Beranda / Romansa / Godaan Berondong Nakal / Bab 5 Rindu Itu Berat

Share

Bab 5 Rindu Itu Berat

Penulis: Dwi Hastuti
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-30 15:54:40

Bab 5 Rindu Itu Berat

Usai sejenak celingak-celinguk di sana, dan tidak mendapati siapa-siapa, Bram hanya mampu mengkerutkan keningnya.

"Kok dia tahu, ya, kalau aku mengantarkan Mbak Anes pulang? Jangan-jangan dia masih di rumahku. Ah, shit!" gumamnya.

Pemuda lajang yang kini sedang bermain hati dengan teman sekerjanya yang usianya dua kali lipat dari usianya itu, gegas menyalakan mobilnya, lalu putar balik menuju rumahnya yang berada di gang sebelah perumahan yang sama dengan Anes.

Di sepanjang perjalanannya pulang yang hanya beberapa menit itu, bunyi jantung Bram seperti genderang mau perang.

"Ish ... nyebelin sekali. Mengganggu suasana hatiku saja."

Bram memukul pelan kemudinya, saat tiba-tiba suasana hatinya jadi kacau. Hujan telah reda. Dia sengaja berdiam sejenak di dalam mobilnya yang sudah terparkir di garasi rumahnya.

Tak berapa lama kemudian, terlihat Bu Mira ibunya Bram keluar dari balik pintu garasi rumah yang terhubung ke dapur rumahnya.

"Loh ... Bram. Kok, masih duduk berdiam diri di dalam mobil?" tanyanya.

"Eh, Ibu. Assalamualaikum, Bu," sapa Bram seraya mengulurkan tangannya lalu mencium punggung tangan Bu Mira dengan takzim.

"Waalaikumsalam. Buruan masuk."

"Emang kenapa, Bu? Ada yang menunggu Bram?"

"Tidak ada, sih. Cuma ... itu pakaianmu agak basah. Buruan mandi Ibu buatkan kopi."

Huh!

Terdengar Bram menghela napas lega.

"Emang kenapa? Berharap ada yang menunggu? Oh ... tadi siang Ana ke rumah. Karena pas jam istirahat, Ibu suruh mengantarkan makan siang sekalian ke kantormu. Emang tidak ketemu apa?"

"Ketemu, sih. Tapi sayang, saat Ana datang Bram udah keburu makan siang."

"Jadi?"

"Bekal yang Ibu kirim, Bram kasihkan Pak Satpam. Sayang mubazir. Lalu sekarang Ana di mana?"

"Baru saja pulang, setelah beberapa saat hujan reda. Emang nggak ketemu sama kamu di jalan? Padahal baru saja loh."

"Nggak, sih," ucap Bram seraya mengedikkan bahunya lalu berjalan mengekori Bu Mira menuju ke dapur.

'Pantes dia WA menanyakan mengapa aku berlama-lama di depan rumah Mbak Anes. Ternyata pas dia WA melihatku ada di sana,' ucap batin Bram.

Bram mengusap wajahnya dengan kasar seraya menyeruput kopi panas yang baru saja dibuatkan oleh Bu Mira. Usai menyeruput beberapa teguk, laki-laki muda itu gegas melepas kancing kemejanya satu per satu, seraya berjalan menuju ke kamarnya.

Dilepasnya kemeja biru muda yang dia kenakan, lalu digantungnya di balik pintu.

Huh!

Bram menghempaskan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk. Sejenak laki-laki muda dengan rahang kokoh, dan rambut cepak itu memejamkan matanya.

Kedua tangannya dia lipat di belakang kepala. Terlihat berulang kali dia hembuskan napasnya dengan kasar.

"Maafkan Mas, An. Mas mencintaimu, tapi Mas juga menyukai Mbak Anes. Sebenarnya Mas hanya mengaguminya. Tapi entah mengapa semakin ke sini, Mas semakin nyaman dengannya."

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu di kamar Bram, tiba-tiba membangunkan Bram dari lamunannya.

"Bram ... buruan mandi. Sudah Ibu siapkan air panasnya. Ibu takut kamu masuk angin."

"Ya, Bu."

Bram menjawab singkat ajakan ibunya. Perlahan dia membuka mata. Netranya menyapu ke langit-langit kamarnya. Dengan malas, laki-laki muda itu bangkit dari pembaringannya, lalu meraih handuk yang berada di balik pintu kamarnya.

Sebelum dia keluar dari kamarnya, Bram melepas celana kerjanya lalu menggantinya dengan celana kolor pendek.

Dengan langkah gontai, Bram berjalan menuju kamar mandi yang berada di luar kamarnya. Tepatnya yang berada di samping dapur.

***

Sementara itu, Anes yang sangat marah dengan kelakuan Bram hari ini, gegas masuk ke dalam rumah.

Dengan pakaian yang sedikit basah, karena saat keluar dari mobil Bram, hujan masih belum reda, wanita itu langsung menuju ke kamar mandi yang berada di sampimg dapur rumahnya.

Terdengar bunyi gemercik dari dalam kamar mandi, untuk beberapa saat.

Sementara itu, Brian anak Anes yang seumuran dengan Bram duduk dengan Mbak Tari di ruang keluarga.

Brian sudah stand by dengan kesibukannya mengotak-atik desain karena dia bekerja sebagai desain grafis di perusahaan jasa desain. Sedangkan Mbak Tari menemanibya dengan menonton drama korea kesukaannya.

Mbak Tari asisten rumah tangga Anes, yang hanya pulang kampung seminggu sekali di akhir pekan itu, gegas bangkit dari duduknya menuju ke dapur hendak membuatkan teh panas, saat mengetahui majikannya telah pulang.

Dari kamar mandi luar, tubuh Anes yang hanya dibalut handuk kimono tampak menggigil kedinginan.

Melihat ibunya masuk begitu saja ke dalam kamarnya, Brian dan Mbak Tari saling pandang.

"Ibu kenapa, Bude?" tanya Brian.

"Tahu!" jawab Mbak Tari sambil mengedikkan kedua bahunya.

Di kamarnya, Anes gegas mengganti handuk kimononya dengan piyama. Wanita itu menyisir rambutnya yang tergerai basah sebahu.

Ditatapnya bayangan wajahnya di pantulan cermin meja riasnya.

Wanita paruh baya yang masih sangat terlihat energik itu, menggigit bibir bawahnya.

Dia raba bibir merahnya yang hari ini telah dua kali dicium oleh Bram, dan pipinya yang sekali dicium oleh Bram.

"Ish ... Bram. Kamu benar-benar, ya," lirihnya.

Anes memejamkan matanya sejenak. Sensasi pagutan dari bibir Bram masih begitu terasa.

Wanita itu tak habis pikir. Laki-laki yang umurnya masih separuh dari umurnya itu, entah mengapa menjadi segila itu.

"Dunia ini benar-benar sudah edyan. Anak kemarin sore berani sekali menggoda wanita yang sebenarnya cocok sebagai ibunya."

Tok! Tok! Tok!

Ketukan pintu kamarnya, membangunkan Anes dari lamunannya.

"Ya. Siapa?"

"Mbak Tari, Bu. Saya  bawakan teh panas untuk Ibu."

"Taruh di meja luar saja, Mbak. Anes segera keluar," ucapnya.

Mendengar jawaban Anes, Mbak Tari kembali ke ruang keluarga denfan membawa teh panas buatannya.

"Kok, dibawa ke sini lagi, Bude? Memang Ibu sedang apa?" tanya Brian.

"Kata Ibu,suruh naruh di meja sini saja, Mas. Sebentar lagi Ibu keluar, katanya," ucap Mbak Tari mengulangi perkataan Anes.

Benar saja, tak berapa lama kemudian, Anes yang sudah sisiran keluar dari kamarnya dengan mengenakan piyama ungu warna kesukaannya.

"Mbak Tari masak apa? Anes tiba-tiba lapar, nih!" ucapnya seraya menyeruput teh panas buatan Mbak Tari.

"Saya masak soto ayam, Bu. Ibu mau makan sekarang?" terangnya seraya bangun dari duduknya menuju ke dapur.

"Ya," ucapnya singkat seraya berjalan ke ruang makan mengekori Mbak Tari yang hendak ke dapur.

"Emang Bapak tidak pulang hari ini, Bu?" tanya Mbak Tari.

"Masih besok sore."

"Oh, saya pikir hari ini. Makanya saya masak soto ayam kesukaan Bapak. Ternyata salah hari saya. Maaf, ya, Bu."

"Tidak apa-apa. Ayo Mbak Tari makan sekarang apa nanti? Entah mengapa Anes laper banget ini ."

"Saya nanti saja bareng Mas Brian, Bu."

Anes hanya menganggukkan kepalanya sekilas. Dia segera melahap makanan yang disediakan oleh Mbak Tari.

Mbak Tari kembali ke ruang keluarga di mana Brian berada. Wanita yang dua tahun lebih tua dari Anes itu, hanya melihat sekilas ke arah majikannya. Keningnya mengkerut.

"Kenapa, Bude?" tanya Brian yang keheranan melihat sikap Mbak Tari.

"Ibu aneh, Mas. Satu tahun kerja di sini, Bude belum pernah melihat Ibu pulang kerja langsung makan dengan lahapnya seperti itu."

Mendengar ucapan Mbak Tari, Brian langsung menoleh ke ruang makan yang memang terhubung dengan ruangkeluarga tanpa sekat.

"Iya, ya. Ibu kenapa itu? Tumben," gumamnya.

Terang saja Anes makan seperti orang kesetanan. Orang saat makan siang di kantor, mood makannya jadi hilang karena ulah Bram

***

Sore itu usai makan malam, Bram hanya mengurung diri di dalam kamar. Tak seperti biasanya, laki-laki muda itu yang biasanya begadang dengan teman-teman sekampungnya.

Tampak dia berulang kali melirik ke arah layar benda pipih miliknya yang dia taruh di atas meja kerjanya.

"Ish ... kenapa tidak ada chat masuk, sih. Baru juga dua jam yang lalu kita bersama, mengapa tiba-tiba aku sangat merindukanmu, Mbak?" gumamnya.

Berulang kali Bram bergumam seorang diri.

Bayangan Anes tiba-tiba bersliweran dalam pikirannya. Dia kerjapkan netranya berulang kali. Berharap bayangan Anes segera enyah dari pikirannya.

Namun nyatanya, setiap dia membuka mata, wajah Anes muncul tepat di depan matanya. Setiap dia menutup mata. Wajah Anes pun ada di sana.

"Ish ... stop Mbak! Jangan membuat aku menjadi gila. Di setiap sudut kamarku, hanya ada kamu. Di setiap penjuru pandanganku, hanya ada kamu. Kamu seperti hantu, Mbak. Dan kanu benar-benar sukses membuatku rindu. Rindu itu ternyata berat, Mbak."

Bram meraih ponselnya. Dia buka wall chat dengan Anes. Kosong. Ingin sekali lelaki lajang itu membuka obrolan dengannya.

Namun, dia urungkan niatnya, ketika teringat sore tadi Anes sangat murka dengannya.

Bram kembali melempar ponselnya ke sembarang arah. Lalu dia kembali rebahan.

"Ish ... begini ternyata rasanya. Dibuat gila karena bojone uwong. Asyem!" umpatnya.

Ting!

Tiba-tiba notifikasi pesan masuk di ponselnya berbunyi. Alangkah bahagianya dia, berharap pesan itu datang dari Anes.

Bram gegas meraih kembali ponselnya yang baru saja dia lempar ke sembarang arah di kasurnya. Laki-laki itu dengan sumpringah membuka pesan tersebut.

Namun, tiba-tiba wajahnya berubah masam kek jeruk belum matang.

"Ish ... kenapa malah dia, sih!" gerutunya.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dwi Hastuti
Hai pembaca yang budiman, terima kasih telah berkenan mampir
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 25 Ingin Nakal Sebentar

    Dengan malas Bram membuka pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Bram mengkerutkan keningnya. "Panjang umur dia. Baru saja aku batin, dia udah nongol," gumamnya. Bram membuka pesan dari Ana. Pemuda itu mengusap wajahnya dengan kasar. Ada perasaan lega tapi juga merasa bersalah. [Jika memang Mas Bram sudah tidak menginginkan hubungan ini, lebih baik kita break dulu saja. Silakan meyakinkan hati Mas dulu.] Bram mendengkus panjang. Lalu kembali melempar ponselnya ke atas kasur. Sejurus kemudian, sudah terdengar dia bersenandung di kamar mandi. "Bram ... buruan makan malam. Sudah ditunggu ayahmu." Terdengar suara Bu Mira memanggil anak bujangnya untuk makan malam. "Ya, Bu. Bram baru ganti baju. Nanti segera ke menyusul ke meja makan." Mendengar jawaban anaknya, Bu Mira gegas kembali ke meja makan. Di sana suaminya tengah minum teh hangat usai dia pulang dari masjid untuk salat Isya berjamaah. Bu Mira mengambil piring, lalu menuangkan nasi dan lauknya ke atas piring. Se

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 24 Kecewa yang Terabaikan

    Saat Bram hendak mengejar Ana, tiba-tiba saja seorang pengendara motor ojek berhenti tepat di depan Ana. Tanpa pikir panjang lagi, Ana langsung naik begitu saja di punggung motor tersebut. "Antarkan saya ke jalan Anggrek, Mas," ucapnya singkat. Tanpa menunggu lama, motor itu langsung melesat begitu saja, meninggalkan kafe di mana Bram dan Ana yang baru saja hendak kencan tetapi berantakan di tengah jalan. "Shit!" gerutu Bram sambil mengepalkan kedua tangannya. Pemuda itu sempat berlari bermaksud mengejar Ana, tetapi naas hanya bayangan Ana yang naik motor ojek yang masih terlintas dalam pikirannya. "Dasar perempuan. Mengapa susah sekali dimengerti," lirihnya seraya kembali masuk ke dalam kafe. Bram kembali menyeruput kopinya yang belum sepenuhnya habis. Dilihatnya kopi Ana dan pisang cokelat pesenannya yang belum tersentuh oleh kekasihnya itu. "Apakah aku keterlaluan, ya? Ana sampai semarah itu padaku. Padahal hari ini hari terakhir aku ketemu dengannya." Bram menghemb

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 23 Pisah Untuk Sementara

    Lima belas menit kemudian, Bram telah sampai di bengkel tempat dia meninggalkan mobilnya pagi tadi. Bram berhenti sejenak di depan bengkel. Dia sengaja membiarkan saja, saat Anes menyandarkan kepalanya di punggungnya. "Mbak masih betah mau senderan begitu, apa mau turun?" ucap Bram tanpa basa-basi. Spontan Anes membuka matanya yang memang dari tadi terpejam. Entah, karena sedang mengantuk atau memang sedang menikmati kebersamaan bersama Bram. Anes menabok punggung Bram, lalu gegas meluncur turun dari punggung joknya. Bugh! "Auuuww ... sakit tahu!" "Bodo! Udah tahu udah nyampe dari tadi, masih saja diam di atas jok. Turun!" ucap Anes ketus seraya mengusir Bram dari punggung jok motornya. "Siapa yang salah. Siapa yang marah." "Biarin! Mbak mau pulang duluan." "Hati-hati, ya. Jangan kangen dulu. Ditahan hingga esok pagi kita ketemu dalam perjalanan penuh cinta." Anes melotot. Lalu gegas balik arah dan melajukan motornya untuk pulang. Setelah beberapa saat mengecek

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 22 Gayung Bersambut

    Di pantri, Bram menghabiskan jam kerjanya yang hanya tinggal tiga puluh menit lagi itu, dengan membiarkan fantasi-fantasinya tentang Anes berkeliaran di dalam pikirannya. Bram tersenyum smirk. Pemuda itu, merasa telah memenangkan sedikit taruhan pada dirinya sendiri tentangnya dan Anes. Secangkir kopi hitam telah tandas tak bersisa. Laki-laki penggemar olahraga itu pun, telah menghabiskan dua batang rokok. Entah karena apa, dia yang dulu tidak pernah merokok, kini sering terlihat merokok. Ssshhhh! Bibirnya berdesir saat menghisap sesapan terakhirnya, sebelum dia mematikan puntung rokoknya dan menaruhnya di atas asbak yang tersedia di meja pantri. Laki-laki itu, melihat jam yang melingkar di tangan kanannya telah menunjukkan angka tiga lebih empat puluh lima menit. Gegas Bram menggulung kemeja panjangnya hingga ke atas siku, sambil berjalan perlahan menuju ke musala kantor. Dari kejauhan Bram bisa melihat, seorang wanita yang tak lagi muda tetapi masih sangat terlihat

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 21 Bimbang

    Bram mendengkus perlahan. Lalu berjalan menuju meja di mana gadis itu berada. Ya, gadis itu adalah Ana kekasih Bram. Setelah sekian purnama mencueki kekasihnya itu, bahkan tidak berniat menemui atau apel di hari libur, kini dengan terpaksa Bram menemui Ana yang mencarinya di tempat kerja. Bram ikut duduk di samping Ana. Laki-laki lajang itu bergeming menatap tajam ke taman yang ada di depan ruangannya. "Mas apa kabar? Sehat 'kan?" sapa Ana dengan begitu manisnya. "Seperti yang kamu lihat. Mas sehat, tidak kurang suatu apa. Mengapa mencari Mas di tempat kerja? Jam istirahat Mas hampir usai." "Mengapa?" tanya Ana sambil mendelik. Bram yang awalnya menatap ke depan, seketika menoleh ke arah Ana. "Pertanyaan bodoh macam apa itu? Emang Mas pernah menghubungi Ana? Pernah mencari Ana? Pernah menanyakan kabar Ana? Ana ini kekasihmu, Mas? Kenapa akhir-akhir ini Mas berbeda?" Bram mengusap wajahnya dengan kasar. Jujur, dalam hatinya dia mengakui beberapa bulan terakhir hubungann

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 20 Terbang Bersama Pesonamu

    Bram tidak menghiraukan larangan Anes. Wajah pemuda itu semakin mendekat ke arah wajah Anes. Anes semakin dibuat kelimpungan. "Hentikan, Bram!" Namun, dengan sigap Bram segera mengusapkan tisu yang ada di genggaman tangannya ke arah bibir Anes. Anes mendelik dibuatnya, saat dalam tisu putih itu tercecer saos sisa makanan yang menempel di ujung bibirnya. "Astaga! Kupikir ...." Anes membuang wajahnya ke samping sambil menahan tawa. wanita itu merasa malu dengan tingkahnya yang konyol. Bram tidak menghiraukan gestur tubuh Anes yang masih membuang wajahnya ke samping. Pemuda itu gegas melanjutkan makan siangnya. "Buruan. Kita segera prepare untuk besok. Barusan Mbak Diana telpon agar segera menemuinya," ucap Bram lempeng. "Ya ... tadi ada titipan dari Diana untuk kita berdua. Tapi Mbak belum membukanya. Jadi, Mbak tidak tahu isinya apa." "Dibuka besok saja. Pas kita sudah di Kalimantan. Biar surprise. Jadwal penerbangan kita pagi jam sepuluh. Kita berangkat dari rumah jam delapan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status