Setelah menunggu cukup lama sebab jarak Rumah Sakit dengan lingkungan apartemen yang ditempati Nich cukup jauh, akhirnya dokter tampan bernama Mark itu pun tiba. Dia segera masuk ke unit dengan dikawal Dean yang sudah menunggunya di lobby. "Di sana kamar Tuan Nich." Dean menunjuk pintu kamar yang terbuka lebar. Mark hanya mengangguk, dan bergegas masuk. "I'm sorry, Nich. Jarak rumah sakit ke apartemen ini cukup jauh. Kau jadi harus menunggu lama. Siapa yang sakit?" ucap Mark begitu masuk ke kamar yang ukurannya sangat luas itu. Mendengar suara Mark di kamarnya, perhatian Nich seketika teralihkan. Dia beranjak dari tempat tidur dan mendekati Mark yang telah berdiri di sisi ranjang. "Hffuu ... akhirnya kau tiba juga, Mark. Cepatlah! Kau periksa keadaannya," tunjuknya pada Gwen yang belum juga sadarkan diri.Mark tertegun sesaat, menelisik raut temannya yang nampak frustrasi dan kalut. "Dia ... siapa?" tanyanya penasaran, seraya mendekat ke Gwen.Lantas, Mark mengeluarkan peralatan ya
"Aku tidak mau!" Gwen melengos ketika Nich mencoba membujuknya untuk makan bubur buatan Frank. Beberapa saat yang lalu Olivia datang dengan membawa makanan yang memang diminta khusus oleh Nich untuk Gwen. Namun sudah lebih dari tiga puluh menit makanan bertekstur lembut itu tak kunjung masuk ke mulut orang yang sedang dikuasai amarah itu. "Makanlah sedikit saja, Honey. Supaya kau bisa minum obat," bujuk Nich sekali lagi. "Aku tidak berselera, Nich. Bawa saja pergi bubur itu. Aku merasa mual mencium baunya. Dan kau ...." Manik Gwen memicing ke arah Nich. Sorot kemarahan masih berkilat di sana. "Kau juga pergi, Nich. Aku tidak mau melihatmu untuk sementara waktu. Aku butuh berpikir." Muak sekaligus marah ketika dia kembali mengingat video sialan itu. Hatinya sungguh merasa sakit sebab merasa dibohongi selama ini. Untuk apa Nich mati-matian menjelaskan jika dia tidak bersalah dan pada kenyataannya dirinya dijebak."Aku tidak akan meninggalkanmu." Mangkuk di tangan Nich letakkan kemba
Apa yang ditakutkan dan dikhawatirkan Gwen benar-benar terjadi. Kehamilan yang tidak diinginkan begitu cepat menghampiri. Lebih menyakitkan lagi disaat dirinya ingin sekali pergi dari ikatan ini. Ikatan pernikahan yang bermula dari sebuah keterpaksaan dan kesepakatan. Pernikahan yang tidak pernah dia impikan setelah mengenyam bertubi-tubi luka di masa lalu. Kesakitan atas sebuah kebohongan yang ditorehkan Nich tak hanya membuat hati Gwen terluka dan berdarah lagi. Nich telah memperdayainya, dan bodohnya Gwen mudah sekali jatuh ke dalam lobang yang sama. Gwen membenci dirinya yang lemah yang mudah sekali luluh hanya dengan ucapan manis. Nyatanya, rasa manis yang ditawarkan berubah menjadi kepahitan. Bagaimana bisa dia bebas dari kehidupan Nich jika ada nyawa baru yang sedang tumbuh di rahimnya? Sementara jika terus bersama tak ubah semakin menambah luka. Gwen belum siap dengan kejutan ini. Yang sebagian besar orang justru menganggapnya sebagai anugerah yaitu menjadi seorang ibu. Gwe
"Mau sampai kapan kau seperti itu, Diana? Sudah hampir satu jam kau mengomel dan berjalan mondar-mandir. Aku saja pusing melihatmu seperti itu." Pieter menggelengkan kepala, memijat pangkal hidung guna menyingkirkan rasa pusing yang mendera akibat kelakuan Diana—istrinya. Beberapa hari ini Diana selalu marah-marah tidak jelas. Melampiaskan kekesalan pada orang rumah yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan masalahnya.Pieter sangat yakin penyebab sikap sang istri yang demikian dikarenakan merasa tak terima. Kabar kehamilan Gwen seolah meruntuhkan dunia Diana. Perempuan yang telah melahirkan Nich itu tak henti menggerutu apabila setiap kali ada kesempatan menjelekkan menantunya. Baginya, Gwen tak lebih dari sekadar parasit yang harus segera dia basmi.Meskipun tahu kondisi Gwen yang sedang mengandung calon cucunya, Diana tidak peduli. Bahkan dia pun tidak sudi mengakui jika anak yang dikandung Gwen adalah keturunannya. Kebencian yang sudah mendarah daging seakan telah menutup
Hari ini adalah jadwal pemeriksaan rutin cek kandungan yang sudah menginjak usia lima bulan. Gwen yang didampingi Olivia tengah menunggu di ruangan dokter Obgyn di salah satu rumah sakit ternama yang ada di London. Keduanya tengah menyimak penjelasan dari dokter perempuan setengah baya dengan saksama. Menyimak setiap kata demi kata yang diuntai dengan lugas dan jelas. Pertama kali Gwen tidak didampingi oleh Nich, karena suaminya itu sedang dalam perjalanan kembali setelah tiga hari berada di kota lain. Namun, Nich berjanji akan pulang hari ini sebab sudah rindu pada sang istri dan calon anak mereka.Setelah melakukan pemeriksaan yang berjalan sekitar tiga puluh menit, Gwen dan Olivia memutuskan untuk pulang saja. Tak ingin berlama-lama berada di luar rumah yang hanya akan menyebabkan ibu hamil itu kelelahan. Olivia turut serta ke apartment kakaknya, sambil menunggu dan menjaga Kakak iparnya. Unit yang dihuni oleh beberapa orang saja itu nampak sepi. Maid yang ditugaskan untuk memban
Pandangan mereka pun beradu, dengan masing-masing raut yang berbeda. Sosok yang kini berjalan pelan menghampiri, memasang seringai penuh arti, sementara Gwen mengerjap berulang kali demi memastikan jika di hadapannya ini bukanlah ilusi."K-kau? Mau apa kau kemari?" Mual mendadak melingkupi perut buncit Gwen ketika berhadapan langsung dengan si pelaku video beberapa bulan lalu.Satu sudut bibir orang di hadapan Gwen itu naik, tatapannya menatap remeh. "Hai, lama tidak bertemu." Suara hels mengisi ruangan yang sepi, dan berhenti tepat di depan Gwen yang memaku.Sepuluh tahun yang lalu saat pesta kelulusan di sekolah adalah hari terakhir Gwen melihat sosok wanita ini. Setelah sekian lama dia pun akhirnya bertemu dengan Valerie. Banyak sekali yang berubah pada fisik wanita itu. Tak berbeda jauh dengan apa yang Gwen lihat saat di video. Valerie cantik, berkelas, dan terkesan mahal. Dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya berharga jutaan pound. Tunggu! 'Apa dia sedang hamil?' Gwen be
"Gwen!" Olivia memekik kaget ketika baru saja keluar dari lift hingga bawaan di tangan diempar asal. Dia terkejut bukan main saat menyaksikan sang kakak ipar tergeletak di lantai dengan kondisi mengenaskan. Mendekat dengan raut pucat, Olivia terduduk sambil berupaya menyadarkan Gwen yang belum sepenuhnya pingsan. Di angkatnya kepala Gwen, diletakkan di atas paha. "K-kau kenapa, Gwen? K-kau kenapa?" Sekujur tubuh Olivia gemetar melihat darah mengalir dari pangkal paha Gwen, sampai ke lantai. Kakak iparnya itu nampak kepayahan ditengah-tengah mempertahankan kesadarannya. "Ba-yi-ku ... ba-yi-ku." Tidak ada kalimat lain yang terlontar dari mulut Gwen selain 'bayi'. "To-long se-la-mat-kan bayiku, Oliv ...." pintanya sambil menggenggam erat-erat tangan Olivia."I-iya. A-aku pasti selamatkan kalian. Bertahanlah!" Kepanikan Olivia semakin menjadi kala kelopak mata Gwen hendak memejam. "Jangan tutup matamu, Gwen. Berusahalah untuk tetap sadar." "Sa-kit ...." Hanya itu yang terlontar dari
"Maaf, Nich. Tim kami telah berusaha untuk menyelamatkan bayimu. Tetapi ... Tuhan punya rencana lain. Bayimu meninggal di dalam kandungan ibunya dan kami terpaksa harus segera melakukan operasi secepat mungkin, karena nyawa istrimu yang jadi taruhannya." Mark selaku yang menjadi bagian dari tim medis yang menangani Gwen, berbicara dengan sangat berat hati kepada temannya itu. Beberapa saat yang lalu dia meminta Nich untuk menemuinya di ruangan ini. Membahas mengenai kondisi Gwen dan bayinya. Perdarahan yang dialami Gwen rupanya berdampak sangat buruk pada bayinya. Kondisi kehamilan yang sejak awal sudah rentan itu terpaksa harus ditindaklanjuti supaya nyawa Gwen terselamatkan. Dokter tidak bisa berbuat banyak sebab bayi tersebut tidak dapat bertahan di dalam perut ibunya.Untuk sejenak Nich terdiam, membeku di tempatnya duduk sambil memejamkan mata. Apa yang baru saja didengarnya itu sungguh sangat-sangat menyakitkan. Harapan dan impiannya setelah anak itu lahir seketika ikut hancur