Share

BAB 3

“ID nya hilang apa ketinggalan?” tanya Riyan.

“Sssttt! Jangan keras-keras, nanti kalo kedengaran senior terus aku dimarahin gimana?” bisik Hanum sambil mencondongkan kepalanya ke arah Riyan. Meja mereka kebetulan bersebelahan, jadi mudah bagi Hanum untuk melancarkan aksinya.

“Jadi, hilang apa ketinggalan?” bisik Riyan mengikuti perintah Hanum.

“Tidak tahu!” jawab Hanum masih dengan nada rendahnya. Ekspresi kebingungan jelas tercetak di wajahnya.

“Kok bisa tidak tahu?” cecar Riyan.

“Kalian berdua sedang mendiskusikan apa?” tanya Azila, staff senior dari tim 3.

Meskipun mereka berbisik, namun kenyataanya percakapan mereka masih bisa di dengar oleh seluruh orang yang ada di ruangan ini. Ruangan ini awalnya hening, sehening ibarat saat jarum jatuh pun bisa terdengar, apalagi suara bisik-bisik yang berasal dari percakapan dua manusia ini.

“Ini, Kak! Kartu identitasnya Hanum ketinggalan,” jawab Riyan yang langsung mendapat cubitan dan pelototan mata dari Hanum.

Wah! Kurang ajar si Riyan!

Hanum tersenyum canggung. “Hehe … iya, Kak. Kartunya ketinggalan. Tadi saya buru-buru harus ke rumah sakit dulu soalnya.” Hanum tidak bisa menyembunyikan wajah panik sekaligus takutnya. Masalahnya, dia ini karyawan magang yang baru bekerja tiga hari, tapi sudah banyak membuat kesan negatif. Hanum takut itu akan mempengaruhi masa depan pekerjaannya.

“Oh, tinggal ke bagian oprasional sih. Minta saja yang baru, nanti pasti langsung dibuatkan, meski harus diomelin dulu. Biasanya sih begitu,” kata Azila yang tanpa sadar membuat Hanum susah payah menelan ludahnya. Mudah katanya? Tapi harus dimarahin dulu? Nyali Hanum langsung menciut.

“Kamu mau ke bagian General Affairs? Sekalian nitip, tolong beritahukan bagian pengadaan barang kalau komputer tim 3 punya Kak Titan kemarin rusak. Perlu diganti layar monitornya,” pesan Jasmine.

“Kenapa bukan Kak Titan langsung yang bilang kalau beneran rusak?” tanya Azila skeptis.

“Kak Titan kan sibuk, aku sebagai rekan tim yang baik harus membantunya dong!”

“Halah, modus! Bilang aja cari perhatian,” cibir Azila tak suka dengan sikap rekannya yang selalu mencoba menarik perhatian Titan Si Cowok Paling Tampan di divisi marketing tim 3.

“Apa?!”

“A-anu … Kakak-kakak sekalian, gedung General Affairs ada di lantai berapa, ya?” cicit Hanum. Dia sebenarnya tidak ingin menyela perdebatan dan adu mulut antara seniornya ini, tapi dia memang tidak tahu di lantai berapa tempat divisi oprasional berada.

“Kamu belum hapal tata letak perusahaan kita?” Jasmine memutar kursinya dan menatap Hanum dengan tatapan tidak percaya.

“Ya wajar sih, dia kan baru kerja di sini tiga harian, iya kan?” Azila membantu menerangkan pada Jasmine.

“Benar, Kak. Jadi, di lantai berapa ya?”

“Lantai 3,” lirih Riyan.

Hanum langsung menengok ke arah Riyan dengan tatapan sengitnya. “Kenapa nggak ngomong dari tadi kalau kamu tahu?!” kesal Hanum.

“Ya kamu tidak tanya. Wajar kalo aku tidak menjawab, kan?”

“…,” Hanum hanya bisa menghela napas lelah. Rekannya ini benar-benar tidak bisa diandalkan. Sama sekali tidak membantunya membuat kesan baik di depan para seniornya. “Nah, itu Riyan tahu. Atau Riyan saja, Kak?” kata Hanum. Dia mencoba untuk mengurangi tugasnya yang sudah menggunung.

“Aku ngapain?” tanya Riyan kebingungan.

“Kamu yang menggantikan aku pergi ke gedung oprasional. Aku kan harus pergi memfotokopi.”

“Tapi buat ke tempat fotokopi kamu juga perlu kartu identitas, kan?”

“Oh, iya! Hehe ….”

Riyan hanya menggeleng lemah dengan kepolosan Hanum. Wanita yang satu ini cantik, tapi sayangnya otaknya sepertinya tidak bisa bekerja dengan cepat alias telmi.

“Ayo cepat-cepat, tiga puluh menit lagi kita rapat,” tegur Stefani untuk mengembalikan fokus para bawahannya.

Baru saja Stefani berbicara, tiba-tiba Titan masuk dan membawa kabar yang sangat mengejutkan bagi semua orang.

“Tim! Rapat nanti akan dihadiri langsung oleh Direktur!” teriak Titan yang langsung membuat Staff tim 3 merinding ketakutan.

“Ayo, persiapannya dicek lagi. Jangan sampai ada kesalahan. Bisa gawat kalau ada kekurangn meski secuil kotoran kuku!” Stefani berdiri dan memberi semangat pada tim 3.

Sementara itu Hanum kebingungan melihat tingkah para seniornya. Tapi ia tidak terlalu ambil pusing karena tugas di depannya yang menggunung sudah menanti.

Pertama-tama yang harus dia lakukan adalah pergi ke gedung oprasional untuk mengambil kartu akses sementara dan untuk melaporkan bahwa komputer milik seniornya harus segera diperbaiki.

Hanum keluar dan berjalan ke arah lift. Kemudian dia masuk dan menekan tombol lantai 3. Kantornya sendiri berada di lantai 25, jadi perjalanannya tidak terlalu lama.

Saat pintu lift terbuka, dia langsung membatu. Lalu semburat merah jambu muncul di pipi halusnya. Dia bertemu seseorang dan sosok inilah yang membuatnya belajar mati-matian agar mendapat nilai bagus dan bisa bekerja di perusahaan besar ini.

Orang itu adalah Kevin. Dia adalah kekasihnya. Kasih yang sudah terjalin kurang lebih selama 3 tahun. Kevin adalah penyemangat hidupnya, sumber kekuatannya dan bagi Hanum  orang terpenting di hidupna selain nenek dan adik laki-lakinya adalah Kevin.

Untung saja di dalam lift tidak ada orang lain selain mereka. Jadi Hanum dengan aktif menyapa Kevin terlebih dahulu.

“Sayang!” Hanum memanggil Kevin dengan sebutan sayangnya. Namun sayangnya, bukan sapaan balik yang Hanum terima, melainkan tatapan keterkejutan dan ketakutan dari Kevin.

“Kok kamu ada di sini?” tanya Kevin dengan jelas memperlihatkan wajah terkejutnya.

“Iya! Aku bekerja di sini. Kamu belum tahu? Padahal aku sudah kirim pesan. Kamu juga tidak mengangkat panggilan teleponku!” Hana merajuk dan bertingkah manja di depan Kevin.

Mendengar penuturan Hanum, Kevin yang berdiri sengaja berjauhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dari gelagatnya terlihat aneh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dan seperti merasa bersalah karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan.

“Maaf, aku sibuk banget. Jadi tidak sempat membuka pesan atau menjawab panggilan,” elak Kevin. Jujur saja, Kevin belum tahu kalau Hanum berhasil masuk dan bekerja di perusahaan ini. Sebuah kejutan besar bertemu dengan Hanum di lift.

“Oke! Tidak apa-apa. Tapi kenapa kamu berdiri berjauhan?” tanya Hanum dengan polosnya.

“Lihat, ada kamera pengawas. Kamu mau berpelukan dan dilihat oleh para petugas keamanan? Tidak mungkin, kan?” Kevin tersenyum samar.

“Lalu kenapa kamu tidak pernah mencoba menghubungiku lebih dulu dalam dua bulan ini? Sesibuk itukah? Aku rasa tidak.” Hanum menunduk mencoba menyembunyikan wajah sedihnya. Sudah dua bulan lebih komunikasi antara mereka berdua tidak lancar. Hana lah yang  harus selalu menghubungi terlebih dahulu dan itupun mendapat balasan yang jarang. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia memiliki tebakan lain di hatinya.

“Aku benar-benar sibuk. Jangan terlalu memikirkan hal yang tidak perlu dan jangan khawatir.” Kevin menepuk puncak kepala Hana dan dengan lembut mengusapnya sebentar. “Jangan pasang wajah cemberut seperti itu. Maafkan aku, lain kali aku akan menghubungimu lebih dulu. Juga, tolong rahasiakan hubungan kita. Ada peraturan kalau dilarang memiliki hubungan di sesama departemen. Kamu tidak mau kan kalau salah satu dari kita harus keluar dari perusahaan ini?”

“Hm ….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status