“ID nya hilang apa ketinggalan?” tanya Riyan.
“Sssttt! Jangan keras-keras, nanti kalo kedengaran senior terus aku dimarahin gimana?” bisik Hanum sambil mencondongkan kepalanya ke arah Riyan. Meja mereka kebetulan bersebelahan, jadi mudah bagi Hanum untuk melancarkan aksinya.
“Jadi, hilang apa ketinggalan?” bisik Riyan mengikuti perintah Hanum.
“Tidak tahu!” jawab Hanum masih dengan nada rendahnya. Ekspresi kebingungan jelas tercetak di wajahnya.
“Kok bisa tidak tahu?” cecar Riyan.
“Kalian berdua sedang mendiskusikan apa?” tanya Azila, staff senior dari tim 3.
Meskipun mereka berbisik, namun kenyataanya percakapan mereka masih bisa di dengar oleh seluruh orang yang ada di ruangan ini. Ruangan ini awalnya hening, sehening ibarat saat jarum jatuh pun bisa terdengar, apalagi suara bisik-bisik yang berasal dari percakapan dua manusia ini.
“Ini, Kak! Kartu identitasnya Hanum ketinggalan,” jawab Riyan yang langsung mendapat cubitan dan pelototan mata dari Hanum.
Wah! Kurang ajar si Riyan!
Hanum tersenyum canggung. “Hehe … iya, Kak. Kartunya ketinggalan. Tadi saya buru-buru harus ke rumah sakit dulu soalnya.” Hanum tidak bisa menyembunyikan wajah panik sekaligus takutnya. Masalahnya, dia ini karyawan magang yang baru bekerja tiga hari, tapi sudah banyak membuat kesan negatif. Hanum takut itu akan mempengaruhi masa depan pekerjaannya.
“Oh, tinggal ke bagian oprasional sih. Minta saja yang baru, nanti pasti langsung dibuatkan, meski harus diomelin dulu. Biasanya sih begitu,” kata Azila yang tanpa sadar membuat Hanum susah payah menelan ludahnya. Mudah katanya? Tapi harus dimarahin dulu? Nyali Hanum langsung menciut.
“Kamu mau ke bagian General Affairs? Sekalian nitip, tolong beritahukan bagian pengadaan barang kalau komputer tim 3 punya Kak Titan kemarin rusak. Perlu diganti layar monitornya,” pesan Jasmine.
“Kenapa bukan Kak Titan langsung yang bilang kalau beneran rusak?” tanya Azila skeptis.
“Kak Titan kan sibuk, aku sebagai rekan tim yang baik harus membantunya dong!”
“Halah, modus! Bilang aja cari perhatian,” cibir Azila tak suka dengan sikap rekannya yang selalu mencoba menarik perhatian Titan Si Cowok Paling Tampan di divisi marketing tim 3.
“Apa?!”
“A-anu … Kakak-kakak sekalian, gedung General Affairs ada di lantai berapa, ya?” cicit Hanum. Dia sebenarnya tidak ingin menyela perdebatan dan adu mulut antara seniornya ini, tapi dia memang tidak tahu di lantai berapa tempat divisi oprasional berada.
“Kamu belum hapal tata letak perusahaan kita?” Jasmine memutar kursinya dan menatap Hanum dengan tatapan tidak percaya.
“Ya wajar sih, dia kan baru kerja di sini tiga harian, iya kan?” Azila membantu menerangkan pada Jasmine.
“Benar, Kak. Jadi, di lantai berapa ya?”
“Lantai 3,” lirih Riyan.
Hanum langsung menengok ke arah Riyan dengan tatapan sengitnya. “Kenapa nggak ngomong dari tadi kalau kamu tahu?!” kesal Hanum.
“Ya kamu tidak tanya. Wajar kalo aku tidak menjawab, kan?”
“…,” Hanum hanya bisa menghela napas lelah. Rekannya ini benar-benar tidak bisa diandalkan. Sama sekali tidak membantunya membuat kesan baik di depan para seniornya. “Nah, itu Riyan tahu. Atau Riyan saja, Kak?” kata Hanum. Dia mencoba untuk mengurangi tugasnya yang sudah menggunung.
“Aku ngapain?” tanya Riyan kebingungan.
“Kamu yang menggantikan aku pergi ke gedung oprasional. Aku kan harus pergi memfotokopi.”
“Tapi buat ke tempat fotokopi kamu juga perlu kartu identitas, kan?”
“Oh, iya! Hehe ….”
Riyan hanya menggeleng lemah dengan kepolosan Hanum. Wanita yang satu ini cantik, tapi sayangnya otaknya sepertinya tidak bisa bekerja dengan cepat alias telmi.
“Ayo cepat-cepat, tiga puluh menit lagi kita rapat,” tegur Stefani untuk mengembalikan fokus para bawahannya.
Baru saja Stefani berbicara, tiba-tiba Titan masuk dan membawa kabar yang sangat mengejutkan bagi semua orang.
“Tim! Rapat nanti akan dihadiri langsung oleh Direktur!” teriak Titan yang langsung membuat Staff tim 3 merinding ketakutan.
“Ayo, persiapannya dicek lagi. Jangan sampai ada kesalahan. Bisa gawat kalau ada kekurangn meski secuil kotoran kuku!” Stefani berdiri dan memberi semangat pada tim 3.
Sementara itu Hanum kebingungan melihat tingkah para seniornya. Tapi ia tidak terlalu ambil pusing karena tugas di depannya yang menggunung sudah menanti.
Pertama-tama yang harus dia lakukan adalah pergi ke gedung oprasional untuk mengambil kartu akses sementara dan untuk melaporkan bahwa komputer milik seniornya harus segera diperbaiki.
Hanum keluar dan berjalan ke arah lift. Kemudian dia masuk dan menekan tombol lantai 3. Kantornya sendiri berada di lantai 25, jadi perjalanannya tidak terlalu lama.
Saat pintu lift terbuka, dia langsung membatu. Lalu semburat merah jambu muncul di pipi halusnya. Dia bertemu seseorang dan sosok inilah yang membuatnya belajar mati-matian agar mendapat nilai bagus dan bisa bekerja di perusahaan besar ini.
Orang itu adalah Kevin. Dia adalah kekasihnya. Kasih yang sudah terjalin kurang lebih selama 3 tahun. Kevin adalah penyemangat hidupnya, sumber kekuatannya dan bagi Hanum orang terpenting di hidupna selain nenek dan adik laki-lakinya adalah Kevin.
Untung saja di dalam lift tidak ada orang lain selain mereka. Jadi Hanum dengan aktif menyapa Kevin terlebih dahulu.
“Sayang!” Hanum memanggil Kevin dengan sebutan sayangnya. Namun sayangnya, bukan sapaan balik yang Hanum terima, melainkan tatapan keterkejutan dan ketakutan dari Kevin.
“Kok kamu ada di sini?” tanya Kevin dengan jelas memperlihatkan wajah terkejutnya.
“Iya! Aku bekerja di sini. Kamu belum tahu? Padahal aku sudah kirim pesan. Kamu juga tidak mengangkat panggilan teleponku!” Hana merajuk dan bertingkah manja di depan Kevin.
Mendengar penuturan Hanum, Kevin yang berdiri sengaja berjauhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dari gelagatnya terlihat aneh, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dan seperti merasa bersalah karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dia lakukan.
“Maaf, aku sibuk banget. Jadi tidak sempat membuka pesan atau menjawab panggilan,” elak Kevin. Jujur saja, Kevin belum tahu kalau Hanum berhasil masuk dan bekerja di perusahaan ini. Sebuah kejutan besar bertemu dengan Hanum di lift.
“Oke! Tidak apa-apa. Tapi kenapa kamu berdiri berjauhan?” tanya Hanum dengan polosnya.
“Lihat, ada kamera pengawas. Kamu mau berpelukan dan dilihat oleh para petugas keamanan? Tidak mungkin, kan?” Kevin tersenyum samar.
“Lalu kenapa kamu tidak pernah mencoba menghubungiku lebih dulu dalam dua bulan ini? Sesibuk itukah? Aku rasa tidak.” Hanum menunduk mencoba menyembunyikan wajah sedihnya. Sudah dua bulan lebih komunikasi antara mereka berdua tidak lancar. Hana lah yang harus selalu menghubungi terlebih dahulu dan itupun mendapat balasan yang jarang. Dia tidak tahu kenapa, tapi dia memiliki tebakan lain di hatinya.
“Aku benar-benar sibuk. Jangan terlalu memikirkan hal yang tidak perlu dan jangan khawatir.” Kevin menepuk puncak kepala Hana dan dengan lembut mengusapnya sebentar. “Jangan pasang wajah cemberut seperti itu. Maafkan aku, lain kali aku akan menghubungimu lebih dulu. Juga, tolong rahasiakan hubungan kita. Ada peraturan kalau dilarang memiliki hubungan di sesama departemen. Kamu tidak mau kan kalau salah satu dari kita harus keluar dari perusahaan ini?”
“Hm ….”
Tapi bukan Hanum namanya jika dia menyerah begitu saja. Dia kembali mencoba membujuk Ariana.“Dengarkan kami dulu, Kak-““Saya bilang pergi! Dengar tidak, sih?”“Saya akan membantu Kak Ariana untuk mencari kalungnya!” ucap Hanum cepat dalam sekali hembusan napas.“Kalung?”Hanum menganggukan kepalanya seperti ayam yang sedang mematuki makanannya.“Kau mendengar perkataanku tadi?”Hanum kembali menganggukan kepalanya tidak sadar bahwa pertanyaannya adalah sebuah jebakan. Ariana bangkit dan perlahan berjalan ke arah Hanum. Sedangkan Hanum hanya berdiri di tempatnya tidak tahu apa yang akan Ariana lakukan.Ariana mendekat ke arah Hanum dan membisikan kata, “Rahasiakan kejadian barusan. Atau kamu akan mendapat masalah jika menyebarkannya. Apa kamu juga ikut melihatnya?” Kini Ariana beralih ke Riyan. Riyan juga menganggukan kepalanya membenarkan perkataan Ariana.“Aku tidak takut dengan ancaman seperti ini. Jadi, daripada membuang-buang waktu untuk menyebarkan perlakuanku barusan. Mending
“Natapnya biasa aja kali,” protes Hanum saat melihat Riyan tak kunjung menyudahi ekspesi kagetnya serta mulutnya yang masih ternganga lebar.“Ini serius?” Riyan masih tidak percaya. Pasalnya, image yang dibangun perusahaan selama ini adalah Ariana yang sangat anggun dan murah senyum serta baik hati.“Serius! Coba aja tuh lihat sendiri.”“Mana?” Yang Riyan lihat adalah sosok Ariana yang sedang duduk dengan nyaman sambil bersedekap.“Ariana lagi duduk?” tanya Riyan lagi.“Bukan! Coba lihat ekspresinya.”“Tidak kelihatan. Mataku kan minus.”Hanum menepuk dahinya cukup keras hingga meninggalkan bekas merah, “Ya Tuhan. Pantesan.”“Ayo samperin,” ajak Riyan yang kini mulai berdiri dan bersiap untuk menghampiri Ariana. Tapi sebelum sempat melangkah, kakinya tertahan oleh suara keras yang ia dengar dari arah Ariana.“Belum ketemu juga? Gimana sih? Pokoknya harus dicari sampai ketemu!” tanya Ariana dengan nada tinggi.“Lapor Ariana, semua set dan staff sudah selesai menyiapkan keperluan pemotr
“Aww!”Hanum tersandung properti yang menghalangi jalan. Sebenarnya yang Hanum lewati itu bukan jalan luas, melainkan tempat seperti gudang yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan alat-alat syuting. Areanya cukup berdebu dan setiap kali Hanum menginjakan kakinya, pasti akan menimbulkan kepulan debu yang berterbrangan.Logika Hanum mengatakan bahwa jika Ariana tidak terlihat di set pemotretan, maka satu-satunya tempat yang menjadi tujuan adalah ruangan make up Ariana. Berhubung Hanum tidak hapal dan tidak tahu letak ruangannya, jadilah dia acak berjalan. Dia berniat akan bertanya pada seseorang jika dia bertemu salah satu kru pemotretan nanti.PLAKK!Hanum tidak percaya dengan apa yang barusan ia lihat dan dengar. Dia terus berdiri di tempatnya saat ini dan tidak bisa berkata-kata.“Sudah berapa kali aku bilang kalau kalung itu sangat penting. Kenapa hilang?” teriak Ariana pada salah satu asisten yang bertugas mendampingi Ariana.Barusan ia menampar wajah salah satu asistennya. Arian
Hanum dan Riyan kembali mengunjungi kantor agensi Ariana. Kali ini mereka langsung menghubungi manajer Ariana di lobi. Tak lama kemudian manajer Ariana datang dengan tampang kecutnya. Sepertinya manajer Ariana sedang dalam suasana hati yang tidak mengenakan dan hal itu membuat Hanum sedikit ragu. Dia takut akan membuat misi kali ini kembali gagal.“Jadi bagaimana? Apa direktur kalian setuju untuk bertemu dengan Ariana,” tanya Lala langsung tanpa basa-basi. Dan mereka masih berdiri di lobi kantor membuat mereka dilihat oleh orang-orang yang lewat. Mereka bahkan tidak disuruh untuk duduk di suatu ruangan. Sikap ini sedikit membuat Hanum kecewa terhadap perlakuan dari karyawan agensi Ariana ini.“Eum … jadi begini … tujuan kami datang adalah untuk menegosiasikan persyaratannya kembali.” Hanum berbicara langsung pada intinya.Hanum melihat perubahan wajah Lala yang sudah terlihat seolah tidak senang dengan kedatangan mereka menjadi tambah terlihat dingin.“Kalau begitu kalian bisa pergi d
“Azila, kamu ada masalah apa, sih sama kita berdua? Kayaknya kok sinis banget. Ini tuh tugas bersama. Bukan cuma aku dan Riyan,” jawab Hanum yang membuat suasana tambah runyam.“Tapi kan ini kemarin ditugaskan ke kamu,” jawab Azila dengan tampang tidak berdosanya.“Ini tugas bersama. Kemarin kita serahkan ke Hanum dan Riyan karena kami pikir pekerjaan ini mudah. Tapi ternyata malah diluar dugaan. Begitu sulit. Malah kalau sebenarnya ini harus dikerjakan sama senior,” kata Stefani yang langsung membuat Azila bungkam seribu Bahasa.“Tapi kan-““Sudah. Jangan dibahas. Sekarang kita fokus memikirkan jalan keluarnya bersama-sama,” kata Geo memotong pembicaraan Azila. Dia harus melakukan ini supaya tidak ada lagi pertengkaran di dalam tim tiga marketing. “Jalan satu-satunya ya kita minta tolong sama Pak Abian,” kata Riyan sesuai fakta tapi membuat rekan-rekannya diam dan tidak tahu harus merespon seperti apa. Memang benar mereka harus meminta bantuan pada Abian, itu memang syarat yang Aria
“Apa benar-benar tidak bisa dilakukan dalam waktu sembilan hari?”Jelas tidak! Ingin rasanya orang-orang di divisi marketing berteriak dan memaki Abian. Mereka ingin Abian sendiri mencoba merampungkan proyek di waktu yang sangat singkat ini.“Tidak, Pak. Kami memerlukan waktu setidaknya satu bulan paling cepat.” Bagi divisi marketing, Kevin ini sudah seperti pahlawan yang melawan penjahat terberat bagi mereka.“Baiklah. Saya beri kalian waktu satu bulan yang berarti ini sama saja dengan bukan proyek hadiah ulang tahun ibuku.” Abian memutuskan untuk mengikuti apa kata para bawahannya. Padahal, jika itu dirinya, dia yakin bisa menyelesaikan dalam waktu sembilan hari. Jelas, mereka berbeda level dalam bekerja dan ketepatan waktu. Abian ini seperti tidak menyadari kalau dirinya itu berbeda dengan para karyawannya yang jelas tidak memiliki relasi seluas Abian yang dapat mempermudah segala urusan dan pekerjaannya. Abian nampak kecewa, namun pertemuan rutin tahunan itu selesai dengan tambah