Share

Bab 5 Makan Siang Pakai Emosi

Bridgia POV

Akhirnya, aku sampai juga di Jakarta. Rindu sejadi-jadinya pada kota padat ini setelah beberapa hari tak jumpa. Melihat landasan pacu CGK bak melihat Kasur nyamanku, ingin segera pulang dan jadi kaum rebahan. Aku super lelah karena beban kerja yang nggak main-main.

Sesampainya di flops, masih sempat-sempatnya aku menyapa Mbak Maria yang akan flight ke Manado. Beliau ini memang panutanku sejak zaman pucuk dulu. Perangainya baik dan lembut pada junior. Maka dari itu, banyak yang suka padanya termasuk aku.

Safe flight, Mbak!” ucapku manis pada Mbak Maria yang juga tersenyum manis.

Dia melambai padaku dengan semringah. “Kamu have a nice sleep, ya, Dek!”

Si baik hati yang ngemong sekali itu akan akan dipromosikan jadi Maitre de’ Cabin. Beliau pantas mendapatkannya karena kebaikan hati mirip bidadari udara. Seragamnya akan segera berganti ke warna ungu, anggun betul. Seragam impianku lho itu. Memang mbak Maria adalah panutanku, cita-citaku menjadi seperti beliau.

Siang ini, tepat saat azan Zuhur, aku keluar dari GOC sembari menyeret koper yang berat dengan oleh-oleh, serta menunggu mobil yang akan mengantarku pulang ke rumah. Sesekali bercanda lepas dengan sesama awak kabin atau mungkin kapten pesawat. Membicarakan hal nggak penting seputar penerbangan, macam rasa makanan pesawat atau aroma lavatory.

Kadang tingkah laku penumpang juga jadi bahan pembicaraan kami. Tenang aja, itu cuma buat koreksi sikap kami ke depannya kok. Bukan buat bahan gosip, swear! Semisal saat penumpang nggak mau balas salam kami, mungkin karena suara kami kurang keras atau wajah kurang ramah. Semacam itulah.

Mungkin juga mereka nggak puas sama pelayanan kami, sehingga menjadi koreksi untuk ke depannya.

“Datang juga si Tayo!” seloroh Capt. Luki sambil melihat Hiace hitam mendekat, semacam minibus gitu maksudnya.

Biasalah awak kabin memang bahasanya aneh-aneh.

“Let’s go home!” ajak Mbak Nenden bahagia.

Ya, aku juga sudah kangen kamar dan kasur serta elemen lainnya. Seperti tadi, ‘kan, melihat landasan pacu bak melihat kasur. Semoga nuansa rumah kondusif sehingga aku bisa istirahat dengan damai. Nggak ada perdebatan sengit nggak penting seputar pernikahan atau perjodohan bodoh itu.

Baru saja berharap tak ada gangguan dalam hati, suara mirip manusia tak jelas itu mampir ke telinga lelahku.

“Bee!” panggil sebuah suara yang membuatku langsung menoleh.

Seketika aku menemukan asal suara. Panggilan aneh itu hanya diucapkan oleh satu orang, ya dialah! Inu Adikara yang aneh dan sombong, menyebalkan pula! Dan benar saja, lelaki tinggi tegap dalam balutan seragam loreng dan berkaca mata hitam itu sedang menatapku sambil bersandar pada punggung Outlander Sport hitam. Nggak tahu nyuri mobil di mana dia.

“Ngapain sih, lo!” tanyaku sinis.

Oke, sambutanku cukup bersahabat, ya? Gimana nggak, ini semua akibat bisik-bisik usil mulai terdengar dari teman-temanku yang hendak masuk ke mobil antar jemput. Duh, haruskah dia mengacau di dunia kerjaku juga!

“Jemput kamulah!” jawabnya santai sambil melenggang ke arahku.

Kok pakai ‘kamu’, ada yang aneh nih.

“Nggak usah sok akrab!” tepisku dingin. “Dari mana kamu tahu jadwal pulangku?” berondongku tidak sopan.

“Aku ditelepon mamimu. Walau terpaksa, aku harus jemput kamu karena ibuku juga pengen ketemu.” Inu memainkan kunci mobilnya dengan wajah santai, tanpa melepas kaca mata hitam aneh itu.

“Nggak mau!” tolakku kekeuh.

Lha ngapain, ya, ‘kan? Mendingan pulang dan tidur. Masalah mami yang bakalan ngomel urusan entar. Aku malas berurusan sama Inu dan keluarganya lagi.

Namun, sebuah tarikan lagi-lagi mendarat di tanganku. Aku mendelik karena tangan Inu menahan tanganku. Tangan kekar berhias jam tangan Swiss Army hijau lumut itu terlihat kuat menahanku. Sialan! Mana bisikan usil makin kencang.

“Lepasin!” ancamku sambil menekan suara. Mata cantikku tentu saja sudah melotot bulat.

“Kalau kamu nggak mau kupermalukan, nurut!” ancamnya tak mau kalah. Matanya yang tajam itu penuh ancaman.

Wajah kalem itu berubah menjadi judes dan dingin. Cadas kayak musik rock. Udah kubilang ‘kan kalau wajahnya yang kayak pria baik-baik itu cuma tipuan. Aslinya dia itu galak, judes, dan suka maksa. Nyebelin banget pokoknya mah.

Inu menyeretku penuh paksa masuk ke mobilnya. Dengan mudahnya dia memasukkan koper beratku ke jok tengah. Diri ini bak troli tatkala dia mendorongku masuk ke kabin mobil. Ekor mataku hanya mengikuti badannya yang berjalan masuk ke ruang kemudi.

Tindakan nekatnya ini diiringi pandangan usil rekan kerjaku. Buat apa sih Inu membawaku paksa untuk bertemu ibunya? Kenapa mendadak hidupku sekacau ini sih? Aku capek woy, tiga hari flight! Dan masih harus ngadepi dia dan keluarganya? Aarrgghtt!

Dirt!

Fanita Lestari

Have a nice nite, Brie Sayank. Cerita ya gimana rasanya digeret manja kayak gitu. Awww, he’s so hawt Babe!

Pesan Fanita makin terasa menyebalkan. Panas sih, sampai aku mau meledak karena kelakuannya. Ganteng sih, tapi kelakuan minus. Bukannya bikin nyaman dengan menghargai orang lain, malah bikin kesel.

Sumpah, ya, kok bisa pacarnya tahan sama cowok model gini? Jangan-jangan dia beda lagi kalau sama si manja itu. Kepribadian ganda gitu? Serem amat sih!

“Aku bisa laporin kamu ke polisi dengan tuduhan mengganggu kenyamanan orang lain,” kataku sinis sambil melepas sepatu hak tinggi begitu saja. Kaki pegel bok!

Dia melengos cuek sambil mengeluarkan kertas parkir. “Laporin aja! Palingan polisinya yang malu nangkep aku,” balasnya sengit.

“Mana mau mereka nangkap tentara,” ujarnya kemudian dengan sombong.

Crazy!” umpatku pelan sambil menggigit bibir yang lipstiknya mulai rusak.

Aku melirik Inu yang sedang memutar kemudi dengan satu tangan tegapnya itu. Bukankah itu adegan kesukaanku? Menurutku, cowok jadi kelihatan macho kalau bisa nyetir dengan satu tangan.

Jadi, yang tadi itu rasa tangannya Inu? Iyalah baru pertama kali ini aku menyentuhnya, walau dulu pernah pacaran. Ya, dulu pacaran cuma buat lucu-lucuan karena aku masih anak SMP.

Oke, rasa tangannya nggak buruk juga. Tangan besar yang hangat. Kayak merasa terlindungi gitu kalau memegang tangannya. Semacam kayak memegang mantel bulu yang tebal nan hangat di musim dingin gitulah. Nyaman aja.

Oh nggak, nggak Bridgia! Jangan bego, jangan mikir macam-macam! Di sampingmu ini nggak lebih dari lelaki psiko yang aneh dan nyebelin. Jangan memikirkan hal apapun, tolong! Lagian dia udah punya pacar, jadi nggak usah mikir yang liar!

“Ngapain sih lo serepot ini?” Aku membuka percakapan karena suasana terlalu hening.

Dia melirikku kemudian focus lagi pada jalanan. “Ibuku mau makan siang sama kamu,” ucapnya pelan.

“Tapi harus ya saat aku baru pulang kerja, masih pakai seragam pula! Kamu tahu nggak, aku itu capek pengen istirahat. Demi apa aku harus mejeng di depan keluargamu sekarang? Kamu melanggar kenyamananku, Kak!” Keluhanku sepanjang kereta dan itu kuucapkan tanpa ragu, tanpa ingin menatap wajahnya.

“Wops, kayaknya kamu harus ganti panggilan ‘kak’ dengan ‘mas’ kalau nggak mau diomelin ibuku,” putusnya tanpa menanggapiku.

Aku langsung merengut. “Ogah! Suka-suka gue!” ucapku sewot.

Kayaknya ngomong sama Inu tuh searah aja, kayak ngomong sendiri-sendiri. Aku ngomong apa, dia nanggepinnya apa. Berasa lagi ngomong sama gedebok pisang. Tahu gedebok, ‘kan? Itu pohon pisang, iye sama banget kayak Inu. Dingin, tinggi, kaku lurus, idup pulak.

“Lagian ada hak apa sih keluargamu ngatur hidupku? Itu nggak etis, tahu nggak!” omelku kesal sambil mengacak-acak rambut. Sanggulku sudah rusak ke mana-mana.

“Kamu lupa kalau bentar lagi kita nikah,” jawabnya dengan wajah datar.

Aku langsung melotot. Rasanya bola mataku capek kalau bicara sama Inu. “Wait, nikah?” pekikku spontan.

“Bukannya kamu bilang kalau kita nggak bakalan nikah? Bukannya kamu mau seriusin pacarmu yang manja itu, ‘kan?” celotehku kemudian. Aku tak perlu sabar dan kalem lagi.

Dia menunjukku dengan emosi. “Hei, kamu nggak ada hak bilang pacarku manja,” bela Inu.

Hmm, hamba cinta, ckck.

“Terus apa? Sebegitu menye-menyenya kamu sampai nggak mampu ngenalin pacar ke keluarga, ya? Kalau kamu tegas, perjodohan ini nggak bakalan sampe ke permukaan!” ejekku sengit.

Kok aku serasa ketemu temen debat, ya? Sayang materi debatnya nggak bermutu, gubrak!

“Heh!” bentaknya dingin. “Kamu nggak tahu urusan hidup percintaanku. Nggak usah komen!” omelnya judes.

“Baper!” kutukku pelan.

Inu tak menjawab lagi. Dia kembali tenggelam dalam keheningan. Asyik menyetir menyisir jalanan ibukota yang padat. Namun, sepertinya ini bukan jalan menuju rumah Inu. Dan benar saja, dia berhenti di halte depan sebuah rumah sakit megah di kawasan Jakarta Pusat.

Tak berapa lama, ada seorang perempuan modis berjas putih dengan rambut kecokelatan melambai manis. Itu bukannya si manja, mau apa dia? Lantas mau apa Inu menjemputnya, saat ada aku di dalam mobilnya? Oh, aku mau dijadikan obat nyamuk? Sialan kuadrat!

“Lo pindah ke belakang!” suruh Inu sambil mencolek lenganku dengan berani. 

Oh gaya bahasanya berubah lagi, ya? Beneran psiko ni orang!

“Ogah!” tolakku alot.

“Terus lo mau di samping gue? Terus pacar gue di belakang, gitu? Pede amat lo!” semprot Inu galak.

“Pindah lo!” usirnya lagi.

Tentu saja aku masih a lot seperti kulit sapi. “Ogah, enak aja lo ngatur gue!”

Dia menyerah, sambil berkacak pinggang Inu meletakkan kunci mobil di pangkuanku. “Ya udah lo yang nyetir sampe ke rumah. Disetiri pramugari boleh juga!” putus Inu sambil turun dari kemudi dan menyongsong pacarnya.

Dia cuek dan menjadikan aku sebagai sopirnya dalam hitungan detik. Triple sial! Kok situasi makin aneh dan mendadak berubah gini sih? Seriusan ini teh aku disuruh jadi supir mobil ini? Setega itukah Inu sama aku? Aku cewek lho! Oke, salah ngomong kali ya perihal aku wanita independen, kuat, dan mandiri? Iyaaa, salah besar Bridgia!

Si manja itu tentu saja langsung tahu keanehan ini. Pandangan matanya seperti laser yang mampu memindai apa pun, termasuk kelakuan ajaib Inu. Dengan wajah tengil, dia menunjukku yang masih duduk penuh percaya diri di sebelah ruang sopir.

“Beb, dia siapa?” tanya si manja nggak tahu diri.

“Sopir baru,” jawab Inu sekenanya.

“Kurang ajar lo!” umpatku emosi. Keanggunanku sebagai pramugari sudah lenyap.

“Cinta, kok dia marahin kamu! Ada apa sih?” berondong si manja mulai bingung. “Kayaknya seragam Mbak ini bukan seragam sopir deh, Cinta. Siapa sih?”

Wajahnya yang menor itu benar-benar penuh pertanyaan. Sungguh malas aku melihatnya.

“Udah deh, nanti aku jelasin! Sekarang masuk aja, Cinta. Mayan disetiri pramugari!” desak Inu sambil mendorong tubuh si manja ke kabin tengah.

Oh Tuhan, sabarkanlah hatiku sedikit lagi. Entah kesalahan apa yang kuperbuat di masa lalu hingga aku dihukum model gini? Pulang kerja, capek dan cuma kangen kasur. Malah ketemu sama manusia kurang ajar yang nggak pernah makan bangku sekolah macam dia!

Kelakuan mirip suku pedalaman yang barbar dan nggak pernah tahu dunia modern.

“Ayo berangkat!” suruh Inu yang membuatku sangat amat terpaksa pindah duduk ke kursi kemudi.

Aku menyerah bukan karena takut. Namun, karena aku malas bikin masalah. Aku ikuti ritme permainan licik Inu dan berharap semua segera selesai. Aku cuma mau pulang meski nggak tahu lagi apa wajahku masih berbentuk manusia normal atau udah kayak drakula mau gigit orang.

---

Inu Adikara POV

“Bu, tolong hargai keputusan saya! Saya sudah membawa calon ke rumah, kenapa ditolak gitu aja? Sekarang malah saya dijodohkan sama perempuan lain, apa Ibu tega melihat saya menyakiti Belva?”

“Sudah Ibu bilang, Nu, kami semua tidak setuju dengan Belva. Dia nggak cocok denganmu.”

“Yang mau nikah siapa? Saya, ‘kan, Bu! Kenapa harus cocok segala sama keluarga? Yang penting saya nyaman!”

“Sekarang Ibu nanya, masihkah kami penting bagimu? Keluarga ini adalah pendukungmu sejak lama, Nu. Kami menyayangimu lebih daripada pacarmu itu.”

“Kenalan sama Bridgia dulu sajalah, Nu. Mungkin kamu menolaknya karena belum kenal.”

“Saya kenal Bridgia lebih dari keluarga ini!”

Bagaimana ekspresi Belva jika tahu petikan percakapanku dengan ibu tempo lalu? Pasti dia sedih, merasa tak diterima dengan baik. Tentu Belva merasa tertolak sebelum berjuang. Itu sangat tidak adil untuknya yang sudah menemaniku sejak lama. Bukan apa, Belva termasuk wanita yang berjasa bagiku.

Dia semangatku saat harapanku kendur dulu. Dia napasku saat aku sesak menyelam dunia militer di Magelang dulu. Dia segalanya saat aku merasa tak punya apa pun.

“Cinta? Cint!” buyar Belva yang membuatku sadar dari lamunan. Sentuhan hangatnya membuat hatiku sedih.

Tentu saja aku langsung gelagapan seperti orang bodoh. “Hah?” Kudapati wajah Belva ditekuk-tekuk setelah aku tersadar.

“Kamu ngelamunin apa sih? Dan bisa jelasin nggak situasi saat ini? Kenapa Mbak pramugari itu turun dan disambut ibumu?” berondong Belva sambil menunjuk kaca dengan kuku runcingnya.

Meresahkan melihat cara ibu memperlakukan Bridgia yang bukan siapa – siapa itu. Bridgia sedang bercipika-cipiki dengan Ibu dan Budhe Isma. Wajah mereka tampak semringah menyambut Brie. Beda sekali tatkala aku membawa Belva ke rumah. Wajah mereka masam, malas menyambut pacarku.

“Inu!” panggil Ibu sambil melambaikan tangan padaku.

Wajah Ibu terlihat bersemangat dan hangat tatkala ingin meminta sesuatu dariku. Tentu saja beliau ingin aku berbaik hati pada Brie. Padahal Ibu sudah tahu apa jawabanku. Namun, gegas aku menghampiri Ibu sambil menggandeng Belva. Tak perlu ada yang disembunyikan lagi.

Aku harus berani mengakui Belva mulai sekarang. Tidak peduli rintangan apa di depan. Perilaku dan keputusanku ini membuat raut wajah Ibu berubah. Jelas tak suka dengan kehadiran si cantik kesayanganku ini.

Ibu menarik tanganku dan mendekati telinga ini, “ngapain sih kamu bawa dia?” bisik Ibu dengan sinis.

“Memangnya kenapa, Bu? Kalau Ibu pengen lunch sama Brie, saya juga ingin lunch dengan dokter Belvara!” jawabku sinis dan terang-terangan.

Ibu berdecak dan menatapku kecewa. “Ckck, bikin Ibu mulas saja kamu, Nu.”

Sepertinya Belva sudah menangkap jalan yang kubentuk. Buktinya, dia mendekati Ibu dan Budhe Isma untuk memberi salam. “Selamat siang, Tante, Budhe!” sapa Belva ramah sambil mencium punggung tangan keduanya.

Wajahnya terlihat dinyaman-nyamankan, sungguh kasihan. Namun, pergolakanku melawan keluarga ini baru saja dimulai. Aku kecewa pada keluarga ini. Dulu tak setuju pada Belvara karena dianggap terlalu wah, sekarang malah nggak setuju karena perjodohan sinting ini.

“Siang, Bel!” sambut Budhe Isma dengan wajah terpaksa dan mata yang meneliti ke bagian tubuh Belva. “Cat rambut baru lagi?” sindirnya mantap.

Dohkenapa aku baru sadar kalau cat rambut Belva terlalu gonjreng!

Ibu merangkul Brie dengan hangat. “Bagusan rambut hitam, ya, nggak Brieee …,” Ibuku makin menjadi dengan menyindir Belva menggunakan Brie.

“Ehehe, iya Bu,” ucap Brie kikuk.

Sepertinya Brie tak nyaman dengan situasi ini. Maaf harus memanfaatkanmu, Brie. Namun, kembali padamu lagi bukan cita-citaku. Kamu nggak lebih dari anak ingusan yang kukenal saat SMA dulu. Entah takdir apa yang sedang bermain, kenapa kamu kembali lagi ke hidupku dengan cara seperti ini.

Belva terlihat tetap tenang dan mengumbar senyum palsu. “Maaf Tante dan Budhe, salonnya kemarin salah kasih warna catnya,” ujar Belva berbohong.

Maaf Cinta, harus membuatmu berbohong dan nggak nyaman sepanjang waktu. Kita harus kuat agar memenangkan peperangan ini.

Hubunganku dan Belva ada dalam kekacauan fatal cuma karena satu kata, perjodohan. Bagaimana bisa romo yang seorang pejabat besar bisa begitu kolot dalam urusan cinta? Urusan pasangan pun harus diatur seperti burung merpati?

“Masuk aja, yuk! Ibu buat rujak gobet!” Ibuku menggandeng Brie dengan penuh sayang. Beda dengan pacarku yang dicuekin gitu aja.

Tak pikir lama, aku yang menggandeng tangan halus Belva. “Masuk aja, yuk! Nanti aku jelasin semua,” ajakku berusaha menetralkan kebingungan di mata Belva.

Kami masuk ke dalam rumah. Berjalan langsung ke ruang makan. Suasana ruang itu semarak dengan makanan khas Jawa yang memenuhi meja. Sungguh aneh, cuma ngajak makan seorang Bridgia saja harus seheboh ini. Beneran nggak adil buat Belvara, yang kemarin cuma disajikan sayur asam. Benar-benar kurang asam sekali situasi saat itu, sama kayak sekarang.

“Brie mau makan apa? Sop ayam? Ayam lodho? Rujak gobet? Atau apa?” berondong Ibuku ceriwis. Tanpa mau menatap pacarku sama sekali.

“Kamu mau apa, Cinta?” tanyaku penuh sayang, sekalian unjuk rasa di depan Ibu dan Budhe Isma. Pembalasan dimulai!

“Mau ayam aja, Cinta,” jawab Belva manja.

“Saya rujak serut aja, Bu. Kayaknya seger,” jawab Brie pelan, berbarengan dengan jawaban Belva. 

Kemudian si Brie memasang wajah malu yang entah dibuat-buat atau alami. Aku nggak bisa baca pikiran cewek itu karena terlalu kompleks dan ruwet. Pura-pura malu atau apa, kamu! Dasar caper!

Ibu meletakkan piring rujak dengan suka cita. “Ini! Dimakan yang banyak, ya?” sambut Ibu bahagia.

“Bu,” panggilku pelan. “Saya mau bicara dengan Ibu dan Belvara. Bisa?”

Ibu menoleh dan senyumnya hilang. “Mas Inu nggak lihat kita sedang ada tamu? Bridgia datang siang-siang tanpa melepas seragamnya demi bertemu dengan Ibu.”

Brie hanya diam sambil mengunyah serutan mentimun dan kedondong.

“Memangnya Mbak ini siapanya Tante sih?” sela Belva tak tahan. Wajahnya tak bisa dikondisikan lagi.

Ibu memasang wajah penuh pertimbangan sambil menatap Brie dan Belva bergantian. “Ibu yang jawab atau Inu?” tantang Ibuku kalem, tapi pandangan beliau menusuk hati.

Sementara itu, si Brie cewek aneh masih asyik makan. Dasar buta hati dia itu. Nggak merasa apa lagi disindir dan diomongin. Bener-bener nyesel ketemu Bridgia.

“Biar saya,” aku menengahi, “asal bertiga dengan Ibu dan Belva.”

“Uhuk!” Brie tersedak kuah rujak. Mukanya merah padam karena pasti tenggorokannya panas.

Akhirnya, sadar juga ini manusia. Cepat enyah sana kau manusia bebal!

Alon-alon, Nduk!” Budhe Isma menepuk pelan punggung Brie. (pelan-pelan)

“Iya Budhe. Maaf saya cuma kaget,” jawabnya pelan setelah meredakan sakit tenggorokan.

Aku hanya mencep cuek menatap kelakuan sok polosnya.

Merasa tak mau semua makin berlarut-larut, Ibu menyerah dan menyetujui ideku. “Brie, maaf ya, Ibu harus bicara sebentar dengan Mas Inu. Mau ngobrol sebentar dengan Budhe Isma, ‘kan? Brie ganti baju saja, jangan pakai seragam pramugari gitu kalau nggak nyaman.”

Ibuku menatap Brie dengan lembut dan penuh sayang. Sementara itu, pandangan pacarku tak terdefinisikan lagi, antara sedih dan iri pada keramahan Ibu. Tentu saja merasa makin penasaran dengan siapa Bridgia sebenarnya, kenapa sikap Ibu begitu baik padanya?

“Mas Inu?” tekan Belva bingung sambil menatapku, “Sebenarnya ada apa ini, Nu?” desak Belva lirih.

“Saya permisi dulu, Bu,” pamit Brie pada akhirnya setelah melap mulutnya dengan lap makan.

Syukurlah dia masih si penurut yang taat aturan. Si tinggi hati yang penurut pada orang tua juga rupanya. Tak ingin menambah pelik situasiku saat ini. Ada pinternya juga cewek itu.

“Nu, ada apa sih?” ulang Belva tak sabar lagi.

“Na-Nu Na-Nu, kamu nggak bisa manggil Inu lebih hormat lagi? Mas Inu, lebih baik, ‘kan?” semprot Ibuku saat Brie sudah keluar ruangan.

Oke, suasana mulai runyam dan panas. Genderang perang mulai ditabuh. Aku sudah bersiap dengan senjata. Semoga Belva membantuku “bertempur” melawan ibu.

“Bu, berhentilah bersikap kekanakan seperti ini! Tidak bisakah Ibu lebih bijak pada orang lain? Belva ini juga orang, Bu. Bukan rumput di tepi jalan yang pantas diabaikan!” ucapku keras.

Ibu menghela napas sabar. “Le, Ibu seperti ini karena sudah jelas sikap Ibu pada hubungan kalian. Ibu nggak pernah merestuimu bersama Belva.”

“Kenapa, Tante? Apakah semata-mata karena penampilan saya?” potong Belva tak mau sabar. Emosional, karena air matanya telah berleleran.

Belva memukul sendiri dadanya berulang-ulang. “Setidaksukanya Tante pada saya, tidak bisakah disembunyikan saja? Tidak bisakah diutarakan secara jelas apa alasan membenci saya?” lanjut Belva yang membuat hatiku tertekan.

Ibu menatap Belva penuh kekecewaan. “Kamu tahu, Bel? Sejak berhubungan denganmu, Inu banyak melawan kedua orang tuanya. Dia banyak berdebat dengan saya, ibunya. Inu banyak berubah …,” ucap Ibuku yang tak tuntas.

Sebab aku sudah memotong kalimat beliau dengan mata merah menahan emosi. “Saya berubah bukan karena Belva, Bu. Namun, karena saya sudah muak diatur selayaknya anak kecil. Saya sudah 27 tahun! Saya seorang tentara yang punya wibawa. Berhentilah memperlakukan saya seperti anak kecil, Bu. Izinkan saya menentukan hidup dan pilihan saya sendiri,” kataku sembari menekan suara.

Aku merasa tak enak sebab Brie mulai memasang wajah ingin tahu dari balik kaca jendela beranda belakang. Dia tampak menatap pertengkaran kami di ruang makan dari balik jendela. Memalukan jika dia sampai tahu masalah hidupku. Makin getol dia mengejekku nanti.

Kenapa sih dia tidak bisa mengabaikanku sekali ini saja? Brie terlalu kepo dan ikut campur. Lama-lama aku jengah juga dengan kehadirannya.

Belva menarik tanganku hingga wajah kami berhadap-hadapan. “Inu, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba mengajakku ke rumah ini lagi? Siapa perempuan berseragam pramugari tadi, Nu? Siapa?” Air mata Belva masih mengalir dengan deras.

Aku menatapnya nanar. “Dia …,” ucapku yang tiba-tiba dipotong Ibu.

“Calon istri Inu, Belva!” potong Ibu dengan suara datar.

Aku menunduk. Merasa konyol dengan peristiwa siang ini. Pertengkaran tak elit yang terjadi, konflik receh yang meledak begitu saja. Aku cuma ingin menikahi perempuan yang kusuka, kenapa sesulit ini? Kenapa harus ada perjodohan segala?

Kalau aku sampai gagal memperjuangkan Belva berarti benar kata Brie, aku hanyalah lelaki menye-menye yang lembek sama sesuatu.

Sama seperti saat ini. Aku tak berdaya saat Belva memulai penghakiman. Pandangannya nanar. “Calon istrimu, Nu? Kamu pasti bercanda, ‘kan?” tegas Belva tak mempercayai pendengarannya.

Aku menatapnya lesu. “Walau terdengar bodoh, itu benar Bel. Makanya aku ajak kamu ke sini siang ini, untuk melawan perjodohan ini. Kamu mau, ‘kan, berjuang demi cinta kita?” uraiku tak kuasa.

“Apa …,” desah Belva dengan hati hancur.

Kemudian Belva menatap Ibu dengan tajam dan meminta jawaban jujur. “Tante, apakah alasan saya tidak disukai adalah perjodohan ini? Atau murni karena pribadi saya?” tanya Belva sambil menatap putus asa pada Ibuku.

“Dua alasan itu benar semua, Belva.” Jawaban Ibuku membuat Belva makin hancur.

Aku kembali angkat bicara. “Ibu sungguh tega menyakiti hati Belva. Bu, Belva ini juga punya orang tua. Ibu bayangkan jika anak ibu diperlakukan yang sama, apa terima?”

Ibu berusaha mengelus lenganku. “Inu, Ibu dan keluarga ini punya alasan. Suatu saat kamu pasti tahu. Sekarang selesaikan masalahmu dengan Belva. Ibu ingin ngobrol saja dengan Bridgia. Yang ingin bertemu dengannya adalah Ibu,” bujuk Ibu berusaha mengalihkan suasana.

Ibuku pergi begitu saja dengan wajah lesu. Apakah beliau sedih dengan perlawananku? Mengingat betapa beliau memanjakanku selama ini? Apa aku telah mengecewakannya sebagai seorang anak?

“Kenapa kamu nggak ngomong, Nu!?” bentak Belva yang menandakan bahwa pertengkaran ini belum usai.

Aku menatapnya dengan mata iba ingin semua selesai saat ini juga. “Aku juga baru tahu, Bel, tentang perjodohan bodoh ini! Baru beberapa hari yang lalu,” bujukku.

“Kamu beneran kejam, Nu!” Belva memukuli dadaku emosi.

Aku menahan tangannya. “Bel, sumpah aku nggak tahu! Yang aku tahu adalah sekarang kita berjuang demi cinta kita ini! Kamu mau, ‘kan?” bujukku lagi.

“Makin sulit aja hubungan kita, Nu. Aku nggak yakin. Apalagi ibumu kayak sayang banget sama cewek tadi!” urai Belva putus asa.

“Kamu masih bisa mengambil hati ibuku, Bel. Yang ingin kunikahi cuma kamu,” ujarku kukuh sambil meraih wajahnya yang berusaha disembunyikan. Aku perlu meyakinkan hati Belva.

“Bahkan, aku nggak tahu apa kamu masih cinta sama aku atau nggak!” elaknya enggan.

Aku menatapnya tak percaya. “Kamu meragukanku?” tanyaku sedikit kecewa.

“Terus apa? Hubungan kita makin ambyar aja! Kamu nggak denger tadi? Ibumu mau kita selesai. Udah itu, jawabannya itu!” berondong Belva keras.

Aku merengkuh kedua pundaknya. “Cinta, ayo kita berjuang! Hem? Aku cuma mau nikah sama kamu!”

Belva tak menjawab, dia menangis tersedu. Aku memeluknya erat. Tak peduli tempat dan apa yang masih kupakai. Kubiarkan Belva membasahi lorengku. Dia salah satu alasan kenapa aku rajin dinas dan menjaga negara ini. Dia salah satu alasan kenapa aku memakai seragam ini. Dialah wanita yang ingin kujaga sesuai semboyan ABRI.

“Keluargaku bisa saja mengakhiri hubungan kita, tapi aku nggak. Aku bakalan tetep pertahanin kamu, Bel. Karena aku cinta kamu,” bisikku manis. Berharap bisa meredakan tangisnya.

Hari ini agendanya bukanlah makan siang, melainkan memacu emosi bersama Belva dan ibu. Itu baru ibu, belum romo. Tak terbayangkan betapa sengit perlawananku pada romo nanti. Mungkin lebih pelik daripada hari ini. Entah kita lihat saja nanti.

Siapa yang akan menang dan siapa yang akan hancur!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status