Share

Bab 4 Candu

Author: Dwi Hastuti
last update Last Updated: 2025-06-30 15:53:34

Bram hanya bergeming saja. Dia menatap Anes dengan sangat tajam. Pemuda lajang yang umurnya setengah dari umur Anes itu, seperti sedang menikmati indahnya panorama senja di antara alam berkabut dan berembun di hadapannya.

"Bram!" sentak Anes untuk yang kedua kalinya, hingga membuat Bram terbangun dari lamunannya.

"Apa yang kamu pikirkan! Buruan jalan! Atau ...."

"Atau apa?" lirih Bram yang wajahnya masih berada beberapa centi di hadapan wajah Anes.

"Atau Mbak akan turun di sini saja."

"Silakan!"

Mendengar jawaban Bram, Anes gegas mendorong tubuh laki-laki jangkung itu sekeras-kerasnya, hingga dada Bram sedikit tergeser ke belakang.

Anes gegas meraih handle pintu mobil Bram. Namun, sepersekian detik kemudian terdengar bunyi.

Klek!

Bram mengunci otomatis pintu mobilnya sebelah kiri. Pemuda itu melirik sepintas ke arah Anes, yang tiba-tiba sudah melotot ke arahnya.

"Apa-apaan ini? Kamu jangan macam-macam, Bram! Aku menjerit jika kamu kurang ajar."

Tanpa ba bi bu, Bram gegas melajukan mobilnya. Dengan santainya pemuda itu justru menyalakan LCD player di mobilnya.

Musik romantis mengalun merdu. Seiring guyuran air hujan di kaca depan mobil Bram yang membuat pandangan mata semakin kabur.

Udara yang tiba-tiba menjadi dingin, ditambah AC mobil Bram yang sudah dingin, dan Bram hanya melajukan mobilnya dengan sangat lambat, membuat Anes berulang kali mendesis kedinginan.

"Dingin?" ucap Bram tanpa menoleh ke arah Anes.

Anes pun hanya melirik sepintas ke arah Bram. Dalam hatinya, ibu satu anak itu merutuki kebodohannya mengapa mau menerima tawaran untuk pulang bersama Bram.

Melihat Anes tidak menjawab pertanyaannya, dan justru membuang wajahnya ke arah jendela mobilnya, Bram meraih sesuatu dari balik jok kemudinya.

"Nih, pakai!" tuturnya masih fokus menatap jalanan yang berkabut karena hujan begitu derasnya.

Anes melirik sepintas ke arah tangan kiri Bram yang mengulurkan sebuah hoddie hitam. Hampir beberapa menit Anes masih tercenung tidak menerima uluran hoddie milik Bram.

Melihat Anes masih diam saja, Bram yang memang hanya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, berinisiatif meminggirkan mobilnya.

"Hei ... kok berhenti. Buruan jalan biar cepat sampai."

"Siapa suruh Mbak mengulur-ulur waktu untuk sampai?"

"Kok Mbak?"

"Ya iyalah. Timbang merima jaket ini trus dipakai aja susah banget."

Anes menggigit bibir bawahnya. Secara, perkataan Bram memang ada benarnya. Anes menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sepersekian detik kemudian, Bram kembali mendekatkan tubuhnya ke arah Anes.

"Heh! Mau apa kamu, Bram?"

Bram tidak menjawab pertanyaan Anes, pemuda jangkung dengan rahang kokoh itu, gegas memasukkan lubang kepala hoddienya yang besar ke kepala Anes.

Anehnya, Anes langsung mengulurkan kepalanya dan mengangkat kedua tangannya hingga Bram dengan mudah memasukkan kedua lubang lengan hodienya ke tangan Anes.

"Nah, nurut gitu 'kan enak dan cepet selesai. Apa susahnya, sih, nurut. Tuh! Tubuh Mbak semakin dingin begini. Ntar nyalahin Bram kalau masuk angin."

Anes hanya diam saja mendengar ucapan Bram, seperti ayah yang menasihati anak gadisnya. Wanita itu hanya merapikan hoddie yang baru saja dikenakan oleh Bram.

Namun, sepersekian menit berikutnya, Bram justru menyentuh pipi Anes yang masih sangat terlihat chubby.

"Pipi Mbak dingin sekali. Bram matikan saja AC-nya, ya?"

"Jangan!"

Sontak Bram yang hampir saja menarik tubuhnya ke kemudi, kembali menatap wajah Anes.

"Kenapa?"

"Mbak tidak biasa di udara engap tanpa AC," lirihnya hampir tak terdengar.

"Tapi tubuh Mbak Anes dingin sekali. Tuh! Pipinya kek di kutub utara. Bibir Mbak menggigil biru gitu. Mbak kedinginan itu."

"Udah .. nggak apa-apa. Ayo cepat pulang saja."

"Atau ...."

Cup!

Reflek Bram mencium bibir Anes yang berdesis menahan dingin. Anes yang tidak siap dengan keadaan itu, spontan gelagapan.

Namun, tekanan Bram terlalu kuat hingga wanita itu tidak kuasa meronta untuk melepaskan kungkungan Bram.

Sepersekian detik berikutnya, Bram menghisab bibir Anes dengan begitu lembutnya. Semakin dalam dan semakin dalam.

Tangan Anes yang memukul-mukul punggung Bram pun tak dihiraukannya. Pemuda lajang itu entah mengapa menjadi semakin liar, saat berdekatan dengan Anes.

Hingga satu menit berikutnya Anes menjambak rambut Bram, karena wanita itu kehabisan napas oleh kelakuan Bram.

Uhuk! Uhuk!

Napas Anes tersengal-sengal.

Plak!

Tamparan keras melayang di pipi Bram. Laki-laki tampan itu hanya mengelus pipi kanannya yang sedikit memerah.

"Brengsek kamu, Bram! Kamu ingin membunuh Mbak, ya!"

"Maaf. Bibir Mbak candu banget. Semakin Bram berdekatan dengan Mbak, ingin rasanya memilikinya."

"Ngawur kamu! Satu hari ini, sudah tiga kali kamu menodai Mbak dengan mencium paksa Mbak. Kamu mencuri-curi kesempatan untuk memperdaya Mbak. Awas saja kamu, Mbak tidak akan memaafkanmu. Pulang!"

Dengan wajah merah padam, Anes membentak Bram untuk segera mengantarkannya pulang. Wanita itu membuang pandangannya ke jendela mobil di sampingnya.

Melihat Anes begitu murkanya, Bram gegas melajukan mobilnya dengan kecepatan lebih.

Bram melirik sepintas ke arah Anes. Wanita itu masih saja membuang wajahnya ke arah jendela mobil di sampingnya.

Meskipun di hati kecilnya tersimpan rasa bersalah yang menggunung, terapi Bram sempat tersenyum tipis penuh kemenangan.

Hening. Tak ada suara percakapan apapun. Pemuda lajang itu mengusap bibirnya. Sejenak pikirannya melayang, menikmati sensasi manis yang tercipta karena ulah gilanya.

'Maafkan aku Mbak. Tapi ... aku benar-benar sangat menginginkannya. Pesona Mbak Anes akhir-akhir ini sangat mengganggu konsentrasiku. So ... show must go on,' ucap batinnya membenarkan kelakuan nakalnya.

Sepuluh menit berikutnya, mobil yang dikemudikan oleh Bram sudah berada di gang perumahan yang tidak begitu mewah. Hujan sudah mulai reda tetapi belum berhenti sepenuhnya. Saat kembali Anes berkutat dengan seat belt mobil Bram sebelah kiri yang sering macet, Bram hanya melirik sepintas saja. Dia tahu bahwa Anes kali ini benar-benar marah kepadanya.

Dua menit berikutnya, Anes masih mengutak-atik seat beltnya. Hingga akhirnya Bram kembali memiringkan tubuhnya ke arah jok yang diduduki oleh Anes.

Namun, lagi-lagi Anes memberikan kode tangannya agar Bram stop untuk mendekat. Bram mengurungkan niatnya. Dia kembali ke posisi semula. Jemarinya terlihat mengetuk-ngetuk ringan kemudinya. Hingga akhirnya Anes berhasil mencabut seat belt yang melingkar di pinggangnya.

Tanpa ba bi bu, Anes segera meluncur dengan tergesa keluar dari mobil Bram. Wanita itu setengah berlari menerobos hujan yang masih rintik-rintik membasahi bumi tanpa menghiraukan Bram.

Bram mendengkus perlahan. Kali pertamanya mengantarkan Anes pulang dengan kondisi marah, diacuhkan, bahkan tidak dipersilakan untuk mampir seperti biasanya. Kelakuannya hari ini, untuk ketiga kalinya, mungkin tidak dimaafkan oleh Anes.

Bahkan, dia sadar sesadar-sadarnya jika telah menyakiti hati dan perasaan saudara jauhnya yang tujuh tahun lalu sering digodanya itu.

"Mbak Anes ... aku tahu kamu marah. Tapi aku akan tetap mengejarmu sampai hati ini terpuaskan. Aku tak ingin memilikimu, karena kamu ada yang punya dan aku pun ada yang punya. Tapi ... hati ini nyaman berada di dekatmu. Meskipun usia kita terpaut jauh, aku sangat menikmatinya."

Ting!

Notifikasi di ponsel Bram membangunkan imajinasi pemuda lajang itu. Gegas Bram membuka pesan yang baru saja masuk.

[Mas kenapa berhenti di gang sebelah terlalu lama? Mas ngapain saja?]

Membaca isi pesan tersebut. Bram seketika melongokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti hendak mencari sesuatu.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dwi Hastuti
Hai pembaca yang budiman, terima kasih telah berkenan mampir
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 19 Semakin Suka

    Anes masih mematung. Wanita itu tidak gegas menerima amplop cokelat pemberian dari Diana. "Hei ... Mbak? Are you ok?" ucap Diana seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Anes. Anes tergagap. Sepersekian detik, pikiran wanita itu ngeblank. Entah apa yang ada dalam pikirannya. "Udah ... nggak perlu kelamaan mikir. ini sah dan halal kok. Asal Mbak dan Bram bisa nge-golin proyek yang ada di Kalimantan, Pak Tama pasti akan menepati janjinya." Diana gegas menyelipkan amplop cokelat yang ada di tangannya ke dalam genggaman tangan Anes. Tanpa pikir panjang, asisten pribadi Pak Tama itu segera keluar dari ruangan Anes. Anes menatap dengan lekat amplop cekelat yang kini sudah ada di tangannya. Seumur-umur kerja di perusahaan, baru kali ini dia mendapat bonus sebelum pekerjaannya mendapatkan hasil. "Mimpi nggak, sih, ini?" gumamnya seraya menoel kedua pipi chubby-nya. Anes menyimpan amplop cokelat itu ke dalam lacinya. Wanita itu gegas membereskan pekerjaannya sebelum besok dia

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 18 Speechless

    Bram dengan terpaksa melepaskan pegangan tangannya, saat Anes masih melotot ke arahnya. "Benar-benar mencari mati bujang gendeng ini," gumamnya. Ya, Bram memang terlalu sembrono. Di saat sang atasan hampir meledak emosinya, dengan santainya dia berulah yang kemungkinan besar akibatnya akan fatal. Untung, sang atasan akhirnya mengakhiri meeting mereka pagi itu. "Ya sudah. Secara detail teknisnya nanti Diana yang akan membantu. Aku buru-buru harus pergi sekarang. Ingat! Di sana nanti, kalian harus menjaga reputasi perusahaan kita." "Baik, Pak," ucap Anes dan Bram bersamaan. "Meeting pagi ini aku tutup. Silakan kalian mempersiapkan segala sesuatunya, Lusa kalian berangkat. Beresi pekerjaan kalian yang belum kelar." "Baik, Pak." Kembali Anes dan Bram menjawab bersamaan. Keduanya saling pandang. Bram tersenyum ditahan, sedangkan Anes mendelik tidak suka. "Kalian boleh kembali. Diana ... siapkan paspor dan visaku." "Baik, Pak." Diana gegas membuka laci dokumen, tempat di

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 17 Bete

    Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu di ruang kerja Anes, membuyarkan lamunannya. Wanita itu mendengkus perlahan. "Sialan! Ngapain aku jadi kepikiran bocah tengil itu, sih! Otakku jadi ikut-ikutan gendeng," gumamnya. "Bu ... boleh saya masuk?" tanya seseorang yang berada di balik pintu. "Oh, ya. Silakan masuk," ucap Anes tergagap, karena membiarkan orang yang berada di luar sana menunggunya untuk beberapa saat. Seorang wanita muda dengan seragam office girl masuk ke dalam ruangannya. "Ada apa, Mbak?" tanya Anes heran. "Maaf, Bu Anes. Saya dimintai tolong untuk mengantarkan ini," ucapnya seraya menyodorkan satu bungkusan kecil berwarna merah muda. "Apa ini?" tanya Anes seraya menerima bungkusan kecil warna merah muda tersebut. "Maaf, Bu. Saya kurang tahu." "Loh ... emang siapa yang menyuruh?" "Saya dilarang memberitahu, Bu. Di dalam ada nama pengirimnya katanya." "Oh, baiklah kalau begitu. Makasih, ya." "Baik, Bu. Sama-sama. Kalau begitu saya permisi." Anes hanya me

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 16 Pasrah

    Anes tidak mampu lagi menyembunyikan rasa gundah gulana di hatinya. Wanita itu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi yang dia duduki. "Gimana, Bram? Orang tuamu sudah tanda tangani form persetujuan itu?" tanya Diana. "Sudah, Mbak. Ini form-nya aku kembalikan." Bram mengulurkan selembar kertas yang dia keluarkan dari map file-nya. Diana menerima kertas tersebut seraya mengecek kelengkapan isiannya. "Mbak Anes kenapa ada di sini? Dari tadi aku WA dan aku telepon nggak diangkat?" Seketika Anes mendongak. Entah apa yang sedang dipikirkannya hingga tiba-tiba dia lupa begitu saja jika ada Bram di ruang itu. "Mbak ...." Bram mengulangi memanggil Anes seraya melambai-lambaikan tangannya di depan Anes. "Mbak nggak bawa hp," ucap Anes berbohong. "Oh." Bram hanya ber-oh ria menanggapi jawaban Anes. "Lalu, Mbak Anes pagi-pagi ada di ruangan Mbak Diana kenapa?" "Mmm ...." Belum sempat Anes menjawab pertanyaan Bram, Diana gegas meminta form yang dibawa oleh Anes. "Pu

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 15 Dilema

    Anes melihat pesan masuk di ponselnya, setelah sekian banyaknya panggilan tak terjawab. Wanita itu menghela napas panjang. Huh! "Kenapa, sih, selalu kamu yang meneror ponselku," gumamnya. Dengan berat hati Anes membuka pesan yang tidak lain dan tidak bukan dari Bram tersebut. Ya ... ada tiga pesan di wall chat-nya bersama Bram, di samping belasan panggilan yang tidak terjawab. [Mbak .... ke mana saja, sih! Sepagi ini emang sudah sibuk apa saja, hingga panggilan Bram tak pernah diangkat?] [Mbak ... Bram jemput, ya? Kita berangkat sama-sama. Bram mau ngobrol penting, nih!] [Mbak Anes! Balas, dong!] Kembali Anes menghembuskan napasnya dengan kasar. Wanita satu anak itu, gegas mengembalikan layar ponselnya ke halaman pertama, tanpa berniat membalasnya. Anes melangkahkan kakinya menuju ke garasi rumahnya. Di sana motornya telah dikeluarkan oleh Brian yang lima belas menit yang lalu telah berangkat ke kantornya lebih dahulu. Deru motor terdengar meninggalkan halaman ruma

  • Godaan Berondong Nakal   Bab 14 Aura Percintaan

    Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat energik itu, kembali memancing hasrat suaminya dengan cumbuan-cumbuan kecilnya. Hingga pada akhirnya, Ardi benar-benar terbuai, dan dia pun merapel jatah untuk istrinya. Satu jam lamanya mereka kembali melakukam gergulatan panas. Peluh kembali membasahi tubuh keduanya. Ardi memekik lirih usai melakukan pelepasan. Anes memejamkan netranya sesaat, menikmati sisa percintaannya yang menguras energinya. "Capek, Mas?" lirihnya tepat di telinga Ardi. "Ish ... dasar kamu. Udah setengah abad lebih mengimbangimu Mas agak kewalahan juga, sih," omel Ardi seraya bangkit dari pembaringannya. "Tapi nikmat 'kan Mas? Aku kan hanya berusaha memberikan pelayanan terbaik untuk suamiku. Bukankah melayani kebutuhan biologis suami itu ibadah?" ucap Anes seraya bergelayut manja di lengan suaminya. "Kamu, ya. Paling pinter kalau disuruh ngeles," ucap Ardi seraya mencubit kecil hidung istrinya. Anes hanya nyengir kuda mendapatkan perlakuan dari suaminy

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status