Share

Bab 4 Pergolakan Batin Dimulai

Bridgia hanya bisa membolak-balik badannya ke kanan dan kiri. Malam ini dia tak bisa tidur, apalagi setelah pertemuan dengan Inu tadi. Mereka berjumpa lagi setelah berpisah sembilan tahun lamanya. Padahal esok pagi dia harus bangun cepat untuk flight ke Balikpapan. Jadwalnya tiga hari terbang, dan itu sangat menyita perhatiannya.

Namun, otaknya tak ingin diajak tidur. Masih saja terus memikirkan Inu Adikara, si aneh menyebalkan itu. Di antara jutaan pria Indonesia, kenapa harus Inu, pikir Brie.

Kenapa pula dia harus dijodohkan dengan lelaki macam dia? Apalagi Inu tak dalam status lajang. Hidup Brie yang indah mendadak pelik dan aneh. Susah payah melupakan Inu, bahkan sampai tak menjalin cinta dengan siapapun, buyar begitu saja.

Brie kesal dengan jalan hidupnya, mendadak aneh hanya dalam hitungan hari, bahkan hitungan jam. Apalagi musim hujan dan gerimis masih panjang. Maka, masih panjanglah pula dia harus mengingat Inu Adikara. Mengingat Inu sekaligus kecewa pada ingatan itu.

“Wajahnya doang baik-baik, kayak lelaki sabar dan penyayang. Padahal aslinya nyebelin banget. Wajahnya kayak serius, ramah, padahal aslinya malesin!” gumam Brie tak ada hentinya saat jam sudah menunjuk pukul 11 malam.

Mata indah hitam lentiknya masih terpaku pada foto Inu Adikara di media sosial. Pertemuan aneh tadi diakhiri dengan bertukaran alamat media sosial antara Brie dan Inu. Bukan suka rela, melainkan dipaksa kedua belah orang tua.

Perjodohan itu tak main-main, bukan bualan. Semakin lama semakin serius. Brie dipaksa dekat dengan Inu meski dia tak ingin Inu kembali dalam hidupnya. Yang dulu sudah cukup, Brie tak mau lagi.

Namun, gadis itu sekarang malah larut dalam sebuah pengintaian. Dia menghabiskan 60 menitnya untuk menyelami isi media sosial Inu. Sesekali dia bergidik ngeri. Kadang dia mencibir dan bergumam tanpa alasan.

“Dasar budak cinta! Berhamba banget ke pacarnya, jijik!” Brie bergidik ngeri sambil melihat isi Instagram Inu yang dipenuhi fotonya dan sang kekasih.

Teng … teng … teng! Jam besar di ruang keluarga rumah Brie berdetak 12 kali. Ini sudah jam 12 malam dan gadis cantik itu belum tidur.

“Astaga! Besok aku harus flight! Lupakan Inu! Lupaaa! Tidur aja mendingan!” putus Brie gusar.

Dia membuang ponsel sembarangan dan memilih tak peduli lagi pada orang yang namanya Inu Adikara. Kariernya lebih penting dari apapun! Maka dia memutuskan tidur.

Tak berapa lama, Brie mulai masuk dalam alam mimpi. Alam di mana dia tak bisa mengatur siapa pun dan adegan apa yang muncul. Dia hanya bisa menahan napasnya sambil berusaha membuka mata. Sialnya, Brie harus menikmati mimpi buruk itu.

“Kakak nggak bisa ya berhenti nyuruh aku ngerjain PR? Aku capek, Kak. Aku pusing belajar pelajaran anak SMA. Mana mbakku nggak mau ngajarin lagi. Aku dimarahi abis-abisan, Kak. Pelajaran Kak Inu tuh susah."

“Kamu nggak sayang Kakak? Katanya mau bantuin.”

“Emang sayang itu gimana sih, Kak? Aku nggak ngerti.”

Bee harus bantuin Kakak ngerjain tugas ini, please! Kakak harus nonton Persija! Harus banget!”

“Apa artinya Kakak harus bolos sekolah?”

“Kakak nggak bolos, cuma nggak masuk aja tanpa pamitan. Pokoknya kalau Bee sayang Kak Inu, harus bantu, ya!”

Kemudian gadis kecil bermata indah berkuncir dua itu hanya diam. Dia menyerah lagi. Brie menurut pada permintaan pacar pertamanya yang seorang anak SMA bernama Inu.

Adegan yang tak disukai Brie itu terus bergulir. Kali ini percakapan yang beda muncul lagi entah dari mana.

“Kak, kata temenku, Kak Inu kemarin bolos sekolah? Itu nggak boleh, Kak. Nakal namanya!”

“Nggak apa-apa, biasa cowok gitu Bee! Gimana tugasku, udah selesai, ‘kan?”

“Belum! Aku pusing, Kak. Udahlah Kakak aja yang kerjain!”

“Gue mana paham, Bee. Kamu yang lebih paham sama pelajaran gue!”

“Apaan sih, kok gitu! Katanya Kak Inu janji mau belajar, kok sekarang ogah-ogahan?”

“Belajar itu urusan nanti, kalau nggak ada niat bisa apa.”

“Kok Kak Inu nakal sih! Niat sekolah nggak sih?”

“Bee sayang Kakak nggak sih?”

“Aku nggak tahu apa itu sayang, Kak. Kakak selalu bilang sayang kalau mau nyuruh aku.”

Inu hanya tertawa kosong. Antara tega dan tak tega melihat wajah polos gadis di depannya. Anak SMP yang lima tahun lebih muda darinya itu terlihat polos apa adanya. Namun, dimanfaatkan begitu saja cuma dengan modal kata “sayang”.

Mimpi liar Brie makin tak terkendali. Kali ini berganti adegan yang menyakitkan itu. Ya, potongan nyata dari kejadian masa lalunya dulu.

“Gue cuma manfaatin dia, Coyy!”

“Wah, gila lo, Nu! Anak kecil itu!”

“Bomat, yang penting tugas gue selesai, ‘kan? Nggak perlu dihukum lagi gue. Enak lho pacaran sama anak SMP, ha ha ha.”

Gadis bermata indah itu menangis pelan. “Maksudnya apa, Kak? Dimanfaatin apa?”

“Mampus lo, Nu!”

“Bee!” panggil Inu cepat-cepat, kartu AS-nya terbuka begitu saja. “Kamu salah denger. Maksudnya aku senang dibantu kamu.”

“Aku nggak budek, Kak. Aku denger jelas dan ngerti banget maksud kalimatmu. Nilai Bindoku 100, nggak bego masalah kalimat.”

“Gue bilang, gue senang lo bantuin tugas dan PR, Bee! Lo percaya gue apa anggapan lo sendiri sih?”

“Udah cukup, Kak. Aku nggak bego! Jadi, sayang yang Kakak maksud adalah memanfaatkan orang lain demi kepentingan pribadi. Kakak jahat!”

Bridgia yang masih berseragam putih biru beranjak pergi. Sementara itu, Inu Adikara menahannya.

“Kamu pergi, kita putus!” ancam Inu.

“Putus aja! Pacaran kayak apa aja aku nggak tahu. Kakak cuma bikin aku pusing dan susah.”

“Cewek bego!”

“Cowok stres!”

Hubungan aneh itu selesai begitu saja. Mereka berpisah di persimpangan jalan. Mimpi menyesakkan itu berhenti dan berakhir.

---

Cahaya terang mulai berganti pemandangan kamar bernuansa merah muda dan putih. Gadis cantik itu mulai terjaga dari tidurnya di pukul enam pagi. Malam akhirnya berganti pagi. Dan gadis kecil yang sudah dewasa itu mulai menggeliat dengan mata yang terlihat lelah. Bridgia mulai menata pikirannya setelah bermimpi buruk.

“Bad dream,” gumamnya kecut. “Gila, mimpi aneh itu lagi! Kenapa sih aku nggak bisa lupa, kejadian itu biasa aja tapi bikin aku trauma sampai sekarang! Sialan!” racau Brie sambil bangkit dari tempat tidurnya.

Dia memukul kecil pelipisnya. Berharap pikiran acaknya itu bisa tersusun rapi dan menghilang.

“Mendingan siap-siap kerja ajalah!” putusnya kacau.

Dia mandi, tak butuh waktu lama cukup lima menit. Berganti baju mandi dengan seragam, bawahan batik Parang Gondosuli dan atasan kebaya polos warna tosca. Wajahnya datar kendati tangannya cekatan memasang beberapa emblem. Pun saat menyisir rambut hitam lembutnya, wajahnya tak banyak berekspresi.

Mimpi barusan mengacaukan pagi indahnya.

Brie menatap jendela kamarnya setelah menyemprot parfum yang lembut di belakang telinga. Dia berdecak kecewa. “Gerimis, sambutan yang manis untuk hari ini,” ucap Brie setengah menyindir cuaca.

Dia mulai memoles wajah cantiknya. Alis yang cukup tebal dibingkai dengan polesan mata berwarna coklat. Senyum manis yang dipoles dengan lipstik warna merah muda. Sandal hak tinggi warna hitam sebagai pelengkap kaki mungil sibuknya. Brie mulai siap memulai hari ini. Yang mungkin akan terasa beda dari hari kemarin.

Kemudian pramugari itu turun dari kamarnya di lantai dua sambil memandang Abi yang sedang sarapan roti. Dengan gontai Brie melangkah menuju meja makan sambil menyeret kopernya.

“Cieee yang udah mau jadi pengantin,” goda Abi sambil mengunyah roti bakar selai madunya saat Brie baru saja duduk.

Brie hanya mencep sambil duduk dan meletakkan handbag di kursi. “Siapa? Mas Abi?” tanyanya malas.

“Ckck, nggak usah pura-pura bego, Brie. Mas minta seserahan lho karena dilangkahi,” cerocos Abi lagi.

Sementara itu, Rania yang juga hendak pergi mengajar terlihat angkuh. Dia duduk di sebelah Abi dengan mata curam tak ramah. “Seharusnya kamu resign aja, Brie. Mulai belajar tentang rumah tangga, supaya calon suamimu jatuh cinta. By the way, nggak nyangka ya ternyata dia mantan pacarmu waktu SMP,” celotehnya yang membuat Brie makin malas.

Brie melirik sang kakak dengan mata sayu. “Kenapa nggak Mbak aja yang belajar deketin pria? Biar cepet nikah dan memulai hidup baru,” sindirnya.

“Maksudmu?” tuding Rania sinis.

“Iri bilang, Mbak!” celetuk Brie yang membuat Abi melipat mulutnya.

Pilot muda itu merasa kikuk di antara perdebatan kakak dan adiknya. Dua orang perempuan yang sedang bertengkar itu lebih seram dari badai angkasa, pikir Abi.

“Eh, kamu terbang ke mana, Brie?” alih Abi supaya suasana cair

Brie memandang Abi dengan santai tanpa mempedulikan Rania. “Balikpapan, Medan, dan Singapura. Aku flight 3 hari, Mas. Lumayanlah nggak denger suara sumbang di rumah.” Brie setengah melirik sinis Rania.

“Aku nggak iri meskipun kamu bakal nikah duluan. Meskipun kamu kelihatan lebih sibuk dariku, aku biasa. Cuma sikapmu itu, Brie. Mau pamer kalau laku banget gitu?” lanjut Rania tak mau menutup mulutnya.

Brie membanting lap makan. “Mbak, siapa yang mulai duluan? Siapa yang sinis duluan? Mbak, ‘kan? Ketika ada kabar aku dijodohin, siapa yang kebakaran jenggot? Mbak, ‘kan?” tuding Brie bertubi-tubi.

“Hah,” Rania terperangah. “Aku cuma nggak habis pikir aja sama kamu. Nggak ada syukurnya jadi anak. Udah bagus dibantu cari jodoh, kamu kira jadi perawan tua macam aku ini enak? Malah menolak mentah-mentah,” celoteh Rania panjang lebar.

Brie menata suaranya. Dia lebih suka mengeluarkan keanggunan berbicaranya untuk menghadapi sang kakak. “Gini, ya, Mbak. Seharusnya Mbak bangga sama diri sendiri. Mbak kerja, dosen pula. Belum nikah belum tentu nggak laku. Mungkin Mbak masih dikasih kesempatan buat eksplor diri sendiri. Please, pikiran jangan skeptis!” ujar Brie dengan taktis, tapi menyebalkan bagi Rania.

“Anak zaman sekarang, ya, sarapan pakai debat. Papi bangga benar sama anak-anak ini. Otaknya main semua, pintar bermain kalimat!” Pak Pram datang dan menengahi masalah.

“Brie sudah kenyang! Lima menit lagi mobil maskapai jemput. Makasih Papi sarapannya! Berangkat dulu, ya?” Brie mencium tangan sang papi dan pamit bekerja dengan pandangan dingin. Hatinya masih tak baik dan harus menghadapi keanehan sang kakak pertama.

“Hati-hati Cah Ayu, calon pengantin harus jaga diri,” timpal sang papi yang membuat wajah Brie makin kusut.

Sementara itu, Rania hanya mengaduk isi piringnya. Sereal itu tak enak sama sekali, apalagi saat sang papi menatapnya tajam. “Pagi, Pi!” sapa Rania berusaha biasa.

“Pilot Batik boleh numpang mobil Garuda nggak, Brie?” pecah Abi semangat sambil menyambar tas cangklongnya.

“Tauk!” sahut Brie sekenanya.

“Pi, Abi berangkat, ya?” pamit Abi dengan wajah semringah dan mencium punggung tangan sang papi. Dia selalu easy going dalam keluarga ini.

Sang Papi menatapnya lekat. “Kerja yang bener kamu, Bi! Jaga adikmu baik-baik.”

“Ehe, kami beda maskapai lo, Pi,” jawab Abi kikuk.

“Yang penting, ‘kan, sama-sama di udara,” simpul sang papi sekenanya.

“Iye deh,” ucap Abi pasrah. Ngalah sama orang tua mungkin.

“Ehem!” Sang Papi berdehem sambil duduk menghadapi Rania yang masih mengaduk isi mangkoknya.

“Kok masih nggak rukun sama adikmu, Ran?” sapa sang papi.

“Papi yang bikin semua gini,” ucap Rania sekenanya.

“Masih nyalahin Papi? Kenapa kamu nggak coba bercermin sama diri sendiri sih?”

Rania menatap sang papi pias. “Pi, daripada sibuk menjodohkan Brie yang nggak pengen nikah, kenapa nggak nikahin Rania aja sih! Yang seharusnya papi mami pikirkan itu saya, Rania Pi! Bukannya Brie! Dia masih anak kecil!” Rania memukul-mukul dadanya emosi.

“Hem,” Pak Pram menghela napasnya berat. “Mau sampai kapan kamu memungkiri kenyataan, Ran? Sudah berapa kali Papi kenalkan kamu dengan laki-laki mapan? Puluhan! Nyatanya apa, selalu gagal. Kamu yang rewel menolaki mereka,” jelas Pak Pram dengan suara berat.

“Tapi, Pi …,” ucap Rania gantung.

“Mau sampai kapan kamu biarkan Papi dan Mami menua sia-sia? Kami juga ingin menimang cucu. Atau setidaknya melihat salah satu dari kalian rumah tangga. Siapa? Kamu? Abi? Kalian berdua terus saja mengecewakan kami. Cuma Bridgia, cuma dia satunya harapan kami,” imbuh Pak Pram tanpa bisa dijeda.

“Apa Papi yakin perjodohan ini bakalan berhasil? Mereka dulu pernah pacaran dan gagal. Teorinya, dua orang yang pernah terlibat cinta yang gagal biasanya sulit untuk kembali.” Rania terus saja menguji kesabaran sang papi.

“Rania,” potong sang Mami dari arah kamar. “Lebih baik kamu berangkat kerja daripada memusingkan Papimu pakai teori.”

“Kalau memang nggak ada solusi buat masalah ini, Rania juga nggak akan kasih restu Brie nikah. Rania nggak mau dilangkahi!” Rania bangkit dari duduknya sembari beringsut pergi.

“Rania kerja dulu Pi, Mi,” pamitnya dingin. Dia mencium tangan kedua orang tua tanpa banyak berekspresi.

“Rania …,” panggil sang papi yang tak ditanggap oleh si dosen muda.

“Udah, Pi. Nanti kita bujuk lagi anak itu. Mungkin memang sulit menghadapi keras kepalanya. Dia masih tidak bisa nerima kalau akan dilangkahi Brie.” Bu Syahnaz berusaha menenangkan sang suami.

“Iya, Mi. Lagipula kok bisa Brie dijodohkan sama mantan pacarnya waktu SMP itu? Dunia sesempit ini?” tanya Pak Pram penuh pikiran.

“Mungkin memang mereka jodoh, Pi. Udah deh, kita jalani aja. Sekarang semua terserah Brie dan Inu mau bawa ini ke mana,” jawab Bu Syahnaz pasrah.

“Tapi Papi ingin hubungan mereka berhasil, Mi. Cuma Bridgia yang bisa kabulkan harapan kita. Dia pendiam walau keras kepala juga, tapi masih manut sama orang tua.”

“Santai aja, Pi. Udah yang sabar. Nanti tensi Papi naik. Mendingan mandiin si Kutut tuh!” bujuk Bu Syahnaz berusaha menghibur Pak Pram.

“Oalah Mi, burung lagi. Papi pengen mandikan bayi,” Pak Pram terlihat gusar.

Bu Syahnaz hanya bisa mengelus pundak sang suami untuk menyabarkannya. Kedua pasutri yang mulai sepuh itu beranjak menuju beranda belakang rumah megah mereka. Berharap salah satu buah hati mereka memenuhi harapan terbesar itu.

---

“Silakan, Pak!” ucap Brie sopan pada salah satu penumpang kelas bisnis.

“Apa ini, Mbak?” tanya penumpang yang seorang bapak.

“Handuk panas, buat melap wajah atau tangan. Supaya tidak kering atau dingin karena AC,” jawab Brie ramah menjelaskan kepada salah satu penumpang kelas bisnis yang kelihatan bingung.

Nggak semua penumpang bisnis tahu apa fungsi handuk panas. Sebab nggak semua orang biasa naik pesawat. Dan Brie tahu itu, dia tak pernah meremehkan orang lain apalagi itu penumpangnya. Hatinya tulus karena teramat mencintai pekerjaan ini.

Penumpang itu tersenyum dan berterima kasih. Brie membalasnya dengan ramah dan wajah semringah. Sejenak meminggirkan masalah pelik hidupnya. Mendingan memandangi gerimis di jendela pesawat sebelum lepas landas ini. Dia masih suka gerimis walau sempat kecewa.

Hari telah malam, pukul 8, tanggal 4 Desember. Lima belas menit lagi pesawat akan lepas landas menuju Singapura. Pesawat type Airbus A330 itu akan tiba di Singapura pada pukul 23.05 waktu setempat. Rencana setelah itu, Brie akan menginap semalam di Singapura sebelum kembali ke tanah air keesokan harinya.

Penerbangan malam tak banyak menyita tenaga para awak kabin termasuk Brie. Maskapai full service memang sibuk karena melayani banyak fasilitas. Namun, biasanya malam hari para penumpang kebanyakan tidur, istirahat. Maka dari itu, Brie bisa sejenak menyelonjorkan kaki di jumpseat. Dia bisa mengumpulkan sisa energi karena telah terbang sejak pagi.

Andai papi maminya tahu betapa sibuknya dia bekerja, mungkin mereka tak sampai hati menambah masalah hidup Brie dengan perjodohan. Apa mungkin karena mereka tahu sibuknya dunia pramugari, maka Brie mending dinikahkan saja? Entahlah.

Kelelahan itulah yang membuat Brie bisa tertidur dengan pulas meski duduk di atas kursi kecil dengan hanya bersandar pada tembok pesawat. Belum lagi dia tak menapak daratan dan sedang berada di ketinggian 32.000 kaki. Ya seperti saat ini.

“Mbak, mbak yang ini nggak apa-apa?” Salah satu penumpang terlihat cemas karena melihat Brie duduk menunduk dengan rambut acak-acakan ke arah depan semua.

Fanita, rekan sesama awak kabin, tersenyum gusar sambil menghalangi tubuh Brie. “Hehe, tidak apa-apa Bu. Dia sedang tidur, biasanya emang gitu.”

“Jadi, pramugari bisa tidur di pesawat juga, ya?” komen penumpang itu heran.

“Iya, Bu. Kalau ada waktu ya kami tidur,” jawab Fanita berusaha ramah.

Penumpang yang sedikit peduli itupun ngeloyor pergi. Fanita menyenggol bahu Brie cukup keras hingga gadis ayu itu terbangun. Tak lupa dia menghapus sedikit liur di sudut bibir indahnya, maklum capek. Brie sadar dia sedang melakukan keanehan, sebut saja sedikit ngiler. Lantas dia menata rambut dan wajahnya dengan cepat.

Brie kemudian menatap Fanita yang seperti heran dengan kelakuannya. “Ngapa sih lo, Brie?” bisik Fanita sedikit keras, karena suara mesin pesawat lumayan menderu.

“Capek gue, Fan,” keluh Brie.

“Secapeknya elo, nggak pernah gue lihat lo tidur kayak zombie. Kenapa sih?” desak Fanita seolah membaca wajah Brie.

Brie menenggak sebotol air mineral. “Kalau lo tiba-tiba dijodohin dan mau dinikahin sama cowok aneh, gimana?”

“Baguslah, gue bisa resign. Gue capek jadi FA,” ucap Fanita santai.

Brie mencibir rekannya. “Nggak ada kebanggaan lo!”

“Bodo, gue juga sering diremehin di sini, sama orang yang nggak gue kenal pulak!”

“Betewe, lo mau dijodohin sama siapa?” sambung Fanita yang membuat Brie salah tingkah.

“Lo boleh kaget, kemarin gue dijodohin sama mantan gue pas SMP,” kontan mata Fanita membola, kaget bukan kepalang.

“Serius? Lo punya waktu buat gituan? Dalam ingatan gue, Bridgia Gantari Hyacinta itu si gila kerja deh. Mana ada waktu ngurusin cinta, apalagi mantan,” celoteh Fanita sambil mengunyah kacang.

“Nggak masuk akal, ‘kan? Namun, terjadi di gue, Fan,” keluh Brie lesu.

Fanita menepuk pundak Brie pelan. “Kalau dia kaya, mapan, nggak masalah sih Brie. Urusan look, belakanganlah!”

“Lo mau lihat fotonya?” Brie membongkar isi ponselnya pada rekan satu batch-nya saat pendidikan pramugari itu.

“Nih dia! Dulu badung, suka tawuran dan bolos, tapi sekarang udah jadi kayak gini!” Brie menunjukkan foto Inu Adikara yang sedang tersenyum dalam balutan loreng.

“Oh my wow! Ganteng gila, Brie! Tentara, ya! Calon istri tentara dong lo, seremmm!” lonjak Fanita dengan mata blink-blink. “Eh tapi, di sebelahnya siapa?”

“Pacarnya! Gila, ‘kan? Gue dijodohin sama mantan yang udah nggak lajang lagi. Hidup gue sengenes ini!” curah Brie putus asa.

“Fatal sih itu, Brie,” pandangan Fanita kecut seketika. “Maklum kalau lo capek. Sabar ye!”

“Huft!” keluh Brie buntu.

“Dah lo tidur aja lagi. Gue yang kerja,” putus Fanita iba.

Tung!

Fanita bangkit menuju interkom. Ada panggilan dari ruang kokpit dan dia menjawabnya. “Siap, Capt!”

“Brie, Captain minta teh panas dan puding dingin!” ucap Fanita yang membuat Brie bangkit juga.

“Biar gue yang prepare. Lo tidur aja nggak apa, Brie,” larang Fanita sambil mendudukkan Brie di jumpseat lagi.

“Nggak usah, Fan. Gue bisa gila kalau nggak kerja,” tepis Brie tak nyaman.

Tangannya sibuk mempersiapkan apa yang diminta captain. Dia harus kembali pada kenyataan, gadis cekatan yang telah tiga tahun menjadi pramugari. Apalagi kali ini dia bertugas di galley depan, melayani kelas bisnis dan juga ruang kokpit. Baiklah, Brie bertekad untuk sejenak menyisihkan keanehan hidupnya sekali lagi, demi kualitas pekerjaannya.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Eirena Pandanan
Gk ush nge-gas gt dong Rania. Kan bukan salah dan maunya Brie dia di jodohkan. Salah sendiri lagian udh di jodohkan berkali2 tp sllu di tolak. Terlalu milih2 sih. Coba jalani dl sm salah satu cowok yg di jodohkan ke Rania.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status