restu panglima. Jenderal Sudirman, yang semula diam menimbang, akhirnya berkata, “Kenapa tidak? Kalau kita tak bisa menghalau mereka langsung di belakang, kita harus mencari cara untuk menghentikan mereka di depan atau, jika memungkinkan, menjeratnya. Dengan begitu, Belanda
"Mungkin kau benar!" kata Mayor Wiratmaja, "tapi kau tidak bisa mengatakannya, mengerti? Tidak seorang pun boleh mengatakannya!" "Kenapa?" tanya Surya. "Kau tahu kenapa!" jawab Mayor Wiratmaja. Lalu ia menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada telinga lain yang mendengar, sebelum beranjak pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan Surya, ia menambahkan lirih: "Lupakan saja, jangan katakan pada siapa pun!" "Siap, Mayor!" jawab Surya. Namun sebenarnya, dalam hati Surya tetap tidak bisa menahannya. Sambil jongkok di samping truk pasokan, menyantap singkong rebus seadanya, Surya melirik ke arah meriam-meriam lapangan yang diparkir terpisah, terpencar di antara barisan parit pertahanan. Ia berbisik pada rekannya bernama Okta: "Aku heran, kenapa mereka tidak dikumpulkan saja? Disusun rapat dan digunakan bareng-bareng!" Si Okta tertegun, berhenti mengunyah tem
Pada malam ketiga, ketika Surya dan Mayor Wiratmaja mendatangi markas Jenderal Sudirman untuk melapor kembali. “Jarak antar pos pertahanan Divisi ke-89 terlalu lebar, sebaiknya ditambah benteng lapangan. Kepadatan benteng bawah tanah Divisi ke-91 juga kurang memadai. Selain itu, mereka menempatkan pasukan yang kurang terorganisir dan disiplin di ruang bawah tanah, ini kesalahan besar...” Mayor Wiratmaja terus berbicara sambil membaca catatannya. Poin terakhir itu jelas keliru. Tentara Republik Indonesia terbiasa mengirim prajurit yang melakukan pelanggaran, seperti kabur atau membangkang, ke pos-pos paling berbahaya. Ini bukan masalah, bahkan bisa dianggap sebagai hukuman. Namun, masalahnya, pos-pos berbahaya di medan perang sering kali adalah titik-titik strategis. Menyerahkan titik-titik penting ini kepada prajurit yang tak disiplin, tak terorganisir, atau bahkan tanpa komando yang jelas adalah kesalahan fatal. Beberapa di antaranya bah







