Diamnya membuat aku semakin khawatir, setelah panggilan berakhir, aku terus memikirkan Evelyn. Kepala terasa berdenyut, hati ikut sakit, mungkinkah sekarang dia sedang menangis sendirian di rumah. Aku menghela napas panjang kemudian berjalan masuk kembali ke dalam rumah Rere. Kulihat mereka masih berkumpul di ruang tengah. Mereka menatapku dengan serius, membuat diri ini semakin canggung. Kutelan saliva dengan susah payah. Langkah ini pun tepat berhenti di hadapan mereka.
"Ayah, Ibu, saya berencana pulang malam ini juga," tuturku.
"Hari sudah malam, tidak kah lebih baik besok saja, Nak?" tanya ibu Rere.
"Saya mengkhawatirkan istri saya, maksud saya mengkhawatirkan Evelyn," ucapku gelagapan.
"Mari kita pulang Bang," ujar Rere kemudian.
"Tapi Nak … ." kalimat wanita paruh baya tersebut terhenti.
Aku masuk kembali ke dalam kamar Rere, meletakkan nampan berisi segelas susi. Betapa terkejutnya ketika aku menoleh ke raja ranjang. Rere berdiri di sampingnya, dia melepas gamis dan telah berganti mengenakan lingerie warna merah nanti sexy yang dia beli beberapa waktu lalu. Tubuh mulusnya terpampang menggoda, aku menghela napas berat. Berjalan ke arah ranjang meraih selimut untuk kemudian menitipkan badan tubuh yang menampakkan dada bagian atas itu. "Pakailah pakaian hangat, sudah mulai dingin udaranya," ujarku. "Bang, tidak bisakah kita coba jalani kehidupan rumah tangga ini. Tidak bisakah Abang menganggap aku sebagai wanita, sebagai seorang istri bukan seorang adik?" keluh Rere. Linangan bening air meleleh di pipi mulusnya. Ucapannya terasa seperti rajam yang menghantam tubuh. Aku paham benar dia istriku namun, dia milik Kenzo. Tangan halus Rere merangkum wajah ini, dia
Evelyn menatap dengan sendu, senyumnya terlihat terpaksa. Wanita itu menundukkan kepala, aku beralih menatap mantel tidur, rupanya bagian dada terlihat, ada beberapa cupangan dari Rere, ah, istri keduaku melihatnya. Wanita itu masih menunduk ketika aku berjalan mendekatinya. Tangan halus itu kuraih dan ku gandeng memasuki kamar. Kupeluk erat tubuh langsingnya, harum sampo menyeruak ketika aku mendekatkan wajah di kepala bagian samping. Dia menangis, ku elus rambut yang sedikit bergelombang. Evelyn membalas pelukanku dengan erat, rasa sakit itu, yah dia pasti merasakan sakit hati. "Saya sudah berusaha ikhlas Bang, tapi rasanya masih sakit, maaf jika saya egois, berikan saya waktu itu menangani perasaan saya," ujar Evelyn. "Maaf Sayang, maaf," ucapku kebingungan. "Jangan meminta maaf Bang, ini bukan salah Abang," ujar Evelyn lagi, sangat menyakitkan hati. &
Udara terasa dingin menusuk, Evelyn mengenakan piyamanya kembali. Dia membuka gorden dan jendela kamar, menutup mata sejenak menikmati sapuan angin menyapa wajah. Wanita itu kemudian berjalan keluar menuju ke kamar istri pertama sang suami. Pelan dia membuka pintu, senyumnya mengembang melihat Rere masih meringkuk membalut tubuhnya dengan selimut tebal. Evelyn mengedarkan pandang, menyusuri ruangan bercat pink tersebut, dua membuka tirai juga jendela, lalu kembali berjalan ke arah ranjang, duduk di sudut. "Mbak Rere bangun," ucap Evelyn menepuk pipi halus Rere dengan jemari. Rere yang merasakan benda dingin menempel di pipi kemudian bangkit, mengerjap-ngerjapkan mata. "Mbak Eve," ujar Rere. "Selamat pagi Mbak," ujar Evelyn mengulas senyum. "Panggil Rere saja, Mbak Eve kan lebih tua dari saya, tidak enak mendengarnya," keluh Rere manja.
Rere yang tengah mengenakan dress berhenti merapikan bagian bawah, dia beringsut bangkit dari duduk kala mendengar penuturan sang suami. Bagaimana bisa Edzard mengatakan apakah dirinya menyesal telah melepas hal berharga miliknya untuk sang suami. Rere duduk di pangkuan Edzard, dia memeluk tubuh yang terasa hangat dan mendamaikan. Gadis itu menutup mata sejenak, memberanikan diri merangkul ke leher sang suami. "Saya tidak menyesalinya Bang, dan tidak akan," ujar Rere menatap sayu. Edzard menundukkan kepala lalu melumat bibir miliknya dengan lembut. Satu hal yang Rere sadari, Edzard satu-satunya tempat bersandar. Ketika bersama Kenzo, dia berusaha menjadi sempurna. Namun, bersama Edzard Rere tidak canggung tampil apa adanya. Gadis yang selalu merengek manja. Napas keduanya tersengal, Edzard menyatukan kening dengan Rere, embusan hangat itu saling menyapa wajah. Edzard tersenyum menutuo mata sebentar kemudian menarik
Pagi yang cerah, bunga-bunga indah merekah, seperti senyum Rere yang menghias di bibir manisnya. Sapuan angin yang mapir menggoyangkan rambut Rere ke belakang. Nayla sesekali menoleh ke arah sang sahabat dengan kening berkerut. Keduanya kini tengah duduk di sebuah kursi taman bercat putih, di bawah pohon beringin yang rindang. 'Ada yang aneh,' batin Nayla.Sekali lagi Nayla memperhatikan wajah sumringah sang sahabat, ada rasa yang janggal. Mengingat beberapa waktu lalu Kenzo pernah menghubungi bahkan menghampirinya untuk bersua Nayla. Pemuda itu menceritakan tentang perpisahannya dengan Rere. Sedikit terkejut, Rere katanya lebih memilih mempertahankan pernikahan dengan Edzard, kakaknya daripada menanti Kenzo. Jika dia berad
Tepukan di punggung Kenzo untuk yang kesekian kali yang dilakukan Edzard menghantarkan Kenzo ke alam nyata. Memori malam kelabu tersebut perlahan pudar, tersisa hati yang teriris sembilu. Edzard melihat sahabat nya dengan tatapan bingung berkecamuk. Dirinya ikut andil dalam kemalangan yang menimpa Kenzo. "Maaf Ken, maaf," ucap Edzard untuk kesekian kali. "Untuk apa kau meminta maaf, semua sudah terjadi. Itu keputusan Rere, aku juga tidak dapat berbuat banyak hal," keluh Kenzo. "Kau menangis?" tanya Edzard yang suara sesegukan. "Aku tidak menangis, mana ada," kilah Kenzo menghapus dengan cepat linangan bening di pelupuk mata dengan ujung lengan jas warna hitam yang dia kenakan. "Kau ini garang tapi hatimu selembut kapas, kau ini brengsek tetapi mudah iba," ejek Edzard. "Sok tahu," decak Kenzo. &
Akbar dan Nayla saling pandang, Nayla memasang wajah kebingungan. Pasalnya mobil yang dikemudikan Akbar berhenti mendadak di sebuah pinggiran persawahan tempat yang tidak Nayla kenali. Akbar memasang wajah yang tidak dapat diartikan. Entah apa yang dia pikirkan, Nayla kurang paham. "Bang, kenapa berhenti di tempat seperti ini?" tanya Nayla sekali lagi. Akbar melepas sabuk pengaman, dia menoleh ke arah Nayla, menatap tajam. Nayla sampai bergidik melihatnya. Merasa ada yang aneh dengan tingkah laku sang tunangan. Nayla mendelik, dia melepas sabuk pengaman cepat kilat untuk kemudian mencengkeram dompet selempang yang dikenakan. Nayla hendak menimpuk Akbar dengan dompet tersebut jika Akbar berani macam-macam. &
Edzard terlihat gusar d ruang kerjanya, sesekali dia menyibak tirai melihat ke ruangan Evelyn yang terhalang jendela. Dia menyaksikan kedua istrinya sedang duduk rukun bersenda gurau di ruang nan sempit tersebut. Dua orang wanita dalam hidupnya, Edzard segera menutup kembali tirai ketika mereka beranjak bangkit. Edzard menghela napas panjang nan berat, lalu kembali duduk di ruangannya. Tidak lama pintu kembali terbuka, menyembullah kedua wanita cantik tersebut. "Bang, Rere sepertinya mengantuk," ujar Evelyn. Dia memandang sang suami untuk kemudian beralih kepada Rere. "Saya tinggal ya, Re," ujar Evelyn keluar ruangan. Senyumnya menghilang ketika pintu tertutup, Evelyn berjalan pelan menuju tempatnya duduk. Sakit sudah pasti, mana ada wanita yang rela melihat sang suami berduaan dengan wanita yang tidak lain adalah istri pertama sang suami. Evelyn menepuk dada, dia meyakinkan diri baik-baik saja. Evelyn meng