Dua hari berlalu sejak pertemuannya dengan Halimah, dan perasaan Fara masih berkecamuk. Ia mencoba menepis kata-kata mertuanya yang terus terngiang di kepala, tetapi semakin ia mencoba, semakin dalam kata-kata itu menusuk. Damian pun, seolah sengaja menguatkan kesan bahwa ia tidak peduli. Selama dua hari penuh, hanya sekali Damian menghubunginya, itu pun sebatas obrolan singkat yang berlangsung kurang dari lima menit.
"Maaf sayang, banyak yang harus aku kerjakan. Nanti aku kabari lagi."
Itu saja. Tidak ada nada perhatian, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana perasaan Fara setelah pertemuannya dengan Halimah. Hanya nada datar seorang pria yang tenggelam dalam dunianya sendiri.
Fara merasa marah, kesal, dan terabaikan. Ia muak duduk sendirian di rumah, mencoba menebak-nebak isi kepala Damian, sambil mengingat ucapan Halimah yang seolah menyalahkan semua padanya. Malam itu, setelah lama menatap pantulan wajahnya di cermin, ia mengambil ponselnya dan menelepon Kiara, sahabat yang selalu siap mendengar keluhannya.
"Kiara, aku mau keluar malam ini," katanya tanpa basa-basi.
"Kamu mau ke mana? Butuh tempat makan enak atau spa? Aku bisa temani," jawab Kiara santai.
Fara menggeleng, meski Kiara tidak bisa melihatnya. "Aku mau clubbing," katanya dengan tegas.
Kiara terdiam sejenak, mungkin tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Clubbing? Kamu serius? Ini kamu, Fara, yang biasanya lebih pilih duduk di kafe sambil baca buku!"
"Aku serius. Aku lelah harus peduli apa kata orang. Aku mau bersenang-senang. Aku butuh lupa," balas Fara cepat, suaranya tegas, nyaris mendekati putus asa.
Setelah beberapa saat, Kiara akhirnya tertawa kecil. "Oke, kalau kamu mau nakal malam ini, aku bakal dukung. Tunggu aku jemput satu jam lagi. Kita bakal bikin malam ini tak terlupakan."
Satu setengah jam kemudian, Fara berdiri di depan cermin kamar mandi klub malam yang berkilauan dengan lampu neon. Ia menatap dirinya sendiri, merasa seperti orang yang berbeda.
Gaun merah ketat yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, lipstik merah yang sebelumnya jarang ia pakai, dan rambut yang digelung tinggi dengan beberapa helai tergerai di sisi wajahnya. Ia tampak berani, sedikit provokatif, dan jelas jauh dari citra Fara yang biasanya lembut dan sederhana.
Kiara, yang sudah siap di sampingnya dengan rok mini hitam dan crop top berkilau, meliriknya sambil tersenyum lebar. "Kamu kelihatan seperti orang baru,. Damian pasti kaaget kalau lihat kamu malam ini."
"Dan itu yang aku mau," jawab Fara dengan senyuman sinis.
Ada bagian dari dirinya yang ingin memberontak, yang ingin menunjukkan bahwa ia bisa lebih dari sekadar istri sempurna yang diharapkan Damian atau Halimah.
Mereka melangkah masuk ke klub, melewati antrean panjang dengan percaya diri. Musik berdentum keras, bass-nya mengguncang setiap sudut ruangan. Lampu strobo berwarna-warni menari di udara, menciptakan suasana yang begitu memabukkan.
Fara menatap kerumunan orang-orang di lantai dansa: mereka bergerak liar, tanpa beban, seolah dunia luar tidak lagi penting.
Kiara menyerahkan segelas cocktail pada Fara. "Tak ada alasan buat nolak. Ini malam kamu," katanya sambil mengangkat gelasnya untuk bersulang.
Fara meraih gelas itu, mencicipi minumannya. Rasa alkohol yang tajam bercampur manis langsung menyentak lidahnya. "Aku tidak biasa minum ini," katanya pelan.
"Fara, malam ini kamu tidak boleh pakai kata 'biasa'. Semua tentang malam ini harus beda," balas Kiara sambil menggenggam tangan Fara dan menariknya ke lantai dansa.
Di lantai dansa, Fara merasa canggung pada awalnya. Tubuhnya kaku, matanya terus mengamati orang-orang di sekitarnya. Namun, Kiara tidak memberinya ruang untuk ragu. Sahabatnya itu mulai menari dengan penuh semangat, menarik Fara untuk ikut bergerak.
"Ikut aku!" Kiara berteriak, mencoba mengalahkan suara musik yang membahana. "Lepaskan semua bebanmu!"
Fara mulai menggerakkan tubuhnya perlahan. Awalnya, ia hanya menggoyangkan pinggulnya sedikit, tetapi lambat laun ia terbawa oleh irama musik. Ia menutup matanya, membiarkan bass yang menghantam dadanya membawa dirinya ke tempat di mana tidak ada Damian, tidak ada Halimah, tidak ada ekspektasi. Hanya dirinya, musik, dan kebebasan.
Seorang pria yang tampak percaya diri mendekati mereka, menawarkan tangan pada Fara untuk menari. Kiara menyenggolnya sambil tersenyum genit. "Ayo, Fara. Ini malam kamu. Jangan takut."
Fara terdiam sejenak, menimbang-nimbang, tetapi akhirnya ia menerima tangan pria itu. Ia menari, bergerak dengan berani, membiarkan diri tersenyum lebih lepas daripada yang pernah ia lakukan selama berbulan-bulan. Pria itu mencoba mendekatkan wajahnya, tetapi Fara menahan dengan satu jari di dadanya.
"Pelan-pelan saja," katanya dengan nada penuh percaya diri. Senyuman nakal menghiasi wajahnya, sesuatu yang bahkan membuat pria itu tertegun.
Fara tetap terdiam menatap danau, pikirannya mengembara jauh. Suara air yang tenang seolah membawanya kembali ke masa kecilnya—masa di mana ia selalu bertanya-tanya kenapa ia tidak seperti anak-anak lain.Juan menoleh ke arahnya, melihat ekspresi sendu yang tak kunjung hilang dari wajah Fara. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tuntutan mertua atau kecemasan terhadap rumah tangganya.Setelah beberapa saat hening, Juan akhirnya membuka suara. “Apa yang bikin kamu sekeras ini pengen punya anak?” tanyanya pelan.Fara menghela napas panjang, lalu menautkan jari-jarinya erat di atas lutut. Ia butuh waktu sebelum akhirnya berkata, “Karena aku ingin merasakan bagaimana rasanya punya keluarga.”Juan mengernyit. “Kamu kan udah punya suami?&r
Damian telah tertidur pulas, sementara Fara masih terjaga dalam kegelapan kamar. Matanya menatap langit-langit tanpa benar-benar melihat apa pun. Ada perasaan mengganjal dalam dadanya, perasaan yang sejak tadi berusaha ia abaikan, tapi tetap mendesak untuk diakui.Ia membalikkan badan, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tetap saja gelisah. Napasnya berat, pikirannya terus berputar seperti kaset yang diputar ulang.Akhirnya, dengan gerakan pelan agar tidak membangunkan Damian, Fara bangkit dari tempat tidur. Ia menyambar jaket tipis, kemudian melangkah keluar kamar. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar dengkuran halus dari Damian yang seakan menjadi bukti bahwa hanya dia yang tersiksa oleh pikirannya sendiri.Tanpa ragu, Fara berjalan menuju garasi, mengambil sepeda listrik yang selama ini jarang ia gunakan. Udara malam m
Begitu mobil berhenti di garasi, Fara segera membuka pintu dan turun tanpa menunggu Damian. Ia melangkah cepat ke dalam rumah, berusaha menghindari pembicaraan yang masih menggantung di udara. Namun, Damian tidak membiarkannya begitu saja. Ia menyusul ke dalam, menutup pintu dengan lembut, lalu mendekati istrinya yang kini berdiri di ruang tengah, memunggunginya.“Fara,” suara Damian terdengar tenang tapi sarat dengan ketegasan. “Dengar aku dulu.”Fara mengusap wajahnya dengan kasar, menahan isakan yang ingin pecah. “Aku lelah, Damian. Aku nggak mau mendengar alasanmu lagi.”“Tapi kamu harus dengar.” Damian berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya. “Aku ngerti kamu sakit hati karena omongan Mama tadi. Aku tahu kamu ingin membuktikan sesuatu. Tapi Fara, kita nggak bis
Damian meraih tangan Fara yang gemetar di pangkuannya, mencoba menenangkannya. Mata istrinya masih berkaca-kaca, bibirnya terkatup rapat seolah menahan emosi yang nyaris meluap. Damian tahu betul bagaimana perasaan Fara saat ini—terluka, terhina, dan mungkin juga kecewa.“Fara…” suaranya pelan, penuh kehati-hatian.Fara menggeleng, berusaha menarik tangannya dari genggaman Damian, tapi suaminya menahannya. “Jangan dengarkan omongan Ibu,” lanjut Damian. “Dia nggak punya hak buat ngomong kayak tadi.”Tapi Fara hanya menunduk, air matanya jatuh ke pangkuannya. “Kamu dengar sendiri, kan?” suaranya nyaris berbisik. “Dia bilang aku nggak berguna sebagai istri karena aku nggak bisa kasih kamu anak.”Damian menghela n
Halimah menatap Damian dengan ekspresi tidak puas, tapi akhirnya menghela napas dan memilih diam.Namun, Fara bisa merasakan ketidaksetujuan mertuanya. Bagi Halimah, seorang istri yang sudah menikah selama lebih dari dua tahun tapi belum memberikan cucu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan.Di sisi lain, Hartono—ayah Damian—yang sedari tadi lebih banyak diam akhirnya bersuara."Kalian tidak perlu terburu-buru," katanya dengan suara berat namun tenang. "Setiap pasangan punya waktunya masing-masing. Asal kalian bahagia, itu sudah cukup."Damian tersenyum tipis, sedikit lega karena setidaknya ayahnya tidak ikut menekan mereka.Namun, sebelum suasana benar-benar kembali santai, Halimah tiba-tiba b
Fara menatap bayangannya di cermin, menghela napas panjang sebelum merapikan blus sutra yang ia kenakan. Meski sudah berusaha tampak rapi, matanya tetap terlihat lesu, seakan ada beban yang terus menghimpit dadanya.Damian yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, perlahan mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Fara. Ia mengecup pelan puncak kepala istrinya, suaranya lembut ketika berbisik, "Semua akan baik-baik saja."Fara hanya tersenyum tipis. Ia ingin percaya, ingin berpikir bahwa malam ini akan berlalu tanpa insiden, tanpa komentar yang menekan, tanpa tatapan yang menusuk. Namun, pengalaman selama ini mengajarinya untuk tidak berharap terlalu banyak.Mereka tiba di restoran tepat waktu. Cahaya keemasan dari lampu gantung memberikan kesan elegan pada ruangan. Pelayan berseragam hitam putih berjalan dengan anggun, menyajikan hidangan kepada tamu-tamu istimewa.Di sebuah meja besar, keluarga besar Damian sudah berkumpul.Halimah, mertuanya, duduk anggun di samping suamin