“Ini Abang hanya dikasih 150 ribu, itu pun buat uang makan Abang selama seminggu lagi disini, Di.”
“Hallah, ya jangan ngandalin penghasilan dari itu, dong Bang! Abang ‘kan bisa mijit. Hari libur gunain waktunya buat mijit, harus pinter-pinter putar otak biar penghasilannya cukup!” maki Santi dengan kasar.
Al-Dasim tertawa puas.
“Hahaha .. sifat alami manusia, selalu menganggap dirinya yang paling benar, dan ‘tak mau ngeakui kesalahan, jarang bersukur dan selalu kurang dengan pemberian Tuhannya, tetapi kenapa mereka justru menjadi ahli syurga?”
“Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh, tugasmu hanya menghasut dan menggoda mereka, supaya mereka ingkar kepada Tuhannya!” ingat salah satu Jin yang kebetulan ada di rumah itu, “Hei—Al-Dasim, pergilah ke rumah-rumah, hasut wanitanya, berilah dia rasa lelah yang bertubi-tubi, hilangkan rasa syukurnya, buat dia merasa kalau bebannya di rumah terlalu berat. Dengan begitu dia akan selalu mengeluh tentang pekerjaannya yang tak habis-habis, maka dia kehilangan hormatnya pada suami-suaminya!”
Dasim tak peduli.
Dia menghilang dari kerajaannya dan pergi ke alam manusia.
Dia melihat terlalu banyak orang yang berhati iblis. Seperti orang-orang yang merasa derajatnya lebih tinggi, lalu dia dzalim dan sombong kepada orang-orang yang dia anggap dibawahnya, pencuri dan penipu yang berkeliaran, orang-orang yang memakan hak orang lain serta mereka yang tak dapat menjaga lisan, dengan menyakiti hati saudaranya sendiri.Tetapi apa pedulinya? Bukankah tugasnya memisahkan ibadah terpanjang dua insan?
“Teruslah berbuat kerusakan wahai anak cucu Adam, agar kelak kau mejadi teman kami di Kerak Jahannam!”
Dasim menghilang, misinya belum tuntas untuk mencerai beraikan sebuah keluarga.
Dia mengamati sebuah keluarga yang sudah menjadi incarannya, keluarga dengan wanita yang selalu mengeluh tentang ujian ekonomi yang mereka hadapi, dia sangat intens menghasut sang wanita, karena wanita lebih mengutamakan hati dan perasaanya ketika berfikir, mudah tersinggung, dan cepat mengeluh tentang sesuatu.
“Sebentar lagi, lebih baik aku mecari target baru!”
Dasim lalu menghilang dari keluarga tersebut, keluga yang dia yakini sebentar lagi bercerai berai, yang tak lain adalah keluarga Adi dan Santi.
Tinggal tambahkan bumbu sedikit dan rusaklah mereka!
Diperhatikannya Adi yang masih menelpon dan seorang perempuan yang akan masuk.
Sempurna!
Tok tok tok!
“Bang Adi, ayok makan dulu. Sarapannya sudah siap,” panggil istri Jamal mengetuk pintu kamar yang ditempati Adi.
“Siapa itu, Bang?”
“Itu, wanitanya Jamal. Aku disini, nginep di rumahnya Jamal.”
“Bukan wanita simpananmu!?” tuduh Santi langsung.
Deg!
“Astagfirullah, mana berani aku , dek? Jangan pernah berfikir seperti itu. Aku tak pernah berfikir untuk menduakanmu.”
“Jangan percaya! Apalagi dia bersama temannya yang suka bemain wanita. Tidak ada lelaki yang sanggup menahan nafsu biologisnya ,mungkin memang bukan selingkuhannya, tetapi bisa jadi dia wanita satu malamnya. Terlalu banyak kemungkinan jika seorang suami jauh dari istrinya.”
Santi terdiam, bisikan-bisan itu membuat hatinya memanas.
“Baru seminggu jauh dari keluarga, sudah berani main wanita lain di belakang! Dasar suami ‘tak setia! Istri di sini mengurus anak-anakmu! Pantas saja kau Cuma mengirimkan uang segitu. Rupanya untuk memenuhi nafsu setanmu!” maki Santi sambil berteiak.
“Dek!”
Tut.
Panggilan dimatikan. Adi meremas rambutnya frustasi, kini Santi salah paham. Dia jadi serba salah, jika tak keluar desa untuk kerja, dia tidak akan mendapatkan penghasilan yang lumayan dengan hanya kerja seminggu saja.
“Mal!”
“Hum?”
“Istriku salah paham.”
“Hah!? Salah paham gimana?”
“Salah paham karena, karena mendengar suara istrimu. Dia nuduh aku bermain serong di belakang.”
“Hahaha …”
Adi menfernyitkan dahinya heran, melihat Jamal yang tertawa kencang.
“Bang, sudah! Kasian Bang Adi, lebih baik Abang bantu bicara sama istrinya, aku juga mau jelasin. Mungkin dengan begitu dia bisa percaya.”
“Tapi telfonku sudah dia tolak berkali-kali barusan, Mal.”
“Pesan suara saja, nanti juga didengar, sini Handpone mu.”
Adi langsung menyerahkan ponsel miliknya tanpa membantah.
“Sini, kau sarapan dulu, habis ini kita balik ke kota Asri.” Terangnya sambil menepuk kursi di sebelahnya.
Adi menurut, sedangakan suami-istri tersebut menjelaskan secara bergantian kepada istri Adi melalui pesan suara. Adi hanya berharap istrinya tidak salah paham lagi ketika nanti sudah meneengarkan pesan suara tersebut.
Adi kembali mengecek Handponenya, dia menghembuskan nafas lemah saat pesannya sudah terbaca tetapi tak dibalas oleh sang istri. Jamal hanya melirik sekilas dan kembali fokus menyetir, sekarang mereka akan kembali ke tempat di mana mereka bekerja.
****
DI sisi lain, Santi termenung.
“Suara seorang wanita? Bang Adi sama siapa? Bukannya dia bilang sedang mengirim barang bersama Jamal.”
“Jamal terkenal sebagai pemain wanita, mungkin saja suamimu terhasut dirinya. Mereka di kota, tanpa ada istri-istrinya yang menghangatkan ranjang mereka, tentu saja lelaki itu akan bermain serong. Bukannya di sana mereka bebas? Itu berarti uangnya ‘tak semua dikirim untukmu di sini!”
Santi terdiam, dia menerima semua pikiran buruk yang hinggap di kepalanya.
Dilempar ponselnya ke ranjang.
“Laki-laki sama saja!” ucapnya sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai dan berlalu pergi.
“Mak--, Ayah nelfon.”
Santi lansung merebut ponsel di tangan Nadia dengan paksa.
“Kok dimatikan sih, Mak?”
“Gak usah ikut campur urusan orang tua, sana pergi ke sekolah. Sekalian antar Mila dulu!” ucapnya ketus sambil berlalu.
“Nad, Emak mu kenapa?”
“Enggak tahu, Mbak.” Jawab Nadia sambil menghendikkan bahunya.
“Apa jangan-jangan, Ayahmu tahu soal tamu laki-laki emakmu kemaren? Karena itu mereka bertengkar.
Nadia berfikir sejenak.
“Ah sudahlah, jangan berfikir terlalu jauh, lebih bik kau cepat berranggkat ke sekolah, keburu telat. ‘kan juga masih nganterin si Mila, tuh dia sudah berdiri di samping motor.” Tunjuk Minah menggunakan dagunya kea rah Mila.
Nadia lanssung mengangguk dan mencium tangan Minah dengantakzim.
“Berangkat dulu,ya Mak.”
“Iya, Hati-hati. Pelan saja bawa motornya.”
Nadia mengangguk dan lansung tancap gas meninggalkan Minah yang berjalan menuju gerobak sayur langganannya.
***
“Jadi, kau mendengar suara wanita di sana? Bersama suamimu?” tanya Wawan dari seberang telepon.
“Iya, aku dengar jelas, kok. Tapi Jamal ngirim sama wanita tadi yang aku dengar suaranya mengirimkan pesan suara, mereka menjelaskan kalau Adi memang betul nginep di rumah mereka, dan si wanita bilang, kalau dia istri keduanya Jamal, bukan wanitanya Adi.”
“Lalu, apa yang kamu ragukan, San? Jelas-jelas mereka sudah menjelaskan kalau wanita itu bukan wanitanya Adi—suamimu,” tuduh Wawan.
Santi terdiam mendengar itu. 'Benarkah?'
“Tapi aku masih ragu, Wan. Bagaimana kalau bukan hanya dia wanita di sana? ‘kan aku gak tau dan gak melihat langsung” jelasnya dengan suara lirih yang dibuat-buat.“Tak apa, ada aku di sini.” Rayunya.Santi kembali di buat melayang di buat Wawan.“San, bagaimana kalau kita bertemu lagi? Apa kau tak keberatan, hum?”“Ketemu?”“Iya, kalau ketemu, kau bisa bebas curhat tentang masalahmu.”Santi pun setuju, dia segera bergegas mandi dang anti baju, lagi pula sekarang dia hanya sendiri di rumah bukan? Ke dua anaknya sedang sekolah, Mila mungkin nanti setelah dzuhur baru pulang, sedangkan Nadia sudah pasti sore, tetapi dia akan meminta Minah untuk menjemput Mila di sekolah. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu Mila lebih dulu pulang dari dirinya nanti.Dalam benaknya, dia pasti akan di ajak beli baju-baju bagus lagi, seperti kemarin. Santi se akan lupa, lelaki berbuat baik berarti menginginkan sesuatu kecuali orang itu adalah suaminya, atau memang orang-orang yang memiliki hati tulus pada d
Sampai makanan dan minumannya datang, Nadia tak kunjung tenang memikirkan sang adik yang entah kemana, atau mungkin dia lupa, bahwa Minah selalu senantiasa menjaga mereka, jika sang Ayah atau Emak mereka keluar rumah. Rasanya hambar, tetapi dia tetap berusaha menelan makanan yang di sajikan. Entah inisiatif dari mana, Nadia langsung merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dia lansung memotret Emaknya dan orang asing yang harus dia hormati, itu pesan Emaknya. Nadia membekap mulutnya sendiri, saat Wawan menyuapi Emaknya. Bahkan mereka sedang berpegangan tangan, air matanya sudah menganak sungai tetapi Nadia tahan sebisa mungkin. Dia kepikiran saang Ayah, bagaimana jika Ayahnya tau kalau istrinya bermain api bersama laki-laki lain? Nadia bergegas menghabiskan makanan yang terhidang di atas meja, dia tidak bisa berlama-lama di sana, dia khawatir adikknya sedang sendiri di rumah, terlebih lagi dia takut, Emaknya memergokinya sedang selingkuh di sana. “An .. aku—aku pulang dulu, y
“Mau kerja di sini saja, sambil jaga anak-anak,”Adi melanjutkan langkahnya ke dalam kamar, dia meletakkan barang-barang yang dia bawa yang kebanyakan baju kototr yang tidak sempat ia cuci di sana.“Abang gak boleh begitu, kalau Abang berenti kerja mau makan apa kita? Jangan malas jadi laki-laki! Gak ada tanggung jawab sekali!”“Gak ada tanggung jawab? Apa selama nikah, aku ‘tak pernah bekerja? Apa selama ini aku ‘tak menafkahi kamu? Jawab!” geram Adi.Santi terhenyak, selama ini Adi tidak pernah sekalipun meninggikan suara kepadanya.“A—aku,”“Aku capek San! Selama aku kerja di luar apa yang kamu lakukan?”“Ma—maksudmu, Bang?”“Kenapa kau ‘tak mengantarkan anak-anak ke sekolah?”“Aku mengantarkan anak-anak ke sekolah, kok.”“Oh, iya?” Adi tersenyum sinis lalu membanting pintu cukup keras dan menguncinya dari dalam.“Bang!”“Aku capek, ingin istirahat. Kau pergilah bersama teman laki-lakimu itu! Tapi jangan sampai anak-anakku tahu, atau kau akan menyesal,” kecam Adi tanpa membuka pin
Brakk … Santi membanting tasnya ke atas meja dengan kesal. “Kenapa ‘tak jemput aku, Bang?” “Aku jalan kaki dari gang depan, sampek kesini.” gerutunya. “Kenapa ‘tak minta antarkan sampai depan rumah sama selingkuhanmu?” Santi merengut. “Selingkuhan apa lah, Bang? Dia itu temanku,” Adi menghela nafas “Mila, Nadia. Kalian makan di kamar ya?” pintanya. “Heh, apa-apaan makan di kamar. Nanti kotor!” ucap Santi dengan meninggikan suaranya. Entah lupa atau memang sengaja dia membentak anak-anak di depan Adi. Brak .. Adi menggeprak meja dengan keras, membuat Santi dan kedua anaknya terkesiap. Mereka sudah sering kali melihat Santi marah-marah, tetapi kali ini Ayahnya yang melakukan, bagaikan gunung yang siap meletuskan larvanya, seperti itu ketika dia lihat kilat amarah dimata sang Ayah. “Masuk kamar!” Tanpa membantah lagi, mereka pergi tanpa mempedulikan sang Emak yang sedang melotot. “Aku sudah cukup sabar sama semua sifatmu, San!” ucap Adi tegas setelah anak-anak berada di ka
Setelah kepergian Adi, Dasim tertawa terbahak-bahak, tawanya sangat kencang, mungkin jika tawanya di dengar manusia, gendang telinga orang itu akan pecah, atau mungkin karena mendengar tawanya, orang itu akan mati di tempat. Mengerikan memang! ‘Hahaha .. aku sudah melakukan perintah Tuhan, dengan memperlihatkan kecurangan pasangan terhadap pasangannya sendiri! Bukankah aku makhluk yang deratnya jauh lebih unggul? Haha .. itulah aku, aku adalah Al-Dasim’ Dasim meninggalkan tempat itu dengan memegang kemenangan yang Telak, tugasnya cukup mengerikan. Sekarang dia menemui manusia yang menjadi target selanjutnya. Apalagi ujian yang paling berat bagi rumah tangga,ekonomi atau yang lain? Hati-hati! Bisa saja Al-Dasim sedang mengincar keluargamu. Waspadalah dengan gondaan dan hasutannya! “Apa yang kau lakukan, San? Hingga suamimu lepas tangan?” “Aku .. aku tidak melakukan apapun, Pak,” “Jangan berbohong! Bapak tahu betul sifat suamimu, kalian menikah bukan hanya sekedar 5 atau 6 tahun!
Lelaki itu kembali melihat kertas yang berisi sebuah alamat yang diberikan kakek misterius tempo lalu, dia tampak ragu untuk turun dari mobilnya, pasalnya sepenjang mata memandang hanya ada kayu jati yang tumbuh menjulang tinggi dengan daunnya yang cukup rimbun, sampai mampu menghalangi sinar matahari disore hari itu.Setelah pertimbangan yang cuku matang, lelaki itu turun dari mobilnya, mencoba melihat sekitar, siapa tahu dia melihat orang, meski mungkin sangat mustahil, mengingat dia berada ditengah jalan yang kanan kiri diapit pohon jati. Sedangkan didepannya jalan buntu dengan semak belukar setinggi perut orang dewasa.Tak sengaja ekor matanya melihat seorang laki-laki duduk meneduh di bawah pohon jati, gegas ia menghampiri. Dia juga heran, padahal tadi dia sudah melihat sekitar, hanya hampa, tetapi tiba-tiba saja lelaki paruh baya duduk dibawah salah satu pohon tak jauh dari tempatnya berdiri. Cukup ganjil memang, tetapi demi misi dan ambisinya, dia tak menghiraukan keganjila
Bukankah iblis dan sebangsanya penuh tipu muslihat? lalu kenapa sampai kita terpikat? Padahal yang ditawarkan hanyalah indahnya duniawi, apa karena itu kita melupakan akhirat? Tidak! Nafsu, ya hanya karena nafsu, nafsu duniawi yang menuntut harus dipuaskan, tetapi kita juga lupa, bahwa nafsu duniawi tidak akan pernah puas, ia selalu kurang dan kurang. Serakah!Soal tipu muslihat, mungkin itu yang sekarang di rasakan Ridwan, rumah panggung yang ia lihat, tidak pernah ada! Kenyataanya, dia sedang duduk di dahan pohon jati yang tumbang, sedangkan dihadapannya sesosok makhlup besar bertanduk, dengan badan merah dan gigi runcing, jangan lupakan, rambut yang kasar seperti ijuk tetapi hanya 5 helai.Itulah ilusi, dan tipu muslihat setan!Ridwan menerima kotak hitam yang didalamnya terdapat pasak bumi, dan juga sebuah kertas yang berisi bacaan mantra yang harus dia baca saat menanam pasak tersebut.“Sekarang, pulanglah jangan sampai istrimu curiga!”“Satu lagi, setelah keluar dari sini, janga
Ridwan terbangun saat mendengar bunyi berisik di lantai satu rumahnya, gegas dia turun untuk mengecek ada apa gerangan. Tetepi kini suara berisik itu menghilang, diganti dengan suara seperti orang mengunyah dan mengecap, dia mengikuti sumber suara itu yang ternyata berasal dari dapur rumahnya.Di dapur, dia melihat seorang wanita yang dia yakini adalah istrinya, wanita itu berjongkok dan memegang sesuatu ditangannya. Ridwan menegur istrinya, ingin menenyakan apa yang sedang wanita itu lakukan, tetapi saat berbalik.DegDegup jantung Ridwan berpacu lebih cepat, dia melihat Wirda dengan wajah yang mengelupas dan mata yang menggantung keluar, yang tak kalah mengerikan lagi sesuatu ditangan Wirda, daging merah yang masih mengeluarkan darah segar.Ridwan melangkah mundur, Wirda mendekatinya dengan merangkak. Dia terpojok, punggungnya sudah mentok di meja makan.“Mau, Mas?”“Arghh ..”Ridwan terbangun dengan nafas ngos-ngosan, mimpinya sangat menakutkan. Ridwan segera meminum air di atas la