"Mau ke klub malam lagi? Berapa kali sih aku bilang, jangan ke sana. Sampai Kakek dan Mama tahu, mereka bisa marah besar, Kai." Protes Luna, wanita cantik yang merupakan istri tak dianggap oleh Kaisar.
Luna sudah turun dari mobil, sementara Kai masih dibalik kemudi, bersiap menuju ke tempat selanjutnya. Namun, Luna berusaha menahan.
"Itu tugas lo, ngerahasiain ini dari mereka." Kaisar menyahut acuh, padahal dalam hati kecilnya juga was-was kalau sampai Luna mengadu informasi sekecil apapun tentangnya pada kakek atau mama.
Bisa mati Kai.
"Kamu nggak dengar tadi mama bilang apa? Dia mau anak, Kai. Dia mau kita memberikan cucu."
"Masalahnya gue nggak mau making love sama lo, Luna." Tekan Kaisar pada kata making love tanpa memandang ke wajah sang istri. "Adik kecil gue nggak respon walau melihat lo bugil sekalipun."
Kaisar mendengkus kasar. Kenapa Luna harus membahas ini lagi sih? Dia sudah pernah bilang, kan? Sampai kapanpun, Kaisar tidak akan mau menyentuh Luna, walau dalam pengaruh alkohol sekalipun.
Pernikahan mereka bukan atas dasar cinta. Kai menerima permintaan kakek Widjaya untuk menikah dengan cucu angkat kesayangannya itu karena tak ingin dihapus dari daftar warisan. Itu aja. Entah kenapa juga, kakeknya begitu menyayangi Luna melebihi cucu sendiri.
Lagipula, mereka tumbuh besar bersama dalam satu keluarga. Kaisar sudah menganggap Luna sebagai saudarinya.
Namun, tidak bagi Luna. Menikah dengan pewaris Widjaya Grup adalah ambisinya. Soal Kaisar mencintainya atau tidak, itu urusan belakangan. Yang terpenting, statusnya sebagai Nyonya Kaisar Lerian Widjaya agar tidak ada yang memandang rendah dirinya.
Akan tetapi, lama-kelamaan tak ditanggapi oleh Kaisar, bahkan sang suami memilih bermain dengan wanita jalang di klub, membuat harga diri Luna terjun bebas. Masa dirinya yang seorang desainer kalah saing dengan para kupu-kupu malam? Bagian mana dari dirinya yang tidak menarik di mata Kaisar?
Menjadi wanita yang anggun, pintar dan sukses saja tak cukup untuk membuat Kaisar jatuh cinta padanya. Luna sungguh frustasi karenanya.
Tanpa mempedulikan omongan Luna, Kaisar melaju mobil Porsche merah hati miliknya meninggalkan pelataran apartemen. Tujuannya tentulah klub malam. Dia akan mencari sekali lagi gadis yang kemarin ia temui dan ia cium dengan rakus. Gadis yang telah membuatnya gila bayang belakangan ini. Kaisar bahkan tidak bisa fokus urusan kerjaan karenanya. Gadis itu harus bertanggung jawab.
"Hai Kai, apa kau perlu beberapa orang gadis untuk menemanimu?" Pemilik klub yang mengenal siapa Kai langsung datang dan menawari dengan senang hati.
Untuk informasi, di dunia malam seperti ini, tidak ada seorang pun yang tak mengenal seorang Kaisar Lerian Widjaya. Pria cassanova yang tak pernah ditolak oleh wanita manapun.
Menggeleng. Kaisar tak perlu wanita-wanita itu. Yang dia perlukan kali ini hanyalah gadis yang waktu itu. "Aku hanya perlu satu gadis. Beberapa waktu lalu, aku menemukannya memakai baju pekerja di sini. Apa dia karyawan tempat ini?"
"Gadis yang mana? Ada banyak pekerja wanita di sini?" Pemilik klub menunjuk berkeliling di mana ada beberapa gadis dengan pakaian minim.
Menggaruk alisnya, Kaisar berusaha mengingat-ingat kesan pertama saat bertemu si gadis. "Dia sepertinya anak baru."
"Oh, sepertinya gadis yang itu." Pemilik klub baru mengingatnya. "Dia hanya menggantikan sepupunya, itupun dia kabur tanpa memberitahu. Untung saja dia sepupu Elsa, kalau bukan, pasti akan aku tuntut dia."
"Elsa?" Alis Kai menukik.
Tidak butuh waktu lama, Kaisar pun dipertemukan dengan Elsa. Tentu saja awalnya Elsa kesenangan mendapati seorang Kaisar ingin dilayani olehnya. Seperti cacing kepanasan yang haus akan belaian seorang pria, Elsa memepet tubuh bagian depannya ke dada Kaisar namun segera ditepis.
Kontan saja Elsa mengerucut bibirnya. "Jadi, gue dipanggil ke sini untuk apa?"
"Di mana sepupu lo? Gadis yang beberapa waktu lalu gantiin lo di sini?" tanya Kaisar langsung ke intinya.
"Siapa? Nara? Ngapain lo nyariin dia?" tanya Elsa jengkel tapi penasaran. Cuma datang sebentar saja, sudah ada pria tampan mencari dia, sungut Elsa iri.
Oh, jadi namanya Nara. Manis juga. Sempat pula Kai tersenyum mendengar nama itu.
"Jadi ngapain lo nyari dia? Sekedar info ya, dia bukan sepupu gue. Dia cuma teman sekampus yang lagi butuh duit. Gue bayar dia 2 kali lipat untuk gantiin gue semalam kerja di sini, tapi dianya malah kabur. Bikin malu aja." Elsa menunjukkan muka sebal. Padahal sebenarnya dia tak semarah itu pada Nara, malah dia penasaran, kenapa malam itu Nara mendadak kabur dari klub. Apa mungkin terjadi sesuatu? Dan apa mungkin ada hubungannya dengan pria tampan di depannya ini?
Kai tampak menyeringai mendengar penjelasan Elsa. Dia punya rencana. "Oke, gue bisa ganti uang yang lo bayar ke dia 2 kali lipat. Asal, lo bawa gue ketemu dia. Gimana? Setuju?"
Mata Elsa langsung berbinar. 2 kali lipat? Wah, berduit juga nih pria. Tapi, kenapa ya? Kenapa dia rela bayar mahal demi bertemu Nara? Elsa makin penasaran.
"Oke, gue setuju. Kalau gitu, gue perlu nomor handphone lo. Biar besok gue kabari lo setelah di kampus." Tangan Elsa tanpa ragu terulur ke depan tepat di dada Kaisar, bermaksud meminta ponsel pria itu.
Tidak perlu lama berpikir, Kaisar pun memberikan ponselnya, dan melihat Elsa menelpon sebuah nomor dari ponselnys. Sejurus kemudian, ponsel disaku Elsa berdering.
"Oke, tunggu aja telpon gue besok." Elsa berujar dengan mengedip sebelah matanya.
***
Di kantor, Kaisar terus saja mematut layar ponsel pintarnya, padahal di meja kerja ada beberapa berkas yang harus dia periksa. Baginya sekarang, telpon atau SMS dari si Elsa lebih penting dibanding berkas-berkas pekerjaannya itu.Kaisar juga tak mempedulikan, saat sekretarisnya datang meminta tanda tangannya. Dia malah menyuruh sang sekretaris keluar dari ruangannya dengan gerakan tangan mengusir. Sang sekretaris yang seorang pria sebaya dengannya itu pun keluar dengan wajah masam."Apa gue telpon Elsa itu aja ya?" Kaisar bertanya sendiri seolah menimbang-nimbang. Dia sudah tak sabar. Sedang Elsa belum memberinya kabar."Ah, nanti besar kepala pula tuh cewek," putusnya seraya mencebik bibir. Ponselnya ia taruh di meja kerja sementara Kaisar sendiri beranjak dari kursi kebangsaan, meregang otot-otot yang tersembunyi di balik kemejanya itu yang sudah lama tidak di
Kinara sudah cukup kesal ketika Elsa mengirimi pesan mengajak bertemu, dan tanpa rasa bersalah, gadis genit itu malah mempertemukannya dengan pria yang waktu itu di klub malam yang telah mencuri ciuman pertamanya. Parahnya lagi, pria itu juga tampak memamerkan senyum puas ke arahnya. Menyebalkan sekali, bukan?Lalu, panggilan macam apa itu tadi?Sweety? Pacar? Fix, nggak salah lagi. Selain bajingan, pria itu benar-benar sudah gila. Apa jangan-jangan dia pasien rumah sakit jiwa yang lepas?Tidak ingin bertemu dan punya masalah dengan pria gila itu, Kinara berlari menjauh dari area parkiran, mencari tempat persembunyian yang dikira aman, gudang yang terletak di belakang cafetaria kampus. Lagian ngapain sih dia sampai nyari gue ke mari?Saat sedang bersembunyi, Kinara mendengar cacing dalam perutnya berdemo minta dikasih makan. Dia pun mering
Di rumahnya setelah makan malam sederhana bersama nenek, Kinara langsung meluru ke kamar. Dia sedang tidak ingin berbincang soal apapun, ingin tidur dan melupakan kejadian tak mengenakkan tadi siang. Kinara lelah merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menerima tumpangan Kaisar yang ingin mengantarnya pulang, walaupun pada akhirnya berhenti di tengah jalan.Duh, kenapa jadi membahas Kaisar lagi sih?Kinara menutup kepala dan telinganya dengan bantal berharap suara-suara aneh tidak merasukinya. Dia ingin tidur saja, semoga yang tadi itu semua mimpi.Satu menit.Lima menit.Hingga sepuluh menit waktu berjalan yang di dominasi detak jam dinding dan kesunyian malam, Kinara rupanya tak kunjung tertidur. Memejam matanya sejenak, buka lagi, pejam lagi, buka lagi, begitu seterusnya hingga ia
Nara benar-benar bermimpi indah. Saking indahnya itu mimpi, terasa seperti nyata. Seorang gadis dengan baju kaos putih kebesaran dan celana pendek yang diduga adalah dirinya sendiri sedang bermain kejar-kejaran dengan seorang pemuda tampan yang mirip Rega. Mereka bermain kejar-kejaran di bibir pantai. Anehnya, disitu ada jemuran kain yang berkibar-kibar lalu mereka berlari melewatinya.Seperti dalam drama Korea saja, kan? Ah, Kinara sampai senyam-senyum dalam tidurnya."Ayo, Ra! Kejar gue! Kalau berhasil, gue kasih hadiah." Begitu kata Rega dalam mimpinya sambil terus berlari, meminta Nara mengejarnya.Nara pun tak mau kalah, dengan sekuat tenaga dia berlari, tapi anehnya, makin dikejar, makin Rega menjauh darinya. Apa-apaan sih ini?Wajah Nara dalam tidurnya sempat merungut, karena Rega tak kunjung berhasil dia raih, padahal d
Sejenak Nara tertegun, antara kaget dan bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan Rega. Tidak mungkin dia bilang, kalau ada penguntit yang kemarin pernah mencoba mengikutinya, kan? Yang ada, Rega malah khawatir. Tidak mungkin juga kalau dia bilang, ada pria yang naksir sama dia dan mengejarnya sampai ke rumah. "Hmm? Oh, itu nggak ada apa-apa kok. Gue cuma takut kita telat naik bus. Makanya gue nyeret lo lari-lari kayak tadi." Nara mengarang alasan, tapi kedengarannya masuk akal, dan Rega percaya. "Oh, begitu ya? Gue kira kenapa." Rega tersenyum lega dengan tarikan nafas yang mulai teratur. Sorry ya, Ga, gue terpaksa bohong. Ini demi kebaikan kita kok. Nara yang duduk di samping jendela, memilih untuk memandang ke luar, pada jalan raya yang ramai lancar di jam berangkat kerja pagi ini. Dia sedang menata hatinya yang tak enak karena sudah berbohong dengan Rega. Sumpah, tidak enak sekali berbohong dengan pacar, Nara semacam punya ketakutan tersendiri. Bagaimana kalau suatu waktu t
"Ih, gue kan udah minta maaf waktu itu. Lo nya aja yang nggak dengar.""Maaf lo bilang? Enak aja. Kesalahan lo sama gue tuh dobel tau nggak, Sa. Nggak bisa kelar dengan kata maaf doang."Nara tak main-main dengan ucapannya. Begitu melihat Elsa, dia langsung berlari sambil meneriaki nama gadis itu. Beberapa orang yang berada di sekitar melihat, tapi Nara tidak ambil pusing. Dia cuma ingin membuat perhitungan dengan Elsa. Elsa yang menyadarinya sempat berlari menghindar, tapi seolah mendapat kekuatan super, langkah Nara saat berlari jadi dua kali lebih panjang membuatnya cepat sampai pada Elsa dan langsung menjambak rambut keriting bergelombang itu. "Tapi, nggak gini juga caranya, Ra. Sakit banget tau. Mana ini rambut gue baru siap disambung, rusak deh jadinya," keluh Elsa yang kepalanya di tekan ke bawah oleh Nara dan rambutnya serasa mau lepas dari kulit kepala. Aiuuuh, sakit sekali.
Rega baru tiba di gedung belajarnya, tepatnya di lantai 3 ketika sayup-sayup dia mendengar suara keributan. Pemuda yang kesehariannya berpenampilan santai namun tetap sopan itu sontak melongo ke bawah, mencari sumber keributan tersebut. "Siapa sih yang berantem? Kurang kerjaan banget." Karena posisinya nun jauh di atas, Rega tak dapat melihat siapa yang berantem, apalagi beberapa orang tampak berkerumun. Dia pun mengangkat bahu, memilih untuk bersikap masa bodoh. Toh, tidak ada hubungan dengannya juga, kan? Lain halnya kalau yang berantem itu Nara, baru Rega rasa khawatir dan akan turun tangan melerainya. Kalau perlu, dia akan membuat lawan berantem Nara kapok biar tidak mengganggu lagi. Sampai, dua orang cewek datang dari bawah membicarakan sesuatu yang membuat Rega terasa lain. Awalnya dia tak mau ambil pusing, kini dia berakhir menguping. Eh, nggak menguping sih, karena kedua cewek itu ngobrol biasa saja, bukannya sambil bisik-bisik. "Itu yang berantem anak manajemen nggak sih?
“Ngapain lagi sih lo di sini? Masih nungguin Nara?”Elsa berada di parkiran kampus siang menjelang sore itu ketika mata jelinya tertangkap siluet wajah Kaisar berada dalam mobil yang jendelanya terbuka sebagian. Dari jarak beberapa meter saja, wajah Kaisar sudah terlihat begitu mempesona, membuat Elsa buru-buru menghampiri. Gadis itu penasaran tingkat dewa kenapa Kaisar masih saja nekat menemui Nara. Apa dia tak tahu Nara sudah punya pacar? Apa tidak ada gadis lain yang mau dipepet? Elsa sendiri, misalnya. Ck!“Ya iyalah, Nara. Siapa lagi? Nggak mungkin lo.” Kaisar melempar tatapan geli ke arah Elsa, seolah gadis itu adalah belut yang sangat dia benci. “Kali aja lo nungguin gue.” Elsa menyahut dengan percaya diri tanpa tersinggung ucapan Kaisar sebelumnya.“Jangan ngarep. Gue tuh sornya sama gadis kayak Nara, bukan kayak lo gini.” Alih-alih sebal karena berdebat dengan gadis nggak penting seperti Elsa ini, Kaisar malah membayangkan ada Nara yang duduk di sampingnya, tersenyum menggo