Share

bab 4

“Ini Abang hanya dikasih 150 ribu, itu pun buat uang makan Abang selama seminggu lagi disini, Di.”

“Hallah, ya jangan ngandalin penghasilan dari itu, dong Bang! Abang ‘kan bisa mijit. Hari libur gunain waktunya buat mijit, harus pinter-pinter putar otak biar penghasilannya cukup!” maki Santi dengan kasar.

Al-Dasim tertawa puas.

“Hahaha .. sifat alami manusia, selalu menganggap dirinya yang paling benar, dan ‘tak mau ngeakui kesalahan, jarang bersukur dan selalu kurang dengan pemberian Tuhannya, tetapi kenapa mereka justru menjadi ahli syurga?”

“Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh, tugasmu hanya menghasut dan menggoda mereka, supaya mereka ingkar kepada Tuhannya!” ingat salah satu Jin yang kebetulan ada di rumah itu, “Hei—Al-Dasim, pergilah ke rumah-rumah, hasut wanitanya, berilah dia rasa lelah yang bertubi-tubi, hilangkan rasa syukurnya, buat dia merasa kalau bebannya di rumah terlalu berat. Dengan begitu dia akan selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang tak habis-habis, maka dia kehilangan hormatnya pada suami-suaminya!”

Dasim tak peduli.

Dia menghilang dari kerajaannya dan pergi ke alam manusia.

Dia melihat terlalu banyak orang yang berhati iblis. Seperti orang-orang yang merasa derajatnya lebih tinggi, lalu dia dzalim dan sombong kepada orang-orang yang dia anggap dibawahnya, pencuri dan penipu yang berkeliaran, orang-orang yang memakan hak orang lain serta mereka yang tak dapat menjaga lisan, dengan menyakiti hati saudaranya sendiri.

Tetapi apa pedulinya? Bukankah tugasnya memisahkan ibadah terpanjang dua insan?

“Teruslah berbuat kerusakan wahai anak cucu Adam, agar kelak kau mejadi teman kami di Kerak Jahannam!”

Dasim menghilang, misinya belum tuntas untuk mencerai beraikan sebuah keluarga.

Dia mengamati sebuah keluarga yang sudah menjadi incarannya, keluarga dengan wanita yang selalu mengeluh tentang ujian ekonomi yang mereka hadapi, dia sangat intens menghasut sang wanita, karena wanita lebih mengutamakan hati dan perasaanya ketika berfikir, mudah tersinggung, dan cepat mengeluh tentang sesuatu.

“Sebentar lagi, lebih baik aku mecari target baru!”

Dasim lalu menghilang dari keluarga tersebut, keluga yang dia yakini sebentar lagi bercerai berai, yang tak lain adalah keluarga Adi dan Santi.

Tinggal tambahkan bumbu sedikit dan rusaklah mereka!

Diperhatikannya Adi yang masih menelpon dan seorang perempuan yang akan masuk.

Sempurna!

Tok tok tok!

“Bang Adi, ayok makan dulu. Sarapannya sudah siap,” panggil istri Jamal mengetuk pintu kamar yang ditempati Adi.

“Siapa itu, Bang?”

“Itu, wanitanya Jamal. Aku disini, nginep di rumahnya Jamal.”

“Bukan wanita simpananmu!?” tuduh Santi langsung.

Deg!

“Astagfirullah, mana berani aku , dek? Jangan pernah berfikir seperti itu. Aku tak pernah berfikir untuk menduakanmu.”

“Jangan percaya! Apalagi dia bersama temannya yang suka bemain wanita. Tidak ada lelaki yang sanggup menahan nafsu biologisnya ,mungkin memang bukan selingkuhannya, tetapi bisa jadi dia wanita satu malamnya. Terlalu banyak kemungkinan jika seorang suami jauh dari istrinya.”

Santi terdiam, bisikan-bisan itu membuat hatinya memanas.

“Baru seminggu jauh dari keluarga, sudah berani main wanita lain di belakang! Dasar suami ‘tak setia! Istri di sini mengurus anak-anakmu! Pantas saja kau Cuma mengirimkan uang segitu. Rupanya untuk memenuhi nafsu setanmu!”  maki Santi sambil berteiak.

“Dek!”

Tut.

Panggilan dimatikan. Adi meremas rambutnya frustasi, kini Santi salah paham. Dia jadi serba salah, jika tak keluar desa untuk kerja, dia tidak akan mendapatkan penghasilan yang lumayan dengan hanya kerja seminggu saja.

“Mal!”

“Hum?”

“Istriku salah paham.”

“Hah!? Salah paham gimana?”

“Salah paham karena, karena mendengar suara istrimu. Dia nuduh aku bermain serong di belakang.”

“Hahaha …”

Adi menfernyitkan dahinya heran, melihat Jamal yang tertawa kencang.

“Bang, sudah! Kasian Bang Adi, lebih baik Abang bantu bicara sama istrinya, aku juga mau jelasin. Mungkin dengan begitu dia bisa percaya.”

“Tapi telfonku sudah dia tolak berkali-kali barusan, Mal.”

“Pesan suara saja, nanti juga didengar, sini Handpone mu.”

Adi langsung menyerahkan ponsel miliknya tanpa membantah.

“Sini, kau sarapan dulu, habis ini kita balik ke kota Asri.” Terangnya sambil menepuk kursi di sebelahnya.

Adi menurut, sedangakan suami-istri tersebut menjelaskan secara bergantian kepada istri Adi melalui pesan suara. Adi hanya berharap istrinya tidak salah paham lagi ketika nanti sudah meneengarkan pesan suara tersebut.

Adi kembali mengecek Handponenya, dia menghembuskan nafas lemah saat pesannya sudah terbaca tetapi tak dibalas oleh sang istri. Jamal hanya melirik sekilas dan kembali fokus menyetir, sekarang mereka akan kembali ke tempat di mana mereka bekerja.

****

DI sisi lain, Santi termenung.

“Suara seorang wanita? Bang Adi sama siapa? Bukannya dia bilang sedang mengirim barang bersama Jamal.”

“Jamal terkenal sebagai pemain wanita, mungkin saja suamimu terhasut dirinya. Mereka di kota, tanpa ada istri-istrinya yang menghangatkan ranjang mereka, tentu saja lelaki itu akan bermain serong. Bukannya di sana mereka bebas? Itu berarti uangnya ‘tak semua dikirim untukmu di sini!”

Santi terdiam, dia menerima semua pikiran buruk yang hinggap di kepalanya.

Dilempar ponselnya ke ranjang.

“Laki-laki sama saja!” ucapnya sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai dan berlalu pergi.

“Mak--, Ayah nelfon.”

Santi lansung merebut ponsel di tangan Nadia dengan paksa.

“Kok dimatikan sih, Mak?”

“Gak usah ikut campur urusan orang tua, sana pergi ke sekolah. Sekalian antar Mila dulu!” ucapnya ketus sambil berlalu.

“Nad, Emak mu kenapa?”

“Enggak tahu, Mbak.” Jawab Nadia sambil menghendikkan bahunya.

“Apa jangan-jangan, Ayahmu tahu soal tamu laki-laki emakmu kemaren? Karena itu mereka bertengkar.

Nadia berfikir sejenak.

“Ah sudahlah, jangan berfikir terlalu jauh, lebih bik kau cepat berranggkat ke sekolah, keburu telat. ‘kan juga masih nganterin si Mila, tuh dia sudah berdiri di samping motor.” Tunjuk Minah menggunakan dagunya kea rah Mila.

Nadia lanssung mengangguk dan mencium tangan Minah dengantakzim.

“Berangkat dulu,ya Mak.”

“Iya, Hati-hati. Pelan saja bawa motornya.”

Nadia mengangguk dan lansung tancap gas meninggalkan Minah yang berjalan menuju gerobak sayur langganannya.

***

“Jadi, kau mendengar suara wanita di sana? Bersama suamimu?” tanya Wawan dari seberang telepon.

“Iya, aku dengar jelas, kok. Tapi Jamal ngirim sama wanita tadi yang aku dengar suaranya mengirimkan pesan suara, mereka menjelaskan kalau Adi memang betul nginep di rumah mereka, dan si wanita bilang, kalau dia istri keduanya Jamal, bukan wanitanya Adi.”

“Lalu, apa yang kamu ragukan, San? Jelas-jelas mereka sudah menjelaskan kalau wanita itu bukan wanitanya Adi—suamimu,” tuduh Wawan.

Santi terdiam mendengar itu. 'Benarkah?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status