1 minggu kemudian.
Kinara berjalan beriringan dengan Cantika, cewek berhijab yang merupakan teman dekatnya. Sesekali mereka terlihat cekikikan bersama, entah hal seru apa yang sedang dibicarakan.
"Ngomong-ngomong, kamu nggak pulang bareng Rega? Kayaknya semingguan ini kamu lebih sering pulang sama aku deh."
Meskipun Cantika berhijab, tapi dia tak munafik dan tak pernah melarang Nara untuk tak berpacaran. Dia malah mendukung Nara dekat dengan Rega, karena satu kampus juga tahu, cowok itu orangnya seperti apa.
"Belum tau, nih. Rega belum menghubungi gue."
"Kalian berantem?"
Menggeleng kepalanya. "Nggak. Siapa bilang?"
Cantika menatap Nara dengan tatapan penuh minat. "Lah itu? Kamu bilang, Rega belum menghubungi? Memangnya harus Rega dulu yang nelpon baru kamu ngomong sama dia? Ini malam Minggu loh, Ra. Nggak ada rencana ngapel gitu?"
Oh, malam Minggu ya? Nara nyaris lupa.
"Bentar deh, gue telpon dulu." Nara merogoh isi tasnya mengambil ponsel. Jemari tangannya begitu cepat bergerak untuk menelpon, menaruh ponsel di telinga, tapi belum sempat diangkat oleh Rega ketika sikutan Cantika mengenai lengannya. Sontak Nara menoleh Cantika dengan kerutan di dahi. Kenapa? Begitulah kiranya kalau diartikan.
"Itu Rega!"
Nara mengikuti arah telunjuk temannya, dan benar saja, tak jauh di depan sana, Rega melambai tangan seraya sebelah tangan yang memegang ponsel sengaja digoyang-goyangkan.
"Kalau begitu, aku duluan ya, Ra." Cantika pamit seraya mengedipkan sebelah matanya, menggoda.
"Bye, hati-hati jalannya."
Tempat Cantika, digantikan oleh Rega. Kini dua anak manusia lawan jenis itu berdiri berhadap-hadapan tapi tak saling bicara untuk beberapa saat. Rega senyam-senyum sendiri, seperti ada sesuatu yang ingin dia utarakan.
"Ga, kenapa lo senyum sendiri gitu? Ada yang aneh dengan wajah gue?"
Rega Pramudya menggeleng. Cowok jangkung itu masih mengulum senyum, membuat Nara geram. Sebenarnya ada apa sih? Satu pukulan dia layangkan ke bahu Rega, biar cowok itu tahu rasa.
"Sakit, Ra!" rengek Rega memasang tampang memelas.
"Makanya, jangan senyam-senyum sendiri gitu, ditanya lo malah diam aja. Gue kan jadi kesal."
"Iya sorry deh." Rega menjeda kalimatnya, melihat kiri kanan, takut bicaranya didengar orang lain. "Malam Minggu ini, lo nggak sibuk, kan? Nggak ada kerjaan tambahan, kan?"
Mendengar pertanyaan Rega, ia jadi ingat malam Minggu yang lalu, saat dia diminta Elsa menggantikan bekerja di klub. Malam Minggu yang paling sial bagi Nara.
"Kenapa? Lo mau ngajak gue makan malam di luar?"
Mengusap tengkuknya dengan gerakan lambat dan malu-malu, Rega pun menjawab. "Nggak sih. Gue aja rencananya mau numpang makan di rumah lo."
Sore harinya, Nara pulang ke rumah dengan membawa kantong besar berisi belanjaan berbagai jenis. Ada sayuran, ikan dan buah-buahan. Meletakkan kantong tersebut di atas meja di dapur, Nara kemudian meregangkan tangannya yang terasa pegal.
Fyuuuh.
Nenek Ratih yang melihat kepulangan cucunya beserta banyak barang jadi kaget dan menghampiri. "Banyak sekali, kayak orang mau bikin syukuran aja."
Nara berdecak karena lelah dan sebal bersamaan. "Ini permintaan dari pacar brondong nenek," ketusnya.
Alis nenek Ratih berkerut. "Maksud kamu Rega?"
"Memangnya siapa lagi? Tck. Malam Minggu bukannya ngajak Nara jalan berdua, malah dia memilih makan bersama nenek. Dia lebih mentingin perasaan nenek daripada aku, pacarnya." Nara mengoceh dengan bibirnya yang dimanyun-manyunkan.
"Makanya kamu itu jangan bawel sama Rega. Jadi wanita itu harus lemah lembut."
"Nenek aja yang senang banget ladenin dia, kan jadi besar kepala anaknya."
"Hush, nggak baik ngomong gitu sama pacar sendiri." Nenek Ratih mengibas tangannya tepat di depan bibir Nara. "Harusnya kamu bersyukur, memiliki Rega yang tulus menyayangi kamu yang urakan dan bawel begini. Di mana lagi kamu mau cari pria seperti dia? Kalau bukan Rega, nenek yakin saat ini kamu pasti masih jomblo."
Nara tak bisa menahan bibirnya untuk tak berdecak. Kenapa bicara nenek jujur sekali, sih? Dasar, suka banget mengejek cucunya. Memangnya segitu urakannya, Nara? Ia pun mengabsen penampilannya sebelum akhirnya tertawa sumbang.
"Iya deh, iya. Nara memang beruntung punya Rega sebagai pacar. Untuk itu sekarang, kita harus masak yang banyak dan enak untuk makan malam."
"Kamu istirahat saja, biar nenek yang masak semua. Kamu terima beres."
Menggeleng. "Nggak bisa dong. Rega pacar Nara, jadi Nara yang harus masak, nenek bagian bantu-bantu aja. Nara nggak mau ya, kalau nanti malah nenek yang dipuji-puji sama Rega. Nggak mau."
"Tck. Kamu cemburu sama wanita tua ini?"
"Tentu saja."
Nara pun mengeluarkan satu persatu barang yang dia beli, menata di atas meja sambil kepala otaknya memikirkan masakan apa yang bisa dia olah. Setelah mendapat ide, ia pun mengikat rambutnya ke atas, kebiasaan kalau hendak mengawali sesuatu pekerjaan yang ribet dan memerlukan ekstra tenaga.
***
Dua hari sebelum malam minggu.Rapat sedang berlangsung dengan Kaisar sebagai pemimpinnya, tapi alih-alih berbicara menyampaikan masalah dalam rapat, Kai malah menunjuk sekretaris-nya yang berbicara menggantikannya.Sedangkan Kai, hanya melamun. Lebih tepatnya, ia sedang terbayang dengan gadis yang Minggu kemarin ditemuinya di klub. Dilihat dari cara berpakaian, gadis itu adalah pekerja di klub tersebut, tapi begitu dia datang untuk mencari, Kai tak menemukan gadis itu di sana.Ke mana lagi gue harus nyari dia, ya? Akhhh, gue udah benar-benar gila. Masa dengan membayangkan bibirnya aja, adik kecil gue udah langsung on."Baiklah, kalau tidak ada pertanyaan lagi, mungkin rapat kita sudahi saja." Pria muda yang merupakan sekretaris seorang Kaisar tampak memberi kode pada sang Bos, tapi Kai tidak menggubris, lebih tepatnya ta
Tok tok tok."Itu pasti Rega! Cepat buka pintunya!" perintah nenek pada Nara yang duduk memeluk lutut sambil mengunyah permen karet. Tidak ada manis-manisnya jadi perempuan."Iya, ini juga mau bukain kok!" Nara beranjak dari kursi, tapi sebelumnya dia melepeh permen karet, mengatur tatanan rambutnya biar terlihat rapi dan cantik.Masa cantik begini dibilang urakan sama nenek. Ck!"Hai, kau sudah datang?" Entah pertanyaan macam apa yang Nara lontarkan. Jelas-jelas Rega berdiri di depannya, artinya sudah datang alias sudah tiba. Lalu, alih-alih mempersilakan masuk, Nara terdiam seraya memperhatikan Rega dari atas sampai bawah.Cowok itu selalu dengan penampilan sederhananya, celana jins dan jaket yang membaluti badan tingginya. Nara tau, di dalam jaket itu, Rega pasti hanya mengenakan kaos
"Mau ke klub malam lagi? Berapa kali sih aku bilang, jangan ke sana. Sampai Kakek dan Mama tahu, mereka bisa marah besar, Kai." Protes Luna, wanita cantik yang merupakan istri tak dianggap oleh Kaisar.Luna sudah turun dari mobil, sementara Kai masih dibalik kemudi, bersiap menuju ke tempat selanjutnya. Namun, Luna berusaha menahan."Itu tugas lo, ngerahasiain ini dari mereka." Kaisar menyahut acuh, padahal dalam hati kecilnya juga was-was kalau sampai Luna mengadu informasi sekecil apapun tentangnya pada kakek atau mama.Bisa mati Kai."Kamu nggak dengar tadi mama bilang apa? Dia mau anak, Kai. Dia mau kita memberikan cucu.""Masalahnya gue nggak mau making love sama lo, Luna." Tekan Kaisar pada kata making love tanpa memandang ke wajah sang istri. "Adik kecil gue nggak respon walau mel
Di kantor, Kaisar terus saja mematut layar ponsel pintarnya, padahal di meja kerja ada beberapa berkas yang harus dia periksa. Baginya sekarang, telpon atau SMS dari si Elsa lebih penting dibanding berkas-berkas pekerjaannya itu.Kaisar juga tak mempedulikan, saat sekretarisnya datang meminta tanda tangannya. Dia malah menyuruh sang sekretaris keluar dari ruangannya dengan gerakan tangan mengusir. Sang sekretaris yang seorang pria sebaya dengannya itu pun keluar dengan wajah masam."Apa gue telpon Elsa itu aja ya?" Kaisar bertanya sendiri seolah menimbang-nimbang. Dia sudah tak sabar. Sedang Elsa belum memberinya kabar."Ah, nanti besar kepala pula tuh cewek," putusnya seraya mencebik bibir. Ponselnya ia taruh di meja kerja sementara Kaisar sendiri beranjak dari kursi kebangsaan, meregang otot-otot yang tersembunyi di balik kemejanya itu yang sudah lama tidak di
Kinara sudah cukup kesal ketika Elsa mengirimi pesan mengajak bertemu, dan tanpa rasa bersalah, gadis genit itu malah mempertemukannya dengan pria yang waktu itu di klub malam yang telah mencuri ciuman pertamanya. Parahnya lagi, pria itu juga tampak memamerkan senyum puas ke arahnya. Menyebalkan sekali, bukan?Lalu, panggilan macam apa itu tadi?Sweety? Pacar? Fix, nggak salah lagi. Selain bajingan, pria itu benar-benar sudah gila. Apa jangan-jangan dia pasien rumah sakit jiwa yang lepas?Tidak ingin bertemu dan punya masalah dengan pria gila itu, Kinara berlari menjauh dari area parkiran, mencari tempat persembunyian yang dikira aman, gudang yang terletak di belakang cafetaria kampus. Lagian ngapain sih dia sampai nyari gue ke mari?Saat sedang bersembunyi, Kinara mendengar cacing dalam perutnya berdemo minta dikasih makan. Dia pun mering
Di rumahnya setelah makan malam sederhana bersama nenek, Kinara langsung meluru ke kamar. Dia sedang tidak ingin berbincang soal apapun, ingin tidur dan melupakan kejadian tak mengenakkan tadi siang. Kinara lelah merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menerima tumpangan Kaisar yang ingin mengantarnya pulang, walaupun pada akhirnya berhenti di tengah jalan.Duh, kenapa jadi membahas Kaisar lagi sih?Kinara menutup kepala dan telinganya dengan bantal berharap suara-suara aneh tidak merasukinya. Dia ingin tidur saja, semoga yang tadi itu semua mimpi.Satu menit.Lima menit.Hingga sepuluh menit waktu berjalan yang di dominasi detak jam dinding dan kesunyian malam, Kinara rupanya tak kunjung tertidur. Memejam matanya sejenak, buka lagi, pejam lagi, buka lagi, begitu seterusnya hingga ia
Nara benar-benar bermimpi indah. Saking indahnya itu mimpi, terasa seperti nyata. Seorang gadis dengan baju kaos putih kebesaran dan celana pendek yang diduga adalah dirinya sendiri sedang bermain kejar-kejaran dengan seorang pemuda tampan yang mirip Rega. Mereka bermain kejar-kejaran di bibir pantai. Anehnya, disitu ada jemuran kain yang berkibar-kibar lalu mereka berlari melewatinya.Seperti dalam drama Korea saja, kan? Ah, Kinara sampai senyam-senyum dalam tidurnya."Ayo, Ra! Kejar gue! Kalau berhasil, gue kasih hadiah." Begitu kata Rega dalam mimpinya sambil terus berlari, meminta Nara mengejarnya.Nara pun tak mau kalah, dengan sekuat tenaga dia berlari, tapi anehnya, makin dikejar, makin Rega menjauh darinya. Apa-apaan sih ini?Wajah Nara dalam tidurnya sempat merungut, karena Rega tak kunjung berhasil dia raih, padahal d
Sejenak Nara tertegun, antara kaget dan bingung hendak menjawab apa atas pertanyaan Rega. Tidak mungkin dia bilang, kalau ada penguntit yang kemarin pernah mencoba mengikutinya, kan? Yang ada, Rega malah khawatir. Tidak mungkin juga kalau dia bilang, ada pria yang naksir sama dia dan mengejarnya sampai ke rumah. "Hmm? Oh, itu nggak ada apa-apa kok. Gue cuma takut kita telat naik bus. Makanya gue nyeret lo lari-lari kayak tadi." Nara mengarang alasan, tapi kedengarannya masuk akal, dan Rega percaya. "Oh, begitu ya? Gue kira kenapa." Rega tersenyum lega dengan tarikan nafas yang mulai teratur. Sorry ya, Ga, gue terpaksa bohong. Ini demi kebaikan kita kok. Nara yang duduk di samping jendela, memilih untuk memandang ke luar, pada jalan raya yang ramai lancar di jam berangkat kerja pagi ini. Dia sedang menata hatinya yang tak enak karena sudah berbohong dengan Rega. Sumpah, tidak enak sekali berbohong dengan pacar, Nara semacam punya ketakutan tersendiri. Bagaimana kalau suatu waktu t