Bab 5 Rindu Itu Berat
Usai sejenak celingak-celinguk di sana, dan tidak mendapati siapa-siapa, Bram hanya mampu mengkerutkan keningnya. "Kok dia tahu, ya, kalau aku mengantarkan Mbak Anes pulang? Jangan-jangan dia masih di rumahku. Ah, shit!" gumamnya. Pemuda lajang yang kini sedang bermain hati dengan teman sekerjanya yang usianya dua kali lipat dari usianya itu, gegas menyalakan mobilnya, lalu putar balik menuju rumahnya yang berada di gang sebelah perumahan yang sama dengan Anes. Di sepanjang perjalanannya pulang yang hanya beberapa menit itu, bunyi jantung Bram seperti genderang mau perang. "Ish ... nyebelin sekali. Mengganggu suasana hatiku saja." Bram memukul pelan kemudinya, saat tiba-tiba suasana hatinya jadi kacau. Hujan telah reda. Dia sengaja berdiam sejenak di dalam mobilnya yang sudah terparkir di garasi rumahnya. Tak berapa lama kemudian, terlihat Bu Mira ibunya Bram keluar dari balik pintu garasi rumah yang terhubung ke dapur rumahnya. "Loh ... Bram. Kok, masih duduk berdiam diri di dalam mobil?" tanyanya. "Eh, Ibu. Assalamualaikum, Bu," sapa Bram seraya mengulurkan tangannya lalu mencium punggung tangan Bu Mira dengan takzim. "Waalaikumsalam. Buruan masuk." "Emang kenapa, Bu? Ada yang menunggu Bram?" "Tidak ada, sih. Cuma ... itu pakaianmu agak basah. Buruan mandi Ibu buatkan kopi." Huh! Terdengar Bram menghela napas lega. "Emang kenapa? Berharap ada yang menunggu? Oh ... tadi siang Ana ke rumah. Karena pas jam istirahat, Ibu suruh mengantarkan makan siang sekalian ke kantormu. Emang tidak ketemu apa?" "Ketemu, sih. Tapi sayang, saat Ana datang Bram udah keburu makan siang." "Jadi?" "Bekal yang Ibu kirim, Bram kasihkan Pak Satpam. Sayang mubazir. Lalu sekarang Ana di mana?" "Baru saja pulang, setelah beberapa saat hujan reda. Emang nggak ketemu sama kamu di jalan? Padahal baru saja loh." "Nggak, sih," ucap Bram seraya mengedikkan bahunya lalu berjalan mengekori Bu Mira menuju ke dapur. 'Pantes dia WA menanyakan mengapa aku berlama-lama di depan rumah Mbak Anes. Ternyata pas dia WA melihatku ada di sana,' ucap batin Bram. Bram mengusap wajahnya dengan kasar seraya menyeruput kopi panas yang baru saja dibuatkan oleh Bu Mira. Usai menyeruput beberapa teguk, laki-laki muda itu gegas melepas kancing kemejanya satu per satu, seraya berjalan menuju ke kamarnya. Dilepasnya kemeja biru muda yang dia kenakan, lalu digantungnya di balik pintu. Huh! Bram menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk. Sejenak laki-laki muda dengan rahang kokoh, dan rambut cepak itu memejamkan matanya. Kedua tangannya dia lipat di belakang kepala. Terlihat berulang kali dia hembuskan napasnya dengan kasar. "Maafkan Mas, An. Mas mencintaimu, tapi Mas juga menyukai Mbak Anes. Sebenarnya Mas hanya mengaguminya. Tapi entah mengapa semakin ke sini, Mas semakin nyaman dengannya." Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu di kamar Bram, tiba-tiba membangunkan Bram dari lamunannya. "Bram ... buruan mandi. Sudah Ibu siapkan air panasnya. Ibu takut kamu masuk angin." "Ya, Bu." Bram menjawab singkat ajakan ibunya. Perlahan dia membuka mata. Netranya menyapu ke langit-langit kamarnya. Dengan malas, laki-laki muda itu bangkit dari pembaringannya, lalu meraih handuk yang berada di balik pintu kamarnya. Sebelum dia keluar dari kamarnya, Bram melepas celana kerjanya lalu menggantinya dengan celana kolor pendek. Dengan langkah gontai, Bram berjalan menuju kamar mandi yang berada di luar kamarnya. Tepatnya yang berada di samping dapur. *** Sementara itu, Anes yang sangat marah dengan kelakuan Bram hari ini, gegas masuk ke dalam rumah. Dengan pakaian yang sedikit basah, karena saat keluar dari mobil Bram, hujan masih belum reda, wanita itu langsung menuju ke kamar mandi yang berada di sampimg dapur rumahnya. Terdengar bunyi gemercik dari dalam kamar mandi, untuk beberapa saat. Sementara itu, Brian anak Anes yang seumuran dengan Bram duduk dengan Mbak Tari di ruang keluarga. Brian sudah stand by dengan kesibukannya mengotak-atik desain karena dia bekerja sebagai desain grafis di perusahaan jasa desain. Sedangkan Mbak Tari menemanibya dengan menonton drama korea kesukaannya. Mbak Tari asisten rumah tangga Anes, yang hanya pulang kampung seminggu sekali di akhir pekan itu, gegas bangkit dari duduknya menuju ke dapur hendak membuatkan teh panas, saat mengetahui majikannya telah pulang. Dari kamar mandi luar, tubuh Anes yang hanya dibalut handuk kimono tampak menggigil kedinginan. Melihat ibunya masuk begitu saja ke dalam kamarnya, Brian dan Mbak Tari saling pandang. "Ibu kenapa, Bude?" tanya Brian. "Tahu!" jawab Mbak Tari sambil mengedikkan kedua bahunya. Di kamarnya, Anes gegas mengganti handuk kimononya dengan piyama. Wanita itu menyisir rambutnya yang tergerai basah sebahu. Ditatapnya bayangan wajahnya di pantulan cermin meja riasnya. Wanita paruh baya yang masih sangat terlihat energik itu, menggigit bibir bawahnya. Dia raba bibir merahnya yang hari ini telah dua kali dicium oleh Bram, dan pipinya yang sekali dicium oleh Bram. "Ish ... Bram. Kamu benar-benar, ya," lirihnya. Anes memejamkan matanya sejenak. Sensasi pagutan dari bibir Bram masih begitu terasa. Wanita itu tak habis pikir. Laki-laki yang umurnya masih separuh dari umurnya itu, entah mengapa menjadi segila itu. "Dunia ini benar-benar sudah edyan. Anak kemarin sore berani sekali menggoda wanita yang sebenarnya cocok sebagai ibunya." Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu kamarnya, membangunkan Anes dari lamunannya. "Ya. Siapa?" "Mbak Tari, Bu. Saya bawakan teh panas untuk Ibu." "Taruh di meja luar saja, Mbak. Anes segera keluar," ucapnya. Mendengar jawaban Anes, Mbak Tari kembali ke ruang keluarga denfan membawa teh panas buatannya. "Kok, dibawa ke sini lagi, Bude? Memang Ibu sedang apa?" tanya Brian. "Kata Ibu,suruh naruh di meja sini saja, Mas. Sebentar lagi Ibu keluar, katanya," ucap Mbak Tari mengulangi perkataan Anes. Benar saja, tak berapa lama kemudian, Anes yang sudah sisiran keluar dari kamarnya dengan mengenakan piyama ungu warna kesukaannya. "Mbak Tari masak apa? Anes tiba-tiba lapar, nih!" ucapnya seraya menyeruput teh panas buatan Mbak Tari. "Saya masak soto ayam, Bu. Ibu mau makan sekarang?" terangnya seraya bangun dari duduknya menuju ke dapur. "Ya," ucapnya singkat seraya berjalan ke ruang makan mengekori Mbak Tari yang hendak ke dapur. "Emang Bapak tidak pulang hari ini, Bu?" tanya Mbak Tari. "Masih besok sore." "Oh, saya pikir hari ini. Makanya saya masak soto ayam kesukaan Bapak. Ternyata salah hari saya. Maaf, ya, Bu." "Tidak apa-apa. Ayo Mbak Tari makan sekarang apa nanti? Entah mengapa Anes laper banget ini ." "Saya nanti saja bareng Mas Brian, Bu." Anes hanya menganggukkan kepalanya sekilas. Dia segera melahap makanan yang disediakan oleh Mbak Tari. Mbak Tari kembali ke ruang keluarga di mana Brian berada. Wanita yang dua tahun lebih tua dari Anes itu, hanya melihat sekilas ke arah majikannya. Keningnya mengkerut. "Kenapa, Bude?" tanya Brian yang keheranan melihat sikap Mbak Tari. "Ibu aneh, Mas. Satu tahun kerja di sini, Bude belum pernah melihat Ibu pulang kerja langsung makan dengan lahapnya seperti itu." Mendengar ucapan Mbak Tari, Brian langsung menoleh ke ruang makan yang memang terhubung dengan ruangkeluarga tanpa sekat. "Iya, ya. Ibu kenapa itu? Tumben," gumamnya. Terang saja Anes makan seperti orang kesetanan. Orang saat makan siang di kantor, mood makannya jadi hilang karena ulah Bram *** Sore itu usai makan malam, Bram hanya mengurung diri di dalam kamar. Tak seperti biasanya, laki-laki muda itu yang biasanya begadang dengan teman-teman sekampungnya. Tampak dia berulang kali melirik ke arah layar benda pipih miliknya yang dia taruh di atas meja kerjanya. "Ish ... kenapa tidak ada chat masuk, sih. Baru juga dua jam yang lalu kita bersama, mengapa tiba-tiba aku sangat merindukanmu, Mbak?" gumamnya. Berulang kali Bram bergumam seorang diri. Bayangan Anes tiba-tiba bersliweran dalam pikirannya. Dia kerjapkan netranya berulang kali. Berharap bayangan Anes segera enyah dari pikirannya. Namun nyatanya, setiap dia membuka mata, wajah Anes muncul tepat di depan matanya. Setiap dia menutup mata. Wajah Anes pun ada di sana. "Ish ... stop Mbak! Jangan membuat aku menjadi gila. Di setiap sudut kamarku, hanya ada kamu. Di setiap penjuru pandanganku, hanya ada kamu. Kamu seperti hantu, Mbak. Dan kanu benar-benar sukses membuatku rindu. Rindu itu ternyata berat, Mbak." Bram meraih ponselnya. Dia buka wall chat dengan Anes. Kosong. Ingin sekali lelaki lajang itu membuka obrolan dengannya. Namun, dia urungkan niatnya, ketika teringat sore tadi Anes sangat murka dengannya. Bram kembali melempar ponselnya ke sembarang arah. Lalu dia kembali rebahan. "Ish ... begini ternyata rasanya. Dibuat gila karena bojone uwong. Asyem!" umpatnya. Ting! Tiba-tiba notifikasi pesan masuk di ponselnya berbunyi. Alangkah bahagianya dia, berharap pesan itu datang dari Anes. Bram gegas meraih kembali ponselnya yang baru saja dia lempar ke sembarang arah di kasurnya. Laki-laki itu dengan sumpringah membuka pesan tersebut. Namun, tiba-tiba wajahnya berubah masam kek jeruk belum matang. "Ish ... kenapa malah dia, sih!" gerutunya. ***Anes masih mematung. Wanita itu tidak gegas menerima amplop cokelat pemberian dari Diana. "Hei ... Mbak? Are you ok?" ucap Diana seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Anes. Anes tergagap. Sepersekian detik, pikiran wanita itu ngeblank. Entah apa yang ada dalam pikirannya. "Udah ... nggak perlu kelamaan mikir. ini sah dan halal kok. Asal Mbak dan Bram bisa nge-golin proyek yang ada di Kalimantan, Pak Tama pasti akan menepati janjinya." Diana gegas menyelipkan amplop cokelat yang ada di tangannya ke dalam genggaman tangan Anes. Tanpa pikir panjang, asisten pribadi Pak Tama itu segera keluar dari ruangan Anes. Anes menatap dengan lekat amplop cekelat yang kini sudah ada di tangannya. Seumur-umur kerja di perusahaan, baru kali ini dia mendapat bonus sebelum pekerjaannya mendapatkan hasil. "Mimpi nggak, sih, ini?" gumamnya seraya menoel kedua pipi chubby-nya. Anes menyimpan amplop cokelat itu ke dalam lacinya. Wanita itu gegas membereskan pekerjaannya sebelum besok dia
Bram dengan terpaksa melepaskan pegangan tangannya, saat Anes masih melotot ke arahnya. "Benar-benar mencari mati bujang gendeng ini," gumamnya. Ya, Bram memang terlalu sembrono. Di saat sang atasan hampir meledak emosinya, dengan santainya dia berulah yang kemungkinan besar akibatnya akan fatal. Untung, sang atasan akhirnya mengakhiri meeting mereka pagi itu. "Ya sudah. Secara detail teknisnya nanti Diana yang akan membantu. Aku buru-buru harus pergi sekarang. Ingat! Di sana nanti, kalian harus menjaga reputasi perusahaan kita." "Baik, Pak," ucap Anes dan Bram bersamaan. "Meeting pagi ini aku tutup. Silakan kalian mempersiapkan segala sesuatunya, Lusa kalian berangkat. Beresi pekerjaan kalian yang belum kelar." "Baik, Pak." Kembali Anes dan Bram menjawab bersamaan. Keduanya saling pandang. Bram tersenyum ditahan, sedangkan Anes mendelik tidak suka. "Kalian boleh kembali. Diana ... siapkan paspor dan visaku." "Baik, Pak." Diana gegas membuka laci dokumen, tempat di
Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu di ruang kerja Anes, membuyarkan lamunannya. Wanita itu mendengkus perlahan. "Sialan! Ngapain aku jadi kepikiran bocah tengil itu, sih! Otakku jadi ikut-ikutan gendeng," gumamnya. "Bu ... boleh saya masuk?" tanya seseorang yang berada di balik pintu. "Oh, ya. Silakan masuk," ucap Anes tergagap, karena membiarkan orang yang berada di luar sana menunggunya untuk beberapa saat. Seorang wanita muda dengan seragam office girl masuk ke dalam ruangannya. "Ada apa, Mbak?" tanya Anes heran. "Maaf, Bu Anes. Saya dimintai tolong untuk mengantarkan ini," ucapnya seraya menyodorkan satu bungkusan kecil berwarna merah muda. "Apa ini?" tanya Anes seraya menerima bungkusan kecil warna merah muda tersebut. "Maaf, Bu. Saya kurang tahu." "Loh ... emang siapa yang menyuruh?" "Saya dilarang memberitahu, Bu. Di dalam ada nama pengirimnya katanya." "Oh, baiklah kalau begitu. Makasih, ya." "Baik, Bu. Sama-sama. Kalau begitu saya permisi." Anes hanya me
Anes tidak mampu lagi menyembunyikan rasa gundah gulana di hatinya. Wanita itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi yang dia duduki. "Gimana, Bram? Orang tuamu sudah tanda tangani form persetujuan itu?" tanya Diana. "Sudah, Mbak. Ini form-nya aku kembalikan." Bram mengulurkan selembar kertas yang dia keluarkan dari map file-nya. Diana menerima kertas tersebut seraya mengecek kelengkapan isiannya. "Mbak Anes kenapa ada di sini? Dari tadi aku WA dan aku telepon nggak diangkat?" Seketika Anes mendongak. Entah apa yang sedang dipikirkannya hingga tiba-tiba dia lupa begitu saja jika ada Bram di ruang itu. "Mbak ...." Bram mengulangi memanggil Anes seraya melambai-lambaikan tangannya di depan Anes. "Mbak nggak bawa hp," ucap Anes berbohong. "Oh." Bram hanya ber-oh ria menanggapi jawaban Anes. "Lalu, Mbak Anes pagi-pagi ada di ruangan Mbak Diana kenapa?" "Mmm ...." Belum sempat Anes menjawab pertanyaan Bram, Diana gegas meminta form yang dibawa oleh Anes. "Pu
Anes melihat pesan masuk di ponselnya, setelah sekian banyaknya panggilan tak terjawab. Wanita itu menghela napas panjang. Huh! "Kenapa, sih, selalu kamu yang meneror ponselku," gumamnya. Dengan berat hati Anes membuka pesan yang tidak lain dan tidak bukan dari Bram tersebut. Ya ... ada tiga pesan di wall chat-nya bersama Bram, di samping belasan panggilan yang tidak terjawab. [Mbak .... ke mana saja, sih! Sepagi ini emang sudah sibuk apa saja, hingga panggilan Bram tak pernah diangkat?] [Mbak ... Bram jemput, ya? Kita berangkat sama-sama. Bram mau ngobrol penting, nih!] [Mbak Anes! Balas, dong!] Kembali Anes menghembuskan napasnya dengan kasar. Wanita satu anak itu, gegas mengembalikan layar ponselnya ke halaman pertama, tanpa berniat membalasnya. Anes melangkahkan kakinya menuju ke garasi rumahnya. Di sana motornya telah dikeluarkan oleh Brian yang lima belas menit yang lalu telah berangkat ke kantornya lebih dahulu. Deru motor terdengar meninggalkan halaman ruma
Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat energik itu, kembali memancing hasrat suaminya dengan cumbuan-cumbuan kecilnya. Hingga pada akhirnya, Ardi benar-benar terbuai, dan dia pun merapel jatah untuk istrinya. Satu jam lamanya mereka kembali melakukam gergulatan panas. Peluh kembali membasahi tubuh keduanya. Ardi memekik lirih usai melakukan pelepasan. Anes memejamkan netranya sesaat, menikmati sisa percintaannya yang menguras energinya. "Capek, Mas?" lirihnya tepat di telinga Ardi. "Ish ... dasar kamu. Udah setengah abad lebih mengimbangimu Mas agak kewalahan juga, sih," omel Ardi seraya bangkit dari pembaringannya. "Tapi nikmat 'kan Mas? Aku kan hanya berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk suamiku. Bukankah melayani kebutuhan biologis suami itu ibadah?" ucap Anes seraya bergelayut manja di lengan suaminya. "Kamu, ya. Paling pinter kalau disuruh ngeles," ucap Ardi seraya mencubit kecil hidung istrinya. Anes hanya nyengir kuda mendapatkan perlakuan dari suaminy