Share

Bab 6 Jangan Ganggu Aku Lagi

Bridgia Gantari POV

Sepertinya suasana di ruang makan itu sedang genting. Tak tahan mataku ini untuk terus memandangi mereka, yakni Inu, si manja, dan Bu Nanda. Sepertinya mereka sedang terlibat perdebatan sengit hingga si manja itu menangis. Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi? Perasaan tadi katanya cuma makan siang, lhakok pakai emosi?

Di saat aku sedang kepo-keponya terdengar panggilan dari suara yang bersemangat dari arah belakang. “Masayu?” pecah sebuah suara yang membuatku menoleh.

“Kakek,” balasku bingung.

Wajahku yang datar langsung berhias senyum lebar. Aura Kek Djoko itu beda saja. Berasa sedang menatap gambar pahlawan di tembok sekolahan. Aku tak bisa jika tidak menghormati beliau.

Namun, lagi-lagi aku dipanggil Masayu. Aduh, gimana ya caranya ngadepin kakek sepuhnya Inu ini? Gimana caranya menegaskan kalau aku itu Bridgia bukan Masayu. Aku nggak enak membantah orang tua. Jadinya nurut saja walau sedikit tidak nyaman.

“Maaf Kek, nama saya Bridgia. Bisa dipanggil Brie,” ucapku kalem.

Ya beginilah aslinya aku, terbiasa kalem karena pekerjaan walau hatiku gampang mencak-mencak. Apalagi kalau ketemu Inu, rasanya pengen nggulat aja. Namun, menghadapi generasi sepuh harus tetap tunduk dan santun.

“Ya, Brie, Kakek ingat namamu. Cuma lebih suka memanggilmu, Masayu. Kamu sangat mirip dengan mendiang Masayu, wanita terindah Kakek.” Kakek Djoko amat puitis dengan pandangan menerawang ke arah kolam.

Sebegitu cintanya beliau pada mendiang istrinya yang bernama Masayu itu. Sampai-sampai terbayang seumur hidup. Bahkan, sampai semua wanita muda disangkutpautkan, khususnya aku.

“Iya deh, terserah Kakek aja mau manggil saya gimana,” ucapku pasrah. “Kakek sedang apa?” alihku kemudian.

“Biasalah ngadem. Mau hujan, hawanya panas. Apalagi Mas Inu itu, sedang panas-panasnya konflik batin.” Kakek Djoko memberi isyarat dengan dagunya.

Aku kembali menatap ruang makan. Benar kata Kakek, Inu sedang peluk-pelukan dengan si manja. Ckck, bener-bener nggak punya norma! Nggak tahu apa itu jadi konsumsi publik? Busyet bener deh ah! Generasi bejat kali mereka tuh.

Namun, kok salah satunya mau jadi calon suamiku? Hii, bergidik ngeri kalau mengucapkannya.

“Kakek sudah makan siang?” alihku karena malas ngurusin hidupnya Inu.

“Kakek tak suka makan siang. Enaknya itu cuma minum es blewah dan ngadem di dekat kolam seperti ini. Kangen desa,” jawab Kakek Djoko puitis.

Sepertinya pertanyaanku dengan jawaban beliau banyak yang tak nyambung. Namun, karena aku menghargai orang sepuh, jadi pendengar setia ajalah.

Syukurlah keanehan ini tak berlangsung lama, sebab Bu Nanda menghampiriku dengan wajah sembab. Merasa sang menantu butuh ruang privasi, Kakek Djoko beringsut ke gazebo tepi kolam. Beliau membiarkan kami bicara berdua.

Aku menelisik wajah cantik beliau. “Ibu kenapa?” tanyaku lembut.

“Ah nggak apa-apa, Brie. Maaf ya, kamu jadi ketunda makan siangnya. Bahkan, kamu belum ganti baju. Apa mau ganti baju dulu sebelum kita ngobrol?” tawar Bu Nanda sambil meneliti tubuhku.

Aku menggeleng kecil. “Tidak usah, Bu. Koper saya di mobil Kak Inu. Malas ngambil. Saya nyaman kok pakai kebaya ini,” jawabku pelan. Berusaha menyamankan diri walau letih banget rasanya.

Bu Nanda tersenyum kalem. “Lebih baik kamu memanggilnya ‘Mas’, lebih njawani. Kami ini asli Jawa lho, Brie,” saran beliau lembut.

Aduh lupa! Bukannya tadi si Inu bilang kalau lebih baik aku manggil dia “Mas” daripada diomeli si ibu. Aneh juga sih, panggilan “Kak” dan “Mas” ‘kan sejajar. Sama-sama menghormati yang lebih tua. Apa karena lebih manis gitu, ya?

“Maaf, Bu,” ucapku pelan sedikit sungkan.

Bu Nanda malah tersenyum di balik mata sembabnya. “Hemm, maaf kalau terkesan ngomeli. Kamu, ‘kan, calon istrinya Mas Inu, jadi mulai sekarang coba menghormatinya, ya? Walau dia mantan pacar Brie dulu, tapi ‘kan sekarang udah sama-sama dewasa.” Bu Nanda menceramahiku panjang lebar.

“Baik, Bu,” jawabku pasrah.

Kesabaranku biasa didera saat bekerja. Jadi, situasi kayak gini mah biasah! Enteng kecillll! Namun, sejujurnya aku sedih pengen nangis. Karena apa, pengen pulang. Baru kali ini aku ngerasa kangen rumah dan omelannya mami.

Namun, raut wajah Bu Nanda makin aneh. Wanita ayu ini menunduk sambil mengurut lengan kirinya. Napasnya tersengal dan air matanya mulai jatuh satu-satu. Suaranya bergetar saat berusaha bicara denganku.

“Pasti kamu merasa aneh karena Kakek memanggilmu ‘Masayu’. Kalau kamu ingin tahu, tanyakan kepada mami di rumah. Jawaban itu sekaligus menjawab kenapa perjodohan ini bisa terjadi. Maaf Bridgia, jika keluarga ini cukup aneh dan menyiksamu,” ucap Bu Nanda sekuat tenaga menahan emosinya.

Sesekali beliau menyeka sisa air mata di pipi. Membuatku tak tahan untuk memeluknya. Tingkah beliau mirip mami, dan aku mulai saying pada calon mertuaku ini.

Kenapa wanita ayu ini bisa menangis sesedih itu? Mungkinkah beliau sedih karena baru bertengkar dengan Inu? Sepertinya hubungan Inu dan si manja itu tak berjalan mulus. Ya kalau mereka direstui, nggak mungkin perjodohan ini bakalan muncul ke permukaan, iya ‘kan?

Tunggu, ada alasan kenapa perjodohan ini bisa terjadi. Hubungannya dengan Kakek Djoko yang senang memanggilku “Masayu”. Dan mami tahu jawabannya. Kok aku jadi penasaran, ya? Rasanya pengen pulang, lupakan tidur, dan pengen interogasi mami.

“Dulu gimana Brie bisa kenal Mas Inu? Bahkan bisa pacaran gitu,” alih Bu Nanda berusaha ceria setelah tangisnya reda.

Sekarang kami duduk berdua di gazebo tanpa peduli suasana di sekitar. Beliau tampak tak peduli si Inu mau apa.

“Em … dulu …,” Kalimatku langsung dipotong sebuah suara sumbang dari arah belakang.

Belva gemblung muncul dan mengacau suasana yang sudah adem. “Pacaran? Maksudnya apalagi, Nu? Dia pacarmu? Kok makin aneh aja sih ini!” Si Manja alias pacarnya Inu memotong jawabanku tanpa tedeng aling-aling sambil menunjuk-nunjuk pula.

Si lembek berseragam loreng itu tampak tak bisa menguasai situasi. “Dia … dia adik kelas dulu waktu SMA,” jawab Inu kalang kabut.

Gila, situasi macam apa sih ini? Kenapa atmosfernya gelap berkabut terus sih? Nggak nyaman sumpah! Aku nggak suka berada di tengah konflik keluarga macam ini. Apalagi pertikaian receh antara manusia lembek dan cewek barbar sakit jiwa macam Belva.

Belva mendekatiku dengan emosi. Dia mencengkram lengan kecilku. “Kamu sebenarnya siapa!?” semburnya dengan mata menyala.

“Aw!” pekikku kesakitan.

Duh, please jangan nyakitin fisikku kenapa sih? Lenganku yang kurus ini emang kuat, tapi kalau dicengkram seerat itu ya tetep aja sakit.

“Jangan kasar kamu, Belva!” cegah Bu Nanda tak suka. Pembelaku ada di sini, jangan abaikan itu!

Maklum, aku sekarang menjelma jadi kandidat kesayangan bu Nanda, bersaing ketat dengan Belva. Iya nama si manja itu Belva. Nggak bersaing sih karena kayaknya aku yang memenangkan hati bu Nanda.

“Dia adik kelas atau mantanmu, Nu!” tuding Belva keras kepada Inu, tanpa melepaskan cengkraman tangannya padaku.

Inu hanya bisa memasang wajah kebingungan menghadapi tingkah seram pacarnya. Ketidaktegasan Inu dipatahkan dengan kalimat diplomatis dari Bu Nanda. “Dia mantan pacar Inu waktu SMA dulu, Belva. Sekarang mereka ketemu lagi dan segera dinikahkan. Kamu harus sadar diri!” kata Bu Nanda tegas dan cadas.

Beliau istri tentara Bok, jangan ditanya tegas dan seramnya kayak apa, hiiih. Kualitas suaranya saja tak kalah dari sang suami, Pak Pras. Bedalah sama yang asli tentara di sebelahnya alias Inu Adikara. Seragam doang keren, mentalnya tempe.

Belva masih tak terima. Dia kemudian nekat menarikku mendekat ke arah kolam yang mulai dirintik gerimis. Entah apa yang akan dilakukan wanita barbar ini.

“Baik Bu, mari kita pastikan saja! Inu memilih dia atau saya!” Pandangan mata Belva makin aneh.

Dia mau apa sih?

Oh no, Belva mendorongku ke arah kolam yang dipenuhi kuntum kamboja kuning. Kuat amat nih cewek manja, sumpah! Kayaknya letoy gitu ternyata tenaganya kayak hulk. No – no – no! Dia mendorongku jatuh ke dalam kolam.

Byur! Suara tubuhku yang menerjang air bening ini. Dramatis sekali suasana saat ini, Gusti!

“Belva!” teriak Inu emosi, kudengar sesaat sebelum telinga ini kemasukan air.

“Bridgia!” Bu Nanda tak kalah panik karena aku mulai kecelup air kolam yang dingin.

Aku timbul tenggelam seperti botol kecap kemasukan air.

Situasi sialan macam apa ini, sumpah! Nggak lucu amat sih, flight attendant yang kecapaian setelah tiga hari kerja sekarang diceburin kolam sama pacar mantan pacarnya. Mirip judul sinetron nggak berkah, alay, membingungkan, dan pastinya super duper sial! Salam blebek-blebek!

Aku udah biasa ikut simulasi evakuasi pesawat yang jatuh ke air. Namun, kali ini terasa nyata. Aku kecebur kolam dengan masih memakai seragam pramugari. Penyebab kali ini adalah kecelakaan pesawat cintanya Inu dan Belva, si barbar itu!

Dingin! Mana kakiku kram! Sial banget sih aku hari ini.

“Kamu nggak apa-apa?”

Sebuah suara mampir ke dekatku saat badan ini mulai merasa dingin. Tak salah sebab kepalaku juga dirantau gerimis yang mulai menderas. Aku langsung menoleh lemas karena tenagaku mulai lemah. Kudapati pemilik suara itu adalah seorang lelaki berseragam polisi yang pundaknya berhias tiga balok emas.

Tanpa banyak bicara, dia langsung berenang ke tepian sambil menarikku. Aku didorongnya menuju tepi kolam dengan sigap. Dia menolongku, persis pas simulasi juga gitu, ditolong aparat.

“Satu … dua … tiga!” Polisi yang entah siapa itu memberi aba-aba untuk menggendongku ke tepi kolam.

Aku dibopongnya sebab tenagaku terlalu lemah. Polisi itu tampak mengerti ranah privasi dengan membetulkan letak rok kebayaku yang tersingkap. Sesaat aku memandang Inu yang membantu menarik tanganku, lalu Bu Nanda yang sangat cemas. Sementara itu, si pelaku utama, si barbar terlihat yang tanpa ekspresi. 

Salahku apa sih sampai harus mengalami penyiksaan macam ini dari kalian?

Kulambaikan tangan pada Inu hingga dia suka rela mendekat. Kubisikkan sesuatu di telinganya. “Makasih ya makan siangnya!” ucapku sinis dengan suara bergetar karena sembari menahan dingin.

Aku lantas berusaha berdiri meski terhuyung. Tak ada gunanya di tempat ini. Yang ada aku malah merendahkan diri sendiri. Namun, lagi-lagi tangan sialan Inu menahan tangan kurusku. Merasa enggan, kuhentak tangan itu.

“Aku anter, Brie!” jawab Inu cepat.

Aku tetap berjalan pelan sambil memeluk sandal hak tinggi yang basah. “Nggak perlu!” tolakku angkuh.

Aku berjalan tanpa menoleh. Udah cukup aku dipermalukan, dilecehkan kayak gini. Apalagi saat masih memakai seragam kebanggaanku. Namun, kenapa langkah kakiku makin lemah. Serasa lunglai semua tulangnya. Sesaat pandanganku gelap dan kulihat banyak bintang di kegelapan. Melompat ke dimensi mana lagi aku?

---

"Bridgia? Dek!”

Suara Mami membuyarkan mata beratku dan membantuku kembali ke dunia. Eh bentar, aku nata pikiran dulu. Ini sedang di mana, ngapain, dan aku siapa? Kayaknya tadi aku pulang terbang terus diculik alien ke planet namek. Kok sekarang aku terbaring di sebuah kamar bernuansa putih gini?

“Ini Mami, bukan?” tanyaku aneh.

Mami membantuku bangun ke posisi duduk. “Kamu nggak apa, Dek? Kita perlu ke rumah sakit?” berondongnya cemas.

Aku menggeleng. “Brie bingung, Mi. Perasaan tadi ….”

Penjelasanku langsung tak tuntas karena ada suara kabel putus di otakku, tak! Aku langsung mendelik dan membuat Mami bingung. Wajah Mami makin kacau saat aku memindai tubuhku sendiri.

Ini mana seragam kebanggaanku? Kok aku pakai daster batik besar gini. Perasaan tadi aku baru pulang kerja deh … eh nggak! Oke, tadi aku habis diceburin kolam sama manusia barbar turunan nenek sihir. Manusia itu bernama Belvara, kekasih mantan terkutuk gue, Inu Adikara. Astaga hancurnya hari ini!

“Aku nggak bisa diginiin!” tekadku sambil turun dengan cepat. Kuremas kedua tangan hingga berbunyi.

Padahal kepalaku masih muter berat nian. Ternyata daster yang kupakai ini milik bu Nanda, kata mami. Aku pakai karena seragamku basah. Yang jadi pertanyaannya, siapa yang gantikan dasterku dan kenapa aku masih ada di rumah terkutuk ini, bukannya dibawa pulang aja selama pingsan tadi?

“Mami, siapa yang gantiin bajuku?” tanyaku bak menanyai penjahat. Dan mami yang kebingungan makin melongo.

“Ng – nggak tahu, Dek. Pas Mami datang kamu udah kayak gini,” jelas Mami super bingung.

Aku memilih tak peduli karena masih ada masalah yang lebih penting dari siapa yang gantiin bajuku. Ah, paling juga bu Nanda. Nggak mungkinlah si Inu.

Mami menahan langkahku yang hendak keluar kamar. “Brie, kamu mau ke mana? Istirahat dulu, Dek. Jelasin semua ke Mami!” cegah Mami saat tanganku hendak membuka kenop pintu.

Aku kudu ketemu Inu dan membereskan kekacauan bodoh ini. Intinya aku nggak mau diganggu lagi! Pengen hidup normal dan tenang lagi. Andaikata orang lain tahu kisahku, pasti mereka setuju dengan keputusanku ini.

Kulepas pegangan tangan Mami di lengan. “Mi, nanti Brie juga mau nanya banyak sama Mami. Sekarang Brie mau beresin semua ini, harus selesai hari ini! Bridgia mau hidup normal dan tenang lagi, okay?” putusku kuat-kuat.

“Dek, sabar dulu! Kita bicara bentar di dalam sini karena di luar sedang …,” tahan Mami yang terputus karena ada sebuah suara keras dari luar.

Brak!

Sebuah suara keras seperti gebrakan meja terdengar dari luar ruangan. Aku dan Mami sontak menempelkan kuping di pintu jati salah satu kamar rumah Inu ini. Maaf kalau aku dan Mami agak aneh, kompak kalau masalah nyari info. Nggak kalah sama agen FBI.

“Kamu tahu siapa yang diceburin pacarmu ke kolam itu, Nu? Dia adalah calon istrimu, anak orang yang Romo hormati!” teriak suara keras yang aku tahu milik siapa, Pak Mayjen Prasetya Adikara alias Romonya Inu.

“Maaf Romo, saya tidak pernah setuju untuk menikah dengannya,” sela Inu dengan suara samar.

“Romo tidak membutuhkan persetujuanmu, Nu! Perjodohan ini sifatnya mutlak. Kamu tahu ‘kan apa alasannya? Kamu harus terima kalau sayang sama kakek!” kata Pak Pras keras.

Keluarga ini beneran aneh, 100%. Otoriter dan sedikit kejam sama anaknya. Kok aku agak kasihan ya sama Inu. Di balik sikapnya yang aneh, dia cuma pengen bahagia sama pacarnya itu, apa daya nggak disetujui. Kenapa masih zaman sih jodoh-jodohan kayak burung dara gini?

Kemudian, suara Inu yang memelas itu kembali terdengar. “Romo tidak bisa mengorbankan masa depan saya dengan pernikahan konyol ini. Saya berhak menentukan pilihan saya!” sela Inu tak mau kalah.

Tentara versus tentara mirip juga sama me versus penumpang. Namun, yang ini lebih serem sebab keduanya punya sisi tegas yang angker. Mungkin kecuali Inu yang agak lembek dan serem di luarnya doang.

Mami menarik badanku menjauhi pintu. “Dek, jangan nguping lagi! Serem. Mendingan kita bicara sendiri, yuk?” ajak Mami segan.

“Bentar ih, Mi!” tolakku kukuh.

Lanjut lagi dong ngupingnya. Lagian nggak usah nguping suara beliau-beliau itu udah kedengeran kali. Well, kali ini pertengkaran mereka masih berlangsung. Kok seru sih, kasihan juga.

“Perempuan seperti itu yang akan kamu nikahi, Nu? Dia nggak kenal Bridgia, tapi berani dorong ke kolam? Kamu mau nanti dianiaya kalau sudah nikah sama dia? Asal kamu tahu, KDRT bukan cuma dari suami ke istri. Namun, dari istri ke suami juga banyak. Kamu mau memalukan nama keluarga?” tuding Pak Pras keras.

“Lalu, apa perempuan pilihan keluarga ini terbaik buat saya? Apa ada jaminan dia nggak akan kasar, penyayang, dan lembut?” tanya Inu yang langsung menohokku.

Aku emang suka membangkang dan nggak mau diatur, tapi aku nggak barbar. Justru aku sering ngalah dan menutupi kekalutanku dengan kalem. Aku masih bisa main halus, amanlah. Bedalah sama Belva yang frontal macam suku pemakan daging manusia itu.

“Maka dari itu, Romo ingin kamu mengenal Bridgia lebih dekat lagi. Kamu ‘kan belum menikah, tidak ada salahnya mengenal banyak orang. Cari kecocokan itu perlu, Nu. Pernikahan tentara itu sulit, kalau bisa sekali seumur hidup. Jangan sampai salah pilih!” Pak Pras terdengar merendahkan suaranya.

Inu kembali menyela, “jadi, Romo menghalalkan ketidaksetiaan? Romo suka saya berhubungan dengan banyak perempuan, begitu?”

“Inu, maksud Romo bukan seperti itu. Maksudnya mengenal banyak perempuan sebelum memilih satu itu tidak ada salahnya.” Oke, kali ini Bu Nanda menengahi. Semoga beliau disabarkan.

“Dek!” tarik dan seret Mami pada tanganku. Tampaknya mamiku yang sudah tak sabar.

Aku kembali diseret ke atas kasur. Didudukkan dan ditatap dengan lekat. Wajah Mami kelihatan khawatir sekali. Sudah waktunya kuakhiri semua keanehan ini.

“Mami, udah denger sendiri, ‘kan? Betapa anehnya keluarga ini. Jangan diterusin, Mi. Brie nggak mau jadi bulan-bulanan,” bisikku cemas sambil celingukan.

“Inu itu udah punya pacar, Brie nggak mau ganggu hubungan orang,” imbuhku dengan suara pelan.

“Nggak semudah itu, Dek. Perjodohan ini terjadi bukan karena asal-asalan. Semua sudah terencana sejak puluhan tahun yang lalu,” ucap Mami gamang.

Aku menggeleng gusar. “Mi, please. Kalau Mami mau Bridgia nikah, oke nggak apa-apa, asal jangan sama pria dari keluarga ini. Bridgia mau kok dikorbankan buat nikah cepet, tapi nggak sama Inu dan keluarga ini.”

“Nggak bisa, Bridgia!” ucap Mami putus asa. “Apa kamu tahu siapa Masayu?” imbuh Mami yang membuatku kembali penasaran.

“Masayu …,” desahku tercenung. “Nama yang sering diucapkan Kakek Djoko, ‘kan?”

“Ingat yang betul, Dek!” suruh Mami lagi.

Haduh, Mami ni bukannya kasih pencerahan malah nyuruh otakku loading lebih keras. Hari aneh macam apa sih ini, nggak selesai-selesai perasaan!

“Diajeng Masayu Dyah Intan, kamu ingat?” tanya Mami dengan wajah sedih.

“Nama Mbah Putri dong, Mi!” jawabku spontan. “Apa hubungannya dengan Kakek Djoko?” desakku tak sabar.

“Kakek Djoko, kakeknya Inu, adalah kekasih masa mudanya Mbah Putri, Mbah Masayu. Mereka merenda kasih dan cinta yang indah, tapi tidak direstui. Kakek Djoko harus berangkat ke medan perang, meninggalkan Mbah Masayu. Sayang, saat Kakek Djoko kembali, Mbahmu sudah menikah dengan Mbahkung,” jelas Mami panjang lebar sambil menyeka air mata.

“Sebab saat itu Mbah Masayu mengira Kakek Djoko telah gugur dalam peperangan. Ternyata tidak. Nasi sudah jadi bubur, Nduk. Cinta mereka berakhir begitu saja tanpa bisa kembali. Di akhir hayat hidupnya, Mbah Masayu ingin salah satu cucunya menikah dengan cucu Kakek Djoko. Mungkin bukan cinta Mbah Masayu dan Kakek Djoko yang bersatu, tapi cinta cucunya. Itu amanat beliau.” Mami kali ini menimpa tanganku dengan tangan panasnya. Raut mukanya sedih nian.

Air mataku mengalir tanpa disuruh. “Lalu kenapa harus Brie, Mi? Kenapa bukan Mbak Rania? Dia yang lebih membutuhkan pernikahan,” bantahku lirih.

“Cucu Kakek Djoko yang belum nikah cuma Inu, dan jarak usianya pas denganmu. Kalau Mbak Rania jelas nggak cocok dengan Inu. Dia lebih tua, dan Inu tentara. Sudah jelas mbakmu nggak suka tentara, ‘kan?” jawab Mami yang mengunci mulutku seketika.

"Kakek Djoko yang memilihmu dengan Inu,” pungkas Mami yang tak bisa kujawab lagi.

Aku kayak kejebak di sumur, tanpa bisa naik ke permukaan. Nggak ada jalan keluar selain satu, menerima pernikahan itu! Ingin rasanya aku beradu tangis dengan gerimis di luar. Kalau tak cukup ingin rasanya aku menangis di dalam mesin jet Airbus 330, biar derunya nggak didengar orang saking kerasnya. Sedih pakai banget!

“Kenapa mesti aku sih, Mi?” tangisku tak bisa berhenti saat ini.

Hingga sebuah suara membuatku hening seketika, pintu jati berat itu terbuka dan menampakkan wajah Bu Nanda yang kusut. Ibu pejabat TNI AD itu terlihat mendekatiku dengan cepat. Beliau memegang lenganku lembut. Pahaku dipijat-pijat, kayak sayang banget gitu.

“Bridgia nggak apa-apa? Perlu ke rumah sakit?” tanya beliau cemas.

“Tidak Bu. Namun, bolehkah saya meminta sesuatu?” pintaku pelan.

“Bridgia!” cegah Mami pelan.

Aku menoleh yakin pada Mami. “Udahlah Mi. Biar aku yang bicara.”

Bu Nanda pun meyakinkan Mami. “Udahlah Mbak, nggak apa-apa. Brie sudah seperti anak saya sendiri.”

Bu Nanda kemudian menatapku lagi. “Ada apa, Nduk?” tanya Bu Nanda sabar.

“Bisa nggak keluarga ini tidak mengganggu saya lagi? Kalau mau menikahkan Inu dengan anaknya Mami, masih ada kakak pertama saya. Namanya, Mbak Rania. Dia lebih cantik dan pandai, mapan pula dibanding saya. Maaf, saya sudah lelah dan ingin kembali hidup normal.” Permintaanku keluar begitu saja meski terdengar kurang ajar.

Kening Bu Nanda berkerut seperti berpikir keras. “Bridgia, Ibu minta maaf atas peristiwa siang ini. Maaf karena kamu harus dipermalukan di depan Mas Inu. Namun, perjodohan ini tidak bisa begitu saja dibatalkan. Kakek Djoko yang sangat menginginkannya.” Jawaban Bu Nanda membuat hatiku makin kacau.

Aku menangis dan menggandeng Mami. “Maaf Bu, saya sudah capek. Saya nggak mau berurusan lagi dengan Inu dan keluarga Ibu. Mohon maaf, saya tidak mau menikah dengan Inu.”

“Apa karena pacarnya Inu, Nduk?” pecah sebuah suara berat dan berwibawa dari daun pintu.

Bapak Prasetya Adikara sudah memandangku lurus dengan seragam loreng yang angker. Pandangannya tajam, khas bapak tentara. Tak ada gurat senyum dan hanya ada wajah serius. Beliau terus mendekat hingga tersisa dua langkah dari tempatku berdiri.

“Saya akan menyuruh Belva untuk meminta maaf padamu, Bridgia. Tidak ada perempuan mana pun lagi yang saya restui untuk menjadi istri Inu selain kamu!” kukuh beliau yang membuatku tak berdaya lagi.

Aku bukan siapa pun di keluarga ini, tapi kena paham otoriter juga. Ya nasebbb kenapa seburuk ini sih! Salahku apa sampai ketemu sama keluarga ini? Perasaan selama 22 tahun jadi manusia, aku selalu jadi orang baik. Kalau tadi nangis di mesin jet Airbus 330, sekarang aku pengen mandi avtur sekalian. Menjelang gila!

---

“Aku minta maaf udah dorong kamu ke kolam,” ucap Belva tanpa menatap wajahku. Dia kebanyakan menunduk sambil memainkan kuku berkuteks merahnya.

Aku melengos pada gerimis yang membalut senja gelap. “Apa kamu nggak bisa membebaskanku dari kebodohan ini?” tanyaku bodoh.

“Maksudmu?” tanyanya gantung dengan wajah buntu.

“Kamu nggak bisa jadi satu-satunya calon istri Inu? Kalau kamu bisa diharapkan, nggak bakalan Inu dijodohkan sama aku. Dan kepelikan ini nggak bakal terjadi.” Aku menyemprotnya dengan kalimat menyakitkan.

“Haha,” dia tertawa kosong, “asal kamu tahu ya, usahaku nggak kurang-kurang selama ini. Aku udah berkali-kali merasa dipermalukan di keluarga ini. Awalnya aku bisa toleransi, mungkin usahaku kurang keras. Kelamaan aku sadar, mereka nggak suka sama aku karena Inu udah dijodohin.”

“Mereka bilang nggak suka sama penampilanmu, kenapa nggak coba berubah?” tanyaku sedikit usil sambil mencibirnya dari ujung kaki sampai kepala.

Dia melengos cuek. “Alasan aja itu! Kalau mereka suka aku, nggak pedulilah masalah penampilan. Kamu juga nggak lebih baik dariku, tapi dijodohin sama Inu,” jawabnya menjengkelkan.

Baik, sekarang aku tahu kenapa bu Nanda nggak suka cewek ini. Ya karena lisannya tajam dan kurang ajar. Kok aku merasa di atas angin, ya?

Jadi kayak gini cewek yang diperjuangkan Inu sampai bertengkar dengan orang tuanya? Cibirku dalam hati.

Awalnya aku merasa kasihan sama hubungan mereka yang ngenes. Namun, sekarang aku mulai memaklumi sikap keluarga ini.

“Udah bicaranya?” pecah Inu dari arah belakangku.

Wajah tegang kami langsung berubah, terutama si manja yang langsung semringah. Dia langsung menggelayut mesra di bahu Inu. Dasar keong racun, drama banget sih hidupnya! Kayaknya tadi mau minta maaf, ternyata akal-akalan doang biar dilihat baik.

“Aku udah minta maaf kok sama Bridgia. Iya, ‘kan, Mbak?” ujarnya dengan santun bin sopan.

Wew, sok hormat sekali dia!

Aku memasang wajah judes. “Ya gitu deh,” tanggapku cuek.

“Dianggap selesai, nggak?” tanya Inu aneh.

“Nggak tahu!” sahutku asal sambil menatap keduanya bergantian, “Kak, bisa nggak kalian langsung nikah gitu? Dan gangguan hidupku bisa selesai. Please, aku udah suka sama hidupku yang lama. Aku nggak minat nikah, apalagi sama kamu.”

“Tenang aja, aku juga nggak mau kok sama kamu,” jawab Inu sengit dan setengah memunculkan senyum usil di wajah Belva.

“Bagus!” timpalku emosi, “kalian udah cocok kok, sama-sama aneh!” cibirku lantas berlalu pergi.

Akhiri hari aneh ini sekarang juga Bridgia!

Aku nggak mau tahu apa latar belakang perjodohan ini. Sepenting apa buat mereka, yang jelas ini nggak penting buatku. Aku nggak minat sama cinta, apalagi dunia pernikahan. Bikin ruwet, mendingan kerja ajalah.

Aku menoleh sebentar, “jangan ganggu aku lagi!” tekanku kuat.

Bodo, mau jawab apa juga nggak peduli. Selamat tinggal kepelikan hidup! Makasih ya udah mengacau sebentar. Selamat datang hidupku yang nyaman! Pengen pulang, mandi, terus tidur.

Namun, sebuah suara menahan langkahku. Berasal dari dalam rumah dan itu bak petir menggelegar. “AKP Wirasanjaya Adikara, segera proses peristiwa siang ini. Romo tidak akan membiarkan kejadian kriminal terjadi di rumah ini!” teriak Pak Pras keras tanpa peduli perasaan cewek manja itu.

Tunggu, ada yang menarik hatiku lagi kali ini. Pak Pras berteriak keras dari dalam rumah, pada sebuah nama yang membuatku berpikir. AKP Wirasanjaya Adikara, siapa lagi itu?

“Itu nama kakaknya Inu, Mbak. Dia polisi yang tadi juga menolong Bridgia,” jelas Bu Nanda pelan pada Mami setelah mendekati posisiku berdiri.

“Romonya Inu tidak membiarkan sikap Belva semudah itu karena masuk ke ranah kriminal, menurut beliau,” lanjut Bu Nanda lagi.

Menurut kalian, gimana perasaanku sekarang? Gimana wajahku sekarang? Ya ampun bisa ya konflik hidup serumit ini? Aku cuma pengen tidur, istirahat besok kerja lagi. Kok malah terjebak di konflik rumit macam jaring laba-laba gini! Aarrhh, mimpi buruk yang sangat amat buruk-buruk!

---

“Aku kecewa sama kamu, Bel! Kenapa kamu bisa dorong Bridgia ke air? Kita itu lagi cari nama dan simpati, kamu rusak gitu aja!” gelontor Inu Adikara pada Belva.

Keduanya ada di dalam mobil, di tengah gerimis yang melanda senja. Setelah bertengkar sengit sejak siang di rumah Inu, akhirnya lelaki itu memutuskan mengantar Belvara pulang. Suasana keduanya tak lebih baik, wajah curam dan ungkapan kekecewaan terus mengalir.

Belva tertawa dingin. “Aku butuh bukti, siapa yang kamu pedulikan saat ada yang jatuh ke air. Aku atau dia? Dan terbukti, sekarang kamu marahin aku. Apa maksudmu, Nu? Kamu masih cinta sama dia, mantanmu itu?” ujar Belva memulai penghakiman.

Inu menatap Belva tak percaya. “Bel, kamu nih ngerti nggak sih kesalahanmu? Sadar nggak sama apa yang kamu perbuat? Seharusnya kamu baik-baikin diri di depan ibuku, malah makin kamu coreng semuanya!” sembur Inu tak tahan lagi.

“Aku udah nggak peduli sama imej. Berbuat sebaik apa pun, aku tetap jelek di mata mereka. Sekeras apa pun usahaku, mereka tetap nggak suka aku. Kesalahan nggak terletak di aku aja, Inu. Ternyata juga karena kamu udah dijodohin sama dia!” Belva makin meledak sambil membuang mukanya. Kali ini matanya mulai berlinang air.

“Tapi, kamu tahu aku, ‘kan? Aku nggak suka sama dia, Belva. Cuma kamu yang ingin kuperjuangkan. Berkali-kali kukatakan itu ke kamu,” tegas Inu menggebu-gebu. Saking emosinya dia menggebrak setir di depannya.

“Kemarin aku masih percaya, tapi sekarang nggak yakin setelah tahu dia siapa. Dia pernah ada di hatimu, ‘kan?” Belva memicingkan sebelah matanya. Rasa percayanya makin lenyap.

Inu mengacak rambutnya frustrasi. Niatnya tetap ingin memperbaiki situasi. Mungkin bujukan sekaligus sentuhan tangannya pada Belva kali ini berhasil. “Hubunganku dan dia dulu cuma hubungan asal, cinta-cinta monyet. Aku bahkan nggak tahu punya rasa apa nggak ke dia. Yang kurasakan cinta ya kamu, Bel.”

Belva menatap Inu lekat. Air matanya sudah diseka. Tatapannya bak orang yang tak berharga. “Tapi kenapa keluargamu menghalangi kita, Nu? Aku nggak kuat dipermalukan terus di sana. Papaku orang terhormat juga, bayangin kalau mereka tahu anaknya diginiin? Emang kamu kira mereka nggak murka?” tanyanya sarkastis.

“Maka dari itu, aku minta maaf, Belva. Situasi kita pun sama. Aku udah sering ngadep papamu dan di keluargamu aku juga sering nggak dianggap. Papamu juga sering bilang kalau kamu udah dijodohin sama mayor, yang pangkatnya masih jauh di atasku …,” curah Inu sambil menunduk. Namun, Belva kembali memotongnya.

“Jadi maksudmu, kita impas gitu? Sama-sama dipermalukan di masing-masing keluarga? Gitu?” sindir Belva dengan mata buram, air matanya penuh lagi.

Inu merengkuh kedua tangan putih Belva yang berhias kuteks merah. Kemudian lelaki itu mengelus anak rambut Belva yang berantakan. Tatapan Inu penuh kasih pada Belva yang tampak rapuh. Keduanya berada dalam masalah yang pelik. Hubungan indah mereka berubah menjadi mengerikan karena terganjal restu.

Inu mencium punggung tangan Belva. “Mari kita berjuang, Bel. Demi cinta kita dan restu, maukah?”

Belva meredakan tangisnya. “Aku capek, Nu. Capek!” keluhnya sambil memukuli lengan Inu.

Inu kembali menahan kedua tangannya. “Sebentar lagi saja, ya? Bertahanlah sedikit lagi,” mohonnya bernada sabar.

“Bahkan, sekarang romomu laporin aku ke polisi karena dituduh celakain Bridgia!” Suara Belva masih saja meninggi.

Inu tetap menjaga kedinginan sikapnya dengan tatapan penuh kasih itu. “Tenang aja, kamu ‘kan juga udah kasih pertolongan pertama sebagai dokter saat dia pingsan. Nanti aku bicara sama Bridgia, biar dia nggak asal kasih keterangan di kantor polisi,” bujuk Inu pelan.

Belva menatap Inu tajam kemudian menggeleng tegas. “Kamu nggak boleh ketemu dia, Nu. Aku nggak suka,” tahan Belva sambil melingkarkan tangan di tengkuk Inu.

Jelas Belva cemburu. Tak suka Inu dan Brie dekat kembali. Lebih baik menjalin kedekatan antara hatinya dan Inu yang mulai menjauh. Keduanya kemudian berpandangan lekat. Belva mulai ambil keberanian dengan mendekati wajah Inu.

Jarak wajah mereka dekat sekali, hingga terasa napas masing-masing. Di tengah kepelikan hubungan mereka, ada Belva yang merindukan kecupan manis Inu. Sudah lama mereka tak berkasih mesra karena masalah ini.

Belva mendekati telinga Inu dan berbisik, “kiss me, I miss you!” pinta Belva lembut.

Inu tak kuasa menatap wajah buram Belva yang minta disun sayang. Dia lelaki normal, tapi sekuat tenaga menjaga kontak fisik dengan kekasihnya. Prinsipnya ingin menjaga Belva sampai menikah. “Pipi aja, ya?”

Belva menggeleng tegas. “No, my lips, Inu! Please, selama ini kita cuma dua kali ciuman bibir. Kenapa sih?” tanya Belva aneh.

Wajah mereka masih berdekatan, bertukar hawa hangat dari napas masing-masing. Namun, pandangan mereka tak bersatu karena keraguan yang berkuasa. Belva yang ingin bermanja mesra, sedangkan Inu yang ingin menjaga kesucian kesayangannya itu.

“Nggak enak, Bel. Aku kayak lecehin kamu, karena kita belum nikah.” Akhirnya, Inu jujur tentang prinsipnya.

Namun, Belva kembali menyangkal, “udahlah, melecehkan apa sih! Lakukan, Nu. Aku kangen banget sama kamu,” pintanya lagi sambil menyentuh bibir bawah Inu dengan telunjuknya.

Bola mata Belva terus saja fokus pada bibir bawah Inu yang tampak menggiurkan. Belva terus mendesak Inu. Lelaki normal mana yang tak jadi amoral jika disuguhi hal semacam ini? Apalagi di tengah suasana mendukung, gerimis gelap dan senja. Bermesraan setelah bertengkar itu sungguh mendebarkan.

Serba salah, kalau nggak dikasih Inu dianggap nggak cinta dan masih memikirkan hal lain. Jika dikasih ciuman, Inu merasa melecehkan Belva. Merasa terlalu berani dan melanggar unggah-ungguh pemuda Jawa yang diusungnya selama ini.

Namun, sebagai lelaki sejati Inu tetap mengambil keputusan. Kekalutan batin Inu mereda saat dia memutuskan untuk mendekatkan wajahnya pada bibir Belva.

Kemudian sebuah getaran membuyarkan semuanya. Dirrrrttttt!

Awalnya Inu tak bergeming dan meneruskan pagutan mesranya pada bibir Belva, tapi kelamaan getaran itu mengganggunya. Pencium yang hebat itu berhenti sejenak dan mengeluarkan benda tipis dari sakunya. Tersisa wajah Belva yang kesal sembari membanting punggungnya pada jok mobil. Dua jemarinya mengusap bekas bibir Inu di bibirnya.

Inu menatap Belva sembari meredakan gemuruh napasnya. “Maaf, komandanku nelepon,” ucap Inu pelan sambil mengusap sisa lipstik Belva di bibirnya.

“Ya udah angkat,” suruh Belva dingin, sedikit sewot.

Inu menegakkan badannya. “Selamat malam Komandan, siap? Siap – siap, malam ini Komandan? Siap!” jawabnya tegas berulang kali.

Lelaki itu kemudian menutup teleponnya dan melirik Belva yang sedang menekuk wajah kesal. “Kita berpisah dulu, ya, Cinta? Aku harus balik ke kesatuan. Komandan mengumpulkan semua perwira untuk pengarahan,” jelas Inu sabar.

“Ya udah,” ucap Belva pendek. Wajahnya masih kaku.

“Kamu jangan marah dong!” bujuk Inu lembut.

Belva menatap Inu lekat. “Aku masih kangen sama kamu, Nu. Kok …,” keluhnya gantung.

“Ssttt,” Inu meletakkan jemarinya di bibir seksi yang baru dikecupnya itu, “aku harus balik ke status sebagai tentara, Cinta. Okay?”

Belva meredakan amarahnya seraya menghela napas dan tersenyum tipis. “Ya udah, jangan lupa call me, ya!”

Inu membuat sikap hormat. “Siap, Cinta!”

“Love you, Lettu Inu Adikara.”

“Me too, Dokter Belvara Angelica.”

Mobil dinyalakan. Keduanya dalam posisi siap beranjak dari tempat itu. Menanggalkan sejenak emosi dan amarah, memilih untuk menghindar seperti  biasa. Percakapan selesai. Pertengkaran usai. Entah untuk sementara atau selamanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status