Share

Godaan Sang Majikan Tampan
Godaan Sang Majikan Tampan
Author: Wahyu Hakimah

Bab 1-Dilamar

Author: Wahyu Hakimah
last update Last Updated: 2023-10-06 14:52:05

Kriet!

Suara pintu berderit nyaring saat Bunga mencoba membuka pintu kamarnya. Dia sengaja lewat pintu belakang karena di rumahnya sedang ada tamu. Beruntung juga dia tidak naik motor, karena ban motornya kempes. Bunga menumpang temannya, anak tetangga sebelah rumah. 

"Siapa tamunya?" tanyanya pada sang kakak. 

"Au!" 

"Eh, kok, ngambek?" Bunga melirik ke arah kakaknya yang menampilkan wajah bermuram durja bagaikan langit hendak turun hujan. 

"Sakalepmu!"

"Sakarepmu itu apa, ya?" tanya Bunga. 

"Mbuh a!"

"Ya, wis. Ana mau bobok."

Bunga lantas mencampakkan tas ranselnya ke atas meja belajar. Bunga penat luar biasa karena beberapa pelajaran tambahan. Yah, dia kelas dua belas yang sebentar lagi melaksanakan Ujian Nasional. 

Bunga langsung merebahkan diri di atas kasur empuk yang setiap hari dia kongsi bersama sang kakak tanpa perlu melepas seragamnya. Sejak kakaknya yang memiliki keterbatasan itu menjadi janda mereka kembali tidur satu ranjang. 

"Awakmu dila-mal!"

Kelopak mata Bunga yang hampir terpejam langsung membeliak terbuka. Gadis itu langsung bangkit dari tempat tidur seakan vampir yang bangkit dari peti mati. Bunga menggaruk kepalanya antara terkejut campur heran.

"Apa kata, Mbak Zum? Dilamar?"

"Huuh. Sama Mas Ham."

"Mas Ham? Hamzah? Sik, ta! Iki Mas Hamzah anaknya Pak Kyai Haji Anwar?"

"Huuh."

Tidak mungkin! Apakah bapak dan ibuk sudah hilang akal? 

Mas Hamzah. Nama lengkapnya Hamzah Mas'ud Tarmizi, umur 32 tahun. Saat Bunga masih SMP, pria itu tidak memiliki pekerjaan yang jelas. Mengajar ngaji atau ngecengi para santri putri pondok milik Kyai Anwar, bapaknya. 

Kenapa bukan mengambil istri dari salah satu santrinya? Lebih afdol. 

"Aku nggak mau!"

"Awakmu, halus mau!"

"Kok, enak."

Masalahnya, biarpun ganteng, Mas Hamzah itu sudah beristri. Anaknya juga sudah dua. Sedang lucu-lucunya.

Saat perdebatan itu semakin panas—karena si Zumratun yang  terus saja nyolot setengah mati tanpa bisa dikendalikan. Meskipun bicaranya tidak terlampau jelas tetapi, Zum memang tipikal cerewet. Gas terus!

Apakah Zum iri? 

Kakaknya yang berkebutuhan khusus itu sudah dua kali menikah. Dua kali pula dia dipulangkan oleh pihak keluarga suaminya. Bukan karena si laki-laki yang jadi suaminya memberi talak. Namun, keluarganya. 

Aneh, tapi nyata.

Kejadiannya sepele. Zum, tidak ingat jalan pulang ke rumah mertuanya. Saat itu dia pergi ke pasar pukul tujuh pagi dan pulang setengah tiga sore karena dicari-cari mertuanya. Padahal, sejak awal mereka tahu Zum memang menderita down syndrom. Sungguh memilukan!

Salah satu hal yang mengesalkan sekaligus unik, begitulah Bunga mengatakannya, Zum akan tersenyum genit pada setiap lelaki yang datang ke rumah. Dengan teman-teman adiknya. Juga suami si sulung. 

"Awakmu nggak ngintip? Ganteng nggak utusan Pak Kyai?" tanya Bunga menggoda.

"Mbuh!"

Bunga mendecih. Tumben Zum tidak antusias ketika melihat laki-laki berkopiah.  

Terdengar sayup-sayup suara mesin mobil yang menderu. Suara mobil  yang mulai menjauh dari rumah mereka. 

Bunga langsung melompat dari ranjang lantas keluar dari kamarnya. Di ruang tamu rumah kini hanya menyisakan kedua orang tuanya. 

"Aku nggak mau dijodohkan sama Mas Hamzah! Titik! Nggak pakai koma!" Bibir Bunga mengerucut seperti ikan cucut. 

"Lha, bocah iki belum juga kita ngomong." Sang ibuk tampak marah.

"Nggak mau pokokmen!"

"Sini, Nduk." Sang bapak melambaikan tangannya. 

Bunga mau tak mau mendekati tempat bapaknya duduk. Bungsu dari empat bersaudara itu berjalan dengan mengentak lantai rumah. Berderap-derap seperti kaki gajah yang berjalan mengejar kawanannya. 

"Apa an, Pak?"

"Duduk dahulu," ujar sang bapak menepuk kursi di sampingnya. "Nduk, sini, Bapak mau ngomong," ujar Khosim pada Bunga yang baru pulang dari sekolah. 

Lelah terlihat mengukir di wajah Bunga, tetapi dia tetap tersenyum dan mengangguk sopan. Kalau tidak sopan jatuhnya durhaka. 

 "Ada apa, Bapak?" tanyanya lebih pelan. "Soal lamaran dari Mas Hamzah itu?"

"Iya, Nduk. Bapak sama ibuk berharap yang terbaik. Ini anugerah bagi keluarga kita."

Anugerah? Bukannya ini sebuah ambisi pribadi? Mata jeli gadis itu mengerjap. 

Saat itu, Bunga masih kecil, tetapi sangat lekat di ingatannya tentang apa itu pernikahan yang bermulai dari perjodohan. Sang kakak sulungnya yang seorang hafizah seperti dijajakan oleh sang bapak dari pondok ke pondok. Siapa anak kyai yang sudi menikahi kakaknya. 

Siapa lelaki yang sudi mempersunting Mbak Hanik. Termasuk si Hamzah itu.

Meskipun bukan anak kyai dengan pondok besar, Khosim adalah guru ngaji. Wajar, dia bermimpi anaknya dipersunting seorang anak kyai. Seorang yang punya darah kyai walaupun belum layak dipanggil kyai. Agar darah itu menjadi kental, ya, lewat perjodohan. Namun, sang kakak hanya mendapatkan jodoh anak pondok biasa. 

Sering kali bapak menyindir kakak sulungnya bahwa nasibnya malang karena tidak ada yang memanggilnya Umik. 

"Kalau misalnya Ana menolaknya?"

"Kita tidak boleh menolaknya, Nduk." Ibuk ikut urun rembuk.

"Lha, kenapa, Pak? Buk?"

Khosim meraup rokok di meja lantas menyalakannya. Dia isap keretek itu pelan lalu diembuskan menjadi beberapa kolong berwarna putih keruh. Semakin tinggi semakin kecil lantas pudar menabrak plafon rumah yang burik oleh jamur di sana-sini. 

"Sebenarnya, Pak Kyai sudah nembung lama. Saat kamu masih kelas satu." 

"Beneran Pak Kyai yang nembung? Bukan Mas Hamzah yang—" Mata keranjang  itu!

Bunga mengucapkan dalam hati. Perih. Dia tidak suka dijodohkan. Dia ingin menentukan nasibnya sendiri. Sedikit banyak dia tahu pria yang akan dijodohkan dengannya itu. Kenapa orang terobsesi ingin berbesan dengan kyai?

"Benar. Bapak, ya, merasa senang. Orang, besanan sama Kyai Anwar. Lagi pula, Mas Hamzah sekarang anggota DPRD."

Rasa bungah jelas terpancar dari wajah penuh keriput dimakan usia itu. Halah, sudah Bunga duga. 

"Kamu mau, tho?"

 "Tapi, Ana ingin lanjut kuliah. Ana merasa belum punya apa-apa buat bekal menikah. Umur juga baru genap delapan belas tahun ntar Agustus. Aku belum membalas apapun kebaikan Bapak sama Ibuk. Ilmu ngaji juga enggak seberapa dibanding santri di pondok Pak Kyai."

Gadis itu tertunduk penuh luka. Dia sadar, pasti orang tuanya amat bersuka cita. Dahulu, sang kakak yang jelas-jelas jebolan pondok dan mumpuni saja ditolak. Hafalan nglotok. Kitab kuning jelas makanan sehari-hari. Mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq, tata bahasa arab, hadits, tafsir, ilmu Al-Qur'an, hingga pada ilmu sosial kemasyarakatan.

Sekarang ini kenapa harus dirinya.

Kenapa bisa standarnya si Hamzah turun, hanya pada sosok Raihana Bunga Yasmin yang bocah kolokan tidak pernah mondok.   

Aku harus menghubungi, Mbak Hanik, batin Bunga menyusun rencana. Kalau kakaknya mengatakan maju dia akan sholat istikharah. Kalau kakaknya mengatakan lebih baik mundur, Bunga akan mencari cara agar perjodohan itu gagal. 

Minggat mungkin ....

"Mereka melihat potensimu, Nduk. Kamu pintar, pasti bisa dididik untuk ikut membesarkan pondok. Jadi, bisa belajar langsung dari Mas Hamzah."

Oh, itu bohong belaka. Menurut yang dia tahu, si Hamzah itu suka perempuan cantik. Kulit putih dan punya tubuh semok. Bunga akan diet mati-matian agar bobot tubuhnya susut sedikit. Paling tidak tujuh kilogram.

"Lha, terus istri pertamanya bagaimana?"

Khosim dan isterinya saling berpandangan. Mereka sebenarnya antara tega dan tidak. Dahulu, saat si sulung yang sekolah sekaligus mondok saja ditolak. Memang, Hanik tidak secantik Bunga. Namun, ilmu agamanya linuwih.

Waktu itu, Khosim berpikir putrinya layak menjadi pendamping Hamzah. Namun,  Hamzah malah memilih perempuan lain, seorang putri guru ngaji juga. Belum hafizah. Entah karena pertimbangan apa. Cantik. Pastinya karena cantik. 

Saat ini dengan perasaan gembira mereka menerima lamaran Hamzah karena putra dari Kyai Anwar tersebut sudah menolong Nasir, anak ketiga mereka, kakaknya Bunga. Ya, satu-satunya putra lelaki mereka tertangkap membawa narkoba jenis sabu. Suami istri itu merahasiakan semuanya dari Bunga.

Bunga tidak boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Wahyu Hakimah
iya, jual itu gabah. ini, jual anak
goodnovel comment avatar
tingdipida
Wak Khosim kok gitu banget sama anak widok. tega!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 66-Bapak Akhirnya Menyerah

    Bapak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah sejak tadi beliau meminta ke kamar mandi. Tidak cukup sekali. Berulang kali juga Mas Rohman—suami Mbak Hanik meminta Pak Khosim menggunakan fasilitas pitspot, tetapi pria tua itu justru menolaknya mentah-mentah.“Aku masih sanggup ke kamar mandi sendiri kalau awakmu nggak mau nuntun,” ujarnya ketus. “Kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalimat terakhirnya ditujukan kepada Mbak Hanik. Itu sore tadi. Dari Ashar sampai selepas Isya. Selepas Isya, Bapak akhirnya menyerah karena bagian bawah tubuhnya sudah basah. Bapak tak lagi mampu mengontrol pipisnya. Bahkan Bapak seperti orang linglung. “Bapak kenapa nggak ngomong?” ujar Ibuk.Bapak diam saja. Memandang kosong ke depan. Mbak Hanik mengambil diaper dari tangan Bunga yang tadi diutusnya ke minimarket. “Basah semua, bau. Kulit Bapak juga bisa merah-merah,” ujar Mbak Hanik menambahkan. Sedikit geram. “Uwis, Han. Ojo mbok marahi terus bapakmu. Iku lagi ingat anak lanang. Si Nasir

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 65-Kesalahan Paling Konyol

    Bab 65-Kesalahan Paling Konyol Kesalahan apa yang dianggap paling konyol? Di saat jalan hidupnya seakan menyerupai telur di ujung tanduk setan, Alfian justru ingat satu hal. Satu hal konyol. Tentang orang pintar yang mendadak bodoh. Kebodohannya karena disebabkan lidah dan perut murahan yang tak bisa berkompromi. Namanya Anthony Gignac, pria yang akan tercatat sebagai orang yang membuat kesalahan paling bodoh sepanjang sejarah.Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan berpura-pura menjadi pangeran jutawan dari Dubai. Dia menamai dirinya "Pangeran Khalid Bin Al Saud". Nama Bani atau wangsa paling berpengaruh di jazirah Arab bahkan berhasil menegakkan sebuah empayar selama 4 abad lebih. Jadi, makhluk bernama Gignac memang terlampau percaya diri. Dia melakukan semua ini dengan satu tujuan, yaitu menipu para investor. Aksinya sudah cukup lama, dan mirisnya banyak pula investor yang percaya padanya. Bahkan diperkirakan dia menipu dan memanipulasi ratusan orang, dengan total kerugian

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 64-Sandiwara Sang Ipar

    Saat pintu dibuka, semua berebut untuk masuk ke dalam kamar. Satu yang sangat mencengangkan semua orang, kar itu dalam keadaan berantakan. Suasana sungguh berbeda dengan saat Alfian meninggalkan kamar itu beberapa waktu lalu. Sekitar setengah jam lalu yang kemudian dia tertahan di depan pintu, kemudian bergeser sedikit menjauh dari pintu karena aksi dorong dan jegal oleh Nasir. Kamar pengantin itu terlihat seperti habis dilanda tornado. Dengan bantal dan guling tercampak ke lantai. Sebagian sprei berwarna kuning gading itu terburai ke lantai seperti usus ayam keluar dari rongga perut. Kelopak mawar berhamburan ke seluruh sudut ruang.. Benar-benar dahsyat tornado yang berputar hanya di ruangan ini. “Di ma—na Zum-ra-tul?” Suara Bapak tersendat, terdengar cemas. Mereka semua mencari di setiap sudut ruangan kamar yang tak seberapa luas itu. 3x4 meter. Biasanya Zum duduk mencangkung di pojok ruangan atau di bawah jendela karena lelah mengamati lalu lalang orang-orang yang melintas. Zum

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 63-Noda di Hari Persandingan

    “Si—siapa kamu?”Alfian hampir mati berdiri saat melihat ada sosok yang berbaring di ranjang pengantin di kamar milik Bunga. Meskipun mengenakan brokat dengan warna sangat mirip dengan milik Bunga, dia tahu itu bukan baju pengantin yang tadi dikenakan istrinya. Sudah pasti sosok itu bukan Bunga. Istri kecilnya masih berada di luar. Sosok yang menguasai ranjang pengantinnya tampak meringkuk seperti bayi koala itu tertidur dengan mulut terbuka. Ada tetes liur yang mengalir deras dari sela bibirnya yang terbuka itu. Air liur itu menyirami tumpukan kelopak mawar di atas ranjang. “Ya Tuhan,” gumam Alfian. Sosok itu bergerak, dari tangannya yang terjulur tampak berjatuhan benda berbentuk bulat-bulat seukuran duku. Sosok itu ternyata menggenggam buah-buahan. Anggur dan pisang. “Hai,” sapanya lagi, kali ini Alfian bersuara sedikit keras. Sosok itu bangun mengucek matanya. Matanya sipit, dagu kecil, wajah bulat, dan batang hidung datar, bahkan dahinya seakan lebih menonjol dari hidupnya y

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 62-Pelaminan

    Kekhawatiran Bunga akan ada kekacauan tidak terbukti. Bahkan, kelebat Mas Hamzah pun tidak ada. Jadi, ketika acara hampir selesai digelar jelang Dzuhur, ada buncah kelegaan di sana. Seorang fotografer memberi arahan untuk sesi foto. Setelah selesai dengan sesi foto keluarga, kini giliran foto berdua khusus pengantin. “Jangan kaku begitu, Mbak Bunga.” Photografer memberi pengarahan. “Letak kedua tangannya di dada Mas e, dada nempel lagi. Iya, gitu. Lagi, dikit, terus wajah memandang ke arah angka tujuh, ya. Oke, siap! Satu, dua, ti ….”“Kamu deg-degan, ya?” tanya Alfian tersenyum lebar setelah sang fotografer berhasil membidikkan kameranya dan menghasilkan beberapa gambar. “Ngapain deg-degan. Malu aja, kan, dilihat orang banyak.”“Nggak usah malu-malu. Udah resmi ini.” Rupanya fotografer yang disewa itu mendengar celetukan Bunga. “Atau mau foto dengan latar khusus. Di candi misalnya. Saya bisa merekomendasikan tempatnya. Ayo, kapan.” Dasar tukang photo, gumam Bunga. “Ini udahan, ka

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 61-Sah!

    Bunga tertawa terbahak-bahak saat membaca pesan dari Alfian. Pesan yang berisi curhatan pria itu sehabis makan siang. Namun, sebelum acara makan, Alfian malah ditest soal bacaan sholat, doa, bagaimana taharoh yang benar, bagaimana mandi junub yang benar. Karena terus dibombardir pesan yang isinya keluh kesah, akhirnya Bunga memencet tombol hijau pada aplikasi pesan. Aplikasi berkirim pesan dan panggilan yang sederhana, aman, dan reliabel“Assalamualaikum, Mas Al …,” sapa Bunga masih dengan tawa berderai. “Wah, terus saja tertawa, Na.”“Iya, deh. Ana nggak tertawa lagi.” Bunga berusaha mendekat mulutnya. Namun, Bunga masih saja kesulitan menahan tawanya. Setiap dia ingat apa yang menjadi curhatan Alfian, Bunga sontak tertawa. “Mas maaf, aduh.”“Kamu, sih, hanya kasih bocoran tentang sholat. Ternyata semua ditanyakan sama bapakmu.”“Justeru syukur, Mas. Jadi Mas Al nambah ilmunya,” bisik Bunga sambil sesekali melemparkan candaan. Alfian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status