Share

Makan Malam

Tok tok tok. 

"Itu pasti Rega! Cepat buka pintunya!" perintah nenek pada Nara yang duduk memeluk lutut sambil mengunyah permen karet. Tidak ada manis-manisnya jadi perempuan. 

"Iya, ini juga mau bukain kok!" Nara beranjak dari kursi, tapi sebelumnya dia melepeh permen karet, mengatur tatanan rambutnya biar terlihat rapi dan cantik. 

Masa cantik begini dibilang urakan sama nenek. Ck!

"Hai, kau sudah datang?" Entah pertanyaan macam apa yang Nara lontarkan. Jelas-jelas Rega berdiri di depannya, artinya sudah datang alias sudah tiba. Lalu, alih-alih mempersilakan masuk, Nara terdiam seraya memperhatikan Rega dari atas sampai bawah. 

Cowok itu selalu dengan penampilan sederhananya, celana jins dan jaket yang membaluti badan tingginya. Nara tau, di dalam jaket itu, Rega pasti hanya mengenakan kaos pendek biasa. Santai, sederhana tapi tetap tampan. 

Mata Nara lalu beralih memandang manik bening milik Rega. Mata yang selalu memandangnya dengan ceria, ta—pi... Ah, sialan! Kenapa Nara jadi teringat dengan mata gelap pria yang waktu itu di klub? Kenapa juga Nara seakan sedang membedakan kedua mata mereka? Dan parahnya, Nara tidak merasakan apa-apa saat melihat bola mata Rega, tapi mata pria itu? Nara sangat suka pancaran matanya. 

Ayolah Nara, lo mikirin apa sih? Waras dong.

Pandangan Nara lalu berpindah ke bibir Rega. Bibir itu terlihat ranum dan merekah karena pemiliknya tak henti-hentinya tersenyum. Ah, lagi-lagi Nara diingatkan dengan kejadian waktu lalu, saat ciuman pertamanya direbut oleh pria itu. Sangat menyebalkan. 

"Kenapa malah bengong kayak patung Pancoran sih? Ayo diajak masuk Rega-nya!" 

Saking lamanya, nenek Ratih sampai menyusul ke pintu depan dan mendapati cucunya terbengong dengan mulut menganga. Tangannya lalu bantu mengatup mulut sang cucu sebelum ada lalat yang hinggap dan masuk ke dalamnya. 

Tersadar karena perlakuan nenek yang membuatnya malu di depan Rega, Nara pun mencebik bibir. Tak lama, dia kemudian mengerling ke arah Rega, memberi isyarat cowok itu agar masuk ke rumah.

"Kenapa? Apa gue terlihat ganteng?" tanya Rega saat mereka masuk dan jalan berdampingan membuntuti nenek Ratih. 

Nara menoleh dengan mata mengedip. "Lumayan lah. Gue agak pangling. Ck?!" Nara sedikit berdusta.

"Ayo Nak Rega, silakan dimakan. Jangan sungkan-sungkan."

Nara berdecak memandang nenek di sebelahnya. Sungkan apanya? Toh makan malam di sini juga Rega yang minta. 

Makan malam pun berlangsung lancar walaupun Nara lebih sering sakit hati karena nenek selalu menyudutkannya di depan Rega. Nenek terus saja bilang, Nara tidak akan punya pacar selain Rega karena cuma pemuda itu yang menerima sifat dan sikapnya yang seperti wanita jadi-jadian. 

Parahnya lagi, Rega selalu tertawa mendengar celotehan nenek, seolah membenarkan apa yang dibilang wanita tua itu. Nara hanya bisa mengutuk dalam hati dengan mulut dimanyun-manyunkan. 

Sementara itu, makan malam tidak berjalan lancar di rumah Mama Dahlia. Si biang kerok Kaisar tampak gusar dan tidak selera makan, karena sang mama menyinggung soal anak.

"Ma, bikin anak mah bisa kapan aja, sekarang Luna ingin fokus dengan karirnya sebagai desainer dulu. Bukan gitu, sayang?" Kaisar menoleh pada Luna seolah meminta pembenaran. Sayang? Cih, karena terpaksa aja. 

"Kapan aja itu kapan? Mau nunggu sampai mama ubanan baru kalian mau ngasih mama cucu? Yang ada nanti mama nggak bisa gendong cucu mama karena keduluan tulang keropos."

"Ya mama doanya yang baik-baik dong, biar sehat terus, jangan cepat ubanan, punya tulang kuat, biar bisa gendong cucu."

"Alah, kamu itu bisa aja ngelesnya." Mama Dahlia tak kalah sebal dengan putranya. Sudah kepala 3, menikah hampir 2 tahun tapi belum juga mau memberi anak. Kalau begitu, kapan mama Dahlia bisa menimang cucu? Tunggu putra keduanya menikah? Entah kapan-kapan, orangnya saja masih kuliah. 

"Luna, mama tau, ini bukan sepenuhnya keinginan kamu, kan? Pasti ini Kai yang minta, kan? Pokoknya kamu tenang aja, hamil nggak apa-apa, setelah melahirkan nanti, semua urusan anak kamu, biar mama yang urus. Kamu bisa langsung berkarir lagi."

Luna tersenyum menanggapi. "Iya Ma."

"Nah bagus. Kamu jangan mau ngikutin kemauan Kai."

"Kaisar, apa yang dibilang mama kamu itu benar. Kakek juga pengen nimang cicit. Jangan tunggu kakek mati dulu." Kakek Widjaya angkat bicara, kali ini dia setuju dengan ucapan menantunya, Dahlia. 

Sekali lagi, Kai dibuat mendengkus sebal. Begini nih, kalau makan malam bareng keluarga. Nggak ada enak-enaknya. Tau begini, Kai pergi ke klub aja, di sana makan ditemani wanita-wanita cantik nan seksi, bisa digrepe-grepe pula. 

"Kai, kamu dengar mama sama kakek kamu ngomong, kan? Nggak usah pura-pura tuli, nanti tuli beneran baru tau rasa kamu." Papanya pula ikut bersuara menyudutkan Kai membuatnya ingin cepat-cepat beredar dari rumah ini. 

Aish, bisa gila gue lama-lama. 

"Iya, Kai dengar kok. Ya udah ya, Kai sama Luna pulang dulu. Luna sayang, kamu besok nggak libur, kan? Ada ketemu sama klien, kan? Harus cepat tidur. Ayo kita pulang sekarang." ucap Kai beralasan demi bisa cepat pergi dari sana, tanpa menunggu persetujuan dari mamanya terlebih dulu. 

Luna menurut saja, walaupun dia tahu benar kalau Kai tidak pernah serius dengan ucapannya. Kai memanggilnya dengan sebutan sayang hanya di depan orangtua mereka. Kai tidak pernah mengganggapnya istri selama 2 tahun pernikahan mereka ini dan mungkin akan begitu selamanya. 

                                     ***

                                  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status