Beranda / Romansa / Godaan Sang Majikan Tampan / Bab 2-Pengantin Baru

Share

Bab 2-Pengantin Baru

Penulis: Wahyu Hakimah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-06 15:08:16

Duhai, senangnya pengantin baru

Duduk bersanding, bersenda gurau

Aduhai, senangnya pengantin baru

Duduk bersanding, bersenda gurau .…

Itu hanya penggalangan lagu qasidah yang sepertinya mengejek kisah hidup Bunga yang penuh duka nestapa. Bagaimana tidak, seminggu yang lalu dia selamat diijab qobulkan dengan Mas Hamzah.

Ijab qabul secara siri karena usianya belum delapan belas tahun. Kurang sedikit lagi. Ya Allah, geram sekali Bunga.

Dia tidak ridho, hak dan martabatnya sebagai perempuan merasa diinjak-injak. Meskipun sah di mata Allah, tapi pernikahan siri itu membuat nilai tawar perempuan dan anak yang akan dilahirkan nanti berada pada titik terendah. Bukan, Bunga sok feminis. Ini demi masa depan generasi penerus bangsa agar tetap waras, tegas Bunga sangat patriotik.

Pusing!

Tepatnya, dua hari setelah Ujian Nasional pernikahan sakral itu dilaksanakan. Bunga meraung-raung sambil menjambak rambutnya yang sudah rontok segenggam akibat Ujian Nasional, ditambah segenggam lagi karena saat ini dipaksa menjalani kehidupan rumah tangga.

Dan hari ini adalah resepsi pernikahan dilaksanakan di halaman pondok pesantren.

Dengan brokat berwarna putih yang melambangkan sucinya cinta. Juga kebaya yang panjangnya sampai lutut, tentu saja melambangkan harapan agar pernikahan itu langgeng sampai kakak-nenek. Entah itu falsafah dari mana. Hanya hal ngawur yang berkeliaran di atas kepala Bunga yang masih polos tanpa kerudung itu.

Gadis itu sedang merencanakan sebuah makar bersama teman karibnya, Ismail. Ismail sudah menuntun motor matic milik Bunga dan diletakkan di dekat regol atau gapura masuk kampung.

Hari ini bunga berniat kabur dari pesta pernikahannya sendiri.

Mail : Test satu, dua, ready.

Bunga : Tiganya mana, Mail?

Bunga masih sempat menjawab pesan Ismail dengan ugal-ugalan.

Mail : Motormu tak parkir di antara parkiran motor tamu. Nggak jadi di regol, biar nggak ada yang curiga. Buruan! Pokoknya cepet, nggak pakai lama.

Mail hampir memukul setang motor dengan ponselnya. Namun, dia sadar itu tindakan bodoh. Dia yang rugi sendiri. Dari mana dia akan mendapatkan duit untuk membeli ponsel baru. Membantu Bunga saja gratis tanpa kompensasi apapun. Dia tidak tahu kalau sampai ketahuan. Mungkin sosok Ismail akan hilang dari muka bumi. Tinggal nama. Tubuhnya akan dicincang Mas Hamzah dan dijadikan ransum untuk bio flog lele mutiara kolam belakang pondok.

"Mbak e rias pengantin, aku kebelet pipis." Bunga memasang wajah kesambet karena menahan kencing.

"Walah. Tadi, kan, sudah saya bilang jangan minum. Puasa! Bisa-bisa seri wajahnya pengantin hilang. Jatuh di lobang kakus."

"Lha, mosok saya harus pakai diapres. Ntar, bokongnya semok gimana-gimana. Lugu! Lucu tur wagu, Mbak."

"Ya, sudah. Cepetan, yo."

Begitu mendapat izin dari perias pengantin, Bunga langsung menaikkan kain batik Sidomukti yang dikenakannya. Dia berjalan secepat mungkin. Namun, ketika sampai di depan pintu ruangan, suaminya yang tua dan menyebalkan itu menghadangnya.

"Mau ke mana, Dik?"

"Anu, Mas Ham, bade pipis."

Merasa sudah di ujung tanduk, Bunga tidak peduli lagi. Dia menabrak sosok yang lebih tinggi sepuluh sentimeter darinya itu. Tentu saja masih dengan mengangkat kain jarik Sidomukti khas pengantin.

"Colon bojomu, aneh, Mas Ham."

"Kita sudah sah, Mbak yuk." Hamzah terkekeh. "Aneh, tapi, kan, cantik, Mbak. Insya Allah salihah dan melahirkan anak-anak yang nanti bisa menjadi penerus pondok ini."

Si perias pengantin hanya meringis. Saat pernikahan yang pertama, dia juga yang merias Hamzah dan istrinya. Doanya sama. Agar pengantin perempuan manglingi. Hidup rumah tangganya tentram kerto raharjo. Lha, tidak lama kok terdengar kabar, Hamzah akan menikah lagi. Pergaulan di Gedung Kuning. Begitulah orang-orang memanggil gedung DPRD di kota kabupaten. Meskipun warna catnya sudah berubah putih keruh, tetap saja dijuluki Gedung Kuning. Warisan zaman dahulu.

Sementara itu, Bunga bersemedi di kamar mandi yang terletak di dalam kamar pribadi Hamzam. Bunga mencari baju milik ... madunya. Setelah berhasil menarik sebuah rok warna hitam polos dan kemeja putih kebesaran lengkap dengan kerudung putih, Bunga sudah siap dengan penyamarannya.

"Kurang lipstik." Dia mencari-cari lipstik di meja rias. Syukurlah, istrinya Hamzah doyan lipstik juga. Lipstik rasa sabun. Setelah memulas lipstik lumayan tebal dan melebihi garis bibir, Bunga langsung keluar kamar.

Dia berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Agar tidak mencurigakan, gadis itu mengangkat tas-tas milik tamu. Tas-tas yang biasanya berisi beras, gula, teh, dan kue sebagai sumbangan hajatan mantu di tempat Kyai Anwar.

"Lho, ini siapa, ya?"

"Menuk," bohong Bunga.

"Menuk iku siapa, ya?" Si Mbokde penjaga tas mengerutkan dahi tanda sedang berpikir keras. Namun, di saat bersamaan ada tamu yang ingin meminta tas miliknya. Cepat-cepat Bunga berjalan menuju gapura pondok berhampiran jalan. Benar saja, motor matic dan sebuah tas ransel sudah nangkring di sana.

"Wah, sempurna." Bunga bertepuk tangan karena Ismail memarkirkan motornya di antara kendaraan para tamu yang mengular. Maklum yang mantu kyai. Yang jadi manten, wakil rakyat yang hobi molor saat rapat," gumamnya.

Tanpa menghubungi sahabatnya yang entah nyempil di mana, Bunga langsung tancap gas. Setelah sampai di jalan besar, Bunga mengendarai motor dengan kecepatan hampir 70 KM/Jam. Seperti dikejar hantu atau roh penasaran.

Sementara itu, perias pengantin yang sudah sabar menunggu mulai curiga. Bunga hanya pamit kencing, tetapi sampai sepuluh menit belum juga kembali. Ada istilah berak batu, tetapi apa mungkin Bunga punya penyakit kencing batu?

"Mas Hamzah, manten perempuan, kok, nggak balik, ya? Apa, kamar mandinya antri? Apa kena kencing batu."

"Lha? Di kamar saya ada toilet, kok. " Mas Hamzah terpinga-pinga mendapatkan laporan tidak mengenakkan dari perias pengantin.

"Suruh siapa gitu, nyari. Sudah siang ini. Saya harus rias di desa sebelah juga."

"Yoh!"

Mas Hamzah yang sudah siap dengan beskap dan keris itu melangkah seperti raja yang gagal naik tahta. Dia berjalan dengan langkah lebar menuju kamarnya. Tangannya meraih handle pintu kamar yang tertutup rapat. Dikunci.

Jangan-jangan, pengantinnya nekat gantung diri, pikir Hamzah.

"Ana! Ana! Raihana Bunga Yasmin!" teriaknya sambil masih berupaya membuka pintu kamar. Bahu kokohnya digunakan untuk mendobrak pintu.

"Ada apa, Mas Ham?" Seorang santri bergegas mendekati sang putra kyai itu.

"Ana. Pamit pipis sampai sekarang nggak tahu ke mana?"

"Mas Ham nggak bawa kunci cadangan. Coba tanya sama, Bu Nyai."

Benar saja, Hamzah langsung mencari Umik untuk meminta kunci cadangan. Namun, bukan umiknya yang membawa kunci itu ternyata kakak sulungnya yang saat ini sedang meninabobokkan anaknya. Terpaksa Hamzam menunggu dengan menggerutu panjang.

"Cepet, Mbak."

"Astaghfirullah, sabar, tho." Sang kakak mengambil setangkup anak kunci yang tergantung di samping lemari. "Makanya, kaki istrimu diikat pakai rantai!" ujar sang kakak setengah mencibir.

"Ck!

Hamzah berlari-lari menuju depan kamarnya. Dia langsung memasukkan anak kunci itu.

Kriek!

Ketika pintu terbuka, ruangan yang sudah dihias cantik penuh bunga itu kosong melompong. Hamzah masih berpikir waras, dia menuju kamar mandi. Namun, kamar mandi juga terkunci.

"Ilham, bantu dobrak!"

"Njih, Mas."

"Satu, dua, tiga!"

Pintu kamar mandi terbuka. Lagi-lagi kamar mandi juga kosong. Pintu kamar mandi yang terbuat dari PVC itu bolong terkena kepalan tangannya.

"Sabar, Mas." Santri bernama Ilham mencoba menenangkan anak sang kyai.

"Kemana dia?" Kilat mata Hamzah penuh amarah. Apalagi saat melihat pintu lemari tidak tertutup rapat. Dia segera membuka lemari itu.

"Ada yang hilang, Mas?"

"Iya. Dia pasti kabur sama pacarnya. Bawa kabur perhiasan milik Umik juga istriku."

"Inalillahi. Terus bagaimana ini?"

"Kamu beri tahu Abi. Nanti aku nyusul."

Saat Ilham berlari ke luar kamar, Hamzah segera meraup perhiasan yang ada di lemari. Dibukanya jendela kamar lantas dilemparkan perhiasan itu ke selokan. 

Aku juga bisa jahat, Ana! Sebuah senyum sinis terbit dari bibir Hamzah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
tingdipida
wahhhh kampret banget si Hamzah. nggak cukup mata keranjang, tapi juga jahat poool
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 66-Bapak Akhirnya Menyerah

    Bapak terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah sejak tadi beliau meminta ke kamar mandi. Tidak cukup sekali. Berulang kali juga Mas Rohman—suami Mbak Hanik meminta Pak Khosim menggunakan fasilitas pitspot, tetapi pria tua itu justru menolaknya mentah-mentah.“Aku masih sanggup ke kamar mandi sendiri kalau awakmu nggak mau nuntun,” ujarnya ketus. “Kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Kalimat terakhirnya ditujukan kepada Mbak Hanik. Itu sore tadi. Dari Ashar sampai selepas Isya. Selepas Isya, Bapak akhirnya menyerah karena bagian bawah tubuhnya sudah basah. Bapak tak lagi mampu mengontrol pipisnya. Bahkan Bapak seperti orang linglung. “Bapak kenapa nggak ngomong?” ujar Ibuk.Bapak diam saja. Memandang kosong ke depan. Mbak Hanik mengambil diaper dari tangan Bunga yang tadi diutusnya ke minimarket. “Basah semua, bau. Kulit Bapak juga bisa merah-merah,” ujar Mbak Hanik menambahkan. Sedikit geram. “Uwis, Han. Ojo mbok marahi terus bapakmu. Iku lagi ingat anak lanang. Si Nasir

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 65-Kesalahan Paling Konyol

    Bab 65-Kesalahan Paling Konyol Kesalahan apa yang dianggap paling konyol? Di saat jalan hidupnya seakan menyerupai telur di ujung tanduk setan, Alfian justru ingat satu hal. Satu hal konyol. Tentang orang pintar yang mendadak bodoh. Kebodohannya karena disebabkan lidah dan perut murahan yang tak bisa berkompromi. Namanya Anthony Gignac, pria yang akan tercatat sebagai orang yang membuat kesalahan paling bodoh sepanjang sejarah.Hampir separuh hidupnya dihabiskan dengan berpura-pura menjadi pangeran jutawan dari Dubai. Dia menamai dirinya "Pangeran Khalid Bin Al Saud". Nama Bani atau wangsa paling berpengaruh di jazirah Arab bahkan berhasil menegakkan sebuah empayar selama 4 abad lebih. Jadi, makhluk bernama Gignac memang terlampau percaya diri. Dia melakukan semua ini dengan satu tujuan, yaitu menipu para investor. Aksinya sudah cukup lama, dan mirisnya banyak pula investor yang percaya padanya. Bahkan diperkirakan dia menipu dan memanipulasi ratusan orang, dengan total kerugian

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 64-Sandiwara Sang Ipar

    Saat pintu dibuka, semua berebut untuk masuk ke dalam kamar. Satu yang sangat mencengangkan semua orang, kar itu dalam keadaan berantakan. Suasana sungguh berbeda dengan saat Alfian meninggalkan kamar itu beberapa waktu lalu. Sekitar setengah jam lalu yang kemudian dia tertahan di depan pintu, kemudian bergeser sedikit menjauh dari pintu karena aksi dorong dan jegal oleh Nasir. Kamar pengantin itu terlihat seperti habis dilanda tornado. Dengan bantal dan guling tercampak ke lantai. Sebagian sprei berwarna kuning gading itu terburai ke lantai seperti usus ayam keluar dari rongga perut. Kelopak mawar berhamburan ke seluruh sudut ruang.. Benar-benar dahsyat tornado yang berputar hanya di ruangan ini. “Di ma—na Zum-ra-tul?” Suara Bapak tersendat, terdengar cemas. Mereka semua mencari di setiap sudut ruangan kamar yang tak seberapa luas itu. 3x4 meter. Biasanya Zum duduk mencangkung di pojok ruangan atau di bawah jendela karena lelah mengamati lalu lalang orang-orang yang melintas. Zum

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 63-Noda di Hari Persandingan

    “Si—siapa kamu?”Alfian hampir mati berdiri saat melihat ada sosok yang berbaring di ranjang pengantin di kamar milik Bunga. Meskipun mengenakan brokat dengan warna sangat mirip dengan milik Bunga, dia tahu itu bukan baju pengantin yang tadi dikenakan istrinya. Sudah pasti sosok itu bukan Bunga. Istri kecilnya masih berada di luar. Sosok yang menguasai ranjang pengantinnya tampak meringkuk seperti bayi koala itu tertidur dengan mulut terbuka. Ada tetes liur yang mengalir deras dari sela bibirnya yang terbuka itu. Air liur itu menyirami tumpukan kelopak mawar di atas ranjang. “Ya Tuhan,” gumam Alfian. Sosok itu bergerak, dari tangannya yang terjulur tampak berjatuhan benda berbentuk bulat-bulat seukuran duku. Sosok itu ternyata menggenggam buah-buahan. Anggur dan pisang. “Hai,” sapanya lagi, kali ini Alfian bersuara sedikit keras. Sosok itu bangun mengucek matanya. Matanya sipit, dagu kecil, wajah bulat, dan batang hidung datar, bahkan dahinya seakan lebih menonjol dari hidupnya y

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 62-Pelaminan

    Kekhawatiran Bunga akan ada kekacauan tidak terbukti. Bahkan, kelebat Mas Hamzah pun tidak ada. Jadi, ketika acara hampir selesai digelar jelang Dzuhur, ada buncah kelegaan di sana. Seorang fotografer memberi arahan untuk sesi foto. Setelah selesai dengan sesi foto keluarga, kini giliran foto berdua khusus pengantin. “Jangan kaku begitu, Mbak Bunga.” Photografer memberi pengarahan. “Letak kedua tangannya di dada Mas e, dada nempel lagi. Iya, gitu. Lagi, dikit, terus wajah memandang ke arah angka tujuh, ya. Oke, siap! Satu, dua, ti ….”“Kamu deg-degan, ya?” tanya Alfian tersenyum lebar setelah sang fotografer berhasil membidikkan kameranya dan menghasilkan beberapa gambar. “Ngapain deg-degan. Malu aja, kan, dilihat orang banyak.”“Nggak usah malu-malu. Udah resmi ini.” Rupanya fotografer yang disewa itu mendengar celetukan Bunga. “Atau mau foto dengan latar khusus. Di candi misalnya. Saya bisa merekomendasikan tempatnya. Ayo, kapan.” Dasar tukang photo, gumam Bunga. “Ini udahan, ka

  • Godaan Sang Majikan Tampan   Bab 61-Sah!

    Bunga tertawa terbahak-bahak saat membaca pesan dari Alfian. Pesan yang berisi curhatan pria itu sehabis makan siang. Namun, sebelum acara makan, Alfian malah ditest soal bacaan sholat, doa, bagaimana taharoh yang benar, bagaimana mandi junub yang benar. Karena terus dibombardir pesan yang isinya keluh kesah, akhirnya Bunga memencet tombol hijau pada aplikasi pesan. Aplikasi berkirim pesan dan panggilan yang sederhana, aman, dan reliabel“Assalamualaikum, Mas Al …,” sapa Bunga masih dengan tawa berderai. “Wah, terus saja tertawa, Na.”“Iya, deh. Ana nggak tertawa lagi.” Bunga berusaha mendekat mulutnya. Namun, Bunga masih saja kesulitan menahan tawanya. Setiap dia ingat apa yang menjadi curhatan Alfian, Bunga sontak tertawa. “Mas maaf, aduh.”“Kamu, sih, hanya kasih bocoran tentang sholat. Ternyata semua ditanyakan sama bapakmu.”“Justeru syukur, Mas. Jadi Mas Al nambah ilmunya,” bisik Bunga sambil sesekali melemparkan candaan. Alfian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memang b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status