“Sebentar,” ucap Gwen ketika mendengar suara bel dari luar. Dia segera melangkahkan kaki, menuju ke arah pintu.
Gwen yang membuka pintu pun menatap ke arah tamunya kali ini. Melihat siapa yang datang, Gwen langsung menarik kedua sudut bibir, membentuk senyum lebar. Tanpa aba-aba, dia langsung mendekap seseorang di depannya. “Arga, akhirnya kamu datang,” kata Gwen. “Gwen, bukannya tadi kamu bilang sakit? Kenapa tidak istirahat?” Gwen yang baru tersadar dengan alasannya menyuruh Arga datang pun langsung terlihat panik. Karena terlalu senang, dia jadi tidak memikirkan alasan apapun. Dia pun mulai memutar otak, mencari alasan yang masuk akal. “Ah, iya! Tadi, perutku benar-benar sakit, tetapi setelah aku minum obat rasanya sedikit membaik,” jawab Gwen dengan cepat. Arga yang mendengar hanya membuang nafas lirih. Dia datang ke rumah dengan cemas karena Gwen yang mengeluh kesakitan. “Ayo kita makan! Aku sudah memesan seafood. Kamu suka seafood kan?” ujar Gwen dengan ceria, menarik Arga ke ruang makan. Dia terus berceloteh, tapi Arga hanya membalas singkat, membuat Gwen kesal. “Arga, kamu kenapa sih? Dari tadi tidak mendengarkanku!” ujarnya merajuk. Arga menatap Gwen sejenak sebelum menjawab, “Ivana meminta cerai.” “Apa?” Gwen yang mendengar pun melebarkan kedua mata, seakan terkejut dengan apa yang didengarnya. “Kemarin dia meminta cerai denganku. Tiba-tiba dia mengungkitmu. Apa kamu bertemu dengannya?” Gwen langsung bersorak bahagia. Bibirnya mengulas senyum lebar, merasa menang karena pada akhirnya Ivanka yang mengalah. Namun, hal itu berlangsung sejenak. Gwen yang tidak ingin menimbulkan kecurigaan pun mulai mengubah ekspresi wajahnya, seakan ikut sedih dengan kabar yang dibawa Arga. Dia pun mengelus pundak pria itu. “Tidak tuh, aku belum melihatnya. Lagipula, Arga, paling dia sedang main tarik ulur denganmu. Kamu tahu sendiri kan seperti apa Ivana? Dia suka main trik dan sangat mencintaimu,” ucap Gwen. Arga yang mendengar jawaban itu terdiam sejenak. Dia menimang pendapat yang diberikan Gwen. Hingga akhirnya dia menganggukkan kepala tanpa membahasnya lagi. Gwen tersenyum riang. Dalam hati dia berkata, ‘Selangkah lagi, aku akan menggantikanmu, Ivana.’ *** “Apa? Kamu bercerai dengan Arga?” Ivana yang baru sampai di rumah orang tuanya pun hanya bisa duduk dengan mulut tertutup rapat. Dia tidak berani mendongakkan kepala untuk menatap kedua orang tuanya. Dia tahu, kedua orang tuanya pasti kecewa, tetapi Ivana tidak memiliki pilihan lain. “Apa kamu serius dengan ucapanmu, Ivana? Kenapa tiba-tiba kalian berpisah?” tanya Elin—mama Ivana. “Sudah tidak ada kecocokan diantara kita, Ma,” jawab Ivanka asal. “Tidak ada kecocokan katamu, Ivana?” Oman—papa Ivana, yang sejak tadi diam mulai menimpali. Kali ini, Ivana tidak mengatakan apa pun. Dia tahu, papanya pasti akan marah besar. Ivana masih cukup ingat, seperti apa dia merengek supaya sang papa menerima perjodohan dengan keluarga Arga. “Gampang sekali kamu mengatakan tidak cocok, Ivana. Dulu kamu yang meyakinkan papa dan sekarang kamu malah mengajukan cerai?” Oman menunjukkan ekspresi kesal. “Aku tahu, Pa. Tapi, aku dan Arga benar-benar tidak bisa melanjutkan pernikahan ini lagi,” kata Ivana. “Kalau begitu, katakan apa alasannya,” ucap Oman serius. “Tidak ada alasan khusus. Kita hanya tidak bisa melanjutkan lagi saja,” sahut Ivana. Dia tidak mungkin mengatakan mengenai cinta pertama Arga yang sudah pulang. “Sayang, pernikahan itu bukan main-main. Kamu tidak bisa langsung pisah ketika tidak merasa cocok. Dalam sebuah hubungan, ada pertengkaran itu wajar dan bukan perceraian solusinya,” ujar Elin menasehati putrinya. Ivana tahu mengenai hal itu, tetapi dia tidak bisa terus bersama dengan Arga. Dia pun meraih jemari sang mama dan berkata, “Aku tahu, Ma. Tapi aku benar-benar tidak bisa. Jadi, aku harap Mama dan Papa bisa menghargai keputusanku.” Elin yang mendengar hanya bisa menghela napas lirih. Sedangkan Oman hanya memutar bola mata pelan. Dia memilih bangkit. Sembari melangkah dia berkata, “Terserah.” *** Sebulan berlalu, dan akhirnya hari sidang perceraian terakhir tiba. Ivana sudah menelepon Arga dan mengingatkannya untuk datang. “Ivana, kamu baik-baik saja? Wajahmu tampak pucat,” tanya Elin dengan wajah cemas. Ivana yang ditanya pun mengangguk. Dia memang sering merasa mual dan sakit kepala akhir-akhir ini, tetapi dia tidak mengatakan pada sang mama. Seperti hari ini. Ivana tidak merasa enak badan, tetapi karena ini sidang terakhirnya, Ivana ingin datang. “Kalau kamu gak enak badan, kamu gak perlu datang, Ivana,” kata Elin kembali. “Tidak, Ma. Ivana baik-baik saja,” sahut Ivana. Ivana mulai melangkahkan kaki. Dia tahu kecemasan mamanya, tetapi Ivana harus datang. Untuk terakhir kali, sebelum dia dan Arga benar-benar berpisah, Ivana ingin melihat pria itu. Ivana ingin tahu, apakah Arga menyesal atau tidak berpisah dengannya. Namun, belum sampai ke ruangan, langkah Ivana terhenti ketika seseorang berhenti di dekatnya. Ivana pun menatap ke arah sang pelaku, mendapati Arga berdiri di sebelahnya. Dia pun menatap pria yang saat ini akan menjadi mantan suaminya. ‘Sebentar lagi, kita akan benar-benar berpisah, Arga,’ batin Ivana. Dia pun kembali merasa sedih. Air matanya hendak mengalir, membuat Ivana mengalihkan pandangan sembari menahan air matanya. “Belum puas cari perhatiannya, Ivana?” Ivana yang mendengar pertanyaan Arga pun langsung mengerutkan kening dalam. Dia menatap ke arah Arga dan balik bertanya, “Apa maksudmu? Siapa yang mencari perhatian?” “Jangan kamu pikir aku tidak tahu, Ivana. Kamu melakukan ini karena ingin mencari perhatian dariku, kan? Tidak benar-benar ingin berpisah denganku. Seperti biasa, kamu pintar sekali cari muka.” Kali ini, Ivana tertawa kecil. Dia mengalihkan pandangan sembari berkata, “Tidak ada yang mencari perhatianmu, Arga. Aku memang benar-benar ingin berpisah denganmu.” “Sebenarnya aku bertanya-tanya, kenapa kamu terus saja membuat masalah seperti ini?” Ivana hendak menjawab, tetapi tiba-tiba kepalanya berdenyut keras. Ivana merasa kepalanya pusing dan tidak tertahan. Dia pun tanpa sadar terhuyung ke arah Arga berada, membuat pria itu refleks menahan tubuh Ivana. “Ivana! Mau sampai kapan kamu mencoba mencari perhatianku begini?” bentak Arga. Dia menganggap jika saat ini Ivana tengah mempermainkannya. Namun, Ivana yang masih merasa kepalanya pusing tidak bisa menjawab. Tubuhnya juga perlahan mulai merasa lemah. Hingga pandangannya mengatur dan berubah menjadi gelap. Tepat saat itu, Ivana pingsan. Arga yang menopang tubuh Ivana pun langsung melebarkan kedua mata. Dia menepuk pipi Ivana. Raut wajahnya berubah cemas. “Ivana, bangun,” panggil Arga. Tapi tetap tidak ada jawaban, membuat Arga langsung membopong tubuh Ivana dan berlari keluar. “Apa ... dia benar-benar sakit?” gumam Arga dengan cemas.“Lepas, Arga!”Arga yang baru sampai rumah langsung menghentikan langkah. Dadanya tampak naik-turun dengan rahang mengeras. Tatapannya begitu dingin. Jemari yang sejak tadi menggenggam tangan Ivana pun semakin mengerat.Ivana meringis kecil ketika merasakan genggaman semakin menegrat. Rasanya sakit, membuatnya semakin berontak. Hingga genggaman terlepas, membuat Ivana memundurkan langkah.“Kamu gila ya, Arga!?” Ivana yang sejak tadi menahan kesal pun langsung meluapkan emosi. Dia menatap tidak suka dengan cara Arga yang memaksanya.“Kamu yang gila, Ivana! Bisa-bisanya kamu datang ke tempat senam bersama dengan pria lain!” Arga yang sejak tadi menahan pun langsung meledak. Mengingat tangan Noah yang menyentuh pingan Ivana benar-benar membuat darahnya mendidih. Dia tidak tahu kenapa, tetapi ada perasaan tidak terima.Namun, hal berbeda dirasakan Ivana. Wanita itu tertawa kecil dan menggeleng beberapa kali. Rasanya lucu ketika kalimat itu dilontarkan oleh Arga. Jika pria lain, Ivana pas
Suasana di dalam ruang senam terasa begitu canggung. Pasalnya, Ivana harus berpasangan dengan Noah. Sedangkan Arga harus menemani Gwen. Meski begitu, entah sudah berapa kali Arga menatap ke arah Noah dan Ivana yang tampak santai. Rahangnya mengeras saat melihat tangan Noah melingkar di perut sang istri.Namun, Arga tidak melakukan apa pun. Dia hanya bisa menahan kesal dan perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyelimutinya. Dia tidak terima dengan apa yan dilakukan Noah. Dia seperti ingin menghabisi siapa saja yang menyentuh tubuh istrinya. Sayangnya, Arga tidak bisa melakukan apa pun. Dia tidak mungkin menyingkirkan Noah di tengah banyaknya peserta senam. Kalau itu sampai terjadi, dia takut akan membuat malu. Tetapi, di tengah kericuhan hatinya, dia mulai berpikir.‘Kenapa rasanya aneh? Padahal biasanya tidak seperti ini,’ batin Arga.“Arga, kamu kenapa diam saja?” tanya Gwen dengan nada berbisik.Arga yang sempat melamun pun menggelengkan kepala dan menjawab, “Tidak apa-apa.”Namun,
“Memangnya siapa dia mau ngatur-ngatur aku? Dia sendiri saja dengan wanita lain,” gerutu Ivana.Ivana kembali membuang napas kasar, merasa kesal setiap kali mengingat tingkah Arga yang mulai mengaturnya. Padahal jelas-jelas Arga sudah mencintai Gwen, selalu mementingkan wanita itu, tetapi sekarang malah melarangnya. Ivana yang mengingat juga tidak ada hentinya memaki dalam hati. Hingga dering ponsel terdengar, membuat Ivana langsung menatap ponsel dan mengangkatnya.“Halo, Noah,” sapa Ivana.“Halo, Ivana. Apa kamu sibuk hari ini?” tanya Noah dari seberang.“Aku mau ke tempat senam, Noah. Hari ini adalah hari pertamaku mulai ikut senam ibu hamil,” jawab Ivana.“Ah, aku pikir kamu tidak sibuk. Soalnya aku mau mengajakmu jalan-jalan. Aku baru pulang dan tidak tahu tempat yang bagus,” katta Noah.“Sayang sekali, untuk sekarang aku gak bisa. Mungkin lain waktu saja,” ucap Ivana, “kalau begitu, aku tutup dulu telponnya. Aku sudah mau sampai.”Noah yang berada di seberang bergumam pelan. Dia
“Siapa pria itu, Ivana? Kenapa kamu bersamanya?”Ivana yang baru masuk rumah langsung disuguhi dengan pertanyaan yang menyebalkan. Langkahnya pun terhenti dan menatap ke arah Arga. Ekspresi wajahnya datar, tidak menunjukkan kelembutan seperti biasanya.“Apa urusanmu, Arga?” Ivana balik bertanya. Nada suaranya sinis.“Jawab saja pertanyaanku, Ivana.” Arga menekankan satu per satu di setiap katanya. Dia menatap tajam dengan rahang mengeras. Melihat Ivana yang tidak menganggapnya membuat Arga menjadi tidak nyaman. Dia seperti tidak rela.Ivana kembali ditanya pun membuang napas kasar. Dengan malas dia berkata, “Siapa dia tidak ada hubungannya denganmu, Arga. Jadi, jangan ikut campur.”Jangan ikut campur? Arga tertawa kecil mendengarnya. Dia menggelengkan kepala dan mulai bangkit. Dia melangkah ke arah Ivana berada, berhenti tepat di depan istrinya.“Kalian memiliki hubungan spesial?” Kali ini, Arga memilih mengganti pertanyaannya.“Apa-apaan sih, Arga. Dia itu cuma sahabatku. Dia baru pu
‘Siapa pria itu?’Arga yang baru sampai di apartemen Gwen hanya diam. Pikirannya masih tertuju dengan pria yang bersama Ivana. Itu pertama kali dia melihatnya. Ditambah mengingat senyum si bibir sang istri, membuat Arga kembali merasakan hal berbeda. Hatinya tidak nyaman. Dia juga merasa marah setiap kali mengingatnya.“Arga, kamu mau makan apa?” tanya Gwen.Namun, Arga tidak mendengarkan. Dia masih sibuk dengan hatinya sendiri. Ada perasaan tidak rela melihat Ivana tersenyum dengan pria lain. Dalam hati dia bergumam, ‘Biasana senyum itu milikku, tetapi sekarang dia malah sebahagia itu bersama pria lain.’ Hingga Gwen yang sejak tadi merasa diabaikan menyenggol lengannya, membuat Arga tersentak kaget.“Arga, kamu melamun?” tanya Gwen.“Hah?” Arga benar-benar tidak mendengarkan Gwen. Sejak tadi dia sibuk dengan pikirannya sendiri.“Apa kamu mengatakan sesuatu?” tanya Arga pada akhirnya.“Dari tadi aku tanya, kamu mau makan apa? Mau aku masakin atau gak?” Gwen tampak kesal karena perhati
Arga yang baru sampai apartemen Gwen langsung membuka pintu. Dia memang sengaja meminta aksen masuk. Tujuannya satu, kalau terjadi hal tidak diinginkan dengan Gwen, dia bisa datang dan tidak perlu menunggu wanita itu membukakannya. Hingga dia yang sudah masuk melihat pecahan kaca, membuat Arga semakin cemas.“Gwen,” panggil Arga.Gwen yang awalnya sibuk dengan ponsel langsung terkejut ketika mendengar suara Arga masuk. Buru-buru dia meletakkan benda pipih itu dan menarik selimut. Gwen memegangi perut, sedikit menekan dengan posisi tidur meringkuk. Gwen mendesis kecil dengan kedua mata terpejam.“Gwen.”Gwen yang mendengar Arga membuka pintu pun langsung mengalihkan pandangan, menatap Arga yang sudah masuk. Wajahnya tampak cemas, membuat Gwen semakin besar kepala. Dia merasa menang karena bisa mendapat perhatian dari pria itu.“Kamu kenapa? Apa masih sakit?” tanya Arga. Dia mulai berjongkok dan mengelus perut Gwen.Gwen menggelengkan kepala kecil, berpura-pura begitu lemah. Dia bahkan