Dua hari sebelum malam minggu.
Rapat sedang berlangsung dengan Kaisar sebagai pemimpinnya, tapi alih-alih berbicara menyampaikan masalah dalam rapat, Kai malah menunjuk sekretaris-nya yang berbicara menggantikannya.
Sedangkan Kai, hanya melamun. Lebih tepatnya, ia sedang terbayang dengan gadis yang Minggu kemarin ditemuinya di klub. Dilihat dari cara berpakaian, gadis itu adalah pekerja di klub tersebut, tapi begitu dia datang untuk mencari, Kai tak menemukan gadis itu di sana.
Ke mana lagi gue harus nyari dia, ya? Akhhh, gue udah benar-benar gila. Masa dengan membayangkan bibirnya aja, adik kecil gue udah langsung on.
"Baiklah, kalau tidak ada pertanyaan lagi, mungkin rapat kita sudahi saja." Pria muda yang merupakan sekretaris seorang Kaisar tampak memberi kode pada sang Bos, tapi Kai tidak menggubris, lebih tepatnya tak menyadari.
Lalu, Gunawan, ayah Kaisar yang juga hadir dalam rapat tersebut mengambil alih dengan membubarkan rapat. Setelah mereka tinggal bertiga, Kai, sekretaris Kai dan beliau sendiri, barulah dia menegur putra tertuanya itu.
"Urusan penting apa yang kamu pikirin, sampai-sampai kamu melamun selagi rapat, hah? Kaisar?"
Mendengar suara bariton sang papa, Kaisar tiba-tiba tersentak dan lamunannya buyar ke mana-mana. Ah, padahal ia barusan ngayal berciuman dengan gadis pekerja klub malam itu. Kini, Kaisar jadi gagap, seperti orang ketahuan, lalu menggaruk tengkuknya asal.
"Bu—bukan apa-apa kok, Pa."
"Kamu ya, sama sekali tidak berubah. Bagaimana perusahaan kakek kamu bisa terus maju, kalau dipimpin sama pria macam kamu ini? Papa yakin, sedari tadi kamu pasti sedang mikirin perempuan yang kamu temui di klub, kan? Ingat ya Kai, kamu sudah menikahi Luna, kamu itu pria beristri. Bersikaplah seperti itu dan jangan lupa tanggung jawab kamu!"
Kaisar hanya bisa menggaruk telinganya karena ceramah panjang lebar sang papa yang menggema dalam ruangan. Bukan sekali dua kali dia mendapati kuliah gratis dari papanya soal itu, tapi seperti biasa, masuk telinga kiri keluar telinga kanan.
Kaisar tetaplah Kaisar, seorang pria mapan tampan dan jantan, yang tak bisa hidup berkomitmen dengan satu wanita.
"Malam Minggu besok, mama kamu meminta kamu dan Luna makan malam di rumah. Datang atau kamu akan dapat omelan mama."
"Iya, Pa. Pasti datang kok."
Malam minggunya.
"Wah, anak mama udah ganteng mau ke mana?" Mama Dahlia mengintip ke kamar putra keduanya dan mendapati sang putra yang sifat aslinya pendiam, jarang senyum, kini malah senyam-senyum sendiri di depan cermin. Mirip orang gila.
"Aku mau makan malam di rumah pacar aku, Ma. Boleh kan?"
"Boleh sih, tapi kenapa nggak pacar kamu aja yang diajak ke mari? Mama udah masak banyak, abang kamu sama istrinya juga datang nanti. Sekalian mama pengen kenalan sama dia, pacar kamu." Mama Dahlia antusias.
"Duh, kayaknya nggak bisa deh, Ma. Aku udah minta dia masak yang enak, jadi kemungkinan besar dia udah masak. Mubazir kan kalau nggak jadi datang."
"Begitu, ya?" Mama Dahlia menampilkan raut kecewa. "Iya deh, nggak apa-apa. Tapi janji ya, Minggu depan, ajak dia ke rumah, kenalan sama mama dan papa."
"Hmm, entar Rega kasih tau dia dulu ya, Ma. Pergi dulu. Assalamualaikum."
Pamit dengan mamanya, Rega berlari kecil keluar rumah, ia sangat bersemangat, memikirkan makan malam dengan Nara dan nenek sudah membuatnya tersenyum ceria.
"Mau ke mana lo?" Tiba-tiba ada suara galak yang menghadang jalannya. Suara siapa lagi kalau bukan Kaisar.
"Ngapelin pacar ke rumahnya, sekalian makan malam." Rega menyahut santai, melangkahkan kaki melewati Kaisar, tapi terus dihadang.
"Gue aja diminta mama datang ke mari untuk makan malam bareng, ngapain lo malah makan malam di luar? Di rumah pacar pula." Suara Kaisar terdengar marah juga menyindir.
Pasalnya, Kaisar yang notabene menghabiskan tiap malamnya di klub, paling malas dengan acara makan malam keluarga begini. Di mana dia harus datang bersama Luna, dan parahnya dia akan bersandiwara layaknya pasangan suami istri yang akur dan romantis.
Belum lagi kalau mamanya bertanya soal momongan. Ah, kepala Kaisar bisa pecah. Semoga saja mamanya nggak bawel malam ini.
"Biarin Rega pergi, dia udah mama ijinkan kok." ujar Mama Dahlia yang berdiri di tengah anak tangga, beliau mendengar percakapan kedua putranya tadi.
Dengan senyum miring di bibirnya, Rega melewati begitu saja Kaisar setelah mendapat bantuan dari mamanya. Mana mungkin Rega membatalkan makan malam bareng Nara dan neneknya cuma gara-gara Kaisar.
"Mama kok pilih kasih, sih? Kaisar, mama paksa datang, sementara dia, mama ijinkan pergi. Kalau gitu, Kai juga mau balik ya."
"Nggak bisa gitu dong. Memangnya kamu nggak mau makan malam bareng keluarga kita? Rega mama izinkan pergi karena dia sebelumnya udah buat janji sama pacarnya. Janji itu harus ditepati, Kai!"
Mendengkus sebal, Kai pun mengalah dan melangkahkan kakinya menuju ruang makan keluarga. Di sana sudah ada kakek dan papanya menunggu.
"Ada apa sih ribut-ribut di depan?" tanya kakek Widjaya, matanya memicing ke arah Kai yang dia curigai sebagai biang masalah.
"Bukan apa-apa kok, Pa. Ayo kita makan aja." Mama Dahlia menyahut demi mencairkan suasana.
***
Tok tok tok."Itu pasti Rega! Cepat buka pintunya!" perintah nenek pada Nara yang duduk memeluk lutut sambil mengunyah permen karet. Tidak ada manis-manisnya jadi perempuan."Iya, ini juga mau bukain kok!" Nara beranjak dari kursi, tapi sebelumnya dia melepeh permen karet, mengatur tatanan rambutnya biar terlihat rapi dan cantik.Masa cantik begini dibilang urakan sama nenek. Ck!"Hai, kau sudah datang?" Entah pertanyaan macam apa yang Nara lontarkan. Jelas-jelas Rega berdiri di depannya, artinya sudah datang alias sudah tiba. Lalu, alih-alih mempersilakan masuk, Nara terdiam seraya memperhatikan Rega dari atas sampai bawah.Cowok itu selalu dengan penampilan sederhananya, celana jins dan jaket yang membaluti badan tingginya. Nara tau, di dalam jaket itu, Rega pasti hanya mengenakan kaos
"Mau ke klub malam lagi? Berapa kali sih aku bilang, jangan ke sana. Sampai Kakek dan Mama tahu, mereka bisa marah besar, Kai." Protes Luna, wanita cantik yang merupakan istri tak dianggap oleh Kaisar.Luna sudah turun dari mobil, sementara Kai masih dibalik kemudi, bersiap menuju ke tempat selanjutnya. Namun, Luna berusaha menahan."Itu tugas lo, ngerahasiain ini dari mereka." Kaisar menyahut acuh, padahal dalam hati kecilnya juga was-was kalau sampai Luna mengadu informasi sekecil apapun tentangnya pada kakek atau mama.Bisa mati Kai."Kamu nggak dengar tadi mama bilang apa? Dia mau anak, Kai. Dia mau kita memberikan cucu.""Masalahnya gue nggak mau making love sama lo, Luna." Tekan Kaisar pada kata making love tanpa memandang ke wajah sang istri. "Adik kecil gue nggak respon walau mel
Di kantor, Kaisar terus saja mematut layar ponsel pintarnya, padahal di meja kerja ada beberapa berkas yang harus dia periksa. Baginya sekarang, telpon atau SMS dari si Elsa lebih penting dibanding berkas-berkas pekerjaannya itu.Kaisar juga tak mempedulikan, saat sekretarisnya datang meminta tanda tangannya. Dia malah menyuruh sang sekretaris keluar dari ruangannya dengan gerakan tangan mengusir. Sang sekretaris yang seorang pria sebaya dengannya itu pun keluar dengan wajah masam."Apa gue telpon Elsa itu aja ya?" Kaisar bertanya sendiri seolah menimbang-nimbang. Dia sudah tak sabar. Sedang Elsa belum memberinya kabar."Ah, nanti besar kepala pula tuh cewek," putusnya seraya mencebik bibir. Ponselnya ia taruh di meja kerja sementara Kaisar sendiri beranjak dari kursi kebangsaan, meregang otot-otot yang tersembunyi di balik kemejanya itu yang sudah lama tidak di
Kinara sudah cukup kesal ketika Elsa mengirimi pesan mengajak bertemu, dan tanpa rasa bersalah, gadis genit itu malah mempertemukannya dengan pria yang waktu itu di klub malam yang telah mencuri ciuman pertamanya. Parahnya lagi, pria itu juga tampak memamerkan senyum puas ke arahnya. Menyebalkan sekali, bukan?Lalu, panggilan macam apa itu tadi?Sweety? Pacar? Fix, nggak salah lagi. Selain bajingan, pria itu benar-benar sudah gila. Apa jangan-jangan dia pasien rumah sakit jiwa yang lepas?Tidak ingin bertemu dan punya masalah dengan pria gila itu, Kinara berlari menjauh dari area parkiran, mencari tempat persembunyian yang dikira aman, gudang yang terletak di belakang cafetaria kampus. Lagian ngapain sih dia sampai nyari gue ke mari?Saat sedang bersembunyi, Kinara mendengar cacing dalam perutnya berdemo minta dikasih makan. Dia pun mering
Di rumahnya setelah makan malam sederhana bersama nenek, Kinara langsung meluru ke kamar. Dia sedang tidak ingin berbincang soal apapun, ingin tidur dan melupakan kejadian tak mengenakkan tadi siang. Kinara lelah merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menerima tumpangan Kaisar yang ingin mengantarnya pulang, walaupun pada akhirnya berhenti di tengah jalan.Duh, kenapa jadi membahas Kaisar lagi sih?Kinara menutup kepala dan telinganya dengan bantal berharap suara-suara aneh tidak merasukinya. Dia ingin tidur saja, semoga yang tadi itu semua mimpi.Satu menit.Lima menit.Hingga sepuluh menit waktu berjalan yang di dominasi detak jam dinding dan kesunyian malam, Kinara rupanya tak kunjung tertidur. Memejam matanya sejenak, buka lagi, pejam lagi, buka lagi, begitu seterusnya hingga ia
Nara benar-benar bermimpi indah. Saking indahnya itu mimpi, terasa seperti nyata. Seorang gadis dengan baju kaos putih kebesaran dan celana pendek yang diduga adalah dirinya sendiri sedang bermain kejar-kejaran dengan seorang pemuda tampan yang mirip Rega. Mereka bermain kejar-kejaran di bibir pantai. Anehnya, disitu ada jemuran kain yang berkibar-kibar lalu mereka berlari melewatinya.Seperti dalam drama Korea saja, kan? Ah, Kinara sampai senyam-senyum dalam tidurnya."Ayo, Ra! Kejar gue! Kalau berhasil, gue kasih hadiah." Begitu kata Rega dalam mimpinya sambil terus berlari, meminta Nara mengejarnya.Nara pun tak mau kalah, dengan sekuat tenaga dia berlari, tapi anehnya, makin dikejar, makin Rega menjauh darinya. Apa-apaan sih ini?Wajah Nara dalam tidurnya sempat merungut, karena Rega tak kunjung berhasil dia raih, padahal d
Sejenak Nara tertegun, antara kaget dan bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan Rega. Tidak mungkin dia bilang, kalau ada penguntit yang kemarin pernah mencoba mengikutinya, kan? Yang ada, Rega malah khawatir. Tidak mungkin juga kalau dia bilang, ada pria yang naksir sama dia dan mengejarnya sampai ke rumah. "Hmm? Oh, itu nggak ada apa-apa kok. Gue cuma takut kita telat naik bus. Makanya gue nyeret lo lari-lari kayak tadi." Nara mengarang alasan, tapi kedengarannya masuk akal, dan Rega percaya. "Oh, begitu ya? Gue kira kenapa." Rega tersenyum lega dengan tarikan nafas yang mulai teratur. Sorry ya, Ga, gue terpaksa bohong. Ini demi kebaikan kita kok. Nara yang duduk di samping jendela, memilih untuk memandang ke luar, pada jalan raya yang ramai lancar di jam berangkat kerja pagi ini. Dia sedang menata hatinya yang tak enak karena sudah berbohong dengan Rega. Sumpah, tidak enak sekali berbohong dengan pacar, Nara semacam punya ketakutan tersendiri. Bagaimana kalau suatu waktu t
"Ih, gue kan udah minta maaf waktu itu. Lo nya aja yang nggak dengar.""Maaf lo bilang? Enak aja. Kesalahan lo sama gue tuh dobel tau nggak, Sa. Nggak bisa kelar dengan kata maaf doang."Nara tak main-main dengan ucapannya. Begitu melihat Elsa, dia langsung berlari sambil meneriaki nama gadis itu. Beberapa orang yang berada di sekitar melihat, tapi Nara tidak ambil pusing. Dia cuma ingin membuat perhitungan dengan Elsa. Elsa yang menyadarinya sempat berlari menghindar, tapi seolah mendapat kekuatan super, langkah Nara saat berlari jadi dua kali lebih panjang membuatnya cepat sampai pada Elsa dan langsung menjambak rambut keriting bergelombang itu. "Tapi, nggak gini juga caranya, Ra. Sakit banget tau. Mana ini rambut gue baru siap disambung, rusak deh jadinya," keluh Elsa yang kepalanya di tekan ke bawah oleh Nara dan rambutnya serasa mau lepas dari kulit kepala. Aiuuuh, sakit sekali.