Hari terus berganti, Nara sudah pula bekerja di toko bunga milik Om Cantika. Waktu Nara untuk bertemu Rega jadi berkurang karena sepulang kuliah dia langsung pergi bekerja dan pulang ke rumah antara pukul 7 lewat hingga paling telat pukul 8 malam. Tapi, ada dua hal yang selalu mengusik pikirannya tentang malam Minggu waktu itu. Yang pertama, kenapa Rega harus bersaudara dengan Kaisar? Bagaimana bisa? Mereka seperti langit dan bumi. Yang kedua, fakta kalau Kaisar sudah memiliki istri. Oh, astaga! Dia sudah punya istri yang cantik jelita, tapi masih berani bilang 'sweety' ke gadis lain? Apa dia benar-benar tidak waras alias SINTING? Hei, yang sinting di sini siapa? Kenapa masih memikirkan dia? Harusnya bodo amat, kan? Nara berusaha membuang jauh-jauh pikiran konyol itu. Untuk apa memikirkan hubungan orang lain, tidak penting, ya seharusnya begitu. Tapi, Nara tak bisa. Karena ini sedikit banyak ada hubungannya dengan dia sendiri. Ting. Bunyi ponsel berdenting membuat lamunannya buy
Kaisar yang sudah siap dengan setelan kerjanya kembali memeriksa penampilan di depan cermin. Setiap kali melihat wajah sendiri, pria 32 tahun itu selalu bersyukur terlahir dengan wajah yang sempurna. Karenanya banyak cewek yang tergila-gila dan antri cuma untuk tidur dengannya. Tapi, kenapa Nara tidak ya? Gadis itu gedek, setiap kali melihatnya. Apa di mata Nara, Kaisar tidak lebih ganteng dari Rega? Apa sih kelebihan Rega dibanding gue? Memutar otaknya, Kaisar mencari cara agar bisa bertemu Nara pagi ini. Kalau dia menjemput gadis itu menggunakan mobil, pasti dia akan ditolak mentah-mentah, Nara tidak akan naik ke mobilnya seperti malam kemarin. Jadi, harus bagaimana? Cukup lama dia termenung di depan cermin sampai Luna yang duduk di meja rias menatap keheranan. Sejurus kemudian, seakan telah mendapat ide, Kaisar mesem-mesem sendiri dengan alis bergerak-gerak jenaka. Beruntung kemarin itu dunia seolah memberi kemudahan baginya. Bertemu teman Nara tanpa sengaja, Kaisar meminta nom
“Ra, lo kenapa? Kayak orang habis dikejar setan aja?”“Bukan dikejar setan, tapi dikejar orang gila.”Nara masuk ke kelas dengan tampang gusar, dadanya kembang kempis karena berlari turun dari bus tadi hingga ke kelas. Untung saja, pagi ini kelasnya berada di lantai 1, kalau di lantai 3, habislah nafasnya. Cantika yang tidak mengerti akan jawaban Nara, mengerut alisnya. “Jangan bilang kalau pria ganteng yang waktu itu masih ngejar-ngejar lo?”Nara berdecak saat Cantika menyebut kata ganteng, dengan begitu gadis berhijab itu makin yakin kalau tebakannya tak meleset. Cantika diam sejenak, teringat beberapa hari lalu saat pria ganteng meminta nomor ponsel Nara padanya. Duh, gimana ya? Nara pasti ngamuk dan jambak rambut aku kalau tau aku yang memberikan nomornya pada pria itu. “Parahnya lagi, dia sekarang tau nomor gue. Ngeselin banget, kan? Gue yakin nih, pasti Elsa biang keroknya.” Nara meremas jemarinya seolah bersiap untuk menjambak rambut Elsa sekali lagi. Cantika hanya menden
“Ra, mama tuh senang banget loh sama lo. Dia ngajak lo makan di rumah lagi malam Minggu besok.” Gadis yang diajak bicara ingin mengeluh, tapi tidak mau membuat terluka hati pacarnya. Lagi? Bukankah itu artinya, Kaisar juga akan ada di sana? Malas banget. Memandang lekat Rega, Nara bersyukur pacarnya itu percaya akan alasan yang dibuatnya tadi, tapi makan malam di rumah Rega lagi? Ia harus mencari alasan untuk menolak secara halus. Sebisa mungkin Nara mengelak pergi ke tempat yang kemungkinan besar ada Kaisar juga di sana.“Masa tiap malam Minggu gue makan di rumah lo mulu sih?” “Gue nggak masalah kok. Beras di rumah gue nggak bakalan habis cuma karena lo datang makan tiap malam Minggu. Mau tiap malam juga nggak apa-apa. Hehe.” Rega tertawa sendiri karena kesenangan juga lucu tapi Nara malah menatapnya dengan wajah serius. Walhasil, Rega berhenti dan ekpresinya berubah kecut.“Kenapa? Lo nggak mau ya?” Nara meneguk es jeruknya hingga ludes dalam sekali teguk, padahal nasi goreng s
“Gue udah kenyang. Lo makan aja sendiri.” Nara memandang malas pada steik lada hitam beserta es jeruk yang kelihatan lezat. Sudah dibilang tak mau makan, tapi si gila itu tetap saja memesan makanan untuknya. Seharusnya ia makan seenak ini dengan Rega saja, kan? Kenapa malah dengan pria gila ini? Ah, tidak. Nara tidak akan menyentuhnya. Gadis itu membuang muka ke arah lain. Di depannya, Kaisar si gila tampak begitu menikmati santapannya dengan mata yang tak lepas dari memandang Nara. Makin dilihat Nara makin cantik saja. “Kenapa nggak makan?” tanya Kaisar disela-sela mengunyahnya. “Apa lo berharap yang makan di depan lo ini Rega? Iya? Cih.” Kaisar berdecih setelahnya seolah menyebut nama Rega adalah kesialan baginya. “Rega mana mampu ngajak lo makan di tempat seperti ini.” lanjutnya dengan senyum Iicik. Mendengar ucapan Kaisar yang menyepelekan Rega, kedua tangan Nara yang berada di bawah meja meremas kuat ujung baju kemejanya. Bisa-bisanya dia? ARGGHHH! Boleh gue jambak nggak s
“Gara-gara lo nih, sekarang mobilnya udah pergi, kan?” Rega menoyor bahu temannya dengan tampang kesal. Kalau temannya itu tak datang, dia pasti sudah tahu siapa yang mengirim pesan pada Nara tadi, lalu untuk apa mobil Kaisar berada di parkiran kampusnya. Eh, tapi tunggu deh. Kenapa bisa berbarengan dan nyambung gini ya? Kebetulan aja apa gimana? Rega mengerjap-ngerjap kedua bola mata sembari memikirkan kemungkinan lain. Bisa jadi, kan, gue cuma salah lihat? Tapi siapa ya orang itu? Kenapa dia ngajak Nara makan siang? Yang lebih penting lagi, dia laki-laki apa perempuan?Sementara itu, mobil Porsche merah hati milik Kaisar memasuki area pertokoan di mana toko bunga milik Om Cantika berada. Kedua kaki Nara di bawah sana terus bergerak gelisah, ia tak sabar hendak turun dari mobil tapi Kaisar malah menahannya. Dengan pandangan matanya yang tajam menusuk, Nara meminta Kaisar melepas tangannya. “Oke... Oke... Gue cuma mau ngasih ini kok buat lo.” Kaisar mengambil paper bag besar dari
“Jadi, sebenarnya papa datang ke mari untuk apa?” Kaisar buka suara setelah terdiam beberapa menit tadi. Dia tak bermaksud lancang dengan mengungkit keberadaan Rega dalam keluarga mereka, tapi kalau sampai Kakek Widjaya memberikan warisan perusahaan untuk Rega, Kaisar tidak akan tinggal diam. Bagaimana kalau nanti Nara malah lebih memilih Rega karena adik angkatnya itu yang mendapat warisan? Tidak boleh. “Papa kemari atas perintah kakek kamu. Beliau meminta laporan keuangan perusahaan, khawatir kalau kamu ada menyelewengkan uang kantor untuk tujuan pribadi.” Mendengarnya, telinga Kaisar mendadak gatal. Apa-apaan? Jadi selama ini kakek mencurigainya nyeleweng uang perusahaan? Memangnya dikira dia tak punya uang? Menghela nafas kasar, Kaisar membuka laptopnya, jemarinya dengan lancar melakukan sesuatu di sana. “Kalau kamu nggak pernah nyeleweng, nggak perlu takut, Kai.”Untuk beberapa saat, mesin printer yang berbunyi menggantikan Kaisar berbicara, karena pria dengan rahang ketat
Nara sangat sibuk hari ini. Pesanan karangan bunga datang silih berganti dan herannya tujuan pengirimannya sama semua. DeLuna Beautique. Sepertinya butik yang baru akan buka sebab tulisan di papan karangan kebanyakan bertuliskan selamat. DeLuna? Luna? Nara bergumam sendiri mengingat nama itu, seperti pernah mendengarnya, tapi di mana? “Nara, nanti kamu ikut nganterin ya. Banyak ini soalnya, nanti kamu bagian ngawasin aja.” seru seorang karyawan pria membuat Nara terjengkit kaget dan menoleh. Beberapa saat Nara seperti orang bingung, antara dengar dan tidak apa yang dibilang rekan kerjanya itu. “Hmm? Oh, iya. Sip. Kabari aja kalau mau berangkat.” Nara menunjuk jempolnya tanda setuju, padahal dia tak sepenuhnya dengar. Sekitar 1 jam kemudian, pick up yang membawa papan bunga tiba di depan sebuah ruko 2 lantai yang diberi nama DeLuna Beautique. Nara senang bisa ikut, karena dia bisa mencari jawaban soal nama Luna yang tidak asing di telinganya. Ketika yang lain menata letak papan bu