Share

Tuntutan Mertua

Penulis: Mikairin
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-07 21:07:32

Fara terbangun dari tidurnya saat suara bel pintu terdengar nyaring, berbunyi beberapa kali berturut-turut. Dengan mata yang masih berat dan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, ia melirik jam di meja nakas. Hampir pukul delapan pagi. Mengernyit bingung, ia berjalan perlahan ke arah pintu depan sambil menguap lebar, rambutnya berantakan, dan langkahnya terasa malas.

Ketika mengintip melalui lubang kecil di pintu, Fara langsung terlonjak kaget. Di depan sana, berdiri Halimah, ibu Damian, mertuanya. Wanita itu mengenakan blus krem lembut yang dipadukan dengan rok panjang berwarna senada, serta sepatu datar yang tampak nyaman tapi tetap elegan. Rambutnya sebagian beruban, tetapi ditata dengan sangat rapi, seolah Halimah adalah gambaran sempurna seorang wanita yang menjaga keanggunannya di usia lebih dari enam puluh tahun.

Dengan cepat Fara membuka pintu, meski rasa kantuk masih terasa berat di kepalanya. “Ibu? Selamat pagi,” sapanya dengan senyum gugup, mencoba terlihat tenang meski jelas sekali ia belum sepenuhnya siap menyambut tamu.

“Selamat pagi, Fara,” jawab Halimah dengan suara lembut namun penuh makna. Tatapannya langsung menyapu penampilan Fara yang hanya mengenakan dress tipis selutut, rambut berantakan, dan wajah polos tanpa riasan yang masih menyiratkan sisa tidur. Senyum Halimah sedikit melebar, namun ada lirikan tajam yang membuat Fara merasa seperti anak sekolah yang ketahuan guru.

“Aku terlalu pagi, ya?” Halimah melanjutkan, senyumnya tetap ramah namun terasa menggoda.

“Oh, tidak, Bu. Maksud saya…” Fara gugup, mencoba menyusun kata-kata sambil menahan rasa malunya. “Saya hanya kaget. Tidak menyangka Ibu akan datang pagi-pagi.”

Halimah terkekeh kecil. “Keputusan mendadak, sayang. Aku pikir, kapan lagi menjenguk anak dan menantu? Lagi pula, sudah lama aku tidak melihat kalian. Rasanya Damian semakin sibuk, dan kamu juga pasti punya banyak kesibukan, bukan?”

Fara hanya mengangguk kecil sambil membukakan pintu lebih lebar. “Tentu saja, Bu. Silakan masuk.”

Begitu Halimah melangkah masuk dengan anggun, tatapannya kembali jatuh ke dress Fara yang kusut. Ia menggeleng kecil sambil tersenyum tipis. “Tapi, Fara, kamu ini terlalu santai. Damian tidak keberatan istrinya menyambut tamu dengan... ya, pakaian tidur seperti ini?” tanyanya sambil mengangkat alis, nada bicaranya setengah menggoda namun jelas menyiratkan keprihatinan khas seorang mertua.

Fara yang sudah merasa canggung sejak awal hanya bisa tersipu malu. Ia tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa tidak nyamannya. “Maaf, Bu. Saya tadi baru bangun tidur. Tidak menyangka akan ada tamu pagi-pagi.”

Halimah hanya tersenyum sambil duduk di sofa ruang tamu. Gerakannya anggun, setiap langkah dan sikapnya terlihat penuh perhitungan, seperti seorang bangsawan yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. “Ah, Fara, kamu ini lucu sekali. Tidak apa-apa, sayang. Tapi ingat, seorang istri sebaiknya selalu siap. Siapa tahu ada kejutan seperti ini lagi, kan?”

“Iya, Bu. Saya akan ingat,” jawab Fara, mencoba terdengar percaya diri meskipun wajahnya masih memerah.

Fara segera menuju dapur untuk menyiapkan minuman. Di tengah aktivitasnya menyeduh teh, telinganya samar-samar menangkap gumaman Halimah yang hampir seperti bisikan, “Anak muda zaman sekarang. Untung Damian itu sabar.”

Fara menghela napas panjang, mendengar gumaman itu dengan perasaan campur aduk. “Astaga, malu banget,” pikirnya sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. Ia berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kekacauan ini di lain waktu.

Kembali ke ruang tamu dengan secangkir kopi panas di tangan, Fara berusaha menenangkan dirinya. “Ini, Bu. Tehnya. Saya harap cocok dengan selera Ibu.”

Halimah menerima cangkir itu dengan senyum hangat. “Terima kasih, Fara. Kamu memang menantu yang baik, meskipun kadang-kadang…” Ia berhenti sejenak, seolah ingin menggoda lagi, namun akhirnya memilih diam.

Fara hanya bisa tersenyum canggung sambil duduk di sofa sebelah, merasa seperti sedang menjalani ujian tanpa persiapan. Meski begitu, ia tahu Halimah tidak berniat jahat. Semua komentar mertuanya, meskipun terasa menusuk, datang dari kasih sayang yang tulus.

Suasana yang semula terasa sedikit canggung berubah menjadi lebih menenangkan seiring berjalannya waktu. Fara dan Halimah mulai berbicara lebih santai, meskipun masih ada ketegangan tipis yang tergantung di udara. Halimah tampaknya merasa lebih nyaman dengan topik-topik ringan, seperti cuaca dan berita terbaru seputar keluarga besar.

Namun, percakapan itu tidak berlangsung lama sebelum Halimah mengalihkan topik ke sesuatu yang lebih sensitif. “Fara, bagaimana kabarmu akhir-akhir ini? Kamu dan Damian baik-baik saja, kan?” tanyanya, suaranya terdengar lebih dalam, seolah mencoba menggali lebih jauh.

Fara sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tapi ia mencoba menjaga ekspresinya. “Kami baik-baik saja, Bu. Damian sangat sibuk, seperti yang Ibu bilang tadi,” jawabnya sambil mengatur duduk lebih nyaman di sofa.

Halimah mengangguk, matanya menatap Fara dengan tajam. "Tentu. Tapi kamu tahu, Fara, aku berharap... kalian bisa lebih fokus pada... keluarga kecil kalian." Kalimat itu terasa lebih tajam daripada yang diinginkan, dan Fara merasakan desakan yang hampir tak terhindarkan di dalamnya.

“Fara, kamu sudah menikah dua tahun, kan? Aku pikir sudah saatnya kalian...,” Halimah berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat, sebelum melanjutkan, "memikirkan soal anak. Kamu tahu betapa pentingnya itu, bukan?"

Fara terdiam sejenak, kata-kata itu membuatnya sedikit tercekik. Ada ketegangan di dada, rasa tidak nyaman yang perlahan menyelimuti suasana. Ia tahu benar bahwa pertanyaan itu akan muncul. Keluarga Damian, terutama Halimah, sudah cukup sering mengungkitnya, dan itu selalu membuat Fara merasa terpojok.

“Ibu...” Fara mencoba mencari kata-kata yang tepat, merasa canggung untuk membicarakan hal ini. “Kami memang sedang berusaha. Tapi... kamu tahu, semuanya memerlukan waktu, Bu. Kami... kami sudah berbicara tentang itu, tapi belum ada rezeki,” kata Fara dengan suara yang lebih rendah, mencoba menyembunyikan perasaan kecewanya.

Halimah menatap Fara dengan mata yang tajam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari bibir menantunya. “Aku tahu, sayang. Tapi kamu harus ingat, tidak ada yang bisa menunda waktu. Usia tidak akan berhenti, dan kalian harus memikirkan masa depan kalian.” Ada nada serius di suara Halimah, yang membuat Fara merasa seolah sedang diuji.

Fara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa Halimah hanya ingin yang terbaik untuk keluarga mereka, namun kadang-kadang, perasaan tertekan itu sangat sulit untuk ditahan. “Iya, Bu. Kami akan berusaha,” jawab Fara dengan tenang, meski hatinya terasa berat.

Halimah menghela napas panjang, tampak sedikit lega. “Baiklah, Fara. Aku tahu kalian sedang berusaha. Aku hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja.” Ia tersenyum, namun senyumnya terasa lebih tipis dari sebelumnya. “Jangan terlalu terburu-buru, sayang. Semua akan datang pada waktunya.”

Fara mengangguk pelan, meskipun dalam hati ia merasa sedikit lelah. Bagaimana ia bisa meyakinkan Halimah bahwa mereka sudah melakukan segala yang kami bisa? Ia merasa beban itu semakin berat, dan tekanan yang datang dari keluarga Damian seolah semakin intens.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Godaan Panas Tetangga Baru   Aku Cuma Ingin Keluarga, Juan

    Fara tetap terdiam menatap danau, pikirannya mengembara jauh. Suara air yang tenang seolah membawanya kembali ke masa kecilnya—masa di mana ia selalu bertanya-tanya kenapa ia tidak seperti anak-anak lain.Juan menoleh ke arahnya, melihat ekspresi sendu yang tak kunjung hilang dari wajah Fara. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tuntutan mertua atau kecemasan terhadap rumah tangganya.Setelah beberapa saat hening, Juan akhirnya membuka suara. “Apa yang bikin kamu sekeras ini pengen punya anak?” tanyanya pelan.Fara menghela napas panjang, lalu menautkan jari-jarinya erat di atas lutut. Ia butuh waktu sebelum akhirnya berkata, “Karena aku ingin merasakan bagaimana rasanya punya keluarga.”Juan mengernyit. “Kamu kan udah punya suami?&r

  • Godaan Panas Tetangga Baru   Juan?

    Damian telah tertidur pulas, sementara Fara masih terjaga dalam kegelapan kamar. Matanya menatap langit-langit tanpa benar-benar melihat apa pun. Ada perasaan mengganjal dalam dadanya, perasaan yang sejak tadi berusaha ia abaikan, tapi tetap mendesak untuk diakui.Ia membalikkan badan, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tetap saja gelisah. Napasnya berat, pikirannya terus berputar seperti kaset yang diputar ulang.Akhirnya, dengan gerakan pelan agar tidak membangunkan Damian, Fara bangkit dari tempat tidur. Ia menyambar jaket tipis, kemudian melangkah keluar kamar. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar dengkuran halus dari Damian yang seakan menjadi bukti bahwa hanya dia yang tersiksa oleh pikirannya sendiri.Tanpa ragu, Fara berjalan menuju garasi, mengambil sepeda listrik yang selama ini jarang ia gunakan. Udara malam m

  • Godaan Panas Tetangga Baru   Aku Lelah, Damian

    Begitu mobil berhenti di garasi, Fara segera membuka pintu dan turun tanpa menunggu Damian. Ia melangkah cepat ke dalam rumah, berusaha menghindari pembicaraan yang masih menggantung di udara. Namun, Damian tidak membiarkannya begitu saja. Ia menyusul ke dalam, menutup pintu dengan lembut, lalu mendekati istrinya yang kini berdiri di ruang tengah, memunggunginya.“Fara,” suara Damian terdengar tenang tapi sarat dengan ketegasan. “Dengar aku dulu.”Fara mengusap wajahnya dengan kasar, menahan isakan yang ingin pecah. “Aku lelah, Damian. Aku nggak mau mendengar alasanmu lagi.”“Tapi kamu harus dengar.” Damian berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya. “Aku ngerti kamu sakit hati karena omongan Mama tadi. Aku tahu kamu ingin membuktikan sesuatu. Tapi Fara, kita nggak bis

  • Godaan Panas Tetangga Baru   Fara, Jangan Mulai Lagi

    Damian meraih tangan Fara yang gemetar di pangkuannya, mencoba menenangkannya. Mata istrinya masih berkaca-kaca, bibirnya terkatup rapat seolah menahan emosi yang nyaris meluap. Damian tahu betul bagaimana perasaan Fara saat ini—terluka, terhina, dan mungkin juga kecewa.“Fara…” suaranya pelan, penuh kehati-hatian.Fara menggeleng, berusaha menarik tangannya dari genggaman Damian, tapi suaminya menahannya. “Jangan dengarkan omongan Ibu,” lanjut Damian. “Dia nggak punya hak buat ngomong kayak tadi.”Tapi Fara hanya menunduk, air matanya jatuh ke pangkuannya. “Kamu dengar sendiri, kan?” suaranya nyaris berbisik. “Dia bilang aku nggak berguna sebagai istri karena aku nggak bisa kasih kamu anak.”Damian menghela n

  • Godaan Panas Tetangga Baru   Wanita yang Tidak Jelas

    Halimah menatap Damian dengan ekspresi tidak puas, tapi akhirnya menghela napas dan memilih diam.Namun, Fara bisa merasakan ketidaksetujuan mertuanya. Bagi Halimah, seorang istri yang sudah menikah selama lebih dari dua tahun tapi belum memberikan cucu adalah sesuatu yang patut dipertanyakan.Di sisi lain, Hartono—ayah Damian—yang sedari tadi lebih banyak diam akhirnya bersuara."Kalian tidak perlu terburu-buru," katanya dengan suara berat namun tenang. "Setiap pasangan punya waktunya masing-masing. Asal kalian bahagia, itu sudah cukup."Damian tersenyum tipis, sedikit lega karena setidaknya ayahnya tidak ikut menekan mereka.Namun, sebelum suasana benar-benar kembali santai, Halimah tiba-tiba b

  • Godaan Panas Tetangga Baru   Kamu Sehatkan, Fara?

    Fara menatap bayangannya di cermin, menghela napas panjang sebelum merapikan blus sutra yang ia kenakan. Meski sudah berusaha tampak rapi, matanya tetap terlihat lesu, seakan ada beban yang terus menghimpit dadanya.Damian yang sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya, perlahan mendekat dan melingkarkan lengannya di pinggang Fara. Ia mengecup pelan puncak kepala istrinya, suaranya lembut ketika berbisik, "Semua akan baik-baik saja."Fara hanya tersenyum tipis. Ia ingin percaya, ingin berpikir bahwa malam ini akan berlalu tanpa insiden, tanpa komentar yang menekan, tanpa tatapan yang menusuk. Namun, pengalaman selama ini mengajarinya untuk tidak berharap terlalu banyak.Mereka tiba di restoran tepat waktu. Cahaya keemasan dari lampu gantung memberikan kesan elegan pada ruangan. Pelayan berseragam hitam putih berjalan dengan anggun, menyajikan hidangan kepada tamu-tamu istimewa.Di sebuah meja besar, keluarga besar Damian sudah berkumpul.Halimah, mertuanya, duduk anggun di samping suamin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status