Share

Bab 4

Author: Joker Sarjana
last update Last Updated: 2025-11-24 00:49:17

Setelah Mama Jessica berdiri dengan stabil, aku langsung menarik tanganku cepat-cepat. Jantungku berdebar kacau, wajahku panas bukan main.

Tapi Mama Jessica hanya menatapku sambil tersenyum tipis, seakan sentuhan barusan sama sekali bukan masalah baginya.

"Yaudah, sekarang coba kamu yang pasang lampunya." Mama Jessica memberikan bohlam itu kepadaku.

Aku cukup lega karena terlepas dari ujian yang sebenarnya kuketahui kunci jawabannya.

Akan tetapi, ujian berikutnya ternyata justru mengancam nyawaku.

Aku menelan ludah, menatap bola lampu yang harus kuganti, lalu melirik ke tangga lipat itu.

"Maaf, Ma. Aku gak bisa."

"Loh, kenapa?"

Aku menggeser langkah mundur setapak, tangan berkeringat.

"Aku takut ketinggian soalnya."

Mama memelototkan mata kecilnya, setengah tak percaya.

"Ih kamu ya, Dit? Serius kamu?" Ia berdiri dengan tangan di pinggang.

Aku menghela napas panjang, lalu menatap ke atas sebentar sebelum cepat-cepat kembali melihat lantai.

"Iya, Ma. Trauma soalnya. Dulu waktu kecil pernah jatuh dari pohon mangga."

Mama Jessica mendengus pelan, lalu menepuk-nepuk tangga seolah meyakinkanku bahwa benda itu aman.

"Udah, gak apa-apa. Lagian ini bukan pohon mangga yang harus dipanjat. Kan pake tangga, Dit?"

"Ayo cepetan, Mama pegangin tangganya. Soalnya kamu kan lebih tinggi dari Mama. Jadi pasti nyampe buat masang bola lampunya," lanjutnya kembali sebelum aku sempat menjawab.

Aku memelototkan mata kecil. "Emang, gak ada tongkat buat pasang lampu, Ma?"

"Ada sih, tapi udah rusak. Gak bisa digunakan lagi. Tadi ke toko Mama cuma beli lampunya doang, lupa kalau tongkat pasang lampunya udah rusak."

Ia lalu berdiri tepat di belakang tangga, kedua tangannya memegang sisi kiri-kanan.

"Udah, naik aja. Mama pegangin nih tangannya."

Dengan kaki sedikit gemetar, aku mulai menaiki tangga. Perasaan deg-degan cukup kurasakan. Bukan karena takut jatuh cinta, melainkan takut jatuh dari tangga.

"Gimana, Dit? Bisa?" tanyanya dari bawah.

Aku berusaha memasang lampu dengan susah payah. Tanganku sedikit bergetar, sementara lututku terasa lemas seperti tidak kuat menopang tubuh.

Aku menjaga keseimbangan sebaik mungkin agar tidak terpeleset atau terjatuh dari posisi yang menjadi trauma masa kecilku.

"Dikit lagi, Ma," sahutku tanpa menoleh, fokus pada putaran terakhir.

Setelah yakin pas, aku menarik napas lega. "Huft, akhirnya kelar juga," gumamku, menurunkan tangan perlahan sambil memastikan lampunya tidak goyang.

Dari bawah, Mama mendongak sambil memegangi tangga erat-erat. "Bagus. Udah? Aman?"

Aku mengangguk kecil. "Coba tes nyalain saklarnya, Ma."

"Oke, bentar ya."

Mama Jessica berjalan cepat ke arah saklar di dekat pintu. Kemudian mengulurkan tangan untuk menekannya.

'Klek!'

Seketika lampu menyala terang, memenuhi ruangan dengan cahaya putih yang membuat semuanya terlihat jelas.

Namun, sebelum ia sempat kembali menghampiriku untuk memastikan aku baik-baik saja, tiba-tiba tubuhku kehilangan keseimbangan.

Tangga yang kupijak bergoyang keras, kaki-kakiku terpeleset, dan dalam hitungan detik aku merasakan gravitasi menarikku jatuh.

'Bug!'

Semua terjadi begitu cepat, lebih cepat dari kemampuan otakku untuk bereaksi. Yang terdengar hanya suara benturan dan helaan napas terkejut dari Mama Jessica yang langsung memanggil namaku.

"Radit!"

Teriakan Mama Jessica langsung pecah ketika melihat tubuhku menghantam lantai. Suaranya melengking, penuh kepanikan yang membuat suasana mendadak terasa kacau.

Ia segera berlari menghampiriku, langkahnya tergesa-gesa dan nyaris tersandung saking paniknya. Wajahnya pucat, matanya membesar, seolah tidak percaya apa yang baru saja terjadi.

Tanpa ragu ia berjongkok di sampingku, kedua tangannya terulur untuk memastikan aku benar-benar sadar dan tidak terluka parah.

Ada getar halus di suaranya ketika ia memanggil namaku, menunjukkan betapa cemas dirinya.

"Kamu gak kenapa-napa, Dit?" suaranya lembut tapi panik.

Aku menggeleng pelan. "Lututku, Ma... kayanya keseleo."

Tanpa ragu, Mama Jessica meraih kakiku dan memeriksa bagian yang sakit. Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah, membuatnya tampak semakin dekat.

Ternyata, ada sesuatu yang lebih keseleo dibandingkan lututku. Yaitu, bagian tubuh di antara kedua pahaku!

Ini karena mataku lagi-lagi terfokus pada garis tengah yang mengapit dua bukit kembar miliknya.

Dengan jarak sedekat ini, miliknya itu benar-benar terlihat begitu lembut dan... bening.

Napasnya terasa mengenai kulitku saat ia mencondongkan tubuh sedikit lagi.

"Sakit di bagian sini?" tanyanya sambil menekan perlahan.

Aku menelan ludah. Sensasi panas menyergap dadaku, bukan hanya karena lututku bermasalah, tapi karena jarak kami hampir tidak ada. Kedekatan itu membuat pikiranku buyar seketika.

Akhirnya, Mama Jessica menuntunku pelan-pelan menuju sofa di ruang keluarga.

Ia memintaku untuk berbaring, suaranya lembut namun tegas, seperti tidak ingin ada bagian tubuhku yang makin terluka.

Tanpa membuang waktu, ia segera mengambil kotak P3K dari lemari kecil di sudut ruangan.

Saat celanaku tersingkap di area lutut, memarnya terlihat jelas, ungu kebiruan, cukup mencolok.

Mama Jessica menarik napas kecil, seolah merasa bersalah melihatnya. Dengan telapak tangannya yang hangat, ia mengoleskan minyak obat sambil memastikan gerakannya tidak menyakitiku.

Setelah itu, ia membalut lututku dengan perban rapi, telaten seperti seseorang yang sudah terbiasa merawat orang lain.

Entah kenapa, ada rasa hangat merambat ke dadaku. Aku cukup tersanjung dengan perhatian dan kepeduliannya.

Rasanya seperti benar-benar dipedulikan, disayangi, dan dilindungi. Lebih dari yang seharusnya.

"Gimana, Dit? Udah enakan?" tanyanya sambil mencondongkan tubuh sedikit, memastikan aku benar-benar baik-baik saja.

Aku menarik napas pelan. "Eum, iya Ma. Tapi rasanya lemes banget. Aku emang trauma soal ketinggian."

Mama Jessica memijat pelipisnya, jelas menahan rasa menyesal.

"Maafin Mama ya, Dit. Coba aja tadi Mama gak ninggalin kamu, mungkin gak bakal jadi kayak gini."

"Gak apa-apa kok, Ma. Lagian, Mama kan juga harus nyalain saklar, buat mastiin lampunya nyala atau enggak."

"Udah, Ma. Aku gak apa-apa kok. Cuma keseleo biasa, palingan ntar juga bakalan cepet sembuh," lanjutku, berusaha terdengar santai walau denyut nyeri masih terasa.

Mama Jessica hanya bisa tersenyum kecil mendengar penjelasanku. Tapi entah kenapa, matanya sesekali melirik ke arah kediaman kejantananku.

Ia mulai memijat lembut pahaku, gerakannya pelan dan hati-hati, seolah ia benar-benar ingin memastikan aku tidak kesakitan lagi.

Entah itu bentuk kasih sayang, kepedulian, atau hanya caranya menenangkan, aku tidak tahu pasti.

Yang jelas, aku tidak mampu menolak. Aku hanya terdiam, terpaku, membiarkan sentuhannya bekerja sambil mencoba menenangkan degup jantungku sendiri.

Perhatian sebesar ini, tidak pernah kubayangkan akan datang darinya, dan itu membuatku semakin bingung harus bersikap bagaimana.

"Kamu gugup, ya?" tanyanya kembali, karena tidak sepatah katapun keluar dari bibirku.

Sepertinya Mama Jessica menyadari bahwa aku dari tadi memperhatikan bukit kembarnya, dan dia tahu bahwa aku terangsang disentuh olehnya.

"Eh, enggak kok, Ma," sahutku, merasa malu.

"Oh ya, kamu udah punya pacar belum, Dit?

"Hah?" Aku tersentak kaget, menatapnya bingung. Tiba-tiba saja Mama Jessica menanyakan hal itu.

"Kok kamu kaget, sih?" Alisnya terangkat sedikit. "Mama kan cuma nanya itu."

"Enggak kok, Ma." Aku menggaruk tengkuk, merasa wajahku memanas. "Aku belum punya pacar."

"Loh, masa sih, Dit?" Ia memajukan tubuh, ekspresi tak percaya terpampang jelas.

"Iya, Ma. Aku belum punya pacar." Aku tersenyum canggung. "Sebenarnya... belum pernah pacaran sama sekali, hehe."

"Hah? Beneran kamu, Dit?" Matanya membesar. "Belum pernah pacaran sama sekali?"

"Iya, Ma. Emangnya kenapa?"

"Ah, Mama gak percaya deh." Ia menggeleng pelan sambil tersenyum miring. "Padahal kamu ganteng loh. Masa iya gak punya pacar."

Ia menyipitkan mata, seolah baru menyadari sesuatu.

"Pantesan..." lanjutnya pelan.

"Pantesan apa, Ma?"

"Pantesan punyamu itu kesepian, hihi."

Aku kehilangan kata-kata, tenggorokanku seakan tercekat, napasku terasa berat.

Sementara pandangan matanya, tiba-tiba terfokus menatap celanaku.

Deg!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Godaan Mama Muda   Bab 5

    'Ting... Tong...' Bel rumah berbunyi, Mama Jessica bergegas bangkit menuju pintu untuk membukanya. Akhirnya aku terlepas dari keadaan yang sebenarnya cukup sulit untuk dikendalikan. "Eh, Papa udah pulang rupanya. Gimana kerjaannya, lancar?" Mama Jessica membantu melepaskan jasnya Ayah. "Lancar, seperti biasanya. Sekarang mau istirahat dulu. Hari ini lelah sekali rasanya." Percakapan mereka berdua terdengar jelas, masuk begitu saja ke telingaku. Aku masih duduk di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk memainkan ponsel meski pikiranku ke mana-mana. Ketika Ayah berjalan menuju kamarnya, langkahnya terhenti tiba-tiba. Ia menatapku, ekspresinya langsung berubah terkejut. Tanpa pikir panjang, ia membalikkan arah dan menghampiriku, seolah rasa penasarannya mengalahkan segala kelelahan setelah bekerja seharian. "Radit? Kamu kenapa?" tanya Ayah, panik. "Maksud Papa?" "Itu, lututmu kenapa diperban?" Aku menunduk sejenak, mengikuti arah pandangan Ayah. Benar saja, di lutut k

  • Godaan Mama Muda   Bab 4

    Setelah Mama Jessica berdiri dengan stabil, aku langsung menarik tanganku cepat-cepat. Jantungku berdebar kacau, wajahku panas bukan main. Tapi Mama Jessica hanya menatapku sambil tersenyum tipis, seakan sentuhan barusan sama sekali bukan masalah baginya. "Yaudah, sekarang coba kamu yang pasang lampunya." Mama Jessica memberikan bohlam itu kepadaku. Aku cukup lega karena terlepas dari ujian yang sebenarnya kuketahui kunci jawabannya. Akan tetapi, ujian berikutnya ternyata justru mengancam nyawaku. Aku menelan ludah, menatap bola lampu yang harus kuganti, lalu melirik ke tangga lipat itu. "Maaf, Ma. Aku gak bisa." "Loh, kenapa?" Aku menggeser langkah mundur setapak, tangan berkeringat. "Aku takut ketinggian soalnya." Mama memelototkan mata kecilnya, setengah tak percaya. "Ih kamu ya, Dit? Serius kamu?" Ia berdiri dengan tangan di pinggang. Aku menghela napas panjang, lalu menatap ke atas sebentar sebelum cepat-cepat kembali melihat lantai. "Iya, Ma. Trauma soalnya. Dulu wa

  • Godaan Mama Muda   Bab 3

    Aku mengatur napas sebaik mungkin, setelah lari terbirit-birit ke dalam kamar. Bagaimana jika Mama Jessica melihat milikku barusan?! 'Tok! Tok! Tok!' Belum selesai aku menata pikiran, dentuman ketukan tiba-tiba memukul pintu kamarku. "Radit, udah pake bajunya? Kita sarapan sekarang, yuk? Mama udah laper banget, nih." Aku bergegas mengenakan kaos dan celana jeans. Tidak lupa juga ikat pinggang ku eratkan sekuat mungkin. Berharap agar kejantananku terkunci rapat di dalam sana. "Iya Ma, ini udah mau siap." Aku menghampiri Mama Jessica yang sudah menanti di ruang makan. "Loh, Radit? Mau kemana kamu?" Mama Jessica memiringkan kepala, matanya menelusuri penampilanku dari atas sampai bawah. "Sarapan kan, Ma?" "Iya, Mama tau. Tapi, ngapain pake jeans segala? Masa iya sarapan rapi banget kayak gitu?" "Gak apa-apa, Ma. Biar lebih seger aja, hehe." Mama Jessica tersenyum sambil menggeleng pelan. Entah ia tahu maksud di balik celana jeans yang kupakai, aku tidak tahu. Ia l

  • Godaan Mama Muda   Bab 2

    Aku cukup tercengang. Walaupun sebenarnya hati ini ingin mengiyakannya, tapi entah kenapa aku seakan harus menolaknya. "Nggak usah, Ma. Aku sendiri aja. Mungkin sebentar lagi juga udah nyala lampunya." "Yaudah kalau gitu. Mama balik ke kamar dulu, ya." "Eum, iya Ma." "Huft..." Aku menghela napas, tidak tahu apa yang akan terjadi jika mengiyakan tawarannya itu. "Yaelah Dit, mikir apaan, sih?" batinku bicara, tersenyum sambil menggelengkan kepala. Namun demikian, aku tidak boleh menyimpan hasrat terhadapnya. Itu adalah ibuku, walau hanya ibu tiri, tapi dia adalah istri sah dari Ayahku. Tiga bulan lalu Ayah menikahinya. Usia Ayah sebenarnya sudah tidak muda lagi, sedangkan Mama Jessica jauh lebih muda darinya. Perbedaan usia mereka cukup mencolok, hingga tak jarang orang di sekitar kami sempat berbisik heran, mempertanyakan alasan di balik pernikahan mereka. Aku pun tidak tahu pasti kenapa Mama Jessica mau menikah dengan Ayah. Kadang aku berpikir, mungkin karena cinta, atau bisa

  • Godaan Mama Muda   Bab 1

    "Ahh... Ahh... Ahh..." Langkahku terhenti saat mendengar suara kenikmatan. Tepat berada di depan pintu kamar ibuku. Aku yang terbangun tengah malam karena merasa ingin buang air kecil, mengurungkan niatku sejenak untuk mendengar lebih jelas. Perlahan, aku mendekatkan telinga ke pintu. Ternyata benar, suara itu memang berasal dari dalam kamar Mama Jessica, ibu tiriku. Rasa buang air kecil yang tadinya nyaris tak tertahankan, menghilang seketika. Aku mengatur napas sebaik mungkin, sembari mencoba berpikir apa yang sedang berlangsung di dalam sana. Bagaimana mungkin? Tidak, ini tidak mungkin! Batinku bergejolak, pikiranku melayang-layang. Apa mungkin ibu tiriku memasukkan pria lain ke dalam kamar? Atau jangan-jangan... Pikiranku semakin beterbangan, membayangkan apa yang dapat memicu munculnya suara desahan itu. Ayah belum pulang karena lembur malam ini. Jadi, tidak mungkin desahan itu muncul dengan sendirinya. "Loh, Radit? Ngapain di sini?" tanya Mama Jessica yang tiba-tiba s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status