Tak berselang lama, Damian keluar dari kamar dengan pakaian rapi, mengenakan jas hitam yang tampak terlipat sempurna dan kemeja putih yang terlihat baru saja disetrika. Fara yang masih duduk di sofa memandangi suaminya dengan ekspresi bingung dan kesal. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Damian yang tiba-tiba berubah begitu cepat.
Damian merapikan kemejanya, seolah tidak merasa ada yang salah. Namun, Fara yang memandangi langkahnya tidak bisa menahan perasaan kecewanya. Ia berdiri dan menatap Damian dengan tatapan yang cukup tajam, matanya menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab.
"Mau kemana?" tanyanya dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya, suaranya terdengar penuh rasa kecewa, meskipun ia berusaha mengontrol emosi.
Damian menoleh ke arah Fara, terlihat sedikit terkejut dengan nada suara Fara. "Ada masalah dengan pabrik yang ada di Surabaya," jawab Damian singkat, suaranya datar namun terkesan terburu-buru. Ia berusaha merapikan jasnya seolah itu bisa menutupi kekacauan yang sedang terjadi dalam pikirannya.
Fara mengernyitkan dahi, tatapannya semakin tajam. "Surabaya?" ucapnya, suara Fara terasa seperti mengulang dengan ketidakpercayaan yang semakin menebal. "Kenapa sekarang? Setelah kita baru saja berbicara tentang ini? Bukankah kamu janji akan lebih memperhatikan aku, Damian?"
Damian merasakan sebuah ketegangan baru di udara, namun ia berusaha tetap tenang. "Fara, ini penting. Ini tentang operasional pabrik, aku harus segera pergi," jawabnya, mencoba menjelaskan dengan nada yang tenang. Tetapi semakin ia berbicara, semakin Fara merasa kata-kata itu hanyalah alasan yang tidak cukup untuk menutupi rasa kecewa yang menghimpit hatinya.
Fara berdiri tegak, dengan wajah yang terlihat tegang dan sedikit merah karena menahan amarahnya.
“Bukankah sekarang terlalu malam untuk keluar kota? Ini bukan cara kamu buat melarikan diri dari masalah, kan?” ucap Fara dengan suara yang sedikit meninggi, matanya menatap tajam ke arah Damian. Ia merasa seperti sebuah pintu yang tertutup rapat setiap kali suaminya pergi, dan malam ini rasanya ia ingin benar-benar tahu apa yang ada di balik semua alasan yang diberikan Damian.
Damian terdiam sejenak, wajahnya berubah menjadi cemas. Ia tahu, saat itu, bahwa Fara sudah tidak bisa lagi menahan perasaannya. Suasana yang semula tenang kini terasa tegang, dan ia merasakan ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Ia sudah terbiasa dengan pekerjaan yang menyita waktunya, tapi kali ini, ia tahu bahwa Fara tidak hanya berbicara tentang keberangkatannya ke Surabaya. Ia berbicara tentang perasaan yang sudah lama terabaikan.
"Fara, aku tidak melarikan diri," kata Damian, berusaha mempertahankan ketenangannya. “Ini masalah dengan pabrik yang harus diselesaikan secepatnya. Kamu tahu ini bukan hal yang bisa ditunda.”
Fara memutar matanya, tidak percaya dengan jawaban itu. "Masalah dengan pabrik? Itu alasan yang sudah sering kamu pakai, Damian. Bukankah kamu tahu betapa aku merasa ditinggalkan setiap kali kamu pergi begitu saja? Apakah kamu benar-benar merasa ini penting untuk dilakukan sekarang? Bukankah kita sudah janji untuk lebih sering bersama?"
Fara merasa semakin sakit hati mendengar kata-kata Damian. "Sudah berapa kali aku mendengar kata-kata itu? Bahwa kamu akan lebih perhatian, lebih hadir... tapi kenyataannya, aku hanya menunggu setiap kali kamu pergi."
Damian terdiam, matanya memandang Fara yang membelakanginya. Ia tahu apa yang dirasakan Fara. Ia tahu betapa seringnya ia melanggar janji-janji yang sudah diucapkannya. Dalam pikirannya, ia terjebak di antara kewajibannya sebagai seorang suami dan pekerja yang harus selalu siap sedia. Namun, ia tahu bahwa tidak ada pekerjaan yang seharusnya lebih penting dari keluarga, apalagi istrinya.
"Fara, ini bukan berarti aku tidak peduli padamu," kata Damian, langkahnya mendekat sedikit. "Aku... aku hanya mencoba untuk mengatur semuanya. Aku ingin kamu nyaman, aku ingin kita baik-baik saja."
Fara memutar tubuhnya dengan cepat, wajahnya penuh dengan kekecewaan. "Kenapa kamu selalu mengatakan itu? Aku ingin kamu hadir, Damian. Aku ingin merasakannya, bukan hanya mendengarnya. Aku sudah capek menunggu kamu. Setiap kali kamu pergi, aku merasa semakin tidak ada di dalam hidupmu. Aku ingin kita saling berbagi, bukan saling menghindar, Damian!"
Suara Fara semakin serak, emosinya hampir meledak, namun ia menahannya dengan kuat. Damian hanya berdiri diam, merasa terperangkap antara keinginan untuk menyelesaikan pekerjaannya dan kebutuhan untuk memperbaiki hubungan mereka. "Fara, aku tahu aku banyak salah. Tapi kamu harus percaya, aku tidak pernah berniat meninggalkanmu begitu saja."
Fara menghela napas panjang, matanya yang mulai basah dengan air mata menatap Damian. "Percaya? Apa yang harus aku percayai, Damian? Kata-kata yang selalu terucap tapi tak pernah ada tindakannya? Apa yang bisa aku harapkan lagi dari kamu?"
Damian merasakan dadanya sesak. Kata-kata Fara begitu dalam menusuk hatinya, lebih tajam daripada apapun yang pernah ia dengar sebelumnya. Setiap kalimat terasa seperti cambukan yang mengingatkannya betapa selama ini ia gagal memahami perasaan Fara. Ia tahu bahwa ia telah terlalu lama mengabaikan wanita yang telah mendampinginya, dan kini ia merasa terperangkap oleh kenyataan itu.
"Iya, aku memang sering mengabaikanmu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, terlalu terfokus pada hal lain," kata Damian pelan, suara penuh penyesalan. "Aku salah, Fara. Dan aku ingin berubah. Aku janji akan lebih memperhatikan kita, lebih hadir dalam hidupmu."
Fara menatapnya dengan tatapan kosong, seolah tidak tahu lagi harus percaya apa. "Janji lagi?" tanyanya, hampir tertawa pahit. "Kamu selalu berjanji, Damian. Tapi janji-janji itu tidak pernah bisa mengubah apapun, tidak bisa menghapus rasa kecewaku. Aku tidak bisa terus menunggu perubahan yang tidak pernah datang."
Damian merasa hatinya hampir patah mendengar kata-kata itu. Ia tahu bahwa setiap janji yang ia ucapkan sudah kehilangan maknanya di mata Fara. "Aku benar-benar ingin berubah, Fara. Aku tidak ingin kita terus seperti ini. Aku akan berusaha lebih baik. Aku akan membuktikan itu, meskipun aku tahu kata-kata ini tidak cukup untuk menyembuhkan luka yang aku buat."
Fara menunduk, menahan air matanya agar tidak jatuh. "Aku tidak tahu lagi, Damian," jawabnya dengan suara hampir tak terdengar. "Aku sudah terlalu lelah berharap. Aku sudah terlalu sering mendengar janji, tapi tidak pernah ada perubahan. Aku tidak bisa terus merasa seperti ini."
Damian merasa seolah ada dinding yang semakin tinggi di antara mereka. Ia ingin meraih Fara, memeluknya, namun ia tahu itu tidak akan menyelesaikan masalah. Fara membutuhkan lebih dari sekadar pelukan atau kata-kata. Ia membutuhkan perubahan nyata, sesuatu yang membuktikan bahwa Damian tidak akan lagi mengabaikannya.
Setelah beberapa saat hening, Fara akhirnya berkata dengan suara yang lebih tenang, meskipun hatinya terasa hancur. "Pergilah, Damian. Tapi ingat, aku tidak akan selalu ada menunggumu. Aku butuh lebih dari apa yang kamu berikan selama ini."
Damian terdiam, tak bisa berkata apa-apa. Ia menatap Fara, mencoba menyampaikan perasaan yang membebaninya, namun kata-kata itu tetap terbungkam. Dengan langkah berat, ia menuju pintu, meskipun hatinya merasa hancur. Ia tahu ia harus pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya, tetapi ia juga tahu bahwa saat ia kembali, tidak akan ada yang sama lagi.
Ketika pintu tertutup di belakangnya, Fara tetap berdiri di tempatnya, merasakan kesepian yang semakin dalam. Ia tahu bahwa Damian akan kembali, tetapi ia tidak tahu apakah hubungan mereka masih bisa diperbaiki.
Fara tetap terdiam menatap danau, pikirannya mengembara jauh. Suara air yang tenang seolah membawanya kembali ke masa kecilnya—masa di mana ia selalu bertanya-tanya kenapa ia tidak seperti anak-anak lain.Juan menoleh ke arahnya, melihat ekspresi sendu yang tak kunjung hilang dari wajah Fara. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tuntutan mertua atau kecemasan terhadap rumah tangganya.Setelah beberapa saat hening, Juan akhirnya membuka suara. “Apa yang bikin kamu sekeras ini pengen punya anak?” tanyanya pelan.Fara menghela napas panjang, lalu menautkan jari-jarinya erat di atas lutut. Ia butuh waktu sebelum akhirnya berkata, “Karena aku ingin merasakan bagaimana rasanya punya keluarga.”Juan mengernyit. “Kamu kan udah punya suami?&r
Damian telah tertidur pulas, sementara Fara masih terjaga dalam kegelapan kamar. Matanya menatap langit-langit tanpa benar-benar melihat apa pun. Ada perasaan mengganjal dalam dadanya, perasaan yang sejak tadi berusaha ia abaikan, tapi tetap mendesak untuk diakui.Ia membalikkan badan, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tetap saja gelisah. Napasnya berat, pikirannya terus berputar seperti kaset yang diputar ulang.Akhirnya, dengan gerakan pelan agar tidak membangunkan Damian, Fara bangkit dari tempat tidur. Ia menyambar jaket tipis, kemudian melangkah keluar kamar. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar dengkuran halus dari Damian yang seakan menjadi bukti bahwa hanya dia yang tersiksa oleh pikirannya sendiri.Tanpa ragu, Fara berjalan menuju garasi, mengambil sepeda listrik yang selama ini jarang ia gunakan. Udara malam m
Begitu mobil berhenti di garasi, Fara segera membuka pintu dan turun tanpa menunggu Damian. Ia melangkah cepat ke dalam rumah, berusaha menghindari pembicaraan yang masih menggantung di udara. Namun, Damian tidak membiarkannya begitu saja. Ia menyusul ke dalam, menutup pintu dengan lembut, lalu mendekati istrinya yang kini berdiri di ruang tengah, memunggunginya.“Fara,” suara Damian terdengar tenang tapi sarat dengan ketegasan. “Dengar aku dulu.”Fara mengusap wajahnya dengan kasar, menahan isakan yang ingin pecah. “Aku lelah, Damian. Aku nggak mau mendengar alasanmu lagi.”“Tapi kamu harus dengar.” Damian berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya. “Aku ngerti kamu sakit hati karena omongan Mama tadi. Aku tahu kamu ingin membuktikan sesuatu. Tapi Fara, kita nggak bis
Damian meraih tangan Fara yang gemetar di pangkuannya, mencoba menenangkannya. Mata istrinya masih berkaca-kaca, bibirnya terkatup rapat seolah menahan emosi yang nyaris meluap. Damian tahu betul bagaimana perasaan Fara saat ini—terluka, terhina, dan mungkin juga kecewa.“Fara…” suaranya pelan, penuh kehati-hatian.Fara menggeleng, berusaha menarik tangannya dari genggaman Damian, tapi suaminya menahannya. “Jangan dengarkan omongan Ibu,” lanjut Damian. “Dia nggak punya hak buat ngomong kayak tadi.”Tapi Fara hanya menunduk, air matanya jatuh ke pangkuannya. “Kamu dengar sendiri, kan?” suaranya nyaris berbisik. “Dia bilang aku nggak berguna sebagai istri karena aku nggak bisa kasih kamu anak.”Damian menghela n
Halimah menatap Damian dengan ekspresi tidak puas, tapi akhirnya menghela napas dan memilih diam.Namun, Fara bisa merasakan ketidaksetujuan mertuanya. Bagi Halimah, seorang istri yang sudah menikah selama lebih dari dua tahun tapi belum memberikan cucu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan.Di sisi lain, Hartono—ayah Damian—yang sedari tadi lebih banyak diam akhirnya bersuara."Kalian tidak perlu terburu-buru," katanya dengan suara berat namun tenang. "Setiap pasangan punya waktunya masing-masing. Asal kalian bahagia, itu sudah cukup."Damian tersenyum tipis, sedikit lega karena setidaknya ayahnya tidak ikut menekan mereka.Namun, sebelum suasana benar-benar kembali santai, Halimah tiba-tiba b
Fara menatap bayangannya di cermin, menghela napas panjang sebelum merapikan blus sutra yang ia kenakan. Meski sudah berusaha tampak rapi, matanya tetap terlihat lesu, seakan ada beban yang terus menghimpit dadanya.Damian yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, perlahan mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Fara. Ia mengecup pelan puncak kepala istrinya, suaranya lembut ketika berbisik, "Semua akan baik-baik saja."Fara hanya tersenyum tipis. Ia ingin percaya, ingin berpikir bahwa malam ini akan berlalu tanpa insiden, tanpa komentar yang menekan, tanpa tatapan yang menusuk. Namun, pengalaman selama ini mengajarinya untuk tidak berharap terlalu banyak.Mereka tiba di restoran tepat waktu. Cahaya keemasan dari lampu gantung memberikan kesan elegan pada ruangan. Pelayan berseragam hitam putih berjalan dengan anggun, menyajikan hidangan kepada tamu-tamu istimewa.Di sebuah meja besar, keluarga besar Damian sudah berkumpul.Halimah, mertuanya, duduk anggun di samping suamin