Evelyn diam, merasa mendapat celah, Edzard kembali melanjutkan aktivitas. Mencium leher jenjang milik sang istri, dan memberi beberapa tanda merah di sana, satu tangannya meraih resleting di bagian punggung kemudian menarik lepas kebawah. Edzard semakin membenamkan ke bagian dada Evelyn, bagian yang semalam ia jamah juga. Bedanya, kali ini dia tidak akan berhenti di tengah jalan, nafsu sudah berada pada puncak. Lenguhan kecil lolos dari bibir Evelyn membuat Edzard semakin bersemangat.
Cukup lama Edzard memanjakan Evelyn dengan sentuhan-sentuhan bibir dan jarinya. Entah sejak kapan, keduanya telah polos. Evelyn terbaring dengan tubuh menggeliat, ketikan Edzard mempermainkan miliknya dengan lidah. "Pak, tolong jangan siksa saya," ucap Evelyn tubuh putih, lembut dan sexy tersebut memanas.
Edzard bangkit memposisikan diri di atas Evelyn. "Aku baru pertama kali akan melakukannya. Jadi, maaf jika sedikit kasar dan mungkin
Sentuhan dingin di pipi membuat Rere terbangun dari tidurnya. Dia mengerjab-ngerjabkan mata kemudian mendongak. Edzard duduk di samping Rere berbaring, senyumnya mengembang. Lelaki itu terlihat berbinar, ada sorot kebahagiaan tidak terlukiskan yang dapat Rere lihat. Rambut sang suami nampak basah, aroma shampo menguar tercium hidung Rere. Gadis itu tertegun melihat tanda merah di leher suaminya. Dia beringsut duduk kemudian menatap lelaki yang masih mengulas senyum itu. "Abang," sapa Rere. "Abang bawa sesuatu buat kamu, ini hadiah dari rekan kerja Abang dari luar kota. Tadi lupa memberikannya buat kamu," ucap Edzard menyerahkan tas belanjaan. Rere menerimanya, dia merogoh tas kertas tersebut, senyumnya mengembang, sebuah tas mewah keluaran terbaru dari merk ternama. "Ini seriusan buat Rere?" tanya gadis itu berbinar. Edzard mengangguk, "Sudah lama Abang
Suasana malam romantis di sebuah cafe yang tengah populer di sosial media. Lampu-lampu penghias taman menyala dengan indah. Banyak pasangan muda-muda berkunjung. Hembusan angin terasa mesra pada ruangan indoor tersebut. Kursi dan meja kayu bercat coklat,mengkilap terkena cahaya lampu. Momen indah itu menjadi membahagiakan namun, tidak dengan Akbar. Lelaki itu nampak kesal, bagaimana tidak, kencan yang seharusnya romantis berubah dengan kedatangan Kenzo yang mirip jailangkung. Kedua lelaki tersebut duduk dengan canggung, berbeda dengan Nayla, dia santai menghadapi kedatangan Kenzo. Kesal pun tidak guna, lelaki tersebut akan bertindak sesuai apa yang dia kehendaki.Hidangan di meja mulai berdatangan, Nayla berbinar melihat kopi espresso panas dan cake strawberry nan menggoda. Kenzo sendiri memesan kopi hitam, sedangkan Akbar memilih kopi mocca chino. Arom
Edzard mengerutkan kening mencerna kalimat yang dilontarkan Rere. Gadis itu ingin tidur dengan 'dipeluk' olehnya. Lelaki itu malah berpikiran hal yang tidak-tidak. Otaknya berjalan-jalan, terisi adegan ketika Rere dan Kenzo berciuman di ruang tengah. Bayangan tersebut mengusiknya, Kenzo berpikir keras mungkinkah sang istri tengah menginginkan belaian lelaki mengingat sudah beberapa bulan ini tidak bersentuhan dengan Kenzo. "Kalian berdua tidak bermesraan tadi? Kulihat kau dan Kenzo berduaan cukup lama," ujar Edzard menatap Rere dengan wajah tanpa dosa. Bruk! Bantal langsung mendarat ke wajah Edzard, "Abang kira saya cewek apaan?" pekik Rere beringsut bangkit, bibirnya manyun ke depan. "Usai kita melaksanakan ijab waktu itu, Rere sudah berusaha menjadi istri yang baik dengan tidak bersentuhan dengan lawan jenis," pekik Rere, matanya mu
Malam sudah begitu larut, langit hitam pekat di atas sana nampak mendung, dedaunan yang terseok-seok tertiup angin. Udara semakin dingin mengusik, tangisan memecah keheningan pada dini hari. Tangis kehilangan yang mereka rasa membuat sebagian orang keluar dari rawat inap. Menonton adegan menyayat hati. Kehilangan seorang yang disayangi adalah suatu hal yang sangat menyakitkan. Nenek Rere menyembuhkan napas terakhirnya. Ibu Rere menangis dalam pelukan sang suami. Sedangkan Rere, tubuhnya luruh ke lantai ketika keranda tersebut dimasukkan ke dalam mobil jenazah. Saat itu Rere yang baru turun dari mobil langsung berlari ke arah kedua orang tuanya yang berada di tempat parkir. Menatap tubuh terbujur yang telah tak bernyawa lagi. Edzard berlari mengejar sang istri, dia duduk di lantai kotor kemudian memeluk Rere dengan erat. Evelyn ikut menangis. Keluarga Edzard
Edzard menegakkan tubuhnya, dia dan Rere saling pandang. Lelaki tersebut menganggap apa yang dilakukan Rere adalah tindakan refleks. Bahkan gadis tersebut juga tidak canggung untuk memeluknya di tempat umum. Edzard masih menatap lekat wajah gadis manis di hadapannya, bibir menggoda Rere, yah berbeda dengan ciuman waktu itu. Bibir yang hampir membuatnya terlena. Edzard menghela napas berat lalu tersenyum. "Tidak apa, ambillah apa yang ingin kamu beli, oh untuk lingerie tadi ambil juga warna hitam, aku juga ingin membelikan untuk Evelyn," imbuh Edzard mengacungkan jari telunjuknya ke arah warna hitam. Yah, fokus Edzard masih pada Evelyn sehingga apa yang dilakukan Rere tidak digubris. Cinta yang tumbuh dengan indah, terpupuk dengan penyatuan keduanya yang sama-sama untuk pertama kali. Lalu, bagaimana dengan Rere, sakit, itulah yang dia rasakan. Dadanya berdenyut ngilu mendengar Edzard mengucap nama madunya, meski berada dalam hubungan tanp
Rasa yang begitu manis layaknya coklat, membuat candu untuk kembali melakukannya. Pantas bilamana hal tersebut sering diartikan sebagian orang sebagai surga dunia. Aku terlalu larut dalam bayangan nyata yang pernah terasa. Siang hari usai melangsungkan ijab qobul yang kedua dengan wanita yang akhir-akhir ini membuat aku berdebar, membuat pertahanan runtuh. Tubuh yang begitu lembut dengan aroma khas yang menyeruak. Tatapan mata sayu ketika kami saling memandang, perangainya masih sangat jelas terngiang. Ah, suara yang keluar dari bibir sexy itu benar-benar membuat aku gila. Ingin aku memeluknya sekarangsekarang namun, aku harus bersabar, tak elok rasanya memikirkan kesenangan sendiri. Sedang melihat gadis manis yang sudah seperti adikku sendiri, lebih tepatnya istri tuaku, saat ini sedang berduka. Keluarga besar besanku baru usai melaksanakan selamatan tujuh hari meninggalnya nenek Rere. Gadis itu kembali menangis di sudut ruang tengah yang mul
Poligami, tidak ada sebersit pemikiran untuk akhirnya memiliki dua istri. Terlebih Rere sudah aku anggap seperti adik sendiri. Keputusan menikah kami yang tiba-tiba lantaran keinginan almarhum Nenek Rere. Membuat kaminter belenggu dalam hubungan yang sulit diartikan. Terlebih, sekarang aku telah mencintai Evelyn. Aku menarik napas panjang nan berat. Rasa begitu sesak di dada, mana mungkin aku menyakiti hati dua wanita terlebih, Evelyn, wanita yang kini aku cinta. Aku meraup wajah dengan kedua tangan, gusar sudah pasti. Pembicaraan yang sangat berat terasa memusingkan."Saya tidak akan sanggup menjalani ini, saya tidak mungkin bisa adil kepada kedua istri saya," tegasku masih berusaha sopan.Ibu mertua meraih tanganku, "Nak, kamu lelaki yang baik, kami percaya kamu bi
Diamnya membuat aku semakin khawatir, setelah panggilan berakhir, aku terus memikirkan Evelyn. Kepala terasa berdenyut, hati ikut sakit, mungkinkah sekarang dia sedang menangis sendirian di rumah. Aku menghela napas panjang kemudian berjalan masuk kembali ke dalam rumah Rere. Kulihat mereka masih berkumpul di ruang tengah. Mereka menatapku dengan serius, membuat diri ini semakin canggung. Kutelan saliva dengan susah payah. Langkah ini pun tepat berhenti di hadapan mereka. "Ayah, Ibu, saya berencana pulang malam ini juga," tuturku. "Hari sudah malam, tidak kah lebih baik besok saja, Nak?" tanya ibu Rere. "Saya mengkhawatirkan istri saya, maksud saya mengkhawatirkan Evelyn," ucapku gelagapan. "Mari kita pulang Bang," ujar Rere kemudian. "Tapi Nak … ." kalimat wanita paruh baya tersebut terhenti.