Fara menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya. Ia tahu suasana ini harus dicairkan. Sekuat tenaga, ia memasang senyuman yang meski tipis tetap terlihat tulus, lalu menatap Halimah yang sedang menyeruput teh di sofa.
“Ibu suka tehnya? Saya mencoba merek baru ini. Damian juga bilang aromanya lebih wangi daripada teh yang biasanya kita beli,” ujarnya, mencoba memulai percakapan ringan.
Halimah menaruh cangkir tehnya di atas meja dengan gerakan lambat, tatapannya meneliti wajah Fara. “Lumayan,” jawabnya singkat. “Tapi rasanya agak hambar. Kalau Damian di sini, dia pasti langsung bilang teh ini terlalu lemah untuk seleranya.”
Fara tersenyum kaku. Kalimat itu terdengar seperti komentar biasa, tapi baginya menyiratkan sindiran yang cukup tajam. Namun, ia tetap menahan diri. “Oh, maaf, Bu. Lain kali saya akan cari teh yang lebih sesuai,” balasnya, mencoba tetap ramah.
Halimah hanya mengangguk kecil, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela. Suasana di ruang tamu menjadi sunyi lagi. Detik jam dinding terdengar semakin keras di telinga Fara. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, berharap Damian tiba-tiba menghubunginya.
Namun, layar ponsel tetap kosong. Tidak ada pesan masuk, tidak ada panggilan. Hati Fara semakin gelisah.
“Damian masih sibuk, ya?” tanya Halimah tiba-tiba, suaranya datar tapi menyimpan nada penasaran. “Belakangan ini dia jarang sekali menghubungi ibu. Bahkan ketika ibu menelepon, kadang jawabannya singkat. Kamu tahu, Fara, ibu sebenarnya cukup kecewa.”
Fara merasa seperti tertikam. Ia tahu bahwa Damian memang sering kali terlalu sibuk untuk menjawab telepon, tapi ia tidak menyangka Halimah akan membicarakannya di depannya.
“Damian memang sedang banyak pekerjaan, Bu. Tapi dia selalu bercerita kalau dia ingin punya lebih banyak waktu untuk keluarga. Saya yakin, begitu ada kesempatan, dia pasti akan menghubungi Ibu,” jawabnya hati-hati.
Halimah menatap Fara dengan mata tajam, seolah sedang mencoba membaca pikirannya. “Kamu yakin, Fara? Atau sebenarnya Damian juga terlalu sibuk untuk rumah tangga kalian?”
Pertanyaan itu menusuk dalam. Fara menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba terasa begitu keras. “Damian dan saya selalu berusaha mengatur waktu, Bu. Kami mungkin sibuk, tapi kami selalu mencoba saling mendukung.”
Halimah tersenyum tipis, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. “Saling mendukung, ya? Hmm... kalau begitu, kenapa ibu merasa Damian seperti memikul semuanya sendiri?”
Fara terdiam. Kalimat itu seperti cambuk yang tak terduga. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa ia selalu mendukung Damian, bahkan lebih dari yang Halimah tahu. Tapi mulutnya terasa kelu. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan cukup untuk meyakinkan wanita itu.
Fara mencoba mengalihkan perhatian. “Bu, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar di taman? Udara segar pasti menyenangkan,” usulnya, mencoba menghindari konfrontasi lebih lanjut.
Namun, Halimah tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap Fara lama, lalu berkata, “Fara, ibu tidak butuh jalan-jalan. Ibu hanya butuh jawaban jujur darimu. Apa kamu benar-benar bahagia dengan Damian?”
Pertanyaan itu membuat Fara terpaku. Matanya membesar, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. Bahagia? Tentu saja ia mencintai Damian. Tapi apakah ia bahagia? Setiap harinya, ia merasa seperti sedang berjuang sendirian, mencoba memenuhi ekspektasi Damian, mertuanya, dan bahkan dirinya sendiri.
“Kenapa Ibu bertanya begitu?” akhirnya Fara berhasil berkata, meski suaranya terdengar bergetar.
Halimah menghela napas panjang. “Karena ibu tidak ingin Damian menikah dengan seseorang yang hanya berpura-pura bahagia. Ibu ingin kalian benar-benar saling melengkapi, bukan hanya saling bertahan.”
Fara merasa darahnya mendidih, tapi ia tetap menahan diri. Ia tahu Halimah tidak bermaksud jahat, tapi setiap kata wanita itu terasa seperti belati yang menusuk harga dirinya. “Saya mencintai Damian, Bu. Dan saya yakin, kami saling melengkapi. Mungkin Ibu melihatnya berbeda, tapi kami tahu apa yang kami rasakan,” jawabnya dengan suara yang tegas, meski dadanya bergemuruh.
Halimah tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Fara sejenak sebelum akhirnya berdiri. “Baiklah, kalau begitu. Ibu harap kamu benar-benar yakin dengan kata-katamu, Fara. Karena dalam sebuah pernikahan, cinta saja tidak cukup. Kamu harus punya komitmen yang lebih besar dari sekadar saling mencintai.”
Wanita itu berjalan menuju pintu, meninggalkan Fara yang masih berdiri kaku di tempatnya.
Fara tetap terdiam menatap danau, pikirannya mengembara jauh. Suara air yang tenang seolah membawanya kembali ke masa kecilnya—masa di mana ia selalu bertanya-tanya kenapa ia tidak seperti anak-anak lain.Juan menoleh ke arahnya, melihat ekspresi sendu yang tak kunjung hilang dari wajah Fara. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tuntutan mertua atau kecemasan terhadap rumah tangganya.Setelah beberapa saat hening, Juan akhirnya membuka suara. “Apa yang bikin kamu sekeras ini pengen punya anak?” tanyanya pelan.Fara menghela napas panjang, lalu menautkan jari-jarinya erat di atas lutut. Ia butuh waktu sebelum akhirnya berkata, “Karena aku ingin merasakan bagaimana rasanya punya keluarga.”Juan mengernyit. “Kamu kan udah punya suami?&r
Damian telah tertidur pulas, sementara Fara masih terjaga dalam kegelapan kamar. Matanya menatap langit-langit tanpa benar-benar melihat apa pun. Ada perasaan mengganjal dalam dadanya, perasaan yang sejak tadi berusaha ia abaikan, tapi tetap mendesak untuk diakui.Ia membalikkan badan, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tetap saja gelisah. Napasnya berat, pikirannya terus berputar seperti kaset yang diputar ulang.Akhirnya, dengan gerakan pelan agar tidak membangunkan Damian, Fara bangkit dari tempat tidur. Ia menyambar jaket tipis, kemudian melangkah keluar kamar. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar dengkuran halus dari Damian yang seakan menjadi bukti bahwa hanya dia yang tersiksa oleh pikirannya sendiri.Tanpa ragu, Fara berjalan menuju garasi, mengambil sepeda listrik yang selama ini jarang ia gunakan. Udara malam m
Begitu mobil berhenti di garasi, Fara segera membuka pintu dan turun tanpa menunggu Damian. Ia melangkah cepat ke dalam rumah, berusaha menghindari pembicaraan yang masih menggantung di udara. Namun, Damian tidak membiarkannya begitu saja. Ia menyusul ke dalam, menutup pintu dengan lembut, lalu mendekati istrinya yang kini berdiri di ruang tengah, memunggunginya.“Fara,” suara Damian terdengar tenang tapi sarat dengan ketegasan. “Dengar aku dulu.”Fara mengusap wajahnya dengan kasar, menahan isakan yang ingin pecah. “Aku lelah, Damian. Aku nggak mau mendengar alasanmu lagi.”“Tapi kamu harus dengar.” Damian berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya. “Aku ngerti kamu sakit hati karena omongan Mama tadi. Aku tahu kamu ingin membuktikan sesuatu. Tapi Fara, kita nggak bis
Damian meraih tangan Fara yang gemetar di pangkuannya, mencoba menenangkannya. Mata istrinya masih berkaca-kaca, bibirnya terkatup rapat seolah menahan emosi yang nyaris meluap. Damian tahu betul bagaimana perasaan Fara saat ini—terluka, terhina, dan mungkin juga kecewa.“Fara…” suaranya pelan, penuh kehati-hatian.Fara menggeleng, berusaha menarik tangannya dari genggaman Damian, tapi suaminya menahannya. “Jangan dengarkan omongan Ibu,” lanjut Damian. “Dia nggak punya hak buat ngomong kayak tadi.”Tapi Fara hanya menunduk, air matanya jatuh ke pangkuannya. “Kamu dengar sendiri, kan?” suaranya nyaris berbisik. “Dia bilang aku nggak berguna sebagai istri karena aku nggak bisa kasih kamu anak.”Damian menghela n
Halimah menatap Damian dengan ekspresi tidak puas, tapi akhirnya menghela napas dan memilih diam.Namun, Fara bisa merasakan ketidaksetujuan mertuanya. Bagi Halimah, seorang istri yang sudah menikah selama lebih dari dua tahun tapi belum memberikan cucu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan.Di sisi lain, Hartono—ayah Damian—yang sedari tadi lebih banyak diam akhirnya bersuara."Kalian tidak perlu terburu-buru," katanya dengan suara berat namun tenang. "Setiap pasangan punya waktunya masing-masing. Asal kalian bahagia, itu sudah cukup."Damian tersenyum tipis, sedikit lega karena setidaknya ayahnya tidak ikut menekan mereka.Namun, sebelum suasana benar-benar kembali santai, Halimah tiba-tiba b
Fara menatap bayangannya di cermin, menghela napas panjang sebelum merapikan blus sutra yang ia kenakan. Meski sudah berusaha tampak rapi, matanya tetap terlihat lesu, seakan ada beban yang terus menghimpit dadanya.Damian yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, perlahan mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Fara. Ia mengecup pelan puncak kepala istrinya, suaranya lembut ketika berbisik, "Semua akan baik-baik saja."Fara hanya tersenyum tipis. Ia ingin percaya, ingin berpikir bahwa malam ini akan berlalu tanpa insiden, tanpa komentar yang menekan, tanpa tatapan yang menusuk. Namun, pengalaman selama ini mengajarinya untuk tidak berharap terlalu banyak.Mereka tiba di restoran tepat waktu. Cahaya keemasan dari lampu gantung memberikan kesan elegan pada ruangan. Pelayan berseragam hitam putih berjalan dengan anggun, menyajikan hidangan kepada tamu-tamu istimewa.Di sebuah meja besar, keluarga besar Damian sudah berkumpul.Halimah, mertuanya, duduk anggun di samping suamin