"Kenapa baru sekarang?" Jeda sejenak, "Kenapa baru sekarang anda muncul dan mengaku sebagai ayah kandungku. Kemana saja anda selama ini?"
Naya duduk berhadapan dengan seorang laki-laki paru baya yang tidak dia kenal. Lelaki asing yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Saat ini, Perasaan Naya campur aduk. Ia marah tapi juga takut. Restoran tempat mereka bertemu saat ini terbilang cukup sepi, meski ada satu-dua pelanggan yang duduk tak jauh dari meja mereka.
Kalian tahu apa kesan pertama Naya ketika bertemu dengan Ayah kandungnya itu. Preman. Ya kata itu sangat tepat untuk menggambarkan sosok Toby-- nama orang itu. Perawakannya tinggi kekar lengkap dengan guratan tatto yang menghiasi hampir seluruh tubuhnya termasuk wajah. Ribuan tindik terpasang di lidah, hidung hingga telinga. Naya benar-benar takut dengan rupa lelaki di hadapann
Mood Naya seharian ini benar-benar buruk. Deaz menyadari hal tersebut. Setelah kembali dari rumah Tomi Sutedja, Naya jadi pribadi yang lebih banyak diam. Deaz tidak senang dengan hal tersebut. Melihat Naya yang biasanya bersikap manja, kekanakan dan cerewet, Tiba-tiba berubah jadi pendiam benar-benar bencana untuk rumah tangga mereka. Deaz melangkah menghampiri Naya yang duduk di kursi balkon kamar mereka. Lelaki itu memeluk Naya dari belakang, menjatuhkan kecupan di atas kepala cukup lama. Naya yang menyadari keberadaan suaminya itu tetap diam, fokus memandang ke depan. "Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan." Deaz memutar kursi yang Naya tempati menghadapnya, kemudian bersimpuh di depan gadis itu. "Deaz pasti jijik sama aku, Deaz pasti menyesal menikahiku, Deaz pasti malu setelah tahu bahwa aku ternyata anak seorang kriminal, Begitu kan?" &n
Naya bosan. Ya, rasanya jauh lebih menyenangkan tinggal di rumah ibu mertuanya karena Naya masih punya teman ketika ditinggal Deaz pergi bekerja seperti saat ini. Ini sudah lebih dari tiga puluh menit Naya menunggu Deaz di ruang tengah. Sudah berbagai macam hal, Naya lakukan untuk membunuh kebosanannya. Tapi suaminya itu belum juga pulang. Naya belum makan sejak tadi sore. Deaz sudah berjanji untuk segera pulang dan mengajak Naya makan di luar. Tapi, kenapa lelaki itu tidak juga tampak batang hidungnya. *** Deaz berulangkali melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Menyetir dengan gila-gilaan karena masih berada cukup jauh dari rumah. Tadi, sehabis pulang bekerja, Deaz memutuskan untuk pergi mencari makan malam agar sesampainya di rumah Naya tidak merasa kelaparan. Namun, sial beribu sial, Deaz sempat mengalami kendala karena ban mobilnya yang mendadak bocor. Alhasil, Deaz sibuk mengganti ban mob
"Setelah melarikan diri, ternyata di sini kamu malah selingkuh." "Bajingan!" Teriak Deaz kesal ketika melihat Tsania ditampar. Namun satu tonjokan langsung melayang di rahang Deaz ketika lelaki itu hendak bergerak maju. Dua lawan satu, jelas saja Deaz tidak bisa menyeimbangi kedua lelaki berbadan besar itu. Tubuh Deaz berulangkali di hajar hingga punggungnya membentur tembok. Sementara Tsania hanya bisa menangis dan menjerit, memohon pada suaminya untuk melepaskan Deaz. "Endru! Kumohon jangan! Lepaskan Deaz! Kumohon suruh kedua anak buahmu untuk berhenti." Brak! "Endru!" Kepala Deaz pening. Kepalanya baru saja menghantam meja namun lelaki itu masih bisa berdiri dan langsung membalas pukulan dua orang lelaki yang baru saja merusak ketampannya itu. Deaz marah bukan main. "Deaz! Kumohon Berhenti! Pergilah dari
Perlahan, kedua kaki Naya bergerak mundur, tidak jadi masuk kedalam. Dadanya sesak. Naya tidak sanggup membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam sana. Kedua matanya terasa sangat panas, meski di lubuk hati kecilnya, Naya masih menaruh kepercayaan pada Deaz. Deaz tidak mungkin selingkuh. Deaz tidak mungkin berkhianat. Deaz tidak mungkin... "Akh!" Naya memekik, hampir saja tubuhnya akan terjatuh ketika gadis itu ingin berlari pergi dari sana, jika saja kedua tangan kokoh seseorang tidak dengan sigap menahannya. "Sayang?" Naya mengangkat pandangannya dan terkejut. "De-deaz?" "Kamu, ngapain disini?" "Itu ... kamu, kenapa kamu ...." "Bang! Tsania mau lahiran ini!" Teriakan itu, langsung mengalihkan perhatian Deaz dan Naya secara bersamaan. &nbs
"Kenapa lama?" Naya kembali duduk di kursinya usai dari kamar mandi. Gadis itu tersenyum tipis ke arah Deaz. "Maaf. Tadi BAB." "Tapi kamu gak papa kan?" Deaz bertanya dengan mimik wajah khawatir. "Enggak kok." "Serius, Nay?" "Iya, aku serius." Deaz mengangguk, meski masih menatap ke arah Naya dengan seksama. Dihadapannya, Naya mulai kembali menikmati makanannya yang tadi sempat tertunda, namun entah kenapa Deaz merasa Naya menyembunyikan sesuatu darinya. Sementara Naya diam-diam kembali memikirkan pertemuannya dengan lelaki asing di depan toilet tadi. "Apakah, kita saling mengenal?" "Saya suami Tsania." Naya terbelalak mendengar informasi tersebut. Langkah kedua kakinya terayun mundur. Senyum ramah yang Endru pasang sedari tadi pun p
"Hai." Naya mengangguk singkat membalas sapaan itu. Gadis itu segera duduk di kursi restoran yang berseberangan dengan tempat duduk Endru. "Maaf, karena telah mengganggu waktumu dengan memintamu datang kemari." "Ada apa?" Tanya Naya to the point. Endru kemudian meletakkan sebuah amplop di atas meja, membuat Naya mengernyitkan kening melihat itu. Endru kemudian menjelaskan.. "Itu riwayat kesehatan milik saya. Saya penderita ...." "Borderline personality disorder. Ya, aku sudah tahu." Endru menaikkan satu alisnya tinggi-tinggi. "Dari Tsania?" Naya mengangguk. "Ya. Endru menghela napas berat, kepalanya tertunduk. Naya menatap dalam diam lelaki di hadapannya itu. "Saya tidak akan menceraikan Tsania." "Saya sangat m
Air mata Naya terus mengalir turun. Gadis itu berulangkali mengusapnya namun tidak mau berhenti juga. Sopir taksi sampai heran melihat wanita hamil yang duduk di belakang itu. Naya menatap keluar jendela, membiarkan angin menyapa wajahnya yang memerah karena terus menangis. Cukup lama perjalanan dari bengkel ke rumah Tomi Sutedja, akhirnya taksi pun berhenti tepat di depan gerbang besar rumah mewah itu. Naya segera turun tanpa membayar uang taksi terlebih dahulu, seorang satpam yang membukakan gerbang yang akan membayar tagihan untuk cucu kesayangan Tomi Sutedja. Naya kemudian melangkah masuk kedalam rumah karena pintunya memang tidak di tutup. Naya melangkah cepat ke arah ruang tamu, samar-samar terdengar suara percakapan dari sana sambil menahan perut besarnya dengan tangan kanan. Dan begitu melihat Tomi Sutedja yang duduk di sofa panjang ruang tamu, Naya langsung be
1 MINGGU KEMUDIAN. Paris, Perancis. Naya terbangun dari tidurnya saat mendengar suara bel rumah yang terdengar. Perempuan itu kemudian keluar dari kamarnya, melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Hai, apa aku mengganggu?" "Lumayan, aku baru saja bangun." "Oh. Maaf kalau begitu," kata Shawn, sambil menggaruk belakang lehernya. Naya tertawa renyah melihat tingkah lelaki itu. "Bercanda." Shawn mengangguk, kemudian mengulurkan sesuatu yang dia bawa untuk Naya. "Untukmu." "Wah. Aku merepotkan lagi." "Tidak masalah. Aku senang di repotkan." "Mau masuk?" Tawar Naya. "Ah itu, sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar. Bagaimana?" Naya terdiam, tampak menimang.