“Bagaimana kondisinya, Dok?”
Elin dan Gita yang sejak tadi menunggu pintu ruangan terbuka pun langsung mendatangi sang dokter. Keduanya tampak cemas. Sebenarnya bukan hanya Elin dan Gita yang ada di sana. Arga pun di sana karena sebelumnya dia yang membawa ivana. Dokter yang baru saja keluar pun membuang napas lirih. Bibirnya menunjukkan senyum lebar dan menjawab, “Selamat, Nyonya Ivana sedang mengandung. Sekarang usia kandungannya sudah berusia delapan minggu.” “Apa!?” Semua yang ada di sana langsung melebarkan kedua mata, termasuk Arga. Dia benar-benar bingung harus menyikapi kabar tersebut seperti apa. Pasalnya, dia dan Ivana akan segera berpisah. ‘Kalau dia hamil, itu artinya perceraianku dengannya gagal, kan?’ Arga hanya diam. Hingga sang mama mendekat, menguat Arga mengalihkan fokusnya. “Selamat, Arga. Sebentar lagi kamu akan menjadi seorang ayah,” ucap Gita. Ayah. Arga tidak pernah menduga bahwa dia akan memiliki anak dengan Ivana. Tetapi, atas ucapan mamanya, Arga mengangguk sopan. “Terima kasih, Ma.”“Ayo kita jenguk Ivana,” ajak Gita. Dia meraih jemari putranya dan menggenggam lembut. Perlahan, Gita melangkah, bersama dengan Arga yang mengekor.
Sedangkan di dalam ruang perawatan, Ivana baru sadar. Dia membuka mata secara perlahan, menatap langit kamar dengan perasaan bingung. Tempat itu terasa asing baginya. Hingga pintu ruangan terbuka, membuat Ivana mengalihkan pandangan. Di sana sudah ada sang mama dan juga mertuanya, ditambah Arga yang menatapnya tajam. “Kenapa aku di sini?” tanya Ivana. Dia mulai bangkit secara perlahan. “Hati-hati,” ucap Elin yang membantu putrinya. Gita yang sudah tidak sabar pun langsung mendekat dan meraih jemari Ivana. Dengan lembut dia berkata, “Selamat, Sayan.” “Selamat untuk apa?” tanya Ivana bingung. ‘Apa ini ucapan selamat untuk berhasilnya perceraianku?’ batin Ivana. “Selamat karena sebentar lagi kamu akan menjadi ibu,” jawab Gita. “Apa?” Ivana langsung membeku dengan kedua mata melebar, “apa maksudnya aku akan menjadi ibu?” Ivana benar-benar tidak mengerti dengan ucapan mertuanya. Elin yang tahu dengan kondisi Ivana sekarang langsung meraih pundak putrinya dan berkata, “Kata dokter kamu hamil, Sayang. Usia kandungannya sudah delapan minggu.” ‘Apa?’ Ivana semakin membeku mendengar ucapan sang mama. Padahal dia tidak berniat untuk hamil, tetapi di saat dia akan melepaskan sang suami, kenapa Tuhan malah memberikannya cobaan berupa anak yang diidam-idamkan? Ivana pun tanpa sadar menatap ke arah perut yang masih rata. Dia benar-benar bingung harus bahagia atau bersedih. Dia bahagia untuk kehamilannya, tetapi di lain sisi dia juga sedih karena perceraiannya pasti gagal. Mengingat hal itu, Ivana mendongakan kepala, menatap Arga yang hanya berdiri dan menatap dingin. ‘Kalau sudah begini, apa dia mau mengakui anak dalam kandunganku?’ batin Ivana. Dia benar-benar diliputi ketakutan. Ivana benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih. Kalau sampai Arga menolak, bagaimana nasib anaknya kelak? “Mama keluar dulu. Mungkin kalian berdua ingin berbicara empat mata saja,” ucap Gita. Dia yang semula duduk di pinggir ranjang pun langsung bangkit. Hal yang sama dilakukan Elin. Elin dan Gita sadar, anak-anak mereka membutuhkan ruang untuk saling berbicara. Terlebih rencana mereka mengenai perceraian yang pasti akan gagal. Hingga keduanya pun memilih keluar kamar, membiarkan Arga dan Ivana menyelesaikan masalah keluarga mereka sendiri. Sepeninggalan kedua orang tuanya, Arga langsung membuang nafas kasar. Dia menarik kursi yang berada di pinggir ranjang dan duduk. Kakinya disilangkan dan mulai mensedekapkan tangan. Manik matanya menatap lekat ke arah Ivana berada. “Jadi, ini rencanamu?” tanya Arga tanpa ekspresi sama sekali. “Rencana? Apa maksudmu rencana?” Ivana mengerutkan kening dalam, tidak mengerti dengan maksud ucapan Arga. Pasalnya, dia tidak merencanakan apapun. “Kamu memintaku menyentuhmu dan mengatakan akan bercerai denganku, tapi sekarang kamu malah hamil,” jawab Arga, “mau sampai kapan kamu bermain trik seperti ini, Ivana? Apa kamu begitu haus dengan perhatianku sampai melakukan hal seperti ini?” “Aku tidak mencari perhatianmu, Arga. Aku memang serius ingin mengajakmu berpisah,” tegas Ivana. “Kalau kamu ingin mengajakku berpisah dan tidak cari perhatian, kamu pasti tidak hamil, Ivana. Kamu bisa meminum obat untuk mencegah kehamilan.” Ivana yang mendengar hal itu pun tampak bingung. Padahal dia sudah meminum obat supaya tidak hamil, tetapi nyatanya obat itu tetap tidak berhasil. Selain itu, dia juga tidak melakukan trik seperti yang dikatakan Arga. “Akui saja Kalau kamu tidak bisa melepaskanku, Ivana,” ucap Arga. “Terserah apa yang kamu katakan, tetapi aku benar-benar tidak sedang mencari perhatianmu. Aku tidak sepengangguran itu sampai harus melakukan hal gila seperti ini hanya demi perhatian, Arga,” sahut Ivana dengan ketus. Sedangkan di tempat lain, Gwen sedang gelisah. Sejak tadi dia menatap layar ponsel, seperti menunggu panggilan masuk. Tapi sayang, tidak ada yang menghubunginya sama sekali. Gwen yang mulai kesal pun mengambil ponsel dan menekan nomor seseorang. Hening. Gwen hanya diam, menunggu panggilannya terhubung. Dia menggigit bibir bagian bawah, merasa tidak tenang sama sekali. Di tempat lain, Arga yang belum sempat membalas ucapan Ivana langsung menghentikan niatnya ketika ponselnya berdering. Dia mengambil benda pipih tersebut, menatap layar yang sudah menunjukkan nama Gwen. Dia pun melangkahkan kaki dan keluar dari ruang perawatan Ivana. Arga langsung mengangkat panggilan dan bertanya, “Halo, Gwen. Ada apa?” “Bagaimana dengan perceraianmu, Arga? Apa sudah selesai?” tanya Gwen. Dia tampak bersemangat, tidak sabar menunggu kabar bahagianya. “Aku dan Ivana tidak jadi bercerai, Gwen,” jawab Arga. “Apa? Kenapa?” Gwen tampak terkejut. Dari balik telepon, kedua matanya sudah melebar sempurna. “Ivana hamil,” jawab Arga.“Lepas, Arga!”Arga yang baru sampai rumah langsung menghentikan langkah. Dadanya tampak naik-turun dengan rahang mengeras. Tatapannya begitu dingin. Jemari yang sejak tadi menggenggam tangan Ivana pun semakin mengerat.Ivana meringis kecil ketika merasakan genggaman semakin menegrat. Rasanya sakit, membuatnya semakin berontak. Hingga genggaman terlepas, membuat Ivana memundurkan langkah.“Kamu gila ya, Arga!?” Ivana yang sejak tadi menahan kesal pun langsung meluapkan emosi. Dia menatap tidak suka dengan cara Arga yang memaksanya.“Kamu yang gila, Ivana! Bisa-bisanya kamu datang ke tempat senam bersama dengan pria lain!” Arga yang sejak tadi menahan pun langsung meledak. Mengingat tangan Noah yang menyentuh pingan Ivana benar-benar membuat darahnya mendidih. Dia tidak tahu kenapa, tetapi ada perasaan tidak terima.Namun, hal berbeda dirasakan Ivana. Wanita itu tertawa kecil dan menggeleng beberapa kali. Rasanya lucu ketika kalimat itu dilontarkan oleh Arga. Jika pria lain, Ivana pas
Suasana di dalam ruang senam terasa begitu canggung. Pasalnya, Ivana harus berpasangan dengan Noah. Sedangkan Arga harus menemani Gwen. Meski begitu, entah sudah berapa kali Arga menatap ke arah Noah dan Ivana yang tampak santai. Rahangnya mengeras saat melihat tangan Noah melingkar di perut sang istri.Namun, Arga tidak melakukan apa pun. Dia hanya bisa menahan kesal dan perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyelimutinya. Dia tidak terima dengan apa yan dilakukan Noah. Dia seperti ingin menghabisi siapa saja yang menyentuh tubuh istrinya. Sayangnya, Arga tidak bisa melakukan apa pun. Dia tidak mungkin menyingkirkan Noah di tengah banyaknya peserta senam. Kalau itu sampai terjadi, dia takut akan membuat malu. Tetapi, di tengah kericuhan hatinya, dia mulai berpikir.‘Kenapa rasanya aneh? Padahal biasanya tidak seperti ini,’ batin Arga.“Arga, kamu kenapa diam saja?” tanya Gwen dengan nada berbisik.Arga yang sempat melamun pun menggelengkan kepala dan menjawab, “Tidak apa-apa.”Namun,
“Memangnya siapa dia mau ngatur-ngatur aku? Dia sendiri saja dengan wanita lain,” gerutu Ivana.Ivana kembali membuang napas kasar, merasa kesal setiap kali mengingat tingkah Arga yang mulai mengaturnya. Padahal jelas-jelas Arga sudah mencintai Gwen, selalu mementingkan wanita itu, tetapi sekarang malah melarangnya. Ivana yang mengingat juga tidak ada hentinya memaki dalam hati. Hingga dering ponsel terdengar, membuat Ivana langsung menatap ponsel dan mengangkatnya.“Halo, Noah,” sapa Ivana.“Halo, Ivana. Apa kamu sibuk hari ini?” tanya Noah dari seberang.“Aku mau ke tempat senam, Noah. Hari ini adalah hari pertamaku mulai ikut senam ibu hamil,” jawab Ivana.“Ah, aku pikir kamu tidak sibuk. Soalnya aku mau mengajakmu jalan-jalan. Aku baru pulang dan tidak tahu tempat yang bagus,” katta Noah.“Sayang sekali, untuk sekarang aku gak bisa. Mungkin lain waktu saja,” ucap Ivana, “kalau begitu, aku tutup dulu telponnya. Aku sudah mau sampai.”Noah yang berada di seberang bergumam pelan. Dia
“Siapa pria itu, Ivana? Kenapa kamu bersamanya?”Ivana yang baru masuk rumah langsung disuguhi dengan pertanyaan yang menyebalkan. Langkahnya pun terhenti dan menatap ke arah Arga. Ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan kelembutan seperti biasanya.“Apa urusanmu, Arga?” Ivana balik bertanya. Nada suaranya sinis.“Jawab saja pertanyaanku, Ivana.” Arga menekankan satu per satu di setiap katanya. Dia menatap tajam dengan rahang mengeras. Melihat Ivana yang tidak menganggapnya membuat Arga menjadi tidak nyaman. Dia seperti tidak rela.Ivana kembali ditanya pun membuang napas kasar. Dengan malas dia berkata, “Siapa dia tidak ada hubungannya denganmu, Arga. Jadi, jangan ikut campur.”Jangan ikut campur? Arga tertawa kecil mendengarnya. Dia menggelengkan kepala dan mulai bangkit. Dia melangkah ke arah Ivana berada, berhenti tepat di depan istrinya.“Kalian memiliki hubungan spesial?” Kali ini, Arga memilih mengganti pertanyaannya.“Apa-apaan sih, Arga. Dia itu cuma sahabatku. Dia baru pu
‘Siapa pria itu?’Arga yang baru sampai di apartemen Gwen hanya diam. Pikirannya masih tertuju dengan pria yang bersama Ivana. Itu pertama kali dia melihatnya. Ditambah mengingat senyum si bibir sang istri, membuat Arga kembali merasakan hal berbeda. Hatinya tidak nyaman. Dia juga merasa marah setiap kali mengingatnya.“Arga, kamu mau makan apa?” tanya Gwen.Namun, Arga tidak mendengarkan. Dia masih sibuk dengan hatinya sendiri. Ada perasaan tidak rela melihat Ivana tersenyum dengan pria lain. Dalam hati dia bergumam, ‘Biasana senyum itu milikku, tetapi sekarang dia malah sebahagia itu bersama pria lain.’ Hingga Gwen yang sejak tadi merasa diabaikan menyenggol lengannya, membuat Arga tersentak kaget.“Arga, kamu melamun?” tanya Gwen.“Hah?” Arga benar-benar tidak mendengarkan Gwen. Sejak tadi dia sibuk dengan pikirannya sendiri.“Apa kamu mengatakan sesuatu?” tanya Arga pada akhirnya.“Dari tadi aku tanya, kamu mau makan apa? Mau aku masakin atau gak?” Gwen tampak kesal karena perhati
Arga yang baru sampai apartemen Gwen langsung membuka pintu. Dia memang sengaja meminta aksen masuk. Tujuannya satu, kalau terjadi hal tidak diinginkan dengan Gwen, dia bisa datang dan tidak perlu menunggu wanita itu membukakannya. Hingga dia yang sudah masuk melihat pecahan kaca, membuat Arga semakin cemas.“Gwen,” panggil Arga.Gwen yang awalnya sibuk dengan ponsel langsung terkejut ketika mendengar suara Arga masuk. Buru-buru dia meletakkan benda pipih itu dan menarik selimut. Gwen memegangi perut, sedikit menekan dengan posisi tidur meringkuk. Gwen mendesis kecil dengan kedua mata terpejam.“Gwen.”Gwen yang mendengar Arga membuka pintu pun langsung mengalihkan pandangan, menatap Arga yang sudah masuk. Wajahnya tampak cemas, membuat Gwen semakin besar kepala. Dia merasa menang karena bisa mendapat perhatian dari pria itu.“Kamu kenapa? Apa masih sakit?” tanya Arga. Dia mulai berjongkok dan mengelus perut Gwen.Gwen menggelengkan kepala kecil, berpura-pura begitu lemah. Dia bahkan