LOGIN'Ting... Tong...'
Bel rumah berbunyi, Mama Jessica bergegas bangkit menuju pintu untuk membukanya. Akhirnya aku terlepas dari keadaan yang sebenarnya cukup sulit untuk dikendalikan. "Eh, Papa udah pulang rupanya. Gimana kerjaannya, lancar?" Mama Jessica membantu melepaskan jasnya Ayah. "Lancar, seperti biasanya. Sekarang mau istirahat dulu. Hari ini lelah sekali rasanya." Percakapan mereka berdua terdengar jelas, masuk begitu saja ke telingaku. Aku masih duduk di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk memainkan ponsel meski pikiranku ke mana-mana. Ketika Ayah berjalan menuju kamarnya, langkahnya terhenti tiba-tiba. Ia menatapku, ekspresinya langsung berubah terkejut. Tanpa pikir panjang, ia membalikkan arah dan menghampiriku, seolah rasa penasarannya mengalahkan segala kelelahan setelah bekerja seharian. "Radit? Kamu kenapa?" tanya Ayah, panik. "Maksud Papa?" "Itu, lututmu kenapa diperban?" Aku menunduk sejenak, mengikuti arah pandangan Ayah. Benar saja, di lutut kananku terbalut perban putih yang cukup mencolok. Aneh, aku bahkan tidak menyadarinya sejak tadi. Mungkin karena pikiranku masih terbawa oleh perhatian lembut Mama Jessica tadi, membuatku seolah terputus dari rasa sakit di tubuh sendiri. "Oh, enggak Pa. Cuma keseleo aja dikit." "Keseleo kenapa kamu, Nak?" suaranya tenang, tapi matanya tajam memeriksa. Raut wajah Ayah tampak diliputi kecemasan. Baru kali ini aku melihatnya begitu panik hanya karena luka kecil di tubuhku. Biasanya ia selalu tampil tegas, dingin, dan berbicara seperlunya saja. Aku membuka mulut untuk menjawab, tapi Mama Jessica sudah lebih dulu melangkah maju. "Jatuh dari tangga tadi, Pa. Mama minta Radit bantuin pasang lampu," timpal Mama Jessica menjelaskan. Ayah yang tadinya jongkok memperhatikan lututku, perlahan bangkit. Gerakannya tidak cepat, tapi tegang—seolah sesuatu mendidih di dalam dirinya. Raut wajahnya berubah merah, jelas menahan emosi. "Kenapa nyuruh Radit?" suaranya mulai meninggi. Ia menatap Mama Jessica, rahangnya mengeras. "Kalau dia sampai terluka parah bagaimana? Jawab!" Mama Jessica tersentak mundur setapak, wajahnya langsung pucat. "Ra—radit tadinya gak mau naik, Pa. Mama cuma... ya..." suaranya melemah, sulit menyusun kata. Ayah mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. "Kamu tau dia trauma ketinggian. Kenapa masih kamu suruh naik?" Aku langsung memegang lengan Ayah, mencoba menenangkan. "Pa, jangan salahin Mama. Aku yang maksa bilang bisa." Meskipun itu bukan sepenuhnya benar, aku tidak tahan melihat Mama Jessica disudutkan. Mama Jessica menunduk, kedua tangan mencengkram ujung bajunya—jelas merasa bersalah. Ayah menatapku sebentar, lalu mengalihkan pandangannya pada Mama Jessica. Napasnya mulai mereda, meski jelas kemarahannya belum benar-benar hilang. Tanpa berkata apa-apa, Ayah berbalik dan melangkah masuk ke kamar. Pintu tertutup keras di belakangnya. Mama Jessica mengembuskan napas pelan. Ia menatapku dan mencoba tersenyum—tipis, kaku—seolah hanya untuk memastikan aku tidak terlalu khawatir. Tapi dari sorot matanya, aku bisa melihat jelas gurat sedih yang ia sembunyikan. Seperti ada beban yang selama ini ia pendam, dan bentakan Ayah barusan hanya membuat luka itu makin terasa. Aku tidak tahu harus berkata apa. Hanya bisa duduk terpaku, menimbang apakah seharusnya aku menyusul Ayah, atau justru menenangkan Mama Jessica yang kini tampak lebih rapuh dari sebelumnya. "Ma, Papa kenapa, sih?" tanyaku pelan. Mama Jessica menghela napas panjang, bahunya turun perlahan. Ia duduk di sampingku, tangannya otomatis merapikan perban di lututku meski sebenarnya sudah rapi. "Mama juga gak tau," jawabnya lembut, namun suaranya terdengar letih. "Intinya Papa sayang banget sama kamu. Gak mau kamu kenapa-napa." Aku mengernyit, masih tak mengerti. "Tapi ini kan cuma keseleo biasa, Ma. Kenapa Papa nyampe marah banget kayak gitu?" Mama Jessica menatapku sebentar, lalu mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar Ayah yang tertutup rapat. Ada sesuatu di sorot matanya—campuran takut, bingung, dan merasa salah. Ia menepuk pahaku pelan—jauh dari bagian yang sakit. "Udah lah, Dit. Gak usah dipikirin," katanya sambil tersenyum tipis, meski jelas bukan senyum yang sebenarnya. "Baiknya sekarang kamu istirahat aja, ya. Biar lututmu cepet sembuh." Mama Jessica bangkit dan meninggalkanku, dengan raut wajah yang tampak lebih murung dari biasanya. Aku hanya bisa menggeleng pelan, memikirkan apa yang sebenarnya membuat sikap Ayah berubah sedrastis itu. Perlahan aku ikut bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar, langkahku terasa sedikit tertatih. *** Sore berganti malam, telingaku rasanya cukup panas mendengar pertengkaran yang terjadi. Ternyata, kejadian saat Ayah melihatku sore tadi, sampai membuatnya marah terhadap Mama Jessica, masih berlangsung hingga malam ini. "Kan Mama udah bilang, Mama gak bisa kayak gini terus!" Suara Mama Jessica terdengar jelas. Sementara Ayah, suaranya sama sekali tidak terdengar. Hanya bunyi benda-benda yang dibanting keras dari dalam kamar mereka yang sesekali memecah keheningan. Aku mengelus dadaku, berharap pertengkaran itu segera mereda, atau setidaknya berhenti untuk malam ini. Tak tahan lagi mendengarnya, aku keluar dari kamar dan berjalan terus hingga berada di teras rumah. Di sana, aku duduk, berharap telingaku bisa sedikit aman dari suara-suara yang tidak ingin kudengar. Beberapa saat kemudian, pintu utama terbuka. 'Klek!' Ternyata Mama Jessica. Ia keluar dan duduk di sampingku. Aku tetap diam, menatap lurus ke depan, tanpa berani sedikit pun menoleh ke arahnya. "Serius banget, nih? Liatin apaan?" Aku terlonjak sedikit. "Eh, Ma? Sejak kapan udah di sini?" "Udah, kamu gak usah pura-pura. Mama tau kok." "Maksudnya?" Mama Jessica memiringkan tubuh sedikit ke arahku, suaranya diturunkan. "Ya itu, Mama tau kamu denger semuanya tadi." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, tertawa pendek. "Hehe, enggak kok, Ma. Cuma dikit doang, trus aku buru-buru keluar ke sini." "Hmm..." gumamnya pelan, seperti masih mempertimbangkan sesuatu. Aku melirik sekilas ke arah Mama Jessica. Ia menatap lurus ke depan, dan aku tak bisa menebak apakah itu caranya menahan kesedihan atau sekadar mencoba menenangkan diri. Deg! Jantungku serasa berhenti sejenak ketika ia tiba-tiba merebahkan kepalanya di pundakku. Apakah ini wajar bagi seorang ibu dan anak? Aku sendiri tidak yakin. Yang jelas, rasanya lebih mirip kedekatan sepasang kekasih daripada hubungan keluarga. Aku tidak tahu apa maksudnya. Tanganku sempat kaku, bingung harus berbuat apa. Namun perlahan, seolah digerakkan naluri, aku mengangkat tangan dan membelai rambutnya dengan lembut, berharap bisa sedikit meredakan kesedihan yang mungkin sedang ia tahan. "Boleh peluk?" tanyanya tiba-tiba, membuat mataku terbelalak. "Bo-boleh kok, Ma." Kami saling berpandangan sejenak, lalu perlahan saling merengkuh dalam pelukan. Begitu besar tampaknya duka yang ia pikul, hingga saat ini ia benar-benar membutuhkan seseorang untuk sekadar menjadi sandaran. Sementara bagian tubuh di antara kedua pahaku belum mampu menyesuaikan keadaan. Di saat momen sedang sedih-sedihnya, celanaku malah sesak tiba-tiba! Hal ini dapat kupastikan karena garis lembut yang berasal dari bukit kembarnya, cukup menempel erat di dadaku. Aku mengusap-usap punggungnya secara perlahan. Aneh, tapi ini yang mungkin dibutuhkannya. Persis seperti sepasang kekasih yang sedang dilanda kerinduan. "Udah, jangan sedih lagi ya, Ma. Semoga semuanya baik-baik aja," bisikku pelan. Tidak ada jawaban, Mama Jessica hanya mengeratkan pelukannya itu, dan aku berharap ini berlangsung lama. "Makasih ya, Dit." Suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang lepas tanpa ia sadari. "Buat apa, Ma?" "Makasih udah mau ngertiin apa yang Mama butuhkan." "Gak apa-apa, Ma. Aku paham kok apa yang Mama rasa." Dia menatapku sambil tersenyum manis, dan untuk sesaat aku hampir kehilangan kendali. Seolah lupa bahwa perempuan di hadapanku ini adalah ibu tiriku sendiri. Entah sengaja atau tidak, tiba-tiba saja tangan Mama Jessica sudah hinggap di pahaku. Ia mengusapnya lembut, membuat aliran listrik mengalir cepat ke dalam sana. Aku hanya terdiam, belum benar-benar memahami maksudnya. Mungkin saja baginya itu hal yang wajar. Sesuatu yang dianggap normal oleh siapa pun dalam situasi seperti ini. Akan tetapi, lama-kelamaan aku merasa bahwa tangannya itu semakin mendekati celanaku, bahkan sudah menyentuhnya. Membuat tubuhku menegang seketika. "Ma?" ucapku akhirnya, tak tahan lagi. "Kenapa, Dit?" Aku menelan ludah, melihat tangannya yang masih berada dekat pahaku. "Mama ngapain?" "Ini loh," katanya sambil memutar benang di jarinya. "Ada benang yang keluar dari celanamu. Mama cabut ya? Biar rapi." Benar saja, ada beberapa helai benang yang keluar dari celanaku. Akan tetapi, posisinya tepat pada kediaman pejantan tangguhku. Mama Jessica terlihat fokus menarik benang-benang itu, sehingga beberapa kali tangannya menyentuh pahaku. Sementara itu, hasratku semakin memuncak dibuatnya. Ketegangan berhasil menyelimuti celanaku yang sedari tadi telah sesak. "Udah bangun ya, Dit?" tanyanya pelan, tanpa menoleh ke arahku. "Apanya, Ma?" "Ini, punyamu." "Eh..." Tiba-tiba saja keringat yang sudah membanjiri kepala. "Dit, andai punya Papa seperti milikmu ya..." "A–apa..." Aku membeku. Jadi, saat handukku jatuh sebelumnya, Mama Jessica sempat melihatnya?! Namun, belum tuntas aku bicara, Mama Jessica menggerakkan tangannya yang lembut–sontak membuat mataku membulat!'Ting... Tong...' Bel rumah berbunyi, Mama Jessica bergegas bangkit menuju pintu untuk membukanya. Akhirnya aku terlepas dari keadaan yang sebenarnya cukup sulit untuk dikendalikan. "Eh, Papa udah pulang rupanya. Gimana kerjaannya, lancar?" Mama Jessica membantu melepaskan jasnya Ayah. "Lancar, seperti biasanya. Sekarang mau istirahat dulu. Hari ini lelah sekali rasanya." Percakapan mereka berdua terdengar jelas, masuk begitu saja ke telingaku. Aku masih duduk di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk memainkan ponsel meski pikiranku ke mana-mana. Ketika Ayah berjalan menuju kamarnya, langkahnya terhenti tiba-tiba. Ia menatapku, ekspresinya langsung berubah terkejut. Tanpa pikir panjang, ia membalikkan arah dan menghampiriku, seolah rasa penasarannya mengalahkan segala kelelahan setelah bekerja seharian. "Radit? Kamu kenapa?" tanya Ayah, panik. "Maksud Papa?" "Itu, lututmu kenapa diperban?" Aku menunduk sejenak, mengikuti arah pandangan Ayah. Benar saja, di lutut k
Setelah Mama Jessica berdiri dengan stabil, aku langsung menarik tanganku cepat-cepat. Jantungku berdebar kacau, wajahku panas bukan main. Tapi Mama Jessica hanya menatapku sambil tersenyum tipis, seakan sentuhan barusan sama sekali bukan masalah baginya. "Yaudah, sekarang coba kamu yang pasang lampunya." Mama Jessica memberikan bohlam itu kepadaku. Aku cukup lega karena terlepas dari ujian yang sebenarnya kuketahui kunci jawabannya. Akan tetapi, ujian berikutnya ternyata justru mengancam nyawaku. Aku menelan ludah, menatap bola lampu yang harus kuganti, lalu melirik ke tangga lipat itu. "Maaf, Ma. Aku gak bisa." "Loh, kenapa?" Aku menggeser langkah mundur setapak, tangan berkeringat. "Aku takut ketinggian soalnya." Mama memelototkan mata kecilnya, setengah tak percaya. "Ih kamu ya, Dit? Serius kamu?" Ia berdiri dengan tangan di pinggang. Aku menghela napas panjang, lalu menatap ke atas sebentar sebelum cepat-cepat kembali melihat lantai. "Iya, Ma. Trauma soalnya. Dulu wa
Aku mengatur napas sebaik mungkin, setelah lari terbirit-birit ke dalam kamar. Bagaimana jika Mama Jessica melihat milikku barusan?! 'Tok! Tok! Tok!' Belum selesai aku menata pikiran, dentuman ketukan tiba-tiba memukul pintu kamarku. "Radit, udah pake bajunya? Kita sarapan sekarang, yuk? Mama udah laper banget, nih." Aku bergegas mengenakan kaos dan celana jeans. Tidak lupa juga ikat pinggang ku eratkan sekuat mungkin. Berharap agar kejantananku terkunci rapat di dalam sana. "Iya Ma, ini udah mau siap." Aku menghampiri Mama Jessica yang sudah menanti di ruang makan. "Loh, Radit? Mau kemana kamu?" Mama Jessica memiringkan kepala, matanya menelusuri penampilanku dari atas sampai bawah. "Sarapan kan, Ma?" "Iya, Mama tau. Tapi, ngapain pake jeans segala? Masa iya sarapan rapi banget kayak gitu?" "Gak apa-apa, Ma. Biar lebih seger aja, hehe." Mama Jessica tersenyum sambil menggeleng pelan. Entah ia tahu maksud di balik celana jeans yang kupakai, aku tidak tahu. Ia l
Aku cukup tercengang. Walaupun sebenarnya hati ini ingin mengiyakannya, tapi entah kenapa aku seakan harus menolaknya. "Nggak usah, Ma. Aku sendiri aja. Mungkin sebentar lagi juga udah nyala lampunya." "Yaudah kalau gitu. Mama balik ke kamar dulu, ya." "Eum, iya Ma." "Huft..." Aku menghela napas, tidak tahu apa yang akan terjadi jika mengiyakan tawarannya itu. "Yaelah Dit, mikir apaan, sih?" batinku bicara, tersenyum sambil menggelengkan kepala. Namun demikian, aku tidak boleh menyimpan hasrat terhadapnya. Itu adalah ibuku, walau hanya ibu tiri, tapi dia adalah istri sah dari Ayahku. Tiga bulan lalu Ayah menikahinya. Usia Ayah sebenarnya sudah tidak muda lagi, sedangkan Mama Jessica jauh lebih muda darinya. Perbedaan usia mereka cukup mencolok, hingga tak jarang orang di sekitar kami sempat berbisik heran, mempertanyakan alasan di balik pernikahan mereka. Aku pun tidak tahu pasti kenapa Mama Jessica mau menikah dengan Ayah. Kadang aku berpikir, mungkin karena cinta, atau bisa
"Ahh... Ahh... Ahh..." Langkahku terhenti saat mendengar suara kenikmatan. Tepat berada di depan pintu kamar ibuku. Aku yang terbangun tengah malam karena merasa ingin buang air kecil, mengurungkan niatku sejenak untuk mendengar lebih jelas. Perlahan, aku mendekatkan telinga ke pintu. Ternyata benar, suara itu memang berasal dari dalam kamar Mama Jessica, ibu tiriku. Rasa buang air kecil yang tadinya nyaris tak tertahankan, menghilang seketika. Aku mengatur napas sebaik mungkin, sembari mencoba berpikir apa yang sedang berlangsung di dalam sana. Bagaimana mungkin? Tidak, ini tidak mungkin! Batinku bergejolak, pikiranku melayang-layang. Apa mungkin ibu tiriku memasukkan pria lain ke dalam kamar? Atau jangan-jangan... Pikiranku semakin beterbangan, membayangkan apa yang dapat memicu munculnya suara desahan itu. Ayah belum pulang karena lembur malam ini. Jadi, tidak mungkin desahan itu muncul dengan sendirinya. "Loh, Radit? Ngapain di sini?" tanya Mama Jessica yang tiba-tiba s







