Bram hanya bergeming saja. Dia menatap Anes dengan sangat tajam. Pemuda lajang yang umurnya setengah dari umur Anes itu, seperti sedang menikmati indahnya panorama senja di antara alam berkabut dan berembun di hadapannya.
"Bram!" sentak Anes untuk yang kedua kalinya, hingga membuat Bram terbangun dari lamunannya. "Apa yang kamu pikirkan! Buruan jalan! Atau ...." "Atau apa?" lirih Bram yang wajahnya masih berada beberapa centi di hadapan wajah Anes. "Atau Mbak akan turun di sini saja." "Silakan!" Mendengar jawaban Bram, Anes gegas mendorong tubuh laki-laki jangkung itu sekeras-kerasnya, hingga dada Bram sedikit tergeser ke belakang. Anes gegas meraih handle pintu mobil Bram. Namun, sepersekian detik kemudian terdengar bunyi. Klek! Bram mengunci otomatis pintu mobilnya sebelah kiri. Pemuda itu melirik sepintas ke arah Anes, yang tiba-tiba sudah melotot ke arahnya. "Apa-apaan ini? Kamu jangan macam-macam, Bram! Aku menjerit jika kamu kurang ajar." Tanpa ba bi bu, Bram gegas melajukan mobilnya. Dengan santainya pemuda itu justru menyalakan LCD player di mobilnya. Musik romantis mengalun merdu. Seiring guyuran air hujan di kaca depan mobil Bram yang membuat pandangan mata semakin kabur. Udara yang tiba-tiba menjadi dingin, ditambah AC mobil Bram yang sudah dingin, dan Bram hanya melajukan mobilnya dengan sangat lambat, membuat Anes berulang kali mendesis kedinginan. "Dingin?" ucap Bram tanpa menoleh ke arah Anes. Anes pun hanya melirik sepintas ke arah Bram. Dalam hatinya, ibu satu anak itu merutuki kebodohannya mengapa mau menerima tawaran untuk pulang bersama Bram. Melihat Anes tidak menjawab pertanyaannya, dan justru membuang wajahnya ke arah jendela mobilnya, Bram meraih sesuatu dari balik jok kemudinya. "Nih, pakai!" tuturnya masih fokus menatap jalanan yang berkabut karena hujan begitu derasnya. Anes melirik sepintas ke arah tangan kiri Bram yang mengulurkan sebuah hoddie hitam. Hampir beberapa menit Anes masih tercenung tidak menerima uluran hoddie milik Bram. Melihat Anes masih diam saja, Bram yang memang hanya melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, berinisiatif meminggirkan mobilnya. "Hei ... kok berhenti. Buruan jalan biar cepat sampai." "Siapa suruh Mbak mengulur-ulur waktu untuk sampai?" "Kok Mbak?" "Ya iyalah. Timbang merima jaket ini trus dipakai aja susah banget." Anes menggigit bibir bawahnya. Secara, perkataan Bram memang ada benarnya. Anes menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sepersekian detik kemudian, Bram kembali mendekatkan tubuhnya ke arah Anes. "Heh! Mau apa kamu, Bram?" Bram tidak menjawab pertanyaan Anes, pemuda jangkung dengan rahang kokoh itu, gegas memasukkan lubang kepala hoddienya yang besar ke kepala Anes. Anehnya, Anes langsung mengulurkan kepalanya dan mengangkat kedua tangannya hingga Bram dengan mudah memasukkan kedua lubang lengan hodienya ke tangan Anes. "Nah, nurut gitu 'kan enak dan cepet selesai. Apa susahnya, sih, nurut. Tuh! Tubuh Mbak semakin dingin begini. Ntar nyalahin Bram kalau masuk angin." Anes hanya diam saja mendengar ucapan Bram, seperti ayah yang menasihati anak gadisnya. Wanita itu hanya merapikan hoddie yang baru saja dikenakan oleh Bram. Namun, sepersekian menit berikutnya, Bram justru menyentuh pipi Anes yang masih sangat terlihat chubby. "Pipi Mbak dingin sekali. Bram matikan saja AC-nya, ya?" "Jangan!" Sontak Bram yang hampir saja menarik tubuhnya ke kemudi, kembali menatap wajah Anes. "Kenapa?" "Mbak tidak biasa di udara engap tanpa AC," lirihnya hampir tak terdengar. "Tapi tubuh Mbak Anes dingin sekali. Tuh! Pipinya kek di kutub utara. Bibir Mbak menggigil biru gitu. Mbak kedinginan itu." "Udah .. nggak apa-apa. Ayo cepat pulang saja." "Atau ...." Cup! Reflek Bram mencium bibir Anes yang berdesis menahan dingin. Anes yang tidak siap dengan keadaan itu, spontan gelagapan. Namun, tekanan Bram terlalu kuat hingga wanita itu tidak kuasa meronta untuk melepaskan kungkungan Bram. Sepersekian detik berikutnya, Bram menghisab bibir Anes dengan begitu lembutnya. Semakin dalam dan semakin dalam. Tangan Anes yang memukul-mukul punggung Bram pun tak dihiraukannya. Pemuda lajang itu entah mengapa menjadi semakin liar, saat berdekatan dengan Anes. Hingga satu menit berikutnya Anes menjambak rambut Bram, karena wanita itu kehabisan napas oleh kelakuan Bram. Uhuk! Uhuk! Napas Anes tersengal-sengal. Plak! Tamparan keras melayang di pipi Bram. Laki-laki tampan itu hanya mengelus pipi kanannya yang sedikit memerah. "Brengsek kamu, Bram! Kamu ingin membunuh Mbak, ya!" "Maaf. Bibir Mbak candu banget. Semakin Bram berdekatan dengan Mbak, ingin rasanya memilikinya." "Ngawur kamu! Satu hari ini, sudah tiga kali kamu menodai Mbak dengan mencium paksa Mbak. Kamu mencuri-curi kesempatan untuk memperdaya Mbak. Awas saja kamu, Mbak tidak akan memaafkanmu. Pulang!" Dengan wajah merah padam, Anes membentak Bram untuk segera mengantarkannya pulang. Wanita itu membuang pandangannya ke jendela mobil di sampingnya. Melihat Anes begitu murkanya, Bram gegas melajukan mobilnya dengan kecepatan lebih. Bram melirik sepintas ke arah Anes. Wanita itu masih saja membuang wajahnya ke arah jendela mobil di sampingnya. Meskipun di hati kecilnya tersimpan rasa bersalah yang menggunung, terapi Bram sempat tersenyum tipis penuh kemenangan. Hening. Tak ada suara percakapan apapun. Pemuda lajang itu mengusap bibirnya. Sejenak pikirannya melayang, menikmati sensasi manis yang tercipta karena ulah gilanya. 'Maafkan aku Mbak. Tapi ... aku benar-benar sangat menginginkannya. Pesona Mbak Anes akhir-akhir ini sangat mengganggu konsentrasiku. So ... show must go on,' ucap batinnya membenarkan kelakuan nakalnya. Sepuluh menit berikutnya, mobil yang dikemudikan oleh Bram sudah berada di gang perumahan yang tidak begitu mewah. Hujan sudah mulai reda tetapi belum berhenti sepenuhnya. Saat kembali Anes berkutat dengan seat belt mobil Bram sebelah kiri yang sering macet, Bram hanya melirik sepintas saja. Dia tahu bahwa Anes kali ini benar-benar marah kepadanya. Dua menit berikutnya, Anes masih mengutak-atik seat beltnya. Hingga akhirnya Bram kembali memiringkan tubuhnya ke arah jok yang diduduki oleh Anes. Namun, lagi-lagi Anes memberikan kode tangannya agar Bram stop untuk mendekat. Bram mengurungkan niatnya. Dia kembali ke posisi semula. Jemarinya terlihat mengetuk-ngetuk ringan kemudinya. Hingga akhirnya Anes berhasil mencabut seat belt yang melingkar di pinggangnya. Tanpa ba bi bu, Anes segera meluncur dengan tergesa keluar dari mobil Bram. Wanita itu setengah berlari menerobos hujan yang masih rintik-rintik membasahi bumi tanpa menghiraukan Bram. Bram mendengkus perlahan. Kali pertamanya mengantarkan Anes pulang dengan kondisi marah, diacuhkan, bahkan tidak dipersilakan untuk mampir seperti biasanya. Kelakuannya hari ini, untuk ketiga kalinya, mungkin tidak dimaafkan oleh Anes. Bahkan, dia sadar sesadar-sadarnya jika telah menyakiti hati dan perasaan saudara jauhnya yang tujuh tahun lalu sering digodanya itu. "Mbak Anes ... aku tahu kamu marah. Tapi aku akan tetap mengejarmu sampai hati ini terpuaskan. Aku tak ingin memilikimu, karena kamu ada yang punya dan aku pun ada yang punya. Tapi ... hati ini nyaman berada di dekatmu. Meskipun usia kita terpaut jauh, aku sangat menikmatinya." Ting! Notifikasi di ponsel Bram membangunkan imajinasi pemuda lajang itu. Gegas Bram membuka pesan yang baru saja masuk. [Mas kenapa berhenti di gang sebelah terlalu lama? Mas ngapain saja?] Membaca isi pesan tersebut. Bram seketika melongokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri seperti hendak mencari sesuatu. ***Bab 6 Jinak-Jinak MerpatiWajah Bram yang sebelumnya berbinar-binar, tiba-tiba kembali berubah masam saat tahu pesan masuk yang diharapkan dari Anes, ternyata dari Ana.[Malam, Mas. Udah makan? WA Ana sore tadi, kok, tidak dibalas? Mas ngapain berhenti di gang sebelah lama-lama?]Membaca isi pesan dari Ana, Bram hanya menghela napas dalam saja. Lalu, pemuda itu gegas menulis balasannya, mengingat WA Ana sore tadi memang tidak dibalasnya.[Udah. Mas udah makan, kok. Kan Ana tahu kalau Mas sekantor sama Mbak Anes. Mbak Anes lupa tidak membawa jas hujan. Karena satu perumahan dan satu kantor, masa Mas tidak kasih tumpangan? Di kantor sore tadi hujan lebat.][Oh. Eh, besok Mas kalau pulang awal, anterin Ana belanja, ya?][Lihat besok saja. Besok Mas kabari.][Ok masku sayang. See you tommorow.]Bram gegas menutup obrolannya dengan Ana. Obrolan yang begitu dingin. Entah, rasa Bram sudah berubah, atau memang pemuda itu sedang bad mood, hingga ngobrol dengan kekasihnya bisa sehambar itu.Bra
Bab 5 Rindu Itu BeratUsai sejenak celingak-celinguk di sana, dan tidak mendapati siapa-siapa, Bram hanya mampu mengkerutkan keningnya."Kok dia tahu, ya, kalau aku mengantarkan Mbak Anes pulang? Jangan-jangan dia masih di rumahku. Ah, shit!" gumamnya.Pemuda lajang yang kini sedang bermain hati dengan teman sekerjanya yang usianya dua kali lipat dari usianya itu, gegas menyalakan mobilnya, lalu putar balik menuju rumahnya yang berada di gang sebelah perumahan yang sama dengan Anes.Di sepanjang perjalanannya pulang yang hanya beberapa menit itu, bunyi jantung Bram seperti genderang mau perang."Ish ... nyebelin sekali. Mengganggu suasana hatiku saja."Bram memukul pelan kemudinya, saat tiba-tiba suasana hatinya jadi kacau. Hujan telah reda. Dia sengaja berdiam sejenak di dalam mobilnya yang sudah terparkir di garasi rumahnya.Tak berapa lama kemudian, terlihat Bu Mira ibunya Bram keluar dari balik pintu garasi rumah yang terhubung ke dapur rumahnya."Loh ... Bram. Kok, masih duduk be
Bram hanya bergeming saja. Dia menatap Anes dengan sangat tajam. Pemuda lajang yang umurnya setengah dari umur Anes itu, seperti sedang menikmati indahnya panorama senja di antara alam berkabut dan berembun di hadapannya."Bram!" sentak Anes untuk yang kedua kalinya, hingga membuat Bram terbangun dari lamunannya."Apa yang kamu pikirkan! Buruan jalan! Atau ....""Atau apa?" lirih Bram yang wajahnya masih berada beberapa centi di hadapan wajah Anes."Atau Mbak akan turun di sini saja.""Silakan!"Mendengar jawaban Bram, Anes gegas mendorong tubuh laki-laki jangkung itu sekeras-kerasnya, hingga dada Bram sedikit tergeser ke belakang.Anes gegas meraih handle pintu mobil Bram. Namun, sepersekian detik kemudian terdengar bunyi.Klek!Bram mengunci otomatis pintu mobilnya sebelah kiri. Pemuda itu melirik sepintas ke arah Anes, yang tiba-tiba sudah melotot ke arahnya."Apa-apaan ini? Kamu jangan macam-macam, Bram! Aku menjerit jika kamu kurang ajar."Tanpa ba bi bu, Bram gegas melajukan mob
"Kok kaget begitu?" tanya seorang gadis dengan perawakan tinggi besar, berhijab, kulit putih bersih, berkacamata yang dengan sumpringahnya telah berdiri di balik pintu ruang kerja Bram."Emm ... nggak, sih. Cuma ... dari mana kamu tahu, kalau aku kerja di sini dan di sini ruanganku?""It's easy problem. Mas sudah makan? Nih, aku bawakan bekal makan siang. Kebetulan tadi Ana ke rumah. Ibu masak banyak, jadi sekalian Ana bawa ke kantor Mas.""Tapi Mas, kan, sudah makan siang?""Yah ... sayang sekali.""Kamu ke sini ada perlu apa? Jam istirahat sudah habis, nih. Mas mau lanjut kerja lagi.""Mas, sih. Ditelepon nggak pernah diangkat, di-chat nggak pernah dibales. Jadi ... ya, jangan salahkan Ana kalau Ana nyusul ke tempat kerja, Mas. Ya udah deh, Ana pulang saja. Jangan lupa ini bekalnya nggak mau tahu, pokoknya nanti harus dimakan. Titik!"Dengan bersungut-sungut gadis cantik itu akhirnya keluar dari ruang kerja Bram.Huh!Terdengar dengkusan panjang napas Bram, saat gadis yang disebutny
"Heh! Kamu?" ucap Anes sambil membelalakkan kedua bola matanya. "Loh, kok kaget begitu? Bukankah Bram biasa keluar masuk ruangan Mbak Anes?" jawabnya seraya duduk di sofa di mana Anes tepat menghadap ke sana. "Emm ... i-iya, sih. Lalu kenapa kemari? Bukankah jam istirahat sudah usai? Balik sono ke ruanganmu sendiri," ketusnya sambil melangkahkan kakinya hendak menarik tangan Bram, agar segera hengkang dari ruang kerjanya. Sumpah! Meskipun enam bulan terakhir sejak Anes tahu Bram kerja di kantor yang sama dengannya, keduanya hampir tiap hari bertemu, tetapi tidak untuk kali ini. Entah, apa yang terjadi dengannya. Wanita satu anak itu tampak terlihat gugup sekali. Sepanjang hidupnya, dia tidak pernah merasakan tertekan yang berlebihan apalagi hanya dengan seorang bocil yang seumuran dengan anaknya. "Mbak ... kenapa malah bengong gitu? Buruan tarik tangan Bram. Mau ngusir Bram 'kan? Nih, Bram udah siap, kok," ucap Bram seraya mengulurkan kedua tangannya. Sontak Anes gelagapan dib
Cup! "Bram! Apa yang kamu lakukan!" Plak! Tamparan keras mendarat di pipi sebelah kanan milik seorang pemuda jangkung yang dipanggilnya dengan sebutan Bram. Pemuda dengan style santai, tetapi cool dan dengan postur tubuh yang sangat ideal. Seorang wanita dengan paras matang, dengan setelan bleser berwarna navy, yang masih sangat terlihat energik itu sontak berdiri. Sesaat sang pemuda hanya mengelus pipi sebelah kanannya yang sedikit memerah, akibat tamparannya yang cukup keras. "Kurang ajar kamu, Bram! Apa maksudnya, coba!" sentaknya dengan mata berapi-api. Sementara itu, pemuda yang disebutnya dengan nama Bram itu, hanya bergeming tak menghiraukan sentakan wanita itu. Bram duduk dengan santainya di samping kursi wanita itu, seraya mengambil rokok dari dalam sakunya. Sedangkan sang wanita, saat ini tengah berdiri sambil menetralkan napasnya yang terengah-engah karena menahan amarahnya. Tak berapa lama kemudian, pemuda jangkung itu telah menyulut rokoknya dan menghisabnya perl